1. Hukuman Loki
"Pergilah! Untuk apa kamu masih bertahan di sini!!"
Loki berteriak dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Sang dewa pada akhirnya menanggung hukuman dari semua kelicikan yang telah ia perbuat selama ini. Manipulasi yang ia lakukan pada Hod untuk membunuh Balder membuatnya diincar oleh para dewa, dan berakhir terikat di dalam gua yang dingin nan lembap.
Bukan hanya Loki seorang, kedua putranya pun ikut menanggung beban. Para dewa kaum Aesir mengubah Vali menjadi seekor serigala dan seketika itu pula ia menyerang saudaranya, Nari. Vali yang tidak sadarkan diri menyerang Nari secara bengis, merobeknya sampai ke tulang. Dengan isi perut Nari itulah, para dewa mengikat Loki. Tubuhnya ditelentangkan dengan posisi wajah tepat di bawah ular raksasa yang menggantung dengan mulut menganga, meneteskan bisa tepat ke wajah.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu! Tidak akan!"
Betapa setianya Sigyn, istri Loki yang selama ini penurut dan pendiam itu. Bahkan sampai menjelang Loki sekarat, Sigyn tetap setia, menampung bisa ular yang terus menetes di atas wajah suaminya. Sang dewi mewadahi cairan tersebut dengan sebuah mangkuk. Ia mengangkat mangkuknya hingga berada di atas wajah Loki, agar tidak terkena tetesannya. Sigyn bahkan mengorbankan kedua tangannya sendiri karena terkena cipratan-cipratan kecil dari bisa tersebut.
Namun, tentu saja mangkuk di tangan Sigyn memiliki kapasitas. Bisa ular raksasa telah memenuhi volume hingga mencapai bibir mangkuk. Sigyn tak dapat lagi menampung tetesan dengan baik. Tak dapat terelakkan, wajah Loki pun akhirnya terbakar karena saking ganasnya racun yang terkandung dalam cairan tersebut.
"Larilah ... kumohon ... sejauh mungkin dari Asgard ...."
Usai mengucapkan kalimat permintaan tersebut, Loki mengembuskan napas terakhirnya.
Tak ada lagi yang dapat dilakukan oleh Sigyn. Air matanya mengalir deras tanpa suara. Ia memandang ke sekeliling gua. Ia menatap kedua mata ular raksasa yang membunuh suaminya. Ular tersebut mulai turun ke bawah, menggerayangi badan Loki.
Kini semuanya telah tiada. Suami dan kedua anaknya telah dibinasakan. Sigyn tahu, Loki memang telah berbuat kejahatan. Seumur hidup, Loki memang seperti itu, selalu berbuat kelicikan, entah karena apa alasannya.
Selama ini, Sigyn selalu setia mendampingi tanpa banyak bicara dan protes. Ia hanya berusaha menjadi istri yang penurut, juga ibu yang baik bagi kedua putranya. Saat Loki mendapat hukuman, jauh di lubuk hati paling dalam Sigyn merasa bahwa Loki pantas mendapatkan hukuman.
Akan tetapi, begitu melihat Vali dan Nari juga dilibatkan, Sigyn mulai mempertanyakan kebenaran.
Mengapa kedua putraku juga harus ikut dihukum? Apakah kesalahan mereka? Apa hanya karena mereka berdua adalah putra Loki? Kenapa kaum Aesir begitu kejam?
Air mata Sigyn tak dapat mengering, meski ia berlari keluar gua, menembus tiupan angin kencang. Tiap teriakan kesakitan Loki sebelumnya mengundang guncangan dan awan mendung. Saat Sigyn keluar, udara Asgard yang biasanya dipenuhi kehangatan, mulai mengembuskan angin dingin. Beginilah yang terjadi ketika salah satu dewa terpenting Asgard tiada.
Sigyn berlari dan terus berlari. Ia tak tahu harus pergi ke mana. Loki berpesan agar ia pergi dari Asgard. Tapi, ke mana?
Sigyn tak tahu. Ia tak dapat berpikir jernih. salah satu jalur keluar dari Asgard adalah jembatan pelangi Bifrost, yang membentang dari Asgard sampai Midgard. Begitu sampai di gerbang Asgard, nyala Bifrost menyambut langkah kaki Sigyn, berkilau dalam tiga warna.
Sigyn tak menaiki kuda atau kendaraan apa pun. Ia hanya berlari. Berlari. Kulit di kedua tangannya mulai mengelupas. Racun yang sama yang telah menggerogoti wajah suaminya kini juga menyerang tangan lembut sang dewi.
Sigyn tiba di Midgard. Bila ia terus turun, ia akan sampai ke Jotunheim, tempat asal-usul ayahnya yang raksasa. Wajah Sigyn yang jelita menurun dari ibunya yang seorang dewi. Selama ini, ia merasa sebagai bagian seutuhnya dari kaum Aesir, kaumnya para dewa yang tinggal di Asgard. Wajah-wajah rupawan dimiliki oleh para dewa-dewi, mewarnai seluruh Asgard. Terkadang Sigyn lupa, kalau setengah dirinya berasal dari Jotunheim, tempat tinggal para raksasa.
Haruskah aku pergi ke sana? tanya Sigyn dalam hati.
Sigyn bimbang, larinya berubah menjadi langkah pelan kebingungan. Ia tak pernah pergi di Jotunheim sebelumnya. Ia tak pernah mengenal betul sosok ayahnya. Selama ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Asgard adalah satu-satunya rumah yang ia tahu.
Selagi melangkah tanpa tujuan, para penghuni Midgard memandanginya keheranan. Suasana Midgard tak jauh berbeda dengan Asgard, hanya saja wilayah ini dihuni oleh manusia biasa, bukan entitas yang memiliki kekuatan magis lebih seperti dewa. Lingkungannya pun hampir serupa, hanya saja di Midgard memiliki dua sampai empat musim berbeda.
"Ah, bukankah itu Dewi Sigyn?"
Manusia-manusia itu menatap ke arah Sigyn yang berjalan tak tentu arah, dengan kedua tangan yang kulitnya mulai menghitam dan membusuk. Dewa-dewi memiliki aura yang bercahaya dibanding manusia biasa. Itu sebabnya penghuni Midgard langsung mengetahui bahwa Sigyn adalah seorang dewi, meski sebagian besar dari mereka tak begitu yakin ia dewi yang melambangkan apa. Sigyn memang tak terlalu dikenal oleh masyarakat Midgard, tak seperti Loki.
Sigyn terus berjalan, hingga akhirnya ia sampai pada akar pohon Yggdrasil. Itulah pohon ash termulia di dunia ini, dan menjadi pusat serta penopang kesembilan dunia yang akarnya melewati Midgard, menjulur sampai dunia kesembilan yakni Muspell. Dan di inti akarnya inilah, terlihat tiga raksasa perempuan tengah merawat keberlangsungan hidup Yggdrasil.
Itukah Norn, yang merawat dan menyirami akar pohon Yggdrasil?
Sigyn bertanya dalam hati, tak pernah melihat dari dekat makhluk bernama Norn tersebut. Tiga raksasa Norn yang berwajah cantik, adalah makhluk yang menguasai takdir manusia. Mereka bertanggung jawab atas tiap kelahiran dan kehidupan seorang anak manusia. Urd, Verdandi, dan Skuld adalah nama-namanya. Setiap hari, mereka menyirami pohon Yggdrasil dengan air paling murni dari sumur mulia bernama Takdir. Mereka juga yang memutihkan kulit akar dengan tanah liat dari mata air tersebut, menjadikan Yggdrasil masih berdiri kokoh hingga kini.
"Kalianlah yang mengatur takdir manusia. Apakah kalian juga bisa berbuat sesuatu pada takdir dewi?"
Pertanyaan itu tercetus begitu saja dari mulut Sigyn. Sang dewi berjalan mendekat pada akar pohon pusat semesta. Para Norn tidak menggubris pertanyaan Sigyn. Mereka bahkan tidak pernah bicara pada siapa pun, Sigyn tahu hal itu. Ia pun juga tidak begitu berharap mereka dapat menyelesaikan masalah dari makhluk yang bukan manusia.
Sigyn hanya ingin berbicara, dengan siapa saja, selagi menunggu bisa ular makin menggerogoti anggota tubuhnya yang lain.
"Mengapa semua jadi begini? Adakah salah yang telah kulakukan sampai jadi seperti ini?"
Sigyn tak tahan lagi. Kedua kakinya roboh, bersimpuh di hadapan akar Yggdrasil, meratapi nasib malangnya. Tangannya yang membusuk terjatuh bertumpu pada tanah, ngilu tak terkira menahan beban tubuh yang tak lagi mampu menjalani hidup.
"Putra-putraku ... Vali, Nari ... mereka tak bersalah ... maafkan Ibu, Nak .... maaf ...."
Ratapan Sigyn terdengar menyayat hati. Para Norn tetap tak peduli ... kecuali satu.
"Jangan mengotori akar dengan tangisanmu." Verdandi menanggapi dengan nada yang datar. Ia hanya ingin kerja kerasnya tak sia-sia hari itu. Namun, yang terjadi berikutnya adalah bentakan dari Sigyn.
"Bahkan menangis saja aku pun sudah tidak boleh?! Yggdrasil tidak akan mati membusuk hanya karena terkena satu atau dua tetesan air mataku!"
"Memang tidak, tapi aura negatifmu mempengaruhi pertumbuhan daun mudanya." Verdandi menunjuk pada sehelai daun yang tumbuh di ranting tak jauh dari mereka berdiri. "Lihat, mulai menguning."
"Lalu, apa yang harus kulakukan! Aku hanya menunggu mati, menyusul suami dan anak-anakku! Aku---"
Belum sempat Sigyn merampungkan kalimatnya, Verdandi telah memberinya setangkup air bening di tangan. Verdandi menyodorkannya begitu saja, tanpa wadah apa pun yang layak.
"Mungkin ini bisa membantumu."
"Ini ... apa?" tanya Sigyn kebingungan. Baru kali ini ia melihat air Takdir dari begitu dekat. Saking jernihnya, air tersebut tak terlihat sama sekali, bila tak sesekali Verdandi menggoyang tangannya agar tetap memunculkan riak.
"Air kehidupan. Memberi efek yang begitu besar pada manusia, tetapi belum tentu pada dewi. Namun, tak ada salahnya mencoba, jika kau ingin."
Verdandi tetap menatap Sigyn dengan pandangan yang sangat datar. Ketiga Norn memang tak pernah mengeluarkan ekspresi apa pun sama sekali. Sigyn jadi tidak bisa menebak apakah Verdandi sungguh-sungguh atau tidak.
"Efek yang seperti apa?" tanya Sigyn lagi. Verdandi hanya diam, tak menjawab.
Sigyn jadi ragu. Ia menimbang-nimbang. Sesaat kemudian, ia heran sendiri. Kenapa aku harus ragu? Tak ada lagi yang dapat membuatku bertahan di sini.
Sigyn mengangguk, memberi isyarat pada Verdandi. Sang raksasa cantik itu mengangkat tangannya, hendak mengalirkan air Takdir langsung ke dalam mulut Sigyn yang mendongak. Beberapa tegukan dilakukan oleh sang dewi. Tak terjadi apa pun saat air itu habis dari telapak Verdandi. Tak ada apa pun, sampai akhirnya lima menit kemudian, Sigyn terjatuh tak sadarkan diri di hadapan pohon Yggdrasil. Lalu, tubuhnya menghilang bagai ditelan udara.
Urd dan Skuld menyaksikan semua itu. Mereka berdua tak bertanya apa pun. Verdandi juga tidak menjelaskan sepatah kata pun. Mereka bertiga kembali bekerja merawat akar Yggdrasil, seolah tak terjadi apa-apa yang berarti.
***
"Sigyn! Apa kau sudah bersiap-siap, Nak?"
Sigyn mengerjapkan kedua matanya. Kepalanya terasa begitu berat.
Ini di mana?
"Ya ampun, kenapa masih tidur? Ini adalah hari yang penting! Ayo bangun!"
"Ibu??"
Sigyn terlonjak kaget. Ia langsung duduk di kasur tempatnya berada sekarang. Sinar matahari masuk melalui jendela yang dibuka oleh ibunya. Gadis itu memandang ke sekeliling. Ia tak lagi berada di depan Yggdrasil. Ia bahkan tak lagi berada di Midgard.
Sigyn telah berada di kamarnya sendiri, kamar yang ia tinggalkan setelah menikahi Loki, sepuluh tahun silam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top