Long Distance Relationship

Nania berusaha meyakinkan hati. Hubungan jarak jauh itu cukup menguras energinya akhir-akhir ini, terlebih sang pujaan hati kini bekerja di tempat yang dulu sempat menorehkan peperangan dalam diam dengan seseorang. Mencoba menepis pikiran-pikiran penuh kecurigaan  yang semakin hari, semakin menyudutkan kepercayaannya. Sepi yang menjadi-jadi membuatnya semakin over posesif. Setiap percakapan ditelpon seringkali berujung pertengkaran dan kesalahfahaman. Terlebih tidak setiap malam minggu dering panggilan itu didapatkan. Sampai suatu pagi yang cerah, deru mesin itu berhenti di depan kontrakannya. Nania sudah bersiap untuk berangkat kerja. Daun pintu terbuka, ternyata benar sosok yang dia nantikan sudah berdiri dengan senyuman.
Nandra melepas sepatu begitu saja dan langsung duduk terhempas melepas lelah. Segelas kopi hitam dengan cepat tersaji menyambut kedatangannya. Tetes tangis bahagia tak tertahan. Mata Nania kian sembab. Kedatangan Nandra ibarat embun penebus dahaga diawal pagi, menghempaskan semua rindu yang membelenggunya setiap waktu. Mengusir sunyi yang selalu menggelayuti awal pagi dan penghujung senja. Ketika beban pekerjaan sirna yang ada hanya bayangan dan kerinduan membabi buta. Tetapi waktu tidak bisa bertahan lama, Pagi sudah semakin meninggi, Nania bersiap berangkat kerja.
Sambil menunggu Nandra keluar kamar mandi, tangan Nania masih memainkan ponsel genggam milik Nandra. Betapa kebahagiaan pagi itu tak terhingga. Sampai tiba-tiba sebuah pesan baru terbuka, sesak mendadak menyeruak dalam dadanya.

"Met pagi Cayang" singkat, padat, manja. Seketika dia lempar ponsel itu, tangannya gemetar menahan amarah. Sakit, pedih bercampur baur didada.

Masih dengan wajah tanpa dosa, Nandra keluar dari kamar mandi. Sekilas terlihat wajahnya kaget melihat Nania yang sudah terisak memeluk bantal. Sebelum lelaki itu berkata, Nania sudah memburunya dengan pertanyaan.

"Siapa dia?" sambil menunjuk layar pesan yang masih terbuka.

Wajah Nandra terkesiap setelah membaca pesan tersebut, lelaki itu berusaha menenangkan Nania. Tangannya hendak menarik Nania dalam pelukannya tapi ditepis dengan sekuat tenaga. Badannya terdorong menjauh. Betapa bencinya Nania menatap penghianatan di pagi itu.

"Sayang, bisa kujelaskan,” ucapnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Tetapi Nania tak bisa mengendalikan luapan emosi. Dilemparkannya bantal-bantal bertubi-tubi mengenai tubuh seseorang yang paling dia rindukan. Dipukul-pukulkan lengannya pada tembok didepannya.

"Jangan mendekat!" teriaknya sambil menahan isak. Tapi Nandra tidak menghiraukan. Kedua lengannya mencengkeram bahu Nania erat sambil memintanya tenang. Terlepas kontrol telapak tangan Nania mendarat pada pipinya. Nandra masih diam terpaku. Nania terkesiap karena kaget, emosi membuatnya lepas kendali.

"Telpon dia kalau memang dia bukan siapa-siapa," tegasnya. Tanpa banyak bicara Nandra langsung menelpon nomor tersebut.

"Loudspeaker," pintanya, lelaki itu menurut.

"Halo," terdengar suara wanita mengangkat telponnya.

"Non, kamu apa-apaan sih WA kaya gitu?" langsung ke pokok persoalan tanpa basa-basi.

"Mas, kamu kenapa sih?" suara polos tanpa merasa bersalah.

"Itu pake sayang-sayang segala, maksudnya apa? " tegasnya.

"Oh jadi gitu sekarang, ya udah," wanita itu mematikan telpon dengan nada kesal.
Mendengar kalimat terakhir pembicaraannya, belum bisa mengklarifikasi fakta pesan manja pagi ini. Tapi ketegasannya mau langsung menegur wanita itu membuat hati Nania sedikit luluh. Hari itu dia kembali pergi ke kota asalnya. Sepenuhnya hendak mencoba percaya dengan apa yang dia nyatakan sebelum dia berlalu. Wanita itu bukan siapa-siapa.
Tiba-tiba menjelang petang, setelah hatinya sedikit tenang. Sebuah pesan masuk.

"Aku udah sampai, alhamdulillah perjalanan lancer, met istirahat sayang," pesan dari Nandra. Belum sempat dibalas, tiba-tiba sebuah pesan baru masuk. Nomor whatsapp baru tanpa photo profil.

"Hai, salam kenal, tadi pagi kukira Mas Nandra bercanda, tapi sore ini dia menjelaskan semuanya, tapi aku mau minta ijin, aku masih ingin selalu bersamanya meskipun itu hanya sebagai teman." Hampir dibanting ponselnya dengan dada gemetar. Wanita itu benar-benar menyukai dia.

"Tidak ada ijin untuk apapun, tolong lupakan dia," tegas Nania.

“Kami hanya berteman,” balasnya lagi.

"Ah sudahlah, mana ada pertemanan yang tulus kalau salah satu pernah ada rasa." Emosi Nania kian memuncak mendapatkan pesan dari wanita itu.

“Betul, tidak ada pertemanan yang tulus antara lelaki dan wanita jika salah satu sudah ada rasa, bukankah kamupun seperti itu, aku hanya ingin kamu merasakan hal yang dulu pernah aku rasakan,” ujar wanita tersebut.

“Maksudnya?” Nania mendadak terkesiap menerima pesan panjang lebar dari wanita itu.

“Yang merebut itu bukan aku, tapi kamu, aku hanya berusaha mendapatkan apa yang dulu hampir kumiliki,”ujarnya lagi.

“Apakah kamu wanita itu?” Pesan singkat Nania terkirim kembali.

“Tanpa aku jawab, kamu harusnya tahu, dan kamu sekarang mengerti gimana sakitnya aku dulu ketika tahu dia memilihmu,” ujarnya lagi. Nania tak membalas pesan itu lagi, hatinya lemas lunglai. Kini jarak memang tidak menguntungkan untuknya. 

Butuh waktu untuknya menerima kenyataan. Hatinya selalu merasa sakit setiap kali membayangkan kebersamaan mereka. Terlebih Nandra adalah orang yang selalu baik kepada semua orang. Setelah beberapa hari menenangkan diri, akhirnya dia sampai pada satu kesimpulan, diambilnya ponsel yang beberapa hari ini dia pensiunkan. Segera diketiknya pesan untuk lelaki yang dulu rela membuatnya melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

“Mas, hubungan kita tidak diawali dengan cerita baik, tapi semua teguran ini menyadarkanku, ada seseorang yang sebetulnya lebih tersakiti daripada aku, biarlah aku memutuskan untuk melepasmu,” isak Nania tak kuasa ditahannya ketika selesai menulis pesan itu.

“Maksudnya?” balas Nandra.

“Kembalilah padanya, biarkan aku menemukan sebuah awal baru yang tanpa menyakiti siapapun, aku sadar aku bersalah,” balas Nania lagi. Beberapa kali panggilan masuk dari lelaki itu diabaikannya. Nania lebih memilih menelan sakit itu sendirian sekarang. 

***

Waktu seminggu cukup untuknya memperbarui semuanya, nomor ponsel dan settingan semua sosial media. Tidak ada lagi akses untuk memantaunya bahkan dia sudah menghapus semua photonya. Bagi Nania, Nandra akan dijadikan masalalu, meski hatinya masih saja menangis, teriris kenangan yang telah mereka lewati. Sebuah rasa bersalah lebih membuatnya mawas diri, kalau pernah melukai pasti akan terlukai.
Namun pada hari kesepuluh tanpanya, sebuah deru motor matic yang tidak asing kini terparkir di halaman rumahnya. Dari celah pintu kontrakan yang terbuka, terlihat Nandra turun dengan seorang wanita. Mungkin wanita itu adalah dia, seseorang yang hanya Nania tahu ceritanya dari Nandra.

"Aku sudah resign, minggu ini aku akan kembali ke kota ini, doakan ya semoga segera mendapatkan pekerjaan disini, aku ingin kembali, dalam rentang kehilangan, aku tersadar, jika dia memang hanya menempati tempat sebagai sahabat." Gemetar hati Nania mendengar pernyataan dari orang yang sepenuhnya belum dia lupakan. Desir hangat kembali menyelinap dalam dada. Sosok yang baginya memiliki arti kini akan segera kembali, mendampinginya membunuh masa, menghitung setiap detik dipenghujung senja. Waktu dimana semua kesibukan berakhir yang menyisakan relung kosong  dalam jeda menjemput mimpi. Tapi apakah kali ini ada hati yang lagi-lagi terluka? Nania melirik kearah wanita yang masih berdiri dibelakang lelakinya dengan mata berkaca-kaca.

Diterbitkan di :
Harian koran medan Pos, Minggu 18 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top