Laras duduk terdiam di belakang Ale, tangannya memegang erat tas lelaki yang sedang membawa motor dengan kecepatan di atas normal. Gadis itu memandang sebuah jaket baseball yang menutupi pahanya. Jaket berwarna biru navy milik Ale.
Di kepala Laras terus berputar kejadian yang tadi terjadi, kejadian yang tidak pernah terpintas di pikirannya. Seseorang membela dirinya. Dia tak bahkan tak berani memikirkan kemungkinan itu, dia selalu mengira semua orang sama dengan Shinta yang hanya mempermainkan orang seperti dia, namun Ale berbeda. Kejadian tadi membuktikan itu.
Laras sangat kaget saat Ale tiba-tiba datang dan menarik tangannya yang sedang berusaha mengambil buku-buku miliknya yang berserakan di atas tempat pembuangan sampah yang bahkan baunya saja sudah dapat merusak hidungnya jika terus-terusan berada di sana.
“Ayo!” ucap Ale singkat dan menarik tangan Laras ke arah parkiran.
Laras mencoba melepas tangannya. “Tunggu... buku aku.”
Ale menatap Laras sejenak lalu beralih ke arah buku-buku miliknya. “Lo tunggu sini.”
Dengan cepat dan tanpa ragu, Ale mengambil lima buku LKS milik Laras yang tergeletak di atas tempat sampah. Tidak dihiraukannya bau busuk yang menyengat, bahkan sepatu berwarna putih miliknya sudah berwarna coklat terkena air genangan di sana. Shinta dan kedua temannya menatap Ale ngeri.
“Ale, ini bukan...” Shinta berdiri di depan Ale yang sudah ingin keluar dari tempat itu.
Ale menatap Shinta dingin, bahkan gadis itu bergidik melihatnya. Shinta menatap punggung Ale yang menjauh, tatapan lelaki itu tadi masih teringat di benaknya, tidak dia sangka seorang Ale yang ramah dan hangat bisa memberikan tatapan sedingin itu.
Ale memberikan buku yang tadi dia ambil kepada pemiliknya. “Nih. Yuk, gue anter.”
“Le, sepatu lo ...” Rendi yang tadi hanya melihat sobatnya itu tidak luput dari kekagetannya.
“Sori, Ren, acara hari ini batal dulu yah,” ucap Ale sambil menaiki motornya.
“Oke, gak pa-pa.”
Ale memakai helmnya dan memandang Laras yang masih berdiri mematung di samping motornya. “Ren, gue pinjem helm lo,”
“Lah trus gue gimana baliknya?”
“Lo beli aja di jalan. Buru, siniin!”
Rendi mau tak mau memberi helm hitam yang sedari tadi ia pegang kepada Ale. “Baek-baek lo makenya, kesayangan gue tuh.”
Ale mengambil helm yang diberikan Rendi dan memberikannya lagi kepada Laras. “Pake trus naek.”
Laras memakai helm yang diberikan Ale dan bersusah payah menaiki motor besar Ale yang tingginya hampir setengah badan gadis itu. Saat sudah duduk di belakang Ale, rok panjang Laras terangkat dan mengekspos kulit pahanya yang putih.
“Astaghfirullah, Ras, itu paha,” ucap Rendi sambil menutup mata dengan tangan kanannya.
Laras yang baru menyadari itu langsung berusaha menurunkan roknya, namun usahanya itu tak berhasil. Ale yang melihat itu segera membuka jaket baseball berwarna navy miliknya dan memberikannya kepada Laras.
“Tutupin paha lo!"
Tanpa suara, Laras menuruti apa yang dikatakan Ale. Pahanya kini telah tertutup rapi.
Ale menyalakan mesin motor dan menaikkan standar motornya. “Bro, gue jalan dulu yah.”
“Yoi, hati-hati, bro,” seru Rendi setengah berteriak karna Ale telah menjalankan motornya keluar gedung sekolah.
Kini giliran Rendi yang menggaruk kepalanya sambil menatap motornya. “Gimana pulangnya ini gue?”
Selama perjalanan, hening sangat terasa di antara Ale dan Laras, tidak ada yang berbicara satupun. Ale hanya membawa motornya sesuai arahan Laras menuju rumahnya.
Motor Ale berhenti di depan sebuah rumah kecil berpagar kayu. Ale membuka helmnya saat Laras sudah berdiri di sampingnya dan menyodorkannya helm dan juga jaket yang sudah ia pakai.
“Makasih yah, Le. Kamu udah nolongin aku lagi.”
“Bukan masalah kok,” Ale memakai jaketnya dan menggantung helm Rendi di belakang joknya. “Btw, Shinta sering ngebully lo gitu yah? Selama ini gue kira lo segengan sama dia.”
Laras tertawa kecil, tertawa nanar lebih tepatnya. “Mana mungkin Shinta mau temanan sama orang kayak aku, Le. Aku gak selevel banget sama dia.”
Ale mendengus. “Zaman udah serba canggih gini, emang penting yah temenan liat level?”
“Menurut mereka mungkin penting, Le.”
Ale terdiam, dia teringat oleh kejadian yang dulu. “Ya udah, lo masuk sana. Gue balik.” Ale memakai helmnya lagi.
“Sekali lagi makasih yah, Le.”
Ale mengangkat tangan kanannya dan melajukan motornya. Shinta terdiam menatap motor Ale hilang di tikungan depan. Gadis itu lalu menatap tangannya, tangan yang ditarik oleh Ale, tangan yang memegang pundak Ale. Wajah Shinta seketika memanas. Ada apa dengannya?
*****
JAKARTA
Bel istirahat baru saja berbunyi, murid-murid Karya Bangsa International School langsung memenuhi lorong sekolah elit itu. Gita yang berada di toilet lantai 1 sedang mencuci tangannya. Dia lalu meraih ponselnya di saku seragam dan mencari nomor Sandra. Tadi sebelum istirahat, Sandra tiba-tiba menghilang dari kelas dengan alasan ingin ke toilet namun sampai bel istirahat berbunyi dia tak kunjung kembali.
“Dimana sih?” tanya Gita saat mendengar suara sahabatnya di seberang sambungan sana.
“Woy, woy, woles, sis. Ini gue lagi nyariin lo sama Nino. Dimana sih lo?”
“Gue lagi di toilet lantai satu.”
“Ya udah gue ke sana sekarang.”
“Gak us-- halo? Halo, San? Sial dimatiin.” Gita menatap layar ponselnya yang telah menampilkan background foto dirinya dan Ale.
Ternyata ada pesan dari Ale. Gita membuka pesan itu dan tersenyum melihat isinya yang merupakan curhatan lelaki itu tentang sekolah dan teman barunya.
Gita keluar dari toilet dengan mata yang fokus pada layar ponsel, senyumnya terus terkembang karna pesan dari kekasihnya. Saking fokusnya dengan hp, Gita sampai tak menyadari ada orang di depannya hingga ia menabrak dada milik orang yang ia yakini adalah seorang pria karna dada itu begitu kekar.
“Ah, sori, gue gak li...” Gita menghentikan kalimatnya saat melihat siapa yang ia tabrak tadi. Raka.
Gita sudah akan meninggalkan Raka saat lelaki itu justru menghalangi jalannya. Gita berganti ke arah berlawanan namun Raka tetap menghalanginya.
“Mau ngapain sih lo?”
“Wih jangan galak-galak dong, Ta. Kan tambah cantik jadinya," ujar Raka yang langsung mendapatkan reaksi dari kedua temannya di belakangnya.
“Gak jelas.” Gita berjalan melewati Raka namun lelaki itu menarik tangannya dan mendorongnya hingga punggungnya menyentuh tembok. “Apa-apan sih lo?!”
“Jangan jual mahal begitu lah, Ta. Kan bodyguard lo udah gak ada tuh. Main sama gue lah.” Raka meletakkan tangan kanannya di samping kepala Gita, sedangkan tangan kirinya menahan bahu gadis itu.
“Daripada gue main sama orang yang udah bikin cowok gue keluar dari sekolah, mending gue main sama cleaning service sekolah ini.”
Raka mendesis. “Masa dari Ale turun jauh banget ke cleaning service sih, Ta? Mending sama gue yang bagusan.”
“Apaan sih. Lepas gak?!” Gita mendorong tubuh Raka namun lelaki itu lebih kuat darinya dan justru mendorongnya balik sehingga membuat punggungnya kembali menyentuh tembok, kali ini dengan lebih keras.
“Denger yah, Ta. Bodyguard lo udah gak ada di sini, gak ada yang jagain lo lagi, jadi jangan jual mahal banget gitu sama gue.”
“Bodyguard barunya ada di sini.”
Suara cempreng itu, Gita sudah bisa bernapas lega. Raka mendesah dan menoleh ke arah sumber suara. Sandra dan Nino sedang berjalan ke arahnya. Sandra memegang sebuah sapu ijuk yang tak tahu darimana asalnya.
“Lo lepas tangan lo atau gue sambit nih.” Sandra mengancam sambil mengangkat sapu di tangannya tinggi-tinggi.
“Lo mending diem aja deh, San. Ini urusan gue sama Gita. No, bawa cewek lo pergi dari sini deh.”
Nino berjalan mendekati Raka. “Dia ceweknya sobat gue dan juga bestie nya cewek gue,” Nino melepas tangan Raka dari bahu Gita. “Jadi selama sobat gue gak ada, Gita ada urusannya sama gue.” Nino mendorong tubuh Raka menjauh dari Gita dan meletakkan tubuhnya di antara mereka.
Raka mendengus. “Trus lo siapanya Gita emang?”
“Gue? bodyguard barunya?” Nino menatap Sandra. “San, ke kantin duluan sana bawa Gita, ntar aku nyusul,” Nino menepuk pundak Raka. “Ada yang mau aku omongin sama kunyuk satu ini.”
“Oke, tapi hati-hati jangan sampe digigit yah? Ntar ketularan virus rabies mesumnya,” ujar Sandra menarik tangan Gita pergi setelah memberi pandangan mengancam pada Raka.
“Apa-apaan sih lo, No? Nyari mampus?”
“Gue nyari Gita bukan nyari mampus,” jawab Nino santai.
“Sialan, emosi gue.” Raka melayangkan tinjunya ke arah wajah Nino yang langsung ditangkap oleh lelaki itu.
Nino yang mencengkram kepalan Raka langsung mendorong teman sekelasnya itu ke tembok dengan kasar hingga menimbulkan suara debuman yang kencang saat punggungnya menyentuh tembok, seperti Gita tadi. Lengan kirinya berada di depan leher Raka.
Kedua teman Raka yang melihat hal itu langsung bereaksi dan mendapatkan tatapan tajam dari Nino. “Mending lo bedua pergi sebelum kena tinju gue.”
Kedua orang yang telah mengetahui kemampuan bela diri Nino itupun memilih option yang diberikan. Mereka berlari meninggalkan Raka yang masih dalam cengkraman Nino.
Nino kembali menatap Raka. “Gue lupa ngasih tau lo pesan dari Ale. Lo mau denger sekarang gak?”
Raka hanya menatap Nino dengan pandangan menantang. Raka bukannya tidak tau kalau lelaki di hadapannya ini menguasa tiga seni bela diri yang berbeda, dia tau, itulah sebabnya saat ini sebenarnya dia sangat ketakutan.
“Dia ngomong gini,” Nino berdehem. “Kalo gue dapet info lo ngegangguin cewek gue lagi, gue bakal bilang bokap gue buat bangun sekolah di depan sekolah lo dan narik semua donatur yang ada. Kalo bokap gue yang minta, mereka pasti bakal nurut,” ucap Nino menirukan Ale.
Raka terdiam. Dia memang tau kalau hampir seluruh donatur di sekolahnya merupakan relasi bisnis The Lewis, bahkan Papa Ale yang menyarankan mereka untuk berdonasi di sekolah ini. Jadi kalaupun dia ingin mengambil kembali relasi bisnisnya itu, itu bukanlah hal yang sulit.
“Gimana? Mau gue sampein apa yang tadi gue lihat ke Ale gak? Atau lo mau janji gak bakal ganggu Gita lagi? Kalo lo milih option pertama nanti gue bakal bilang ke Ale kalo tadi tuh lo mojokin ceweknya di depan toilet? Wah kayaknya gue udah bisa ngebayangin gimana murkanya dia nanti.”
Raka mencoba melepas tangan Nino dari lehernya namun justru ditahan oleh Nino. “Gimana? Elah bukannya jawab!”
“Iya--iya gue gak bakal ganggu Gita lagi, gue janji!” ucap Raka.
“Bagus,” Nino menekan lengannya ke leher Raka lebih keras hingga lelaki itu terbatuk-batuk sampai menundukkan tubuhnya. “Kalo sekali lagi gue lihat lo ganggu Gita, gue bakal cerita ke Ale, malah ntar gue tambah-tambahin tuh cerita biar lo abis sekalian sama Ale.”
Raka menatap Nino dengan kesal dan mengumpatnya sebelum akhirnya berlari pergi sambil menyentuh lehernya. Sepertinya Nino memang menguasai tiga seni bela diri, kekuatannya pun tidak bisa diremehkan.
Nino berjalan menuju kantin yang terletak di belakang sekolah. Di kantin dia mennemukan Sandra dan Gita sedang duduk sambil bercerita tentang sesuatu yang tak dapat didengarnya.
“Gimana? Udah kamu hajar tuh orang?” tanya Sandra saat Nino duduk di sampingnya.
“Ke depannya dia gak bakal ganggu Gita lagi, dia udah janji.”
Gita dan Sandra saling menatap bingung. “Kok bisa?”
“Gue cuma nyampein pesan dari Ale yang lupa gue kasih tau aja.” Nino menyeruput es teh manis milik Sandra.
“Emang Ale ngomong apa?”
“Rahasia dong, Ta. Nanti kalo gue kasih tau gak romantis lagi dong.” Nino tersenyum meledek. “Tapi, Ta, si Raka tuh sering gangguin lo gak sih sejak Ale pindah?”
Gita berpikir. “Mm, yang pasti tadi itu bukan pertama kalinya dia gangguin gue sejak Ale pindah.”
“Kok lo gak pernah ngomong ke gue?” seru Sandra.
“yah gue cuma gak mau ngerepotin lo berdua aja, lagian gue bisa nge-handle dia sendiri kok.”
“Trus lo ngomong gak ke Ale masalah ini?”
“Nggak lah, gue juga gak mau buat dia khawatir di sana.”
“Wuih, pacar yang baik emang. Good girl.” Sandra mengelus rambut Gita.
“Kalau Raka gangguin lo lagi, bahkan kalo dia cuma manggil nama lo doang, bilang langsung ke gue, Ta," ucap Nino.
Gita mengacungkan kedua ibu jarinya sebagai jawaban. Selama ini Gita memang tak pernah mengatakan apapun tentang Raka kepada Ale, bahkan Ale pun tidak menyinggung masalah ini sama sekali.
Gita tak ingin membuat Ale khawatir di sana, rintangan yang mereka hadapi saat ini sudah cukup banyak jika harus ditambah masalah Raka lagi. Setidaknya dia tak akan mengatakannya sampai Ale kembali lagi ke Jakarta.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top