22 - Pertemuan

Malam ini merupakan malam yang menyenangkan untuk Gilang. Karna selama dua tahun ini dia hanya bisa memendam perasaannya kepada seorang Anggita, dan malam ini adalah malam pertama dia bisa mengajak gadis idaman itu keluar.

Beberapa saat yang lalu mereka baru saja selesai menonton sebuah film horror yang saat ini sedang naik daun di berbagai negara.

“Aku salah fokus sama badutnya masa, Kak. Badutnya lucu begitu kok ditakutin, yah?” tanya Gita sambil menggaruk pipi kanannya.

Gilang tertawa mendengar pertanyaan polos Gita. “Lo beneran gak takut sama badut kayak gitu? Kalau tau-tau badut kayak gitu ada di depan lo gimana?”

“Ya aku bawa pulang, lumayan buat jagain rumah,” jawab Gita sambil menunjukkan deretan gigi rapinya.

Gilang lagi-lagi tertawa, dia lalu mencubit hidung mungil Gita. “Dasar. Mau makan dulu, gak?”

“Iya, Kak. Aku lapar.”

“Ya udah ayo, gue tau tempat yang bagus.”

Gita dan Gilang berjalan menuju tempat favorit Gilang. Keserasian di antara keduanya tak ayal membuat orang-orang yang melewati mereka mencuri pandang ke arah dua insan itu, mereka berpikir kalau Gita dan Gilang adalah pasangan yang sempurna.

Di sisi lain, Ale dan Nino juga baru saja keluar dari bioskop tempat Gita dan Gilang tadi nonton, bedanya mereka berdua bukan menonton film horror seperti Gita dan Gilang melainkan sebuah film action.

“Le, ayo lah kita clubbing. Mumpung gak ada Sandra nih,” ajak Nino pada Ale yang sedang berjalan di sampingnya.

Malam ini mereka berdua memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mengitari sebuah mall besar di daerah Jakarta, selain karna Sandra yang tak bisa menemani Nino karna dia sedang menghabiskan quality time bersama Mama-nya, ini juga bisa dibilang malam terakhir Nino menghabiskan waktu bersama dengan Ale karna minggu depan Ale sudah akan berangkat dan bersekolah di Inggris.

“Ogah, gak mau lagi gue macem-macem sama cewek lo. Cukup sekali aja gue kena tampar dia.”

Ale jadi ingat malam dimana Sandra menampar pipinya karna sudah membuat Gita menangis. Oh sial, sekarang semuanya yang dia ingat hanya tentang Gita. Tiga bulan ini sudah cukup menderita bagi dia selalu memikirkan gadis itu.

“Gue mau makan, laper.”

Nino mengikuti langkah Ale yang semakin jauh meninggalkannya. “Bentar dulu, Le. Clubbing dulu yuk bentar. Sandra gak bakal tau kok.”

“Cewek lo punya cepu di mana-mana, bego! Masa lo gak tau?”

“Ya udah kalo gitu kita nyamar aja. Pake topi sama ku— aduh, ngapa berhenti mendadak sih lo?“

Nino mengusap keningnya yang terbentur punggung kekar Ale karna lelaki itu berhenti secara tiba-tiba. Nino menatap Ale yang sekarang sedang diri mematung seakan dia sedang memergoki pacarnya berselingkuh. Dengan perlahan Nino menolehkan kepalanya ke arah pandangan Ale dan dia pun ikut terdiam dengan apa yang ia lihat.

“Anjrit," lirih Nino tanpa sadar.

Di hadapan Ale dan Nino, keadaan Gita dan Gilang tak jauh berbeda dengan mereka. Keduanya mematung dengan mata melebar seakan baru saja tertangkap basah tengah berselingkuh.

Perlahan Ale sudah bisa menguasai dirinya, dia menarik napas panjang dan mencoba menampilkan sebuah senyum tulus.

“Hai, Kak. Udah lama gak ketemu, yah.” Ale melirik Gita yang masih terdiam di samping Gilang. “Hai, Ta.”

Gita terkesiap mendengar sapaan Ale, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu setelah kejadian tiga bulan lalu. “Hai, Le.”

“Lo… ngapain di sini, Le?” tanya Gilang setelah menemukan suaranya.

Sesungguhnya Gilang merasa tak enak dengan Ale. Selama ini dia tidak mengambil tindakan untuk mendekati Gita bukan hanya karna Gita sudah memiliki kekasih, namun karna kekasih Gita adalah Ale yang notabene nya adalah junior kesayangan Gilang juga menjadi alasan terkuat.

“Habis nge-date sama Nino, Kak. Lo juga… kayaknya abis nge-date yah?”

Nyutt. Kenapa jantung Gita terasa sakit mendengar pertanyaan Ale? Dia pikir sekarang dia telah sepenuhnya melupakan lelaki itu.

Gilang tertawa awkward. “Ya, kita baru selesai nonton trus sekarang mau makan.” Gilang menunjuk Ale dan Nino secara bergantian. “Kalian… mau ikut makan bareng, gak?”

Nino yang sudah akan menjawab dihentikan oleh suara Ale yang telah lebih dulu menjawab. “Gak usah, Kak. Kita udah mau pulang kok.”

Nino mengerutkan keningnya, bukannya tadi Ale bilang kalau dia lapar? Kenapa sekarang berbeda lagi?

“Oh gitu, ya udah. Kita masuk ke dalem dulu yah, lo berdua langsung balik jangan kelayapan.”

Ale mengacungkan kedua ibu jarinya dan tersenyum manis. Setelah Gita dan Gilang hilang dari pandangannya, Ale menurunkan tangannya, seyumnya mendadak memudar dan dia berjalan meninggalkan Nino.

Nino mengikuti langkah Ale dalam diam, tak tahu mau kemana anak itu. Ale yang ternyata berjalan menuju parkiran lalu mengeluarkan kunci mobilnya dan memencet tombol berwarna hitam dan menimbulkan sebuah bunyi dari mobil Everest hitamnya.

Ale membuka pintu mobilnya, namun bukannya masuk lelaki itu justru diam menunduk dengan tangan kiri yang masih memegang kenop pintu mobil dan tangan kanan bersandar pada atap mobilnya.

Nino memperhatikan sahabatnya yang sedang terdiam itu, dapat ia lihat getaran kecil dari tubuh lelaki tampan tersebut. Nino lalu mendorong tubuh Ale dan mengambil kunci mobil dari tangannya.

“Biar gue yang nyetir, berabe ntar.”

Ale tak mengucapkan apa-apa, dia hanya berjalan mengitari mobil dan duduk di samping Nino yang sudah memutar kemudi dan mengeluarkan mereka dari area parkir.

Keadaan mobil yang sangat sepi membuat Nino tak betah dan perlahan dia melirik Ale melalui kaca spion di atasnya, Ale hanya sedang terdiam menatap kosong jalanan di sampingnya.

“Ale, you alright?”

Ale menoleh dan menatap Nino dengan kaget seakan Nino baru saja bertanya tentang sesuatu yang menyindirnya. Seakan tersadar, Ale mengerjapkan matanya dan menatap jalanan di depannya. “As always.”

Tentu saja Nino tahu sahabatnya itu sedang berbohong. Tubuhnya yang bergetar tadi adalah bukti bahwa dia masih tidak siap bertemu dengan Gita, ditambah lagi dengan Gilang di sampingnya.

Nino memang sudah memberitahu Ale tentang senior panutannya itu yang mendekati Gita, dan itu pun atas permintaan Ale yang terus menanyakan kabar Gita. Mendengar kabar senior panutannya mendekati Gita tentu saja membuat Ale kecewa, namun dia senang dan berharap Gita bisa bersama Gilang, karna Ale yang sudah mengenal Gilang selama setahun lebih itu tahu kalau lelaki itu tak akan pernah menyakiti Gita.

Melihat Ale yang tiba-tiba menjadi down setelah bertemu dengan Gita membuat Nino merutuki dirinya sendiri yang membawa Ale ke mall itu, tapi itu juga bukan sepenuhnya kesalahannya karna Nino juga tak tahu kalau Gita dan Gilang juga akan ke mall itu di saat yang sama.

Nino sangat tahu sahabatnya itu belum bisa move on dari Gita. Walaupun Ale selalu bersikap biasa saja dan cenderung kuat saat sedang membicarakan Gita dan selalu mengatakan dia sudah melupakan gadis itu, Nino tahu kalau jauh di dalam hatinya Ale sangat sakit dan Nino tak dapat membayang sesakit apa hal itu.

*****

Nino merebahkan tubuhnya di atas Kasur ber-sprei motif floral milik Sandra. Tadi setelah dia mengantar Ale pulang ke rumahnya, Nino langsung menuju ke rumah Sandra. Dan di sini lah dia, di dalam kamar kekasih cantiknya.

“Gimana jalan-jalannya? Asik?” tanya Sandra yang saat ini sedang menatap deretan kuku lentiknya yang berwarna pink pastel, tadi dia dan Mama-nya memang lebih banyak menghabiskan waktu di salon untuk mempercantik diri.

“Tadi kita ketemu sama Gita dan Kak Gilang.”

Sandra melotot kaget dan berangsur mendekat ke Nino. “Serius? Trus Ale ngeliat mereka berdua dong? Trus gimana reaksinya? Apa dia nangis-nangis gitu di jalan? Atau kejang-kejang? Kok Gita gak ngasih tau aku sih?!” cecar Sandra pada Nino yang sekarang sudah menutup kedua kupingnya dengan tangan.

Nino menarik bibir Sandra dengan tangan kanannya. “Satu-satu, Neng, itu mulut apa keran bocor, dah?”

Sandra menepis tangan Nino. “Ya udah ceritain kronologinya.”

Nino menghela napas sebelum akhirnya menceritakan tentang kejadian yang tadi menimpa sahabatnya itu dengan sangat detail, termasuk bagaimana Ale yang sempat down di parkiran hingga tubuhnya bergetar.

“Dia tuh lagian gimana sih, kalo belum bisa move on kenapa gak minta balikan sama Gita? Aku yakin Gita juga gak nolak.”

“Gak segampang itu buat dia asal minta balikan, San. Dia juga mikirin perasaan Gita yang udah susah-susah move on dari dia.”

“Kan Gita nya juga belum sepenuhnya bisa move on dari Ale, kadang aja aku suka liat dia lagi bengong natapin foto dia sama Ale. Ya, walaupun aku masih kesel sama Ale tapi kalo Gita bisa bahagia aku sih gak pa-pa.”

Nino tersenyum, dia lalu menarik tubuh Sandra hingga terbaring di sampingnya. Sambil menutup kedua matanya, Nino memeluk erat tubuh Sandra. “Andai emang semudah itu, San.”

*****

“Gimana kabar lo sama Kak Gilang?” tanya Sandra pada Gita yang sibuk chatting-an dengan Gilang di ponselnya, saat ini mereka sedang berada di dalam kamar Gita.

“Biasa aja, gak gimana-gimana,” jawab Gita tak acuh.

“Belom ada perkembangan, gitu? Gue kira Kak Gilang udah nembak lo.”

“Semua butuh proses, San. Gak bisa langsung tembak-tembak gitu.”

Sandra mengangguk, dia melirik ke arah Gita yang saat ini sedang tersenyum memandang ponselnya. “Gue denger... lo... kemaren ketemu sama Ale yah?” tanya Sandra, kali ini dengan nada yang sangat berhati-hati.

Tangan Gita terhenti di udara, dia lalu mengerjapkan kedua matanya. “Iya, Nino udah cerita, yah?”

“Trus lo gimana pas ketemu dia?”

“Yah gak gimana-gimana, dia juga keliatannya udah biasa aja. Udah move on dari gue mungkin.”

Sandra menggaruk kepalanya, ternyata Gita berpikir kalau Ale sudah benar-benar melupakannya. “Kalo dia sama sekali belum move on dari lo gimana? Lo mau balikan sama dia?”

Gita meletakkan ponselnya di atas kedua pahanya. “Itu gak mungkin, San. It’s too late, kalo emang dia belum bisa move on dari gue, kemana aja dia selama tiga bulan ini buat gue nunggu? Lagian gue juga udah nyaman sama Kak Gilang, gue gak mau nunggu buat hal yang gak pasti lagi.”

Tentu saja Sandra mengerti maksud Gita, selama tiga bulan ini, walaupun dia tak pernah mengatakannya namun Sandra tahu kalau Gita sedang menunggu Ale untuk memintanya kembali. Tapi sekarang berbeda, Gita sudah menetapkan pilihannya pada Gilang, dan sepertinya akan sulit untuk Sandra mengubahnya.

“Lo kapan pergi ke Jember?” tanya Gita mengingatkan Sandra akan kepergiannya ke kota kelahiran Mama Nino.

“Lusa gue udah berangkat kok.”

Mulut Gita membentuk huruf 'O'. “Trus kalian gak nganter Ale dong?”

Sandra mengangkat bahunya. “Dia bisa berangkat sendiri, kan?”

Keberangkatan Ale memang masih sekitar lima hari lagi, namun kepergian Sandra dan Nino yang selama minggu membuat kedua orang itu tak bisa mengantar Ale untuk kepergiannya ke negara kelahiran Papa nya.

Gita mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tak acuh, namun jauh di dalam hatinya dia sedang gundah. Kepergian Ale akan membuatnya tak dapat melihat lelaki yang pernah mengisi hatinya itu selama setahun, namun peduli apa? Toh, dia juga bukannya ingin kembali pada Ale lagi.

Saat ini Gita sudah memiliki hidupnya sendiri, kehidupannya bersama Gilang yang sudah membuatnya nyaman. Kehidupan yang mungkin membuatnya bisa melupakan tentang Ale sepenuhnya.

*****

TBC

ONE CHAPTER TO GO, GUYS 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top