Chapter 10
Sudah seminggu sejak Reza ikut ke pemakaman sahabatnya, Raya. Dari hari itu juga dia terlihat berbeda dari biasanya. Meskipun dia bersama Aira, dia tidak berubah kembali seperti dirinya yang dulu.
"Kak Fikri, bagaimana caraku supaya bisa membuatnya tersenyum?" tanya Aira pada rekan kerjanya. Meski begitu, dia datang ke minimarket sebagai pelanggan bukan sebagai pekerja.
"Kau datang ke sini pagi-pagi untuk menanyakan hal itu?" ujar Fikri yang tidak menyangka akan kedatangan Aira padanya.
"Benar."
Fikri menutup matanya dan emfokuskan pikiran. Mencari cara bagaimana dia bisa membuat Reza kembali tersenyum.
"Itu bukan persoalan yang mudah bagiku," jawabnya dengan singkat.
"Aku tau tentang itu. Tapi kalau begini terus, rasanya sangat menyakitkan."
Fikri melihat ke arah Aira. Dari wajahnya menunjukkan kalau dia tidak ingin Reza terus-menerus seperti ini. Kekhawatiran Aira bahkan bisa terlihat pada ekspresi mukanya.
Setelah terjadi kejadian itu, tidak hanya Reza melainkan Fikri dan Rumi menjadi berubah. Terutama pada Rumi yang merasa bertanggung jawab atas terjadinya hal itu. Dia selalu menyalahkan dirinya meski itu bukanlah kesalahannya.
Tidak hanya Reza tapi Fikri juga meyakinkan Rumi kalau dia bukanlah pemicu insiden tersebut. Namun, rasa bersalah terus bersarang di dalam dirinya. Dia yang biasanya tersenyum dan bahagia sudah tidak ada. Dia bahkan sudah jarang datang ke minimarket.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, Reza sendiri tidak tau. Apakah Rumi pergi dijodohkan oleh orang tuanya? Atau justru menghilang dan kabur dari rumahnya? Tidak ada kabar tentang dirinya.
Untuk Reza sendiri, emosinya tercampur aduk dan dia jadi mudah kehilangan fokusnya. Tentu hal itu memengaruhi pekerjaannya. Dia yang sebelumnya dapat bekerja dengan sempurna justru membuat kesalahan karenanya.
Bahkan Webtoon yang dia kerjakan bersama Fikri harus hiatus karena dia tidak kuat untuk menggambar. Fikri sengaja memaksanya berhenti menggambar agar tidak membebani pikirannya lebih banyak lagi. Dia paham dengan baik mengenai temannya yang satu itu.
"Kurasa kalau itu kau, kau tidak perlu mengatakan banyak hal padanya," ucap Fikri.
"Eh?"
"Dia hanya akan berkata kalau dia baik-baik saja dan meminta maaf karena membuatmu khawatir. Aku yakin hasilnya akan seperti itu."
Aira diam tidak menanggapi perkataan Fikri karena memang seperti itulah yang terjadi. Sebagai orang yang menyayangi Reza sudah pasti dia tidak ingin kekasihnya berada dalam kesedihan. Namun apa yang terjadi sama persis seperti yang dikatakan Fikri.
"Jadi, aku hanya bisa membuatnya menahan emosinya sendiri?"
"Sebaliknya, kau harus membuatnya mengeluarkan emosi. Buat dia bercerita apa yang dia rasakan. Dia itu terlalu suka memendam hal yang menyakitinya tapi tidak sadar kalau dia sudah menderita karena hal itu."
"Bagaimana caraku melakukannya? Aku akan melakukan apapun agar dia tidak lagi menderita sendirian."
"Gampang saja untukmu. Tidak, ini gampang karena kau yang akan melakukannya."
"Tolong katakan padaku!" seru Aira yang bersemangat. Dia ingin membuat Reza merasa lebih baik secepat mungkin. Fikri langsung saja menjelaskan apa yang dia pikirkan pada Aira.
Setelah mendapatkan hal yang diinginkan, dia langsung berterimakasih pada Fikri dan pergi.
"Dia terasa seperti badai saja. Yah kurasa gadis seperti itulah yang cocok dengan Reza."
***
Aira berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah kantung plastik. Dia awalnya sedikit ragu tapi akhirnya dia mengetuk pintu kosan itu.
"Tunggu sebentar." Terdengar jawaban lemas dari dalam kamar kos itu, meski begitu Aira merasa lega saat mendengarnya.
Pintu itupun terbuka memperlihatkan Reza yang baru saja bangun dengan rambutnya yang masih berantakan dan tidak teratur.
"Aira?" gumamnya tidak percaya akan kedatangan pacarnya.
"Hehe."
"Kukira yang datang kurir paket. Ayo masuk aja," ucap Reza mempersilahkan Aira. Mereka pun masuk ke dalam dengan Reza di depan.
"Maaf, kamarku berantakan," ucap Reza karena tidak menyangka Aira akan datang.
Di dalam kamarnya terlihat beberapa botol plastik yang berserakan dan kumpulan kresek sampah yang tidak dibuang pada tempatnya. Meski begitu ada hal lain yang membuat perhatian Aira tertarik.
"Jadi di sini kamu biasanya menggambar?" tanyanya dengan bersemangat melihat komputer dan pentab yang berada di meja. Berbeda dengan tempat lain yang terdapat sampah, di sekitar komputernya bersih tanpa ada benda yang menganggu.
"Iya, walau akhir-akhir ini aku sudah jarang menggambar," balasnya dengan pelan.
"Begitu."
"Kamu kenapa sampai datang ke sini?" tanya Reza langsung ke intinya. Dia penasaran dengan tujuan Aira datang ke tempat tinggalnya pada pagi hari. Terlebih lagi Reza tidak ingat menerima pesan dari Aira kalau dia akan datang ke rumahnya.
"Ini, aku beli bubur ayam." Aira menyerahkan kresek yang sebelumnya ia bawa.
"Aku buka dulu." Reza pergi membawa kresek itu dan berniat untuk menyiapkan bubur untuk mereka berdua.
Sementara menunggu pacarnya, Aira merapikan sebagian tempat agar mereka bisa makan bersama. Walau tidak sampai membersihkan semua tempat setidaknya cukup untuk mereka berdua.
"Ah kamu malah jadi membersihkannya," gumam Reza sambil memberi mangkuk berisi bubur pada Aira.
"Aku memang mau melakukannya. Ayo kita makan bareng."
Mereka pun mulai menyantap sarapan sambil berbicara satu sama lain. Aira tidak membahas sesuatu mengenai Raya ataupun Rumi. Hanya obrolan biasa di antara mereka berdua.
Menikmati awal hari dengan pasangan di dalam dunia kecil mereka. Setidaknya itu yang terjadi.
"Aira."
"Ya?"
"Kamu khawatir tentang aku? Sampai datang ke sini." Reza nampaknya telah mengetahui alasan dari kedatangan Aira ke rumahnya.
Tidak ada jawaban dari sosok yang ditanya. Aira hanya terdiam sambil mengalihkan pandangannya dari Reza.
"Maaf ya, aku malah membuatmu khawatir begini."
Aira bergerak memeluk Reza dengan lembut. Dia memegang kepalanya dan menyandarkan di pundak.
"Kamu sudah cukup menderita sendirian. Sekarang kamu punya aku yang akan menemani sampai kapanpun. Tidak perlu menutupi rasa sakitmu. Aku memang bukan dirimu tapi aku bisa meradakan apa yang kamu rasakan." Aira mengelus kepala Reza dengan lembut, memperlakukannya bagaikan barang yang rapuh.
"Aira...." Reza membalas pelukan Aira dengan perlahan.
"Tidak masalah kalau kamu ingin menangis. Hanya ada aku saja di sini. Di depanku, kamu tidak perlu menjadi kuat. Tidak perlu menghadapinya sendirian lagi. Menangis itu wajar. Menangis itu bukan tanda kalau kamu lemah tapi tanda kalau kamu menunjukkan emosimu. Jadi tunjukkan saja padaku. Keluarkan saja apa yang kamu rasakan."
"Aku... bingung. Rasanya begitu menyakitkan. Kenapa aku selalu saja kehilangan orang yang berhaga bagiku?" Air mata mengalir di pipinya.
Aira diam mendengarkan curahan hati kekasihnya sambil tetap memperlakukannya dengan lemah lembut.
"Kenapa hal buruk terjadi begitu saja? kenapa hal buruk harus terjadi? Aku tidak mengerti. Aku tidak ingin kehilangan siapapun.... Aku tidak mau kehilangan dirimu."
"Aku juga tidak mau kamu menghilang dari hidupku."
"Aku tidak akan bisa menahan rasa sedihku jika kamu pergi. Temani aku selamanya."
"Iya, Sayangku. Aku selalu ada buat kamu."
"Janji?"
"Aku janji. Tidak peduli apa yang terjadi, aku ada buat kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top