22. Bertahan Hidup
Sementara itu selang beberapa waktu setelah pengakuan Sigyn, jauh di dunia Jotunheim sana, tampak Raja Thiazi sedang berjalan tertatih menggunakan tongkat. Tubuhnya membungkuk, dengan tulang yang telah membentuk punuk kecil di punggung. Sang raksasa begitu tua hingga seluruh rambut yang tumbuh di tubuhnya telah berubah menjadi putih. Penglihatan pada kedua matanya pun mulai kabur. Kecuali kemampuan sihir yang ia miliki, semua yang terlihat secara fisik telah berubah.
Namun, dengan kondisi yang seperti itu, ketika para pengawal telah menawarkan bantuan berupa kursi roda, atau bahkan digendong sekali pun, Thiazi menolak. Ia merasa masih sanggup berjalan sendiri layaknya seorang yang normal.
"Aku masih sanggup memimpin kerajaan ini hingga seratus tahun ke depan!" serunya lantang, tiap kali ada bantuan ditawarkan.
Tentu saja, para pengawalnya tidak mengiyakan hal tersebut. Jangankan seratus tahun, mereka pun tak yakin apabila sang raja bertahan sampai tahun depan. Usia Raja Thiazi mereka telah mencapai hampir dua abad. Berbeda dengan para dewa yang dapat hidup hingga ratusan tahun dan bahkan abadi, kebanyakan kaum raksasa Jotun murni hanya bertahan sebelum mencapai usia 200 tahun.
Namun, tak ada yang berani membantah. Maka, para pengawal mengekori sang raja pelan-pelan di belakang. Waktu tak berjalan cepat ketika Raja Thiazi berjalan bagai seekor siput hanya untuk sampai di ruang singgasana.
Ketika raja dan para pengawalnya melintasi koridor istana Thrymheim, satu lukisan besar tampak dalam pandangan, terpajang di dinding istana yang keseluruhannya terbuat dari es. Raja Thiazi berhenti sejenak untuk mengamati. Itu adalah lukisan dirinya saat muda, berpose bersama sang mendiang istri.
Dalam lukisan tersebut, Thiazi tampak begitu muda dan gagah. Saat itu, ia masih menjabat menjadi panglima besar, di bawah kekuasaan raja sebelumnya, Laufey, yang mati dalam medan peperangan melawan kaum Aesir.
"Ah, masa lalu tak dapat diulang ... rasanya baru kemarin aku diminta berpose untuk lukisan ini," gumam Thiazi.
Tentu saja, Thiazi sendiri merasa kalau ia sudah terlalu tua untuk memerintah. Ia bukanlah raksasa yang tidak peka pada pandangan penuh rasa kasihan, yang selalu ia dapatkan dari para Jotun di sekitarnya. Ia bahkan sudah tak bisa lagi memimpin langsung di medan perang. Namun, turun takhta merupakan hal yang akan ia pikir ratusan kali saat ini.
Jotunheim memperbolehkan seorang anak perempuan untuk diangkat menjadi ratu. Namun, itu hanya berlaku apabila anak tersebut tak memiliki saudara laki-laki dan sudah cukup umur. Thiazi tidak memiliki keturunan laki-laki yang masih hidup. Mendiang istrinya hanya melahirkan tiga anak untuknya. Putra pertama dan kedua telah mati karena perang dan sakit. Sedangkan putri ketiga ....
"Ayah!"
Dari ujung koridor yang mengarah ke taman, sang putri berlari menghampiri ayahnya. Skadi terlihat memegang sebuah mahkota yang terbuat dari untaian batu-batu es, yang telah ia sihir sendiri agar saling terikat satu sama lain.
Begitu tiba di depan Thiazi, Skadi menyodorkan mahkota buatan tangannya tersebut ke hadapan ayahnya. "Aku membuatnya sendiri! Cantik, kan?"
"Cantik sekali, Sayang. Seperti dirimu," jawab Thiazi sembari tersenyum. Raut wajah Skadi langsung cerah. Ia tersenyum semringah dengan polosnya. "Akan kupakaikan pada Ayah!"
Tak perlu susah payah bagi Skadi untuk mencapai kepala Thiazi demi meletakkan mahkota es tersebut. Tinggi tubuhnya sudah melebihi Thiazi. Skadi sejatinya adalah wanita dewasa, tetapi masih memiliki pikiran yang begitu lugu layaknya anak kecil.
"Pas sekali dengan lingkar kepala Ayah!" serunya, bangga pada diri sendiri.
"Benar. Kau sangat pintar," puji Thiazi. Ia menatap putri satu-satunya itu lekat-lekat. Skadi dibekali ilmu politik dan manajemen, ilmu etika dan juga peperangan. Secara kemampuan, ilmu Skadi tak dapat diragukan. Akan tetapi, sifatnya yang masih seperti anak kecil mengkhawatirkan sang ayah.
Skadi belum bisa diangkat menjadi ratu. Sementara aku sudah renta seperti ini, gumam Thiazi dalam hati.
"Tak ada cara lain, kecuali segera menjodohkan Tuan Putri dengan seorang pria yang berpotensi, yang dapat membimbingnya sebagai pendamping Ratu." Thiazi teringat kata penasihatnya suatu hari. Namun, ia masih berat hati untuk melakukannya.
Skadi memang sudah dewasa, tetapi belum cukup umur untuk menjadi pengantin. Apa yang harus kulakukan?
"Ada apa, Ayah?" tanya Skadi. Ayahnya tersadar dari lamunan, lalu mengembangkan senyum. "Ah, tidak. Terima kasih atas hadiah kecilmu ini. Mari, sarapan bersamaku."
Skadi dengan riang hati menggamit lengan ayahnya, menuju ruang makan istana. Jalannya begitu ringan hingga ia dapat mengayunkan langkah kaki, seperti lompat-lompat. Para pengawal yang mengekori melihat tingkah laku sang tuan putri dan geleng-geleng dibuatnya. Dan Thiazi menyadari hal itu. Sudah sejak lama, Skadi menjadi pembicaraan banyak orang.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Setidaknya, sampai Skadi cukup umur untuk bisa menikah.
Thiazi membulatkan tekad, lalu berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa memanjangkan umurnya. Kedua matanya memandangi Skadi yang duduk di ujung meja, berseberangan dengannya. Skadi menyambar sebuah apel di atas meja dan memakannya langsung dalam gigitan-gigitan kecil.
"Skadi, minta pelayan untuk mengiris apelnya terlebih dahulu," ucap Thiazi. Skadi menggeleng. "Tidak usah, aku lebih suka seperti ini, hehe."
"Nanti tanganmu kotor, Nak."
"Tidak apa! Sudahlah!" Skadi mulai cemberut. Thiazi tahu kapan saatnya untuk berhenti menasihati.
Dipandangnya Skadi dan apel di tangannya itu. Tiba-tiba, Thiazi teringat akan sesuatu.
Baiklah. Mungkin bisa dengan cara itu. Thiazi tersenyum, lalu ikut memakan apel di hadapannya dengan cara yang sama seperti Skadi.
"Enak juga memakan apel langsung seperti ini," kata Thiazi, sembari menggigit kecil apelnya. Skadi tertawa melihat ayahnya mengikuti caranya.
***
"Jadi, setelah mengetahui kemampuanmu itu, apa yang harus kulakukan sekarang?"
Pagi ini di Asgard, pasangan Loki - Sigyn juga tengah menikmati sarapan mereka. Di atas meja makan, tersedia beberapa ekor salmon dan lembaran roti gandum, serta sayur-mayur segar sebagai salad.
Setelah kejadian sebelumnya, Loki jadi sering bertanya pada Sigyn mengenai seperti apa dia dan hubungannya dengan Sigyn di masa lalu. Sigyn enggan menceritakan, tetapi Loki berdalih. "Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti dulu," kata Loki saat itu.
Sayangnya, tidak semua kejadian bisa Sigyn ingat. Beberapa kejadian kecil yang Sigyn tak terlibat di dalamnya akan sulit diingat. Bila sudah begitu, Sigyn hanya bisa selalu mengingatkan Loki untuk berhati-hati dalam mengambil segala tindakan, serta selalu berpikir matang dalam memutuskan sesuatu.
Kini, Loki telah mengetahui semuanya. Termasuk akhir hidup mereka berdua, serta kedua anak mereka yang mengenaskan. Loki pun gelisah. Ia ingin keluarga kecilnya itu bisa bertahan hidup lebih lama dengan damai.
"Aku pun tidak tahu. Yang jelas, kau harus bisa lebih kuat dari siapa pun yang berpotensi mencelakakan kita. Kau harus bisa lebih kuat dari Thor."
Permintaan yang sulit. Thor terkenal karena kekuatannya, sementara Loki karena kecerdikannya. Loki mengangkat sebelah alisnya. Ia kebingungan. "Dalam hal fisik, maksudmu? Sudah jelas aku akan kalah!"
Sigyn menghentikan kegiatan menyuap makan, dan berpikir keras. "Mungkin ... dengan kekuatan sihirmu? Thor tidak dapat mengubah wujud benda atau makhluk sepertimu, benar?"
Loki mengangguk. "Benar. Dan tak banyak yang memiliki kemampuan sihir seperti ini."
Wajah Sigyn langsung berubah. "Aha! Itu dia! Aku belum tahu bagaimana, tapi aku yakin, di saat kejadian naas itu mendekat, kemampuan pengubah wujudmu itu akan sangat membantu kita. Suamiku, sebaiknya kau mengasahnya!"
***
Baca lebih cepat di Karyakarsa.com/ryby seharga Rp. 1000/bab, sudah TAMAT!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top