Bab 21.2 : Adeo da Silva

Tanjung Paser, 01.00 WITA

Tangan Adeo da Silva tengah mencari-cari gawainya yang sedari tadi terus berdering, mengganggu tidurnya yang amat lelap tadi. Dilihatnya nomor asing yang telah memanggilnya lima kali tadi. Dengan mata masih nanar dipencetnya tombol menerima panggilan dan langsung saja terdengar suara omelan wanita muda dari seberang sana.

"Kakak! Ke mana saja Kak Adeo ini pergi? Kapan mau bayar cicilan hutang Kakak? Sudah 5 kali ini cicilan hutang Kakak Mama yang bayar! Ini kemarin malam Mama dan beta jualan didatangi oleh Radha Finance! Besok kita orang didatangi siapa lagi hah? Bank BCA? BRI? Mandiri? Danamon? DBS? Beta tak mau tahu pokoknya minggu depan beta mau ......! "

Pembicaraan dari seberang sana langsung terputus, karena Adeo memutus nomor tersebut kemudian segera memblokirnya. Tak cukup sampai di situ, dengan segera ia melakukan pembatalan registrasi nomor gawainya kemudian meregistrasikan nomor baru sebelum akhirnya mengirimkan pesan kepada kawan-kawan dekatnya bahwa nomornya telah berganti.

Ya, dengan cara inilah Adeo hidup selama setahun ini. Berpindah dari satu rumah teman ke rumah teman yang lain. Terkadang ia juga pindah dari satu kota ke kota lainnya, mengambil pekerjaan apapun yang bisa ia lakukan terutama bekerja sebagai tukang ojek online, dan sering sekali ia berganti nomor terlebih jika nomornya sudah terdeteksi entah oleh debt collector atau keluarganya sendiri.

Dahulu sekali hidup Adeo tidak seperti ini. Dahulu dia adalah mahasiswa sekaligus fotografer dan video editor yang cukup sukses. Banyak pihak termasuk pengusaha dan pejabat di Tanjung Paser menggunakan jasanya untuk foto pre-wedding, video iklan untuk promosi produk, maupun iklan layanan masyarakat. Adeo yang tadinya hidup bersahaja tiba-tiba merasa di atas angin ketika berkali-kali mendapatkan proyek iklan layanan masyarakat senilai puluhan juta. Merasa dirinya bisa mendapatkan uang dengan mudah, ia memutuskan berhenti kuliah dan fokus mengurusi bisnisnya.

Namun sebagaimana seorang mantan manager sebuah hotel besar di Malang pernah berkata bahwa setiap usaha punya pasang-surutnya sendiri dan perjalanan usaha tiap pengusaha berbeda-beda. Ada yang langsung sukses dan terus saja sukses dalam waktu lama, ada yang jatuh-bangun, ada yang terus merugi di awal-awal namun perlahan mulai menghasilkan keuntungan dan ada juga yang untung besar di awal-awal namun kemudian jatuh dalam kepailitan. Sayangnya bagi Adeo, dia termasuk golongan yang terakhir.

Sebagaimana beberapa orang yang status sosialnya berubah drastis, Adeo mengalami culture shock yang membuatnya tidak kuat menyangga status sosialnya. Terpuruk dalam situasi miskin selama bertahun-tahun seperti tak punya sepeda motor, tak punya kamera, tak punya uang untuk sekedar mengganti kacamatanya yang minusnya makin tebal, tak punya uang saku bahkan untuk sekedar jajan sebulan sekali, dituntut membantu ibunya berjualan, dan dijauhi gadis-gadis di masa SMAnya, membuat Adeo yang merasa punya uang kini merasa harus 'balas dendam'.

Adeo mulai membeli barang-barang mahal yang 'konon katanya' dipakai untuk menunjang pekerjaanya. Mulai dari kamera Sony seharga 51 juta – belum termasuk lensa, produk 'Apel Krowak' seharga 20 juta, lensa kamera dan tripod seharga belasan juta, dan beberapa perlengkapan studio fotografi lain yang bahkan membuat rekan-rekannya yang lebih profesional geleng-geleng kepala serta memberikan nasehat padanya untuk menahan diri karena cashflow di studio milik Adeo masih belum bisa dibilang stabil.

Namun Adeo tak menggubris, ia mulai mengajukan pinjaman ke bank dan uangnya ia gunakan untuk cicilan sebuah ruko yang akan ia gunakan sebagai studionya. Ia agresif merekrut karyawan baru untuk usahanya, namun ada sesuatu yang Adeo – sebagaimana kebanyakan pengusaha amatir lainnya – lupakan, yakni soal menjaga kualitas jasa.

Adeo mulai sembarangan menerima order jasa. Dalam satu hari bisa saja ia jadwalkan sampai 10 macam pekerjaan bagi delapan karyawannya. Hal itu ia lakukan supaya dirinya bisa membayar cicilan kartu kredit dan kredit rukonya yang mencapai 50 juta per bulan. Bawahan-bawahan Adeo awalnya bisa saja menyanggupi 'tuntutan gila' dari Adeo yang menuntut mereka bekerja 14 hingga 16 jam sehari namun setelah beberapa bulan akhirnya banyak yang menyerah. Beberapa mengajukan pengunduran diri, beberapa menghilang tanpa kabar, dan beberapa lagi tetap bekerja namun menebalkan muka dan telinga terhadap segala omelan Adeo.

Adeo mencoba mengatasinya dengan membuka lowongan kerja yang baru namun apa lacur, para mantan karyawannya ternyata sudah membagikan cerita 'ketidakbecusannya' melalui media sosial maupun pesan berantai kepada setiap kolega mereka masing-masing. Walhasil karyawan baru yang Adeo bisa rekrut hanyalah anak-anak mahasiswa yang masih unyuw dan kurang pergaulan serta masih polos (plus tidak tahu apa-apa soal dunia fotografi dan videografi profesional). Akibatnya Adeo harus menyisihkan waktu lebih banyak untuk mengajari mereka dari awal mengenai teknik-teknik yang wajib mereka ketahui saat tugas lapangan.

Namun itu semua berakibat buruk pada para kliennya. Banyak kliennya baik yang lama maupun yang baru tidak puas dengan kualitas kerja studio milik Adeo. Namun beberapa klien yang mengkritiknya dengan pedas dibalas Adeo dengan jawaban yang kurang menyenangkan seperti :

"Kalau nggak suka sama pekerjaan saya ya silahkan cari studio yang lain!"

"Anda ini bayar murah tapi kok minta hasil karya yang bagus!"

"Fotografi dan Videografi itu susah Bos! Gitu kalau datang kemari mintanya cepet melulu!"

Hasilnya bisa ditebak, klien-klien Adeo mulai berpindah ke lain hati. Yang datang ke Studio Adeo lama-kelamaan hanya proyek remeh-temeh seperti foto wisuda, foto alumni, foto kelulusan, dan sebagainya. Tak ada lagi proyek-proyek bernilai belasan juta sebagai sumber incomenya dan hal yang tak terelakkan pun terjadi.

Bank-bank yang memberi pinjaman pada Adeo mulai tidak sabar karena Adeo sering menuda-nunda pembayarannya. Mereka mulai mengirimkan debt collector kepada Adeo. Adeo pun mulai mengandalkan sistem gali lubang-tutup lubang, berhutang kepada Bank BCA untuk melunasi pinjaman ke Bank Mandiri, berhutang pada Radha Finance untuk melunasi pinjaman kepada Bank Mandiri, menggadaikan BPKB mobilnya kepada Trimurti Leasing untuk melunasi pinjaman kepada Radha Finance. Tapi lama-kelamaan strategi ini pun akhirnya gagal mempertahankan usahanya karena secara mendadak tiba-tiba tak ada lagi klien yang datang ke studionya meski ia telah berusaha memperbaiki kualitas layanannya. Ternyata beberapa karyawannya bersekongkol membentuk studio sendiri dan mengambil segala pekerjaan yang masuk ke Studio Adeo.

Ketika Adeo mengkonfrontasi karyawan-karyawannya, jawaban yang ia jawab sangat menusuk hati, "Bos! Kita ini kerja mati-matian 10-14 jam dari Senin sampai Minggu tapi gaji yang Bos kasih ke kita kecil! 3 juta sebulan pun nggak ada! Padahal di studio lain editor dan fotografer dapat 4,5 juta minimal dan itu masih ada honor lemburnya!"

"Tapi kan kalian tahu bahwa kondisi kita ini sedang susah! Studio ini mau bangkrut kok kalian tega-teganya berbuat begini?" begitu Adeo dahulu 'menghiba' pada para karyawannya.

Namun jawaban para karyawannya makin garang, "Situasi sulit ini karena siapa coba? Karena bos beli laptop yang harganya 60 juta buat dipakai bos sendiri kan? Bos juga beli motor sampai 4 biji dan semuanya nyicil! Terus kok enak Bos? Bos dapat barang-barang bagusnya kok kami nggak boleh sejahtera? Sudah Bos! Kalau Bos mau pecat kami silahkan saja, nggak perlu Bos pecat saja kami semua menyatakan resign per hari ini juga! Nggak usah repot-repot kasih pesangon! Najis tahu!"

Dua detik berikutnya, karyawan lancang itu sudah dihadiahi bogem mentah oleh Adeo namun Adeo lupa bahwa di situ karyawan itu punya lima teman yang lain yang langsung saja ramai-ramai memukuli Adeo. Dan sejak saat itu Adeo kehilangan segalanya.

******

Karena dikucilkan oleh rekan-rekannya dari dunia fotografi dan videografi – karena sudah membuat marah banyak pihak, berseteru dengan pelanggan, serta memperlakukan karyawannya dengan tak manusiawi – Adeo kini pengangguran. Ia hidup hanya dari belas kasihan beberapa orang terutama teman-temannya semasa kuliah dahulu serta komunitas motor offroad yang juga ia gemari.

Masalah menjadi semakin pelik karena untuk mempertahankan usahanya dahulu, Adeo nekat menggadaikan sertifikat rumah milik Ibunya bahkan mengambil tindakan ekstrem dengan memalsukan tanda tangan Ibunya serta membayar seorang aktor untuk berpura-pura menjadi Ibunya saat mengajukan pinjaman. Jadi sekarang selain lari dari para penagih hutang, Adeo juga lari dari keluarganya sendiri.

Demi keluar dari belitan hutang ini secepat mungkin Adeo yang semakin terpojok mulai mengambil langkah-langkah yang ekstrem. Adeo mulai mengikuti balap liar yang memakai taruhan. Ia sendiri adalah pembalap motor yang lumayan dan dengan mengikuti balap liar ia sedikit-sedikit mulai menyicil hutangnya. Ia juga mulai terjun ke dunia gelap yang lazim disebut sebagai dunia pornografi sebagai talent hunter – alias pemburu aktris, sekaligus editor videografinya.

Apakah Adeo tidak takut tertangkap? Tidak! Karena ada sejumlah oknum perwira polisi dan pejabat pemerintah yang ikut membackup bisnis gelap ini. Para pejabat ini juga diberi 'kesempatan istimewa' mencicipi kemolekan tubuh para aktris 'film panas' tersebut.

Dan sekarang ini Adeo ditugaskan untuk kembali ke Tanjung Paser untuk mencari permintaan salah satu pejabat yang menjadi backup usahanya, "Carikan kami gadis SMA untuk proyek berikutnya! Kalau bisa yang penampilannya seperti dari SMA elit!"

Dan itulah yang Adeo lakukan beberapa hari ini. Ia hampiri pusat-pusat keramaian di mana banyak remaja putri hadir di sana. Ia kenalkan diri sebagai fotografer sebuah agensi model yang berlokasi di Ibukota Baru dan ia sekarang sudah mengantongi akun sejumlah siswi SMA yang memenuhi kriteria dari bosnya.

Namun hari ini barangkali adalah hari naas bagi Adeo da Silva. Di sebuah pusat perbelanjaan, ia mendapati dua orang gadis duduk santai sambil meminum teh boba mereka masing-masing. Dihampirinya dua orang gadis itu dan diperkenalkannya dirinya sebagai Deo, seorang fotografer profesional yang sedang ditugaskan sebuah agensi model untuk mencari talent model di Tanjung Paser.

"Penghasilannya lumayan lo! Sekali pemotretan bisa mendapat honor 800 ribu sampai 4 juta!" bujuk Adeo pada dua gadis itu.

Salah satu gadis itu nampak tertarik namun satu gadis lain yang dari perawakannya tampaknya berasal dari Maluku mencegah kawannya itu untuk mengiyakan tawaran Adeo.

"Maaf Kakak boleh beta tanya sama Kakak?" tanya gadis asal Maluku itu.

"Silahkan, silahkan. Mau nanya apa?"

"Apa benar Kakak ini Adeodatus da Silva? Putra sulungnya Mama Haurisa yang suka jual kue kenari di depan gereja Jalan Akasia itu?"

Adeo terhenyak, ia sama sekali tak menyangka gadis ini tahu identitasnya. Cerobohnya dia juga adalah ia menggunakan variasi dari nama aslinya hari ini. Ia mencoba mengelak namun ternyata kondisinya malah jadi lebih buruk lagi.

"Ah! Mana mungkin itu! Saya tak kenal orang itu! Nama saya memang Deo tapi bukan Adeodatus. Nama saya Deo Kurnia!"

"Dari foto yang beta punya saja sudah kentara bahwa Kakak dan Adeodatus da Silva adalah orang yang sama. Kenapa pula Kakak ini menyangkal fakta bahwa Kakak adalah anak dari Mama da Silva? Kalau Kakak punya waktu untuk menggombali kami dengan janji-janji dapat duit banyak, kenapa Kakak tak pakai saja duit itu untuk bayar hutang Kakak di bank-bank dan leasing sana? Nyaris tiap malam Mama da Silva diganggu para penagih hutang. Sekarang Mama da Silva sampai sakit dan sempat diopname karena hutang Kakak yang bertumpuk itu menjelang jatuh tempo! Sebentar lagi Mama da Silva kehilangan rumah dan Kakak masih bisa santai-santai saja di sini? Durhaka sudah Kakak pada orangtua!"

Adeo sudah hendak menyiapkan pembelaan lain namun gadis itu tanpa ia duga-duga berseru kepada segenap pengunjung di sana.

"Bapak-Ibu! Dengarkan baik-baik! Jangan percayai satupun perkataan orang ini! Orang ini mendaku bisa membayar kami berdua sebagai model fotonya dia dengan bayaran mahal tapi orang ini punya hutang besar di bank dan tak bisa bayar! Sekarang ibu kandungnya terancam kehilangan rumah dan dia malah enak-enakan di sini menggoda cewek-cewek entah untuk tujuan apa!"

Terkejut dengan tindakan gadis itu, Adeo lekas-lekas menyembunyikan wajahnya di balik topinya lalu berlari meninggalkan pusat perbelanjaan itu dengan diiringi suara panjang 'huuuu!' dari para pengunjung yang lain.

Adapun gadis Maluku itu langsung saja ditepuk pundaknya oleh temannya tadi, "Harus ya kamu permalukan dia di depan umum kayak gitu, Re?"

"Nara, kalau beta tak ucap seperti tadi mana pernah sadar dianya?" jawab Regina. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top