20 - Putus
JAKARTA
Sandra hanya terdiam menatap pasrah sahabatnya yang sedang mematut diri di depan cermin. Sudah hampir dua puluh menit Gita masih bertarung dengan perlengkapan make up nya. Bahkan jika dia ingin nge-date dengan Ale tidak pernah sampai memakai banyak make up pada wajahnya.
Sandra bukannya tak tahu alasan sahabatnya itu memakai concealer atau apapun itu namanya di wajahnya. Gita ingin menutupi lingkaran hitam di bawah matanya yang tentu saja sangat kentara karna dia seharian menangis.
Orang tua Gita yang mengetahui ada sesuatu yang terjadi antara putrinya dan Ale hanya bisa meminta tolong pada Sandra untuk menjaganya karna mereka juga harus segera pergi dinas ke luar kota.
Sandra mendekat dan duduk di bibir tempat tidur milik Gita. “Ta, udah jangan make berlebihan gitu. Ntar jadi serem muka lo.”
Gita sekali lagi menatap pantulan dirinya di cermin, dia lalu menoleh dan menatap Sandra. “Gimana mata gue? Masih keliatan gak lingkaran hitamnya?”
Sandra menatap prihatin wajah putih mulus Gita yang saat ini sudah terkontaminasi dengan warna pucat dari concealer yang ia pakai. Sandra mengambil tisu dan menghapus make up Gita.
Gita menjauhkan wajahnya dari tangan Sandra. “Kok dihapus sih? Gue udah capek-capek juga.”
“Percuma lo tutupin, Ta. Lo pikir Ale gak bakalan tau mata lo bengkak? Mau lo tutupin setebel apa muka lo sama make up pun, Ale pasti bisa tau mata lo bengkak kayak abis ditonjok gitu.”
Gita terdiam, apa yang Sandra bilang ada benarnya. Ale pasti akan tahu mata bengkaknya walaupun ia sudah memakai make up yang tebal sekalipun. Gita tak mengelak dan membiarkan Sandra menghapus kembali make up yang ia gunakan.
“Gue takut, San,” ucap Gita tiba-tiba dan membuat gerakkan tangan Sandra berhenti. “Gue takut kalau apa yang selama ini gue takutin bakal kejadian. Gue gak tau harus ngapain kalo emang bener itu kejadian.”
Sandra menghirup napas panjang, dia harus mencoba tenang di situasi seperti ini karna sahabatnya itu sedang membutuhkannya. “Gak akan ada kejadian kayak gitu, percaya sama gue. Masalah kayak gini tuh terlalu kecil buat bikin kalian putus, kalian 'kan relationship goal-nya orang-orang. Tenang aja, Ta.”
“Tapi gue gak pernah ngeliat dia sampe ngebentak gue kayak gitu karna ngebelain cewek lain. Gue ngerasa dia udah... berubah.”
Tidak dapat dibohongi bahwa Sandra juga merasakan hal yang sama seperti Gita. Walaupun dia baru mengenal Ale hampir dua tahun ini, namun dia tak percaya Ale dapat membentak Gita di depan banyak orang hanya karna membela seorang gadis.
Sandra membuang tisu yang sudah berwarna kecoklatan ke tempat sampah di sampingnya. Sekarang lingkaran hitam dan mata bengkak Gita dapat terlihat jelas olehnya, namun hal itu tak dapat menyembunyikan kecantikannya.
Dengan lembut Sandra mengusap pipi Gita, dia sangat ingin menangis melihat keadaan sahabatnya sekarang ini.
Sebuah ketukkan di pintu kamar Gita membuat Sandra dan Gita menoleh. “Kayaknya Ale udah dateng deh.”
Dan benar saja, saat pintu kamar Gita terbuka dan menampakkan seorang lelaki bertubuh jangkung yang memakai kaus berwarna hitam dan jaket jeans berwarna senada dengan celananya masuk dengan wajah lemas.
Sandra bangkit dan menepuk pundak Gita. “Gue tunggu di bawah yah,” bisik Sandra.
Sandra berjalan keluar kamar Gita. Saat berpapasan dengan Ale, Sandra memberikan tatapan sinis dan sangar kepada Ale. Ingin sekali Sandra menghajar wajah tampannya itu, namun ia urungkan karna sahabatnya tak mungkin senang akan hal itu.
“Hai,” sapa Ale yang sudah duduk di tempat Sandra duduk tadi.
Gita menatap wajah Ale dan kaget menatap dahi lelaki itu yang sedang diperban. “Jidat kamu...”
Ale menyentuh dahinya yang sedang memakai perban yang sekarang sudah berwarna kecoklatan. “Ah, ini. Waktu itu Laras...” Ale menggantung kalimatnya. Nama tersebut sangat rawan untuk disebut di saat seperti ini.
Gita menghela nafas panjang, tentu saja dia seharusnya sudah tahu tetang hal itu. “Kamu tunggu di sini.” Gita berjalan menuju kamar mandi yang berada di sudut kamarnya.
Gita keluar dari kamar mandi membawa sebuah kotak putih berbentuk persegi panjang. Gita membuka perban di dahi Ale dan menggantinya dengan perban baru yang sudah ia tetesi dengan obat merah.
Dari jarak sedekat ini Ale dapat melihat mata Gita yang bengkak, dia merutuki kebodohan yang sudah ia lakukan kepada gadis yang sangat ia sayangi ini.
Ale menyentuh pipi Gita dan membuat gadis itu menatapnya. “Aku minta maaf, yah.”
Gita menggigit bagian dalam bibir bawahnya. “Kenapa kamu ngelakuin hal itu, Le? Kamu beneran selingkuh di belakang aku?”
Ale menggeleng dengan tangan kanannya masih berada di pipi Gita. “Kamu tau aku gak bakal ngelakuin hal itu.”
“Trus kenapa kamu ngebentak aku cuma gara-gara Laras? Hubungan kalian sebenarnya apa?”
“Aku... aku cuma gak bisa ninggalin dia sendiri, Ta.”
“Kenapa kamu gak bisa? Karna kamu suka sama dia?”
Tak ada jawaban dari Ale, karna sesungguhnya dia juga tak yakin dengan perasaannya. Dia selalu mengelak bahwa dia tak menyukai Laras, namun kejadian di UGD kemarin tentang bagaimana jantungnya berdebar setelah ciumannya dengan Laras seperti menampik semua elakkannya itu.
Gita mendengus. “Kamu beneran suka sama dia.”
“Aku gak tau, Ta. Aku gak suka sama dia, tapi aku gak bisa ninggalin dia.”
“Makanya aku tanya kenapa?! Kenapa kamu gak bisa ninggalin dia?!” tanya Gita, kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
Ale menghela napas panjang. “Ada sesuatu yang belum aku kasih tau ke kamu. Sesuatu tentang masa lalu aku.”
“Masa lalu kamu yang mana? Yang kamu pernah nge-bully teman sekolah kamu sampai dia coba bunuh diri?”
Kedua mata hijau Ale membulat sempurna, bagaimana bisa... “Kamu tau dari mana?”
“Penting aku tau dari mana? Emangnya kamu pikir temen di sekolah kita yang satu SMP sama kamu cuma Nino aja? Banyak, Le!”
“Trus kenapa kamu gak pernah nanya atau ngebahas hal itu ke aku?!”
“Karna aku nunggu waktu buat kamu ngasih tau aku! Tapi bahkan sampe hubungan kita berantakan gini pun kamu gak juga ngasih tau aku.” Gita mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kayaknya kamu emang belum sepenuhnya percaya sama aku yah, Le.”
Ale menggenggam kedua tangan Gita. Kata-kata yang sudah ia rangkai tidak dapat keluar begitu melihat wajah gadisnya itu.
“Aku sakit, Le. Aku sakit ngeliat kamu ngebentak aku gara-gara cewek lain.”
Hening. Tak ada satupun dari mereka ingin melakukan pembelaan diri, bahkan Ale hanya diam menunduk menatap tangannya yang menggenggam tangan Gita yang bergetar, gadis itu pasti sedang menahan tangisnya.
Setelah hampir lima belas menit saling diam, Ale mengangkat wajahnya dan menatap Gita yang sepertinya sudah jauh lebih tenang. “Maafin aku, yah. Aku gak pernah punya maksud buat bikin kamu nangis dan sakit.”
Bola mata Ale yang berwarna hijau mendadak menjadi begitu suram, entah apa yang sedang ia pikirkan. “Jangan nangis lagi, yah.”
Entah kenapa Gita ingin sekali menangis saat ini juga. Sepertinya dia tahu akan berakhir kemana pembicaraan ini. Gigitan Gita pada bibir bagian dalamnya semakin kencang, begitupun dengan genggaman Ale pada tangannya.
“Aku mau kita udahan aja, Ta.”
Nyutt.
Dada Gita terasa sangat sesak saat ini, seakan ada sebuah godam yang menghantam dadanya dengan sangat keras. Genggaman Ale pada tangan Gita pun terasa bergetar, sepertinya lelaki itu juga merasakan hal yang Gita rasakan.
“Aku bilang kayak gitu bukan karna aku udah gak sayang sama kamu. Aku masih sayang sama kamu, banget. Tapi aku ngerasa aku masih belum ngerti artinya sayang itu sendiri sampe aku terus-terusan nyakitin dan bikin kamu nangis. Aku gak mau jadi orang bodoh yang cuma bisa ngeliatin gadis yang aku cinta nangis karna ulahku sendiri.”
Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mungil Gita. Dia lebih memilih menatap tangannya tanpa ada niat untuk membalas ucapan Ale.
Ale melepaskan genggamannya pada tangan Gita, kedua tangannya menangkup wajah Gita dan membawanya mendekat pada wajahnya. Ale mencium kening Gita, lama.
Baik Ale maupun Gita sama-sama memejamkan kedua matanya, merasakan sensasi nyaman namun menyakitkan itu merasuki diri mereka. Ale melepas ciumannya pada kening Gita dan menempelkan keningnya pada kening Gita. Tak dihiraukannya rasa nyeri pada luka jahitnya yang tertindih dahi Gita.
“Kamu yang bahagia ya, Ta. Aku sayang kamu,” bisik Ale dan membuat pertahanan Gita pecah.
Ale bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar Gita, dia tak kuat harus melihat gadis yang ia cintai itu menangis karna kebodohannya. Di luar dia berpapasan dengan Sandra yang menatapnya dengan bengis, kedua mata gadis itu juga sama seperti dirinya, basah.
Plakk..
Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ale. “Jangan pernah munculin muka lo di depan Gita lagi!” ancam Sandra yang lalu masuk ke dalam kamar Gita.
Sandra memeluk tubuh Gita yang sudah bergetar sejak tadi, dia membelai rambut panjang Gita dengan lembut. Melihat sahabatnya menangis seperti ini sangat menyakitkan untuknya, dia tak menyangka hubungan sahabatnya yang ia kira akan lebih lama dan lebih baik dari hubungannya dengan Nino bisa sampai seperti ini.
Gita menangis dan mengeluarkan semua isakan yang sedari tadi ia tahan. Dadanya sangat sesak dan sakit, dia seperti lupa bagaimana cara bernapas. Bagaimana tidak? Dunia nya yang selama ini hanya ada dirinya dan Ale sekarang sudah tiada, hilang tak berbekas seperti hilangnya rasa kecupan lembut Ale di keningnya.
Di luar kamar Gita, Ale diam mematung. Mendengar isakan Gita seperti ini sangat menyayat hatinya. Namun ini adalah hal yang terbaik untuk mereka karna Ale tak yakin kalau dia tak akan membuat Gita sedih lagi nantinya.
Dengan cepat Ale melangkah keluar rumah Gita, dia tak tahan mendengar suara menyakitkan itu. Ale menghentikan sebuah taksi berwarna biru dan langsung masuk ke dalamnya. Dia perlu menjernihkan pikirannya.
Setelah beberapa lama duduk di dalam taksi, Ale sudah sampai pada rumah mewah milik keluarganya. Sepertinya sudah sangat lama sejak ia terakhir kali menginjakkan kaki di rumah ini.
Ale masuk ke dalam rumahnya dan mendapati Mama dan Papa-nya menatapnya dengan kaget. Lestari, Mama Ale berjalan mendekat pada anak semata wayangnya itu.
“Kamu kok ada di sini? Kapan pulangnya? Kenapa gak ngabarin?”
Ale tak mengindahkan semua pertanyaan Mama-nya, dia hanya menatap kosong Papa-nya yang sedang berjalan mendekatinya.
“Pa, apa tawaran Papa buat Ale sekolah di tempat granny masih berlaku?”
*****
TBC
FAST UPDATE KAN? SEBENERNYA AGAK GAK TEGA NULIS CHAPTER INI, KASIHAN SAMA GITA NYA, TAPI MAU GIMANA LAGI, THE STORY MUST GO ON (MAAF GITA 😭)
BTW, JANGAN LUPA VOMMENT NYA YAH.
NOTE: SST... THREE CHAPTERS TO GO LOH 😄😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top