9 - Video Call
Gita merebahkan tubuhnya setelah selesai mengganti seragamnya, dia meraih ponselnya yang berada di ujung kasur. Tak ada balasan dari Ale. Kemana kekasihnya itu? Dari pulang sekolah tadi tidak kunjung membaca pesannya.
Gita menjatuhkan ponselnya ke samping tubuhnya. Mungkin Ale sedang dijalan pulang makanya tidak sempat membaca pesannya. Tapi jika memang sudah jalan pulang, lelaki itu pasti bilang kepadanya, namun hari ini dia tak mengabari apapun dan meninggalkan sebuah missed call kepada Gita.
Larut dalam pikirannya, Gita terkejut saat ponselnya menderingkan lagu Dear God milik Avenged Sevenfold, ringtone khusus untuk Ale. Gita segera bangkit dan mendapatkan nama Ale terpampang di layar ponselnya. Gita menyentuh tombol hijau dan seketika wajah yang dia rindukan muncul di depannya.
“Ha—“
“Kemana aja sih? Bikin khawatir, tau gak?” cecar Gita sebelum Ale sempat menyapanya.
Ale tertawa. “Ampun deh, baru juga mau nyapa udah kena omelannya aja,” ucap Ale. “Maaf tadi aku gak sempet bilang kalau mau pulang. Ada urusan juga sih tadi makanya gak sempet lihat hp.”
“Urusan apa emangnya sampe lupa nyuekkin pacar sendiri?”
“Tadi aku nganterin temen aku, kasian dia digangguin orang.”
“Si Rendi?”
Gita memang sudah tau tentang Rendi karna Ale sering menceritakannya pada Gita.
“Bukan, temen sebangku aku, si Laras.”
“Oh dia, emangnya dia diapain?”
“Biasa lah, anaknya orang kaya suka banget gangguin orang kayak Laras.”
Gita mengerti apa yang dimaksud Ale, apalagi yang dimaksud dengan ‘gangguin’ di dalam lingkungan sekolah?
“Hmm... gitu. Kamu jagain tuh, kasian dia, kasian nanti kalo digangguin lagi.”
Ale yang saat ini sedang memakai kaos berlengan panjang berwarna putih itu menopang pelipisnya di tangannya, menatap wajah Gita di layar ponsel. Sebenarnya Ale bingung, apa gadis itu sama sekali tak merasa khawatir atau cemburu saat dia membicarakan gadis lain?
“Kamu segitu percayanya yah sama aku?”
“Ya iyalah aku percaya, kamu kan pacar aku.”
Ale mengangguk. “Hmm... walaupun aku baik sama cewek-cewek di sini juga?”
Gita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud Ale. “Ya kan emang kamu orangnya baik sama semua orang, jadi mau diapain lagi?”
Ale meletakkan lengannya di atas meja belajarnya dan menatap Gita –atau ponselnya- serius. “Aku cowok juga loh, Ta, aku masih muda dan hormonku juga masih berfungsi dengan baik, jadi aku juga suka ngeliatin cewek-cewek cakep,” canda Ale.
“Aku tau kok, aku juga kayak gitu, suka liatin cowok-cowok cakep.”
Ale melebarkan matanya, candaannya ternyata dianggap serius oleh Gita, yang lebih parah lagi yang dikatakan gadis itu tadi.
“Apa kamu bilang? Kamu juga suka liatin cowok-cowok? Wah, berani yah kamu, Anggita. Aku balik ke Jakarta trus bawa kamu ke sini nih.”
Gita tertawa. “Bercanda, Le. Lagian kamu sok banget mau bikin aku cemburu. Aku gak bakal cemburu karna kamu baik sama semua cewek, karna itu emang udah sifat kamu dari lahir.”
Ale mengangguk. Sifat dari lahir, yah? batin Ale.
“Asal kamu baiknya jangan sampe keterlaluan aja yah, Le. Kayak nanti ada cewek minta cium trus kamu cium, aku bisa marah juga, loh.”
“Iya-iya, aku tau kok marahnya kamu kayak gimana. Serem.” Ale mengerakkan bahunya seakan sedang bergidik ngeri.
“Makanya jangan bangunin macan tidur.”
Ale terkekeh. “Yes, Ma'am.”
“Kamu bantuin aja tuh temen kamu supaya gak diganggu, kalo perlu pukul sekalian yang ngeganggu biar kapok.”
“Gak bisa, Ta. Yang ngeganggu cewek, dan aku gak mukul cewek. You know that.”
“Kalo gitu urusannya Sandra dong yah,”
“Tuh kamu tau,”
Gita tertawa. Perasaannya saat bertatap muka dengan Ale –walaupun hanya lewat video call- sangat membuatnya bahagia. Perasaan nyaman yang selama ini dirasanya saat berada di samping Ale tidak pernah memudar walaupun jarak memisahkan mereka.
Keduanya masih terus berbincang membicarakan banyak hal, sekolah, teman-teman mereka, cuaca, kejadian yang mereka lihat, sampai drama tentang drama Korea yang Gita tadi malam tonton, jika sudah membicarakan hal itu, Ale hanya mengangguk dan terkadang tertawa mengikuti Gita walaupun dia sendiri tak mengerti apa yang sedang ditertawakan.
Terkadang mereka hanya saling diam menatap satu sama lain tanpa ada yang bersuara sedikitpun. Bahkan hanya dengan mendengar suara napas saja, mereka sudah merasa sangat nyaman.
Jika sudah seperti ini, Gita selalu me-screenshoot wajah Ale yang sedang menatapnya, dan terkadang ia kirim ke kekasihnya atau hanya menjadi perias galeri ponselnya yang penuh dengan potonya juga Ale. Galeri yang menyimpan banyak kenangan mereka berdua.
*****
“Hadeuhh, naek dua lantai aja capek gue.”
Ale mengangkat wajahnya saat tiba-tiba Rendi datang dan melempar tubuhnya ke atas meja Ale.
“Kebiasaan dudukkin meja gue, bau ntar nih meja.” Ale menepuk bokong Rendi.
Rendi meringis. “Eh, btw, gimana kemaren nganterin Laras? Dia gak mupeng sama lo, kan? Dia gak grepe-grepe lo, kan?”
“Lo yang mupeng. Enggak lah, emangnya dia elo?” Ale memukul kepala Rendi.
“Ya kali gitu, kan cewek mana yang gak kesengsem sama seorang Leonard Martian Lewis? Ye gak?” Rendi menyikut Ale yang kini sibuk dengan ponselnya. “Mulai, pacaran sama hp lagi.”
Ale mendengus. “Apa sih lo, jomblo?”
Kedua mata Rendi terbuka lebar. “Sialan, gue jomblo juga jomblo berkualitas yah. Kalo mau juga gue tinggal comot cewek buat jadi pacar gue.”
“Yah... yah..." sahut Ale tak perduli.
“Gak percaya lo?” Rendi menghentikan teman sekelasnya yang berjalan melaluinya. “Siti, lo mau jadi pacar gue gak?”
Baik Ale ataupun Siti menatap Rendi dengan kening berkerut.
“Ogah,” Siti menatap Ale dan tersenyum malu. “Kalo sama Ale mau.”
Ale tertawa terbahak-bahak mendengarnya, dia lalu bertos ria dengan Siti.
“Lo tadi mau keluar, kan? Gih dah,” Rendi mendorong tubuh Siti. “Jangan balik lagi yah. Dadah.”
Rendi melambaikan tangannya ke arah Siti yang pergi sambal mengumpat. Lelaki itu lalu menoleh ke arah Ale yang sekarang sedang tertawa memegangi perutnya.
“Puas yah? Hmm... terus aja ketawa, ntar juga kualat lo.”
“Sori,, sori,, gue…” Ale masih berusaha mengontrol tawanya. “Lo bego atau tolol sih, Ren? Asal nyomot cewek aja.”
“Lagian kesel gue lo katain jomblo,”
Ale menepuk pundak Rendi. “Sori... sori. Kan kata lo jomblo berkualitas.”
“Tau ah, mana coba liat cewek lo secantik apa sih? Ngeledek gue doang bisanya.”
Rendi mencoba mengambil ponsel Ale, namun dihalangi oleh sobatnya itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi. Rendi menggapai tangan Ale yang mengangkat ponselnya namun kurang cepat karna tangan Ale yang lainnya sudah lebih dulu mengambil dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
“Dih, pelit amat cuma mau liat doang juga.”
“Lagian lo kepo amat sama cewek orang.”
“Ya kepo lah gue. Sebulan temenan sama lo kagak tau lo punya pacar, sekarang giliran udah tau malah gak tau muka pacar lo kayak gimana. Kan gue juga mau liat tipe cewek lo gimana.”
“Yang pasti lebih dari yang lo bayangin,”
“Jeleknya?”
Ale untuk kesekian kalinya memukul kepala Rendi. “Cantiknya, lah.”
“Ya udah, mana liat?”
“Gak ah, ntar lo naksir.”
“Dih ngeliat aja belom udah naksir aja. Jangan-jangan cewek lo mukanya abstrak yah makanya lo gak mau ngasih liat.”
Ale tak menjawabnya, matanya menangkap sosok Laras yang baru saja memasuki kelas. Mata Ale melebar saat mengetahui seragam gadis itu basah. Seluruh kelas memandang Laras sambil tertawa, Shinta dan kedua temannya yang berada di belakang tertawa paling kencang.
“Buset, lo abis berendem dimana, Ras, pagi-pagi?” tanya Kevin melihat Laras menuju bangkunya.
Ale melihat tangan Shinta yang memegang seragam olahraganya yang bernasib sama sepertinya. Lelaki itu menoleh ke arah Shinta yang langsung membuat gadis itu terdiam. Ale berjalan mendekati Shinta dan berdiri tepat di hadapannya membuat Shinta terkesiap, masih mengingat tatapan dingin Ale kemarin.
Tangan Ale terjulur dan membuat Shinta menutup kedua matanya, namun bukannya rasa sakit yang dirasakannya justru tubuhnya lah yang terdorong ke samping membuat gadis itu membuka mata. Ternyata Ale hanya ingin membuka lokernya yang tadi dihalangi Shinta.
Ale kembali ke tempatnya dan menyerahkan sebuah seragam olahraga miliknya yang tadi ia ambil. “Nih pake!”
“Tapi nanti kan ada pelajaran olahraga, Le.”
“Lo mau pake atau masuk angin?”
Laras terdiam menatap ragu ke sodoran tangan Ale. Ale menarik tangan Laras dan meletakkan seragam berwarna putih itu ke tangan Laras.
“Kalo lo jemur seragam lo trus kering sebelum jamnya olahraga, gue gak bakal dihukum, kok.”
“Tapi—“
Belum sempat Laras mengatakan keberatannya, Ale sudah mendorong tubuhnya menjauh. “Udah sana, cepet.”
Mau tidak mau Laras menuruti perkataan Ale karna dia juga sudah tak tahu lagi harus bagaimana. Tadi saat memasuki lorong lantai satu, Laras dihadang oleh Shinta dan kawanannya lalu dibawa ke toilet yang berada di lapangan indoor.
Di sana semua isi tasnya dikeluarkan dan disiram di atas wastafel, Laras yang ingin menyelamatkan buku, seragam dan juga alat tulisnya dihadang oleh Shinta dan disiramkan air dari wastafel oleh Dewi.
Saat sudah puas, Shinta dan kedua temannya pun pergi meninggalkan Laras yang basah kuyup. Laras sangat ingin pulang saat itu juga, namun jarak rumahnya yang jauh dan juga absensi yang bisa mengganggu beasiswanya membuatnya berpikir dua kali. Laras lebih baik sakit daripada kehilangan beasiswa.
Laras menggantung seragam sekolah dan seragam olahraganya di atas meja yang tak terpakai. Saat ini dia sedang berada di atap sekolah. Wilayah ini memang dilarang dimasuki murid ditambah lagi dengan adanya gosip yang mengatakan bahwa ada mahluk halus membuat tempat ini sepi dan tak ada yang berani memasukinya, tidak dengan Laras.
Laras menjadikan atap ini seperti basecamp miliknya. Jika dia tak ingin bertemu dengan Shinta ataupun ingin menyendiri, Laras akan selalu berada di tempat ini.
Laras menatap tubuhnya yang terbalut kaos Ale, kaosnya bisa menjadi mini dress di tubuh Laras, panjang celananya melebihi panjang kaki Laras dan itu membuatnya harus melipatnya, untung di sekitar lingkar pinggang memakai karet sehingga Laras tidak harus mengikatnya jika terlalu kendur.
Dengan takut, Laras mencium seragam Ale yang berada di tubuhnya, wangi khas lelaki itu langsung memenuhi hidungnya. “Wangi Ale.”
Seakan tersadar, Laras menatap seragamnya yang masih menjatuhkan rintik-rintik air. Apa bisa seragamnya kering sebelum jam olahraga dimulai? Jika kemungkinan terburuk yang akan terjadi, Laras tak tahu harus mengatakan apa pada Ale.
*****
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top