Bab 21.4 : Haman Pardidu

Ibukota Baru, 20.00 WITA

Dua pejabat tinggi Kepolisian itu tampak duduk dengan resah di sebuah lounge VIP sebuah restoran papan atas di wilayah Ibukota Baru. AKBP Syamsul dan Kombes Samadikun duduk dengan resah selagi menunggu kedatangan rekan mereka, seorang Pejabat Kementerian Pariwisata bernama Agus Anwar. Syamsul berkali-kali menuangkan anggur merah ke dalam gelas di hadapannya sementara Samadikun tak henti-hentinya mengecek layar ponselnya, seolah menunggu kabar dari seseorang.

"Selamat malam Pak Syamsul dan Pak Sam. Belum ada kabar soal teman kita itu?" tiba-tiba seorang pejabat bertubuh tambun dengan rambut yang tersisa hanya tinggal bagian sampingnya saja memasuki ruangan.

"Sudah nyaris 1x24 jam orang suruhan saya belum memberi kabar soal Adeo dan Ruli. Berkali-kali saya coba hubungi ponsel mereka namun mereka tak menjawab."

"Perlukah kita hubungi kolega kita di sana?" usul pejabat bertubuh tambun bernama Anwar itu.

"Lantas apa jadinya jika mereka tertangkap basah sedang mengurus jasad Adeo dan temannya?" balas Syamsul.

"Tapi ini sudah terlalu lama. Saya mengenal baik mereka berdua. Mereka takkan mendiamkan saya selama ini jika tidak terjadi sesuatu."

Tiba-tiba terdengar kepanikan di sisi lain restoran. Seorang pelayan masuk ke dalam lounge VIP yang ditempati oleh Syamsul dan kawan-kawan dengan muka panik, "Bapak! Bapak semua harus segera pergi dari sini! Restoran ini baru saja diserang oleh kriminal! Bapak bisa ...!" belum usai pelayan itu berkata-kata, kepalanya sudah terbakar habis menjadi abu.

Ketiga pejabat itu kaget bukan main melihat hal ganjil tersebut apalagi ketika melihat bahwa pelaku yang membunuh pelayan tadi adalah sesosok ganjil yang tak bisa ditangkap akal. Sosok itu berwujud pria dengan sebuah tungku api menyala di atas kepalanya. Pakaiannya compang-camping, tak lagi utuh, namun mereka bertiga masih bisa menyaksikan bahwa pakaian itu termasuk pakaian modern dan bermerk.

"Cukup! Berhenti! Jangan bergerak! Atau saya tembak!" Syamsul mencabut pistolnya dan menodong makhluk itu.

"Tembak? Tembak saja!" ujar sosok itu dengan suara berat namun serak.

"Saya sudah pernah ditembak! Oleh orang-orang suruhan Bapak-Bapak! Ternyata mati itu nikmat Bapak-Bapak! Ayo semua ikut saya!"

"Adeo?" Syamsul terhenyak ketika mendengar pernyataan dari sosok itu.

"Adeo? Bukan! Nama saya sekarang adalah ...," sosok Adeo mulai melangkah mendekat dan Syamsul pun melepaskan tembakan demi tembakan ke arah Adeo yang tampak tak terpengaruh sama sekali, "Haman Pardidu!" Adeo mencengkeram leher Syamsul dan dalam hitungan detik api dari tungku di atas kepala Adeo menyembur dan menyelitmuti tubuh Syamsul dengan api.

"HARMAN PARDIDU!" sekali lagi Adeo meneriakkan nama barunya dan kali ini api di atas kepalanya membesar, membakar seluruh ruangan lounge itu. Sam dan Agus sama sekali tak bisa melarikan diri dan mereka pun terbakar ditelan api itu.

Api di kepala Adeo makin membesar dan segera saja api milik Adeo mencapai saluran gas di dapur restoran itu. Kontan saja restotan itupun meledak dan pemadam kebakaran yang telah tiba di lokasi sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk memadamkan api yang semakin menggila tersebut.

******

Tanjung Paser, 12.00 WITA

Di sebuah studio foto kecil di pinggir kota Tanjung Paser, lima pemuda sedang menyelesaikan pekerjaan editing foto dan video untuk sebuah kegiatan dokumentasi pernikahan anak seorang pengusaha. Pernikahan ini berlangsung tadi pagi dan demi kepuasan pelanggan mereka, lima pemuda ini rela bekerja hingga larut malam supaya besok mereka sudah bisa mengirimkan hasilnya kepada klien mereka. Tentu saja saat bekerja lembur seperti ini cemilan dan kopi menjadi kawan karib mereka. Saat seorang dari mereka hendak mengambil kopi ke dapur ia mendapati ada seorang asing yang tengah berusaha menyeduh air panas di dapur.

Orang ini di mata pemuda tadi tampak mencurigakan. Pakaiannya compang-camping dan ada tungku api menyala di atas kepalanya.

"Heh! Siapa kamu! Masuk-masuk rumah orang! Maling ya!" tegur pemuda itu, "Woi teman-teman! Ada maling!"

Sosok misterius itu membalikkan tubuhnya dan betapa terkejutnya pemuda itu beserta teman-temannya yang datang dengan sapu dan pentungan kasti ketika melihat sosok Haman Pardidu yang seluruh wajahnya seperti tengkorak yang hanya dibalut kulit pucat.

"SETAN! SETAN!" para pemuda itu berlomba-lomba mencapai pintu depan tapi sebelum mereka berhasil mencapai pintu depan, sejumlah tongkat api yang muncul dari tangan Adeo sudah menembusi jantung mereka semua.

Sosok Adeo alias Haman Pardidu itu kemudian menengok ke arah tabung gas yang teronggok di ujung dapur. Dilemparkannya sebuah bola api dari tangannya dan langsung meledaklah tabung itu, membakar seisi rumah tersebut hingga rata dengan tanah.

*****

Tanjung Paser, 02.00 WITA

Haman Pardidu terbang menuju ke arah Pantai Timur dan setibanya di sana, ia rendam tubuhnya di dalam air laut. Air laut yang berada di sekitarnya perlahan namun pasti mulai berasap, tanda air laut tersebut telah mencapai titik didihnya. Adeo sebenarnya ingin berendam di air laut lebih lama lagi guna mendinginkan kulitnya yang terasa panas namun sebuah tangan kuat menariknya kembali ke permukaan.

"Sudah hilang hausmu, Haman Pardidu?" tanya orang tersebut, yang ternyata adalah Haladyudha.

"Sedikit! Tapi aku masih haus!"

"Kamu harus membunuh orang lebih banyak lagi jika ingin hausmu hilang."

"Aku sudah bunuhi 30 orang Bapa Halayudha, tidakkah itu cukup?"

"Sama sekali belum! Tapi aku punya saran lebih bagus jika engkau ingin hausmu segera hilang!"

"Apa itu?"

"Habisi ibu dan adikmu!"

Api di tungku Haman Pardidu membesar, sekujur tubuhnya terselimuti oleh api, "Itu takkan pernah aku lakukan! Takkan pernah!"

"Jika engkau tak sudi habisi ibu dan adikmu sendiri, sekarang katakan padaku ke mana lagi engkau akan pergi?"

Haman Pardidu menunjuk ke arah lautan lepas. Di ujung sana ada kilang-kilang penambangan metana. Banyak pekerja yang ada di sana. Cukup banyak! Rasanya cukup untuk membuat hausku hilang selama beberapa saat Bapa!"

"Baik, lakukan saja sesukamu, tapi pertimbangkan lagi kata-kataku Adeo da Silva!"

*****

Markas Unit Lima, 02.45 WITA

Unit Lima dan Dakara adalah dua unit yang terpisah. Fungsinya agak mirip dan terkesan tumpang tindih, tapi jika Dakara ada di bawah BIN, Unit Lima ada di bawah TNI AD. Dua insititusi ini sebenarnya hubungannya kurang baik, terlebih jika mereka mengingat-ingat bahwa komandan Unit Lima, Denny, punya konflik dengan mereka beberapa tahun yang lalu.

Tapi kali ini situasinya mendesak. Presiden sudah mengeluarkan perintah pada pemimpin kedua institusi ini untuk bekerjasama dan jadilah di pagi buta ini perwakilan Dakara yakni Sumardi alias Warok Mardi bersama Romo Pandita Mukayat menemui Profesor Denny di ruang rapat Unit Lima.

"Apa yang Dakara dapatkan?" tanya Profesor Denny saat memulai pertemuan.

"Dua perwira Polda Ibukota Baru terbunuh di sebuah restoran di Ibukota Baru. Modus pembunuhannya hampir sama dengan pembunuhan di studio foto di pinggir kota Tanjung Paser. Itu artinya pelakunya orang atau makhluk yang sama," jawab Warok Mardi.

"Apakah Dakara sudah sempat berkonfrontasi dengan makhluk itu?"

"Sempat, salah satu kombatan Dakara sempat menghadang makhluk itu di perbatasan kota. Tapi makhluk itu memotong badan anggota kami jadi dua lalu kabur. Rekaman dari anggota kami pun tak banyak. Kami hanya tahu namanya adalah Haman Pardidu."

"Tak apa, coba saja tunjukkan!"

Warok Mardi menunjukkan rekaman yang dimaksud. Terlihat jelas di sana bagaimana rupa Haman Pardidu.

"Apa Unit Lima punya cara untuk mengatasi makhluk ini?" tanya Warok Mardi.

"Kami punya," jawab Denny, "Rizal! Tolong bangunkan Andi Ampa Rawallangi."

"Warok Mardi, sekaranglah waktunya kita menyaksikan kemampuan sebenarnya dari seorang Tora ri Langi!"

******

Andi sekarang sudah terbiasa dibangunkan pagi buta atau tengah malam dengan jadwal tidak tentu. Karena itu begitu Rizal membangunkannya untuk menjalankan 'tugas khusus' di pagi buta ia menurut saja.

"Bersama siapa saya bertugas Daeng?" tanya Andi pada Rizal.

"Regina dan Ignas," ujar Rizal.

Andi langsung turun menuju ruang ganti dan mengenakan zirah Lokapala miliknya. Regina dan Ignas menyusul beberapa saat kemudian dan mulai mengenakan zirah mereka masing-masing.

"Untuk tugas kali ini aku minta kesediaan Karaeng Baning untuk memakai kekutan Tora ri Langi," ujar Denny.

"Tak masalah!" Karaeng Baning menjawab dari dalam zirah Andi, Terjunkan saja kami ke dalam laut yang cukup dalam."

*****

Helikopter itu menerjunkan Andi tepat di tengah-tengah lautan yang kedalamannya terdeteksi sekitar 300 meter di bawah permukaann laut sementara Regina dan Ignas tetap berada dalam helikopter guna melakukan pemantauan dari udara. Andi sendiri diajak oleh Karaeng Baning untuk berdiam di dalam lautan guna melakukan sesuatu.

Sekumpulan ikan dan hewan-hewan laut lainnya seperti ular laut dan kepiting langsung saja mendekat kepada Andi ketika remaja berdarah Makassar-Bugis itu mendarat di dasar laut. Andi sempat kaget dengan kehadiran sejumlah besar makhluk itu namun Karaeng Baning kemudian mengambil alih kontrol raga Andi.

Anging lao anging rewe
Mattuppu seppe-seppe

Bale, Kalappung, Panyyua, Ula

Mu mollii manengngi
Rangemmu maegae

Iyya sappa tau

Aseng Haman Pardidu

Palettukengnga lao ri Haman Pardidu
Narekko matindroi teddurekka
Narekko motoi obbisengnga
Narekko teai lao
Iyapa lao

(Angin datang angin pulang
Berhembus perlahan

Ikan, kura-kura, penyu, dan ular

Kamu panggil semua
Rekanmu yang banyak

Aku mencari seseorang

Namanya Haman Pardidu

Sampaikan pesanku kepada Haman Pardidu
Jika tidur bangunkan
Jika bangun panggilkan
Jika tidak mau pergi
Saya yang mendatangi
)

Citra mengenai sosok Haman Pardidu muncul di benak Andi dan Andi merasakan seolah-olah citra itu dipancarkan kepada segenap makhluk lautan yang berkuerumun di sekitarnya. Sesudah itu tiba-tiba semua makhluk laut itu bubar jalan menuju segala arah sementara Andi merasakan Karaeng Baning membawa dirinya menuju ke arah utara.

Sementara itu di atas helikopter, Regina dan Ignas terus menjalin komunikasi dengan Markas Pusat di mana Profesor Denny dan Warok Mardi terus-menerus menerima update dari sejumlah agen Dakara dan patroli militer terkait kondisi di area yang diduga akan menjadi target Haman Pardidu berikutnya.

Tiba-tiba Andi merasakan dorongan kuat untuk berenang lebih cepat ke arah utara. Benak Andi tiba-tiba mendapatkan sebuah gambaran mengenai kondisi sesosokl manusia dengan tungku api di atas kepalanya tengah bergerak menuju sebuah rig penambangan lepas pantai.

"Prof!" Andi membuka saluran komunikasinya dengan Profesor Denny, "Makhluk itu tengah menuju ke sebuah rig penambangan lepas pantai. Jaraknya kira-kira 10 menit dari saya jika saya mengaktifkan jet pendorong.

"Apa yang ada di sana?" tanya Warok Mardi kepada Rizal yang ada di ruang kontrol.

"Objek strategis nasional Bapak, rig penambangan es membara," ujar Rizal.

******

Es membara atau nama ilmiahnya metana klarat atau methane hydrate adalah deposit gas metana yang memadat dan membeku sehingga berwujud seperti es dan biasanya terdapat di dasar laut yang dilalui jalur pegunungan berapi dasar laut. Metana klarat termasuk golongan hidrokarbon seperti minyak bumi dan gas alam namun potensi energinya lebih besar. Semenjak cadangan minyak Indonesia habis 15 tahun yang lalu, Kementerian ESDM mulai memberdayakan metana klarat sebagai energi pengganti minyak bumi. Tapi semua orang tahu meski metana klarat bisa diolah menjadi bahan bakar yang mirip bahan bakar minyak, metana klarat lebih mudah terbakar daripada minyak bumi. Sepotong kecil metana klarat saja bisa terbakar selama berjam-jam jadi bisa dibayangkan jika rig penambangan metana klarat sampai terbaka maka apinya akan mustahil dipadamkan sampai berbulan-bnlan.

Karena sudah terkait dengan objek strategis nasinonal yang mana jika objek ini sampai hancur maka kerugian negara bisa sangat besar, maka tekanan di pundak Denny dan Warok Mardi menjadi semakin besar.

"Apa perlu kita terjunkan Panji dan Sitanggang pula, Profesor?" tanya Rizal.

"Jangan! Medan tempurnya lautan, kekuatan mereka berdua takkan berguna di sana. Cuma dua Lokapala yang bisa bertempur di bawah air. Regina dan Andi! Lainnya tidak!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top