Bab 21.5 : Pengungkapan

Rig Mustika Samudra, Kalimantan Timur, 6.30 WITA

Adeo da Silva dahulu pandai berenang namun sejak mendapatkan tubuh Haman Pardidu ini ia sama sekali tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya seleluasa dulu. Seluruh anggota tubuhnya terasa lebih kaku daripada biasanya. Karena itu alih-alih berenang menuju rig yang menjadi tujuannya, Adeo terpaksa berjalan di dasar lautan. Untungnya ia tak lagi perlu menghirup oksigen seperti manusia biasa dan tungku api di kepalanya tetap menyala membara meski dikelilingi air laut. Adeo berusaha mempercepat jalannya namun tekanan air semakin naik seiring makin dalamnya lautan yang ia pijak. Adeo tahu ia harus bergerak cepat jika tak ingin Halayudha mengingatkannya lagi soal target bunuhnya.

Adeo kini hanya tinggal sekilometer lagi dari Rig Mustika Samudra yang menjadi tujuannya. Rencananya ia akan meledakkan rig tersebut beserta 20 pekerjanya dan setelah itu ia harus mencari target lainnya. Tengah-tengah ia berjalan, tiba-tiba di kepalanya ia dengar suara Dyah Halayudha mengontaknya secara batin.

"Aku lupa memberitahumu Adeo, jika kamu tak menyetor minimal 15 nyawa dalam sehari maka tungku di atas kepalamu akan mati dan jika tungku itu mati maka kamu akan mati!"

"Apa?" Adeo terhenyak.

"Jadi jangan lupa target bunuhmu hari ini masih kurang 15! Jika tak setor nyawa sejumlah itu sampai pukul 12 siang nanti ucapkan selamat tinggal pada dunia!" ujar Mahapati lagi sebelum suaranya hilang.

"Ah! Bangsat sekali Bapa yang satu itu!"

Tapi kesialan Adeo belum selesai sampai di situ. Tiba-tiba saja ia sudah dihantam sebuah misil yang membuatnya terlontar sejauh beberapa meter dari tempat berpijaknya barusan. Belum cukup sampai di situ, ia juga mendapatkan sabetan parang dari seorang yang ia lihat memakai baju zirah putih berkali-kali hingga tubuhnya penuh bekas gores, namun lukanya tak dalam, hantaman misil itu hanya meninggalkan bekas hitam di bahunya sementara sabetan- sabetan parang itu hanya meninggalkan luka lecet yang dangkal.

******

Regina yang sudah terjun ke dalam laut guna membantu Andi memang sudah menduga bahwa kroda ini takkan bisa dikalahkan dengan satu sabetan semata. Tapi satu hal yang membuat Regina merasa tidak nyaman dengan kroda yang satu ini adalah kemiripannya dengan sosok yang rasanya ia kenal.

Karena itu ia langsung memfokuskan lensa visornya kepada bagian muka dan postur tubuh kroda itu kemudian mengirimkannya ke markas untuk dicocokan dengan database Unit Lima. Tapi Ina Saar merasakan pula apa yang dirasakan Regina. Usana wanita itu lantas berkata, "Kroda ini mirip sangat dengan Adeo da Silva. Tapi bisa jadi dugaanku salah, coba cek ulang di Unit Lima!"

Pencocokan database itu tak makan waktu lama, hasilnya keluar dalam semenit dan hasil tersebut memperkuat dugaan Regina.

"90% kemungkinan sosok itu adalah Adeodatus da Silva!" ujar Rizal kepada Regina.

"Jadi maksud Daeng kalau kita bunuh kroda ini sama saja kita bunuh manusia begitu?" tanya Andi yang mulai ragu untuk menembakkan misil lagi kepada Adeo.

Tapi di saat Regina maupun Andi ragu untuk menyerang kroda itu lagi, sekonyong-konyongh dari atas helikopter, Ignas menembakkan tiga anak panah yang ketiganya sukses menancap di dada Adeo.

"Jangan cengeng kalian berdua! Sangka kalian, kita tak pernah bunuh orang sebelumnya? Lalu Kabil yang bisa kendalikan Todak dulu apa kalau bukan anak-anak? Lalu bagaimana dengan Eva Ulina Siagian yang bisa berubah jadi manusia emas-perak yang kita sebut Mamon itu? Apa beda mereka dengan Adeo da Silva? Makhluk ini mengancam kehidupan banyak orang. Jika tidak dihentikan sekarang maka tumpukan mayat korbannya akan semakin banyak!" tegur Denny dari markas kepada Regina dan Andi.

Regina pun segera tersadar dan mulai berenang dan menyerang Si Haman Pardidu sekali lagi. Yang bisa Haman Pardidu lakukan hanyalah menangkis dan mengelak semata namun kemudian tungku di kepalanya menyala makin besar dan dua tombak api terbentuk di tangan Adeo. Satu tombak ia lemparkan kepada Regina dan satu lagi pada Andi. Keduanya berhasul mengelak, namun serangan itu disusul lagi dengan semburan api dari mulut Haman Pardidu. Kali ini Regina tak sempat mengelak karena zirahnya memang tidak bisa bergerak selincah zirah Tubarani milik Andi. Suhu api ini tak main-main, 700 derajat Celcius, hal ini membuat instrumen-instrumen penting di zirah Regina mulai dari pengatur suhu hingga visor layar mengalami kerusakan. Tapi untungnya zirah Regina masih bisa digerakkan secara normal.

"Panas apinya setara lava!" lapor Regina kepada markas.

"Andi! Tembakkan semua misil dalam zirahmu!!" Denny memberikan perintah pada Andi.

Tanpa pikir panjang, Andi memutuskan untuk menembakkan semua misil yang ditanamkan dalam zirahnya. Totalnya ada 20 misil yang tersisa dalam zirahnya dan ke-20 misil itu langsung menyasar tubuh Haman Pardidu. Dentuman dan ledakan langsung terdengar hingga kejauhan termasuk oleh para pekerja rig yang pelan-pelan mulai dievakuasi oleh para anggota TNI AL.

Namun ternyata serangan misil-misil itu sama sekali tak mampu menghancurkan Haman Pardidu. Semua serangan misil tadi hanya sedikit menggores kulit luarnya namun sama sekali tidak menumbangkannya. Malah Andi yang kini harus menghindar dari semburan api dari mulut Haman Pardidu.

"Kita tak bisa pakai cara seperti ini terus Regina," Ina Saar melakukan kontak batin dengan Regina.

"Saya punya ide, tapi saya ragu orang yang kalian panggil Profesor Denny itu akan suka," ujar Karaeng Baning yang ternyata juga turut melakukan kontak batin dengan Regina serta Andi.

"Apapun itu saranmu, kedengarannya baik Karaeng! Katakan saja apa saranmu!" ujar Regina.

"Ajak kroda ini bicara," jawab Karaeng Baning.

"Maaf? Apa?!" Andi merasa ia baru saja salah dengar.

"Ajak dia bicara, kroda ini adalah Haman Pardidu, kroda yang lahir dari jiwa anak yang durhaka pada orangtuanya. Ingatkan ia kembali pada orangtuanya dan kalian akan dapat mengalahkannya."

"Apa itu memungkinkan?" Ina Saar terdengar ragu.

"Ina Saar, aku sudah mengembara di dunia ini jauh lebih lama daripada kamu, dan aku sudah pernah melihat kejadian seperti ini. Adeo da Silva bukan Haman Pardidu pertama yang aku temui, tapi ia memang lebih kuat daripada Haman Pardidu yang lain. Meski begitu seharusnya proses mengalahkannya tak jauh beda."

"Baiklah! Ayo kita coba saja cara Karaeng Baning," ujar Regina, "Ignas! Tahan panahmu! Dan kepada seluruh personel Unit Lima saya mohon untuk tidak memprovokasi Haman Pardidu. Saya akan mencoba bicara pada Adeo da Silva."

"Apa? Kamu sinting ya Nak?" terdengar protes Warok Mardi di seberang sana.

"Tidak, tidak, teruskan saja Regina, siapa tahu cara ini berhasil," sambung Profesor Denny.

*****

Adeo sudah bersiap-siap akan menyemburkan api lagi ketika ia melihat prajurit berbaju zirah putih itu membuang parang dan sawalakunya ke dasar laut kemudian mengangkat kedua tangannya seolah minta waktu untuk bicara. Adeo mengurungkan niatnya untuk menyemburkan api dari mulutnya, menunggu apa yang hendak dikatakan oleh prajurit ini.

Regina membuka kontak batin dengan Adeo, "Haman Pardidu, apa benar ... nama aslimu Adeo da Silva?"

Adeo terdiam, terkejut, tak bisa bereaksi, ia ragu untuk menjawab namun pada akhirnya ia mengangguk, mengiyakan pertanyaan Regina.

"Kita pernah bertemu," kata Regina, "beberapa hari yang lalu Kakak Adeo dan teman-teman Kakak hendak menyergap beta di taman saat lari pagi."

Adeo hanya diam, tak bereaksi.

"Beta kemari bukan untuk menuntut balas atau hendak menghakimi Kak Adeo, tapi bisakah Kakak cerita bagaimana bisa Kakak berubah menjadi Haman Pardidu?"

"Saya dibunuh," ujar Adeo, "Sehari sesudah kejadian itu. Polisi dan pejabat yang menyuruh saya menculik anak-anak gadis sepertimu meninggalkan saya begitu saja."

"Kenapa Kakak bergaul dengan orang-orang demikian?"

"Karena saya butuh uang. Banyak uang."

"Untuk apa Kakak butuh uang?"

"Hutang saya banyak."

"Untuk apa Kakak berhutang?"

"Untuk kebutuhan bisnis saya dan keperluan-keperluan lainnya."

"Dan berapa banyak dari uang yang Kakak dapat, Kakak berikan pada Mama Kakak?"

Adeo terdiam, lama sekali, sebelum menjawab, "Belum ada."

"Lantas mengapa Kakak sekarang membunuhi orang-orang alih-alih mendatangi Mama da Silva untuk minta maaf karena belum bisa membahagiakan beliau?"

Adeo kembali terdiam lama sehingga Regina memutuskan membuka pembicaraan lagi, "Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya. Yang manakah Kakak ini?"

Adeo menundukkan kepalanya, ia ingin menangis tapi matanya kini tak bisa menitikkan setetes air mata pun, ia ingin berteriak tapi ini di dasar laut jadi berteriak pun percuma karena takkan ada suara yang keluar.

"Saya harus akui bahwa saya adalah anak yang bebal. Tapi jika kamu punya tanya kenapa saya melakukan pembunuhan, itu karena saya selalu merasa haus. Saya tak bisa minum atau makan, tapi setiap kali nyawa seseorang menghilang di tangan saya rasa haus saya mereda. Selain itu saya diberi target membunuh 15 orang per harinya oleh orang yang membangkitkan saya dari alam orang mati. Kamu sudah tahu bagaimana saya berperilaku semasa hidup, minta ampun pada Tuhan sebelum mati saja saya pun tak sanggup, kalau benar jiwa saya akan mati kamu pasti sudah tahu ke mana jiwa saya akan pergi kan? Ke tempat yang penuh ratap dan kertak gigi di mana api membara akan membakar jiwa-jiwa sepeti saya selamanya."

"Apa yang akan terjadi jika target 15 orang tidak terpenuhi Kakak?"

"Saya akan mati, kembali menjadi jasad. Tapi .... yah, kamu benar Nona! Sudah cukup aku menjadi aib bagi keluargaku, membunuhi lebih banyak orang lagi takkan mengubah apapun juga. Waktuku sudah habis. Tapi selagi aku bisa berkata-kata, tolong maafkan saya yang bodoh ini. Saya akan pergi dari tempat ini, tapi sebelum saya pergi maukah Nona bantu saya memperbaiki segala kesalahan saya?"

Regina mengangguk dan Adeo kemudian menceritakan lokasi di mana ia dibunuh, ia juga memberitahu username dan password gawai serta komputernya yang tertinggal di mobil para eksekutornya, ia sebutkan pula nama-nama pejabat yang terlibat dalam bisnis ilegalnya, serta tak lupa pula ia sebutkan lokasi penyekapan terakhir dari korban-korban sindikatnya.

"Seperti Dismas yang diampuni di saat-saat terakhir hidupnya, semoga Tuhan pun mau mengampuni saya," ujar Adeo lirih

======
Dismas = dalam Kitab Suci Agama Nasrani, Dismas adalah salah satu dari dua penyamun yang disalibkan bersama Yesus dan di akhir hayatnya ia meminta Yesus mengingat namanya saat Ia sudah di surga nanti tapi Yesus menjawabnya kutipan yang amat terkenal, "Hari ini juga kamu akan bersamaku di Firdaus."
======

******

Adeo menepati janjinya dengan pergi meninggalkan rig yang semula menjadi sasarannya untuk dihancurkan. Ia terus berjalan ke timur dengan diiringi helikopter yang mengangkut Ignas, Andi, dan Regina serta sejumlah kapal patroli TNI. Sebuah pemancar ditanamkan di punggung Adeo guna memantau pergerakannya. Ketika hari sudah lewat pukul 12 siang, langkah Adeo terhenti. Tubuhnya tersungkur, tungku di atas kepalanya padam dan sebuah mustika yang bersinar jingga keluar dari tubuhnya dan melesat ke arah selatan. Sebuah helikopter berusaha mengejarnya namun tak sanggup dan mustika itupun lenyap dari pandangan mereka.

"Bisakah kita turun ke bawah dan ambil jasadnya untuk dikebumikan dengan layak?" pinta Regina.

"Diizinkan!" ujar Denny melalui ruang kontrol.

******

Tanjung Paser, 5 hari kemudian.

Seluruh stasiun televisi saat ini tengah sibuk menyiarkan pembongkaran sindikat perdagangan manusia dan prostitusi yang mengincar gadis-gadis belia di bawah usia 18 tahun. Setidaknya sudah 11 orang gadis yang diselamatkan polisi dari sejumlah lokasi penyekapan. Nama-nama sejumlah pejabat kepolisian serta BUMN disebut-sebut turut terlibat meski pihak-pihak yang tertuduh jelas-jelas menyangkal hal itu habis-habisan.

Regina menonton berita itu dengan ekspresi campur aduk di ruang tamu asrama putri. Di satu sisi ia senang akhirnya sindikat ini terbongkar juga, di lain sisi ia bersyukur karena ia nyaris saja jadi salah satu korban sindikat tersebut, dan di sisi yang lain lagi ia berduka atas kematian Adeo. Rasa duka Regina ini lebih kepada rasa empati terhadap reaksi Mama da Silva yang mendapati kabar kematian putra sulungnya. Wanita tua itu katanya menangis hingga 2 hari 2 malam tanpa henti dan sekarang tengah dirawat di RS karena shock. Sebagian hutang Adeo berhasil diputihkan pasca kematiannya namun sejumlah hutang-hutang Adeo yang berasal dari lembaga keuangan non-bank sama sekali tak bisa diputihkan. Mama da Silva tetap kehilangan rumah tinggalnya namun ada seorang jemaat gereja yang bersedia meminjamkan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara bagi Mama da Silva beserta putrinya.

Baik Dakara maupun Unit Lima sama-sama memberikan apresiasi dan ucapan selamat atas keberhasilan Regina menangani masalah Haman Pardidu ini. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Regina, yakni soal Ina Saar. Ina Saar meminta izin untuk meninggalkan Regina selama beberapa waktu agar bisa bicara empat mata dengan Karaeng Baning. Tapi Ina Saar dan Karaeng Baning sudah bicara berdua saja selama 4 hari tanpa keluar dari markas Unit Lima. Padahal biasanya Ina Saar selalu menemani Regina ke manapun Regina pergi. Pengalaman tak mengenakkan Regina dengan Adeo serta ketidakhadiran Ina Saar di sampingnya membuat Regina saat ini takut berjalan sendirian keluar asrama. Ia selalu minta ditemani Nara atau Ignas karena bagaimanapun juga pengalaman nyaris menjadi korban pemerkosaan bukan sesuatu yang mudah dilupakan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top