BAB 4 : TERCERAI BERAI

Empat jam kemudian keenam muda-mudi itu kembali berjalan ke arah utara. Tubuh mereka penat dan lelah namun selagi pemburu mereka masih dalam keadaan lumpuh maka ada baiknya mereka bergegas. Hutan rimba yang mereka lalui kini semakin rapat, pepohonannya makin tinggi dan jalan setapak tak lagi nampak karena dipenuhi semak belukar dan alang-alang. Sesekali bahkan mereka mendapat kejutan dengan adanya lubang di bawah semak belukar itu sehingga Panji berinisiatif memotong sejumlah dahan pohon untuk dijadikan tongkat. Selain sebagai alat bantu jalan guna mengurangi beban bagi kaki yang sudah pegal dan melepuh, juga sebagai pendeteksi lubang atau mungkin jurang kecil yang tertutup semak-semak.

Selang empat jam berjalan akhirnya Panji dan kawan-kawannya menemukan air terjun kecil berair jernih yang membentuk suatu kolam kecil serta sungai kecil di bawahnya. Suasana hutan tropis yang sumuk membuat keenam muda-mudi itu saling pandang, berharap komandan mereka mau memutuskan untuk beristirahat sejenak di tempat ini.

Setelah berpikir sejenak, Panji pun memutuskan untuk beristirahat di tempat ini selama satu jam. Tapi Regina dan Nara punya pikiran lain selain untuk istirahat.

"Panji, boleh kita mandi juga di sini?" tanya Nara.

"Hah?!!!" Panji tahu bahwa mereka sedari kemarin memang belum mandi, dalam latihan hell week seperti ini buat apa juga mandi? Nanti juga kehujanan, masuk lumpur, atau jatuh berguling-guling di rerumputan. Hal lain yang perlu dipikirkan juga adalah ... ini dua cewek apa nggak mikir kalau empat rekannya masih remaja tanggung? Siapa juga yang bisa jamin mereka tidak punya pikiran macam-macam jika ada cewek mandi di sini?

"Panji, tolong dong!" Regina sekarang juga ikut-ikutan menghiba, "Aku sebenarnya sedang datang bulan dari kemarin jadi kalau nggak mandi rasanya nggak nyaman banget."

"Okeeeee, mandi langsung berdua ya dan jangan lebih dari 15 menit! Oke?!"

"Oke!" tiba-tiba saja dua cewek itu tersenyum sangat manis kepadanya.

"Busyet!" begitu gumam Panji, "Padahal Regina itu kalau di sekolah nggak pernah-pernahnya senyum kayak gitu!"

"Andi, Ignas, Sitanggang, kalau mau ambil air di air terjun lekas lakukan lalu habis itu kita harus menjauhi area terjun untuk sementara!"

"Memangnya ada apa Panji?" tanya Ignas.

"Pokoknya patuh saja!"

******

Sementara tak seberapa jauh dari sana, Temaram yang sudah berhasil bebas dari mantra hadatuon milik Sitanggang – meski belum 12 jam – cepat-cepat menyusul rombongan Panji dan beruntung karena Sitanggang tadi mengambil tas perbekalannya ia jadi lebih mudah mengejar mereka sebab di tasnya ada pemancar yang terhubung dengan visor zirahnya.

Temaram hanya tinggal beberapa kilometer lagi mencapai posisi Panji ketika ia mendapati sesuatu yang aneh kala mengamati dari kejauhan. Empat anak cowok di tim itu tanpa duduk berjongkok menatap satu arah dan memunggungi air terjun sementara di air terjun itu ...

"Dewa Ratu!" Temaram cepat-cepat mematikan seluruh sambungan komunikasinya dengan markas ketika mendapati bahwa di bawah air terjun itu ia melihat pemandangan idaman banyak lelaki.

******

"Temaram! Temaram! Ada apa?" dari sebuah mobil van tempat para pelatih Unit Lima mengontrol pergerakan para Lokapala, Mayor Pusaka tampak kebingungan karena visual dari Temaram tiba-tiba lenyap.

"Coba terbangkan drone! Cek keberadaan Temaram dari udara !" ujar Pusaka pada salah satu anak buahnya.

"Tidak perlu seperti itu, Mayor," ujar Romo Pandita Mukayat yang sedang duduk santai di samping Pusaka, "Temaram dan Lokapala tidak apa-apa, dia hanya ... aaaahhh menikmati surga dunia."

******

Dengan kemampuan binokular miliknya melakukan perbesaran sampai 50x, sebenarnya bukan halangan berarti bagi Temaram jika ia ingin menyaksikan aksi dua cewek terpopuler di Akademi Kumala Santika itu mandi di alam terbuka. Tapi batinnya bergejolak, rasanya seperti ada malaikat dan setan yang saling bisik-berbisik di kedua telinganya secara bersamaan, membuatnya gamang untuk berbuat dosa atau tidak. Pada akhirnya Temaram lebih memilih untuk duduk diam dan menunggu sampai Nara dan Regina tampak memasuki rerimbunan semak, tampaknya untuk berganti pakaian.

Setelah dua cewek itu keluar dengan mengenakan kaus loreng ala militer dan celana ¾ lutut, Temaram baru merasa aman untuk membuka komunikasi dengan Unit Lima.

"Temaram masuk! Mohon maaf Mayor! Ada ... pemandangan yang tidak layak ditayangkan tadi!"

"Kopral ... kamu ... tidak mengintip mereka berdua mandi kan?" tanya Pusaka dari seberang sana.

"Silahkan rajam saya rame-rame kalau sampai saya ketahuan mengintip mereka berdua Mayor!"

"Yah, baguslah ... tidak ada rekaman yang tersisa di visormu kan?"

"Tidak Mayor!"

"Lanjutkan skenario latihan Temaram!"

"Baik!" Temaram langsung mengambil senapan laras panjangnya yang ia sampirkan di punggung lalu mengarahkan larasnya ke arah Panji dan ketika pelatuk itu ditekan sebuah peluru jarum melesat dari senapan Temaram.

Jarum itu menancap tepat di leher Panji, remaja itu tak sempat mengelak, ketika jarum itu ia cabut pun semuanya sudah terlambat. Panji terhuyung, kepalanya berputar, dan ia sama sekali tak mampu mendengar apa yang rekan-rekannya katakan. Ignas dan Andi membawanya berlindung di balik sebuah batu besar namun Temaram langsung melancarkan aksi tembakan peluru tajam ke arah batu besar itu.

"Sersan Mayor Panji kena!" seru Andi.

"Berlindung! Sampai peluru dia habis!" seru Regina.

Tapi kejutan, ternyata yang menyerang mereka bukan hanya senapan milik Temaram tapi juga dua buah meriam turet yang ditancapkan pada sebuah drone. Dengan antarmuka hologram pada lengannya, Temaram mengendalikan drone itu untuk terus menghujani para Lokapala dengan tembakan.

"Bagaimana sekarang?" tanya Ignas yang sudah mulai jeri karena tembakan dari drone itu benar-benar tampak serius.

"Lari! Lari! Lari terus ke dalam hutan!" seru Regina.

"Ah! Tas bekal kita!" pekik Sitanggang.

"Tinggalkan! Sudah! Yang penting kita sudah bawa ini!" Regina menunjukkan sebuah kompas dan dua botol minum.

Begitu para Lokapala itu melarikan diri ke dalam hutan, Temaram melompat turun dari atas bukit itu dan memunguti ransel para Lokapala yang tertinggal karena serangan tadi. Setelah memeriksa semua ransel rampasan itu, ia menyadari dua hal. Pertama, semua ransel para Lokapala tadi sekarang ada di tangannya. Berita buruknya, ranselnya malah masih dibawa oleh para Lokapala itu dan entah kenapa pemancarnya tak lagi berfungsi.

******

Regina adalah wakil komandan Lokapala, jadi jika Panji tiba-tiba tak bisa bertugas adalah tugas Regina untuk menggantikan posisi Panji. Ia dan Panji menjalani pelatihan yang sedikit berbeda dari Lokapala yang lain. Mereka berdua dilatih soal strategi perang, strategi melarikan diri, negosiasi, dan juga beberapa latihan lain yang umumnya disiapkan bagi seorang perwira TNI. Tapi jujur saja Regina merasa agak tidak percaya diri bisa membawa tim ini keluar dari rimba. Serangan dadakan Temaram tadi juga ia rasakan sebagian adalah salahnya sebab ia tadi memaksa Panji membiarkan dirinya dan Nara mandi di air terjun, akibatnya para Lokapala yang lain jadi tidak bisa berkonsentrasi menjaga perimeter demi menjaga privasi mereka berdua. Sekarang perbekalan mereka nyaris lenyap, hanya sisa satu ransel yang itupun sebenarnya milik pemburu mereka. Panji tampaknya membutuhkan pertolongan medis atas apapun yang mengenainya tadi, tapi karena pemburu mereka masih dekat, hal itu membuat Regina ragu untuk berhenti.

"Berpencar!" begitu Regina memberi perintah, "Ignas dan Sitanggang ke arah barat! Saya, Panji, Nara dan Andi ke arah timur! Kita kacaukan pemburu kita!"

Sementara itu Temaram memutuskan untuk membiarkan enam buruannya untuk mengambil nafas sejenak. Ia memanggil sejumlah drone untuk mengangkut ransel para Lokapala itu dan berjalan menuju arah utara, menuju pos 3 di mana ia akan menunggu para buruannya.

******

Regina mendapati bahwa Panji tampaknya diracuni oleh semacam neurotoxin atau racun yang melumpuhkan syaraf. Tangan dan kaki pemuda itu kaku, keringatnya bercucuran deras, dan celakanya Regina sama sekali tidak punya obat sama sekali. Tadinya ia membawa Nara bersamanya karena ia pikir Nara bisa menemukan tumbuhan obat di sekitar sini namun harapannya pupus ketika Nara kembali dengan tangan kosong setelah mencoba mencari ke sejumlah penjuru. Persediaan makanan mereka jika dibagi mereka berempat hanya akan cukup untuk sehari semalam, itu artinya mereka besok harus bisa berburu atau mengumpulkan buah.

Regina nyaris putus asa menghadapi kondisi ini tapi malam itu Regina dapati langkah beberapa orang mendekat ke kamp darurat mereka.

"Nara! Matikan apinya!" begitu Regina memberi perintah.

Nara menurut, mematikan api, lalu menyuruh Andi menjaga Panji yang masih mengigau karena demam sebelum mendekat ke arah Regina untuk membantu Regina menyergap tamu tak diundang.

"Reginaa," terdengar suara yang akrab di telinga Regina. Itu suara Ignas dan Sitanggang!

"Kami bawa buruan nih!" sambung Sitanggang

"Wow! Kalian ... kalian bagaimana bisa temukan kami?"

Ignas lalu menjelaskan bahwa ketika Regina menyuruh mereka berpencar, Sitanggang bernisiatif untuk mengajak Ignas menunggu dahulu. Dan perkiraan Sitanggang benar, Temaram tidak mengejar mereka melainkan hanya mengumpulkan ransel mereka dan kemudian pergi.

"Itu berarti Temaram hanya menyerang kita untuk menimbulkan kepanikan! Dia hanya sendirian dan rekan-rekannya hanya drone!" begitu Regina berpendapat ketika usai mendengar penjelasan Ignas dan Sitanggang.

"Tapi jika dia diminta tangkap satu dari kita berarti dia hanya mengincar satu orang kan?" Andi ikut menimbrung.

"Iya sih tapi meninggalkan teman itu bukan cara kita. Tak ada yang boleh tertinggal, meski seorang sekalipun!" ujar Sitanggang.

"Tinggalkan saja saya ....," Panji berujar lirih.

"Panji! Jangan bicara dulu!" Regina menghampiri Panji dan mengganti kain kompresnya yang sudah kering.

"Dengar!" Panji mencengkeram tangan Regina, "Dalam kondisi ini jika saya yang tertangkap maka saya seorang yang tanggung hukuman tapi jika yang tertangkap anggota lain semuanya kena!"

"Jangan ko sok jadi pahlawan!" ujar Ignas, "Ah! Sekarang ada masalah lebih penting. Hewan yang sa dapat hanya tupai satu dan babi hutan satu. Tupai hanya bisa kasih makang satu orang semata. Jadi siapa berani makan babi hutan?"

Nara dan Regina yang bukan Muslim langsung mengangkat tangannya dan di luar dugaan mereka, Sitanggang turut mengangkat tangannya juga, "Biar aku yang tanggung dosa makan babi, tupai bisa buat Pratu Andi dan ransumnya untuk Panji."

******

Hutan Rimba AJ, 12.00 WITA

Temaram sudah menunggu di pos 3 cukup lama. Mungkin sekitar 5 jam. Aneka jebakan sudah ia siapkan di sekeliling pos 3 tapi sampai hari sudah siang enam Lokapala itu belum muncul juga.

"Aneh," Temaram membatin, "Padahal jarak antara air terjun dan pos 3 hanya 4 kilometer! Masa sih mereka tersesat?"

"Sudah sesiang ini dan mereka tak muncul juga. Jika bukan tersesat apa mungkin mereka memakai jalur lain, Kopral?" dari seberang sana terdengar suara seorang prajurit zeni Unit Lima mengemukakan pendapatnya.

"Celaka!" Temaram terhenyak begitu mengetahui ada kemungkinan mereka lolos dari pengawasannya. Ia memang ingin para Lokapala ini lulus dari hell week tapi ia juga tidak mau kena sanksi karena lalai mengantisipasi musuh yang lolos dari pengawasannya. Tugasnya di sini adalah menghambat para Lokapala semaksimal mungkin, di hutan ini dia dan para Lokapala adalah musuh. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top