Lokapedia Chapter 19

Blitar
Blitar adalah sebuah wilayah kota dan kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang. Wilayah ini dahulu bukan bernama Blitar namun lebih lazim disebut Kali Aksa atau Kali Lekso. Wilayah ini sejak lama berperan sebagai jalur penghubung antara dua kerajaan besar yakni Panjalu (yang kemudian berevolusi menjadi Kerajaan Kadiri) dan Janggala (atau Hujung Galuh) yang berpusat di Kahuripan/Sidoarjo. Kala Kediri menjadi kerajaan bawahan Singosari, jalur Kali Aksa masih lazim digunakan sebagai jalur dagang dan transportasi. Karena banyak perdagangan maka wilayah ini makin makmur dan kemudian dijadikan tempat bermukim para rohaniwan sehingga lama-lama dibangun berbagai macam candi di wilayah ini.

Nama Blitar sendiri menurut cerita tutur baru muncul di era Majapahit akhir kala Raja Majapahit memerintahkan seorang panglima perang bernama Nilasuwarna, anak Adipaati Tuban, menuju ke daerah Kali Aksa untuk memberangus gerombolan Orang Tartar atau Mongol, sisa dari pasukan Kubilai Khan yang dahulu kalah melawan pasukan Raden Wijaya, dan sekarang menjadi perampok di wilayah Jawa Timur bagian selatan.

Sesudah berhasil memberangus para perampok itu, Nilasuwarna diangkat menjadi kepala wilayah di daerah Kali Aksa dan Palah kemudian menyebut wilayah kekuasaannya sebagai Balitar, singkatan dari Bali Tartar atau Orang Tartar yang kembali. Gelarnya semasa memerintah adalah Adipati Ariyo Balitar I.

Pada masa pemerintahan Demak sampai Mataram Islam Balitar adalah wilayah merdeka atau semi otonom sampai kemudian Amangkurat I dari Mataram menyerahkan Balitar kepada Belanda sebagai wilayah hadiah karena Belanda berhasil membantunya memadamkan berbagai pemberontakan. Di bawah Belanda, Balitar adalah wilayah di bawah Karesidenan Kediri.

Pada era kemerdekaan, kabupaten Blitar dipulihkan dan setelah Ir. Soekarno mangkat, pemerintahan Orde Baru memakamkan Soekarno di Blitar bersama dengan kedua orangtua dari proklamator tersebut.


Candi Penataran

Salah satu candi yang dibangun di wilayah Blitar ini adalah Candi Batara Palah atau kita lebih mengenalnya sebagai Candi Penataran. Candi ini fungsinya kurang lebih sama seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah yakni sebagai candi utama kerajaan. Pembangunannya diawali oleh Kerajaan Kadiri kemudian diteruskan oleh raja-raja Singosari dan Majapahit.

Candi Penataran atau Candi Palah ini dibangun dengan maksud untuk menangkal atau menghindar dari mara bahaya akibat Gunung Kelud yang sering meletus dan merusak kawasan pemukiman dan pertanian. Candi Penataran juga merupakan salah satu kompleks candi 

terbesar di Jawa Timur yang mana terdiri atas tiga candi dengan aneka relief yang khas.

Candi Candra Sengkala

Salah satu candi di kompleks ini yakni Candi Candra Sengkala dijadikan lambang bagi TNI AD Cabang Jawa Timur yakni Komando Daerah Militer V/Brawijaya



Desa Modangan

Desa ini terletak di timur Candi Penataran. Meski namanya kurang terdengar namun desa ini kaya akan potensi perkebunan. Sebagian besar penduduk di sini adalah petani baik petani sawah, ladang, atau perkebunan. Setiap dusun memiliki perkebunan khasnya sendiri misalnya di Karanganyar Barat tempat Panji tinggal kebunnya rata-rata adalah kebun kakao dan di Karanganyar Timur ada kebun kopi serta durian dan melon.


Karena letaknya 500 mdpl dan berada di kaki Gunung Kelud, desa ini sangat subur dan sejuk lengkap dengan segala pesona mistisnya. Penulis pribadi terinspirasi menulis cerita Lokapala ketika KKN di desa ini. Desa ini memang tidak seseram di desa dalam KKN Di Desa Penari tapi ya lumayan juga buat uji nyali bagi orang luar desa :D.


Arca Warak

Di tengah Desa Modangan ada sebuah situs purbakala yang disebut Situs Arca Warak. Situs ini diduga merupakan tempat peribadatan bagi para rohaniwan sebelum melakukan prosesi ibadah utama di Candi Penataran. Saat ini situs ini menampung aneka rupa batu candi yang tak lagi utuh.

Meski disebut Warak (badak), sebenarnya tidak ada satupun arcanya yang berbentuk badak. Yang ada malah Arca Dwarapala dua buah (satu tidak selesai) dan satu Arca Liman (gajah) yang sekaligus merupakan Dwarajala (bagian dari saluran pipa air masa kerajaan). Meski begitu nama Arca Warak sudah merupakan nama asli situs ini sejak masa silam.

Arca gajah yang sering disangka badak


Saur Sengguruh

Patih dari Adipati Ariyo Balitar I yang bernama Sengguruh sering cek-cok dengan Sang Adipati. Percekcokan ini konon dilatarbelakangi oleh perasaan iri Sang Patih kepada Sang Adipati karena sejatinya Sang Patih adalah kakak dari Adipati Ariyo Balitar sendiri. Pada masa itu jika seorang anak sulung atau anak yang lebih tua dilangkahi sebagai Adipati atau Raja maka biasanya anak sulung itu akan jadi bahan olok-olokan karena dianggap bodoh atau tidak kompeten.

Singkat cerita Sengguruh membunuh adiknya sendiri, menyingkirkan keponakannya yang harusnya menjadi pewaris tahta dan mengambil gelar Adipati Ariyo Balitar II. Di masa mendatang Sengguruh kemudian dibunuh oleh keponakannya dan kemudian malah dimakamkan di daerah Pundensari, Tulungagung, alih-alih di Blitar. Bentuk makamnya yang merupakan makam corak Islam zaman Demak mengindikasikan jika Sengguruh adalah seorang Muslim sehingga menimbulkan teori bahwa dia dilangkahi sebagai Adipati Balitar karena dia muallaf atau Islam sejak kecil, atau teori lain menduga-duga bahwa Sengguruh gagal mempertahankan kekuasaannya kala itu karena wilayah Balitar pada masa itu adalah mayoritas Hindu sementara dirinya sendiri yang Muslim agak sulit mempertahankan dukungan dari masyarakat yang ia perintah.

Apapun yang terjadi saat ini banyak orang berziarah ke Makam Sengguruh yang lazim dipanggil Ki Ageng Sengguruh. Prosesi ziarah ini disebut masyarakat setempat sebagai Saur Sengguruh. Tentu saja ada saja orang seperti Imran Jajuli yang lakukan Saur Sengguruh untuk tujuan yang tidak-tidak namun perlu dicatat tidak semua peziarah datang dengan maksud seperti itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top