Bab 20.5 : Perbatasan

Tim yang ikut dengan Sitanggang menelusuri lantai ruang kabin awak kapal yang sedikit basah, berjamur, dan dikelilingi dinding-dinding yang berkarat. Jika mengacu pada denah kapal-kapal kargo pada masa itu, seharusnya muatan paling berharga tersimpan di lambung kapal dan jalan menuju lambung kapal paling cepat adalah melalui area kabin awak kapal kemudian turun melewati sebuah tangga menuju ruang mesin dan akhirnya ke gudang penyimpanan.

Tapi seperti yang sudah diinformasikan oleh Zikri dan Qoiry yang kini tergabung dalam Tim Sitanggang, akan ada sejumlah kroda yang akan menghalangi jalan mereka. Benar saja, baru saja mereka keluar dari ruang awak kabin dan bersiap memasuki ruang mesin, Sihar sudah diserang sebentuk kroda yang berwujud seperti cumi-cumi berdaging merah namun jumlah tentakelnya mencapai 20 lebih. Makhluk itu menerjang lalu mencengkeram helm Sihar dan nyaris meremukkan kepala komandan Dwarapala itu sampai Oka menarik pistolnya dan menghancurkan tubuh makhluk itu. Daging cumi merah dengan cairan darahnya yang berwarna hijau kebiruan kini berceceran ke segala arah.

"Tidak aman Letnan Sihar ada di depan, biar aku saja," Sitanggang mengambil alih posisi pelopor alias posisi prajurit paling depan sementara Oka membantu Sihar bangkit kembali.

"Bagaimana kondisi Letnan?"

"Helmku agak rusak, visorku tampilannya acak dan ada keretakan di kaca pelindungnya. Haruskah kubuka saja helmku?"

"Sebaiknya jangan, kita tidak tahu akan ada kejutan apa lagi di depan sana."

"Baiklah, ayo kita jalan lagi!" ajak Sihar.

******

Sementara itu perjalanan regu kedua yang dikawal oleh Andi malah lebih mulus daripada regu Sitanggang. Bagaimana tidak? Refleks dari Andi yang dibantu oleh Karaeng Baning itu terbilang sangat cepat. Dua detik sebelum Dwarapala bereaksi, Andi sudah bergerak cepat dengan menarik pistolnya dan menembak setiap kroda yang muncul. Para Dwarapala Tim-A itu tadinya sempat ragu apakah Andi sebagai Lokapala baru mampu mengawal mereka dengan baik namun ternyata dugaan mereka salah. Andi ternyata sangat-amat bisa diandalkan.

Salah satu Dwarapala yang dikawal Andi, Lidya, bahkan berani terang-terangan bertanya, "Andi, sudah punya pacarkah kau?"

Andi hanya menggeleng, "Tidak punya pacar, hanya waifu semata."

======
waifu = pacar khayalan 2 dimensi, biasanya dari karakter manga, anime, atau game berjenis kelamin wanita.
======

"Otaku juga kau rupanya! Main game apa saja kau? Ayo nanti sesudah misi selesai kita mabar!"

"Mohon maaf Sersan Lidya, misi belum selesai, bisa kita bahas hal semacam itu nanti sajakah?" Andi sudah mulai merasa risih dan juga takut kalau-kalau dia dan para Dwarapala ini jadi tidak fokus apabila Lidya terus-terusan mengajaknya bicara.

"Oh baik! Maaf! Terbawa suasana aku! Sebab sudah lama aku tak lihat pria baik yang bisa diandalkan macam kau!"

Andi berusaha mengabaikan perkataan Lidya dan memilih fokus menjadi pelopor bagi regu yang ia kawal. Lalu secara tiba-tiba ia melihat sesosok makhluk ganjil berdiri di tengah-tengah lorong dek lantai dua kapal.

"Dwarapala! Mohon mundur sejenak!" Andi memasang kuda-kuda, bersiap menghadang makhluk itu.

"Jangan tunggu diserang! Terjang duluan!" begitu Karaeng Baning berbisik padanya.

Andi patuh dan berlari menuju makhluk tersebut dan tepat sesudah kepalan tangannya bersentuhan dengan makhluk tersebut dirinya bersama makhluk itu lenyap dari hadapan para Dwarapala tersebut.

Lalu muncul di tempat yang asing. Sebuah tempat yang mirip dunia bawah air namun permukaan tanahnya kering hanya saja sinar mentari redup tampak terbiaskan oleh langit yang penuh berisi air. Andi tak sempat bertanya lebih jauh tentang tempat ini karena lawannya sudah menyerang. Tangan hijau berlendir itu beradu otot dengan zirah Andi. Dengan satu hantaman kepalan tangan kanan Andi berhasil membuat makhluk itu mundur, mendesis sembari memamerkan gigi-gigi tajamnya di wajahnya yang tak bermata dan tak berhidung.

Andi kemudian merentangkan kedua tangannya, melepaskan kait dari tameng berbentuk tempurung kura-kura yang selama ini melekat melindungi pergelangan tangannya lalu melemparkannya ke arah makhluk ganjil tersebut.

Bilah-bilah pisau tajam langsung keluar dari pinggiran tameng tersebut dan berhasil melukai makhluk itu di bagian leher. Makhluk itu tidak menjerit, tidak mendesis tapi tiba-tiba saja keberadaannya seperti sirna dari hadapan Andi, perlahan-lahan. Lalu Andi tiba-tiba saja muncul di tempatnya semula. Lidya dan dua dwarapala yang tadi ia kawal tampak terkejut dan ia pun juga sama bingungnya.

"Dia meruntuhkan dimensi kantong kita! Makhluk ini bukan kroda biasa, Andi Ampa Rawallangi!" ujar Karaeng Baning.

"Apa kamu tahu ini sebenarnya makhluk apa, Karaeng?"

"Ini adalah makhluk kroda dari 'Perbatasan'."

Andi sebenarnya jadi makin bingung dengan penjelasan Karaeng Baning namun secara tiba-tiba Karaeng Baning mengambilalih seluruh raganya kemudian membuat Andi berbalik kepada Lidya dan dua rekannya, "Kembali kalian ke KRI Amir Hamzah itu, lindungi Ihutan Naipospos! Jika kapal ini meledak atau hancur segeralah lari jauh-jauh!" suara Karaeng Baning yang halus tapi berat dan tegas keluar dari mulut Andi.

Lidya tak membantah, ia menurut saja, meski ia baru saja diperintah oleh seorang Prajurit Satu yang pangkatnya lebih rendah daripada dirinya. Dalam hal ini Lokapala jelas lebih tahu daripada Dwarapala dan ia memilih untuk menurut daripada mati konyol. Adapun Andi setelah itu terdengar berlari menuruni anak-anak tangga dek lantai dua menuju ke bawah, ke arah yang sama dengan yang dilalui regu Sitanggang.

******

Regu Sitanggang kini berada di ruang mesin yang mana ruangan ini dahulu adalah tempat di mana diesel dibakar untuk menjalankan kapal ini. Saat ini ruangan ini penuh dengan pipa dan knop yang berkarat dan basah oleh air laut. Regu Sitanggang sejauh ini sudah memeriksa dua ruang kargo yang semuanya kosong dan ruang kargo yang paling dekat dengan lambung kapal ini akan menjadi ruang kargo terakhir yang mereka periksa.

Sitanggang melangkah dengan hati-hati dan meminta Oka memutar engsel pintu itu sementara Sihar dan dua rekannya bersiaga menjaga segala arah dengan senapan mereka.

"Terbuka," Oka setengah berbisik.

"Aku masuk duluan!" Sitanggang memasuki ruangan yang gelap itu baru kemudian disusul oleh Oka, Sihar, dan Qoiry serta Zikri.

"Gelap banget!" Zikri berkomentar sebab lampu senter mereka seperti terlihat sangat redup dan tidak bisa menjangkau ujung ruangan ini.

Sitanggang menghentakkan tongkatnya ke lantai ruangan dan mengatakan, "Marsinarma Manindar Marnilonilo!" yang artinya sama yakni 'bersinar' dan segera sesudah itu sebentuk sinar merah terang keluar dari ujung tongkat Sitanggang melayang ke atas puncak ruangan.

Tapi ada yang ganjil dengan ruangan ini. Sinar yang dipancarkan tongkat Sitanggang seharusnya berfungsi sebagai lampu penerang yang meskipun redup seharusnya cukup untuk menerangi seluruh ruangan ini. Namun ada sesuatu, sebentuk dinding kegelapan, yang seperti melahap semua sinar dari tongkat Sitanggang sehingga sinar itu semakin redup dan akhirnya padam.

"Partalpahan – perbatasan!" Datu Merah mengomentari fenomena itu, "Kau tak bisa lawan ini sendiri Sitanggang! Kau harus tunggu Karaeng Baning dan Si Tubarani!"

"Mereka kan sedang di atas!"

"Karaeng Baning sedang menuju kemari, untuk para Dwarapala, kalian bersiap-sedialah. Jangan sampai kalian kehilangan simbora kalian jika kalian ingin kembali hidup-hidup!"

Betul saja, tak berapa lama mereka kemudian mendengar suara Andi yang berlari-lari mendapati mereka. Karaeng Baning yang masih mengontrol penuh tubuh Andi langsung bertanya, "Kalian sudah dihampiri oleh Makhluk dari Perbatasan itu? Dia lolos dari dimensi kantong yang kami buat!"

"Dia belum kemari," kata Oka.

"Atau mungkin dia sudah ada di sini tapi dia bersembunyi?" sahut Datu Merah yang juga menyuruh Sitanggang untuk berjalan ke pojok ruangan yang berdekatan dengan kegelapan pekat pelahap cahaya itu.

Sitanggang berjalan ke sebuah meja besi yang telah berkarat dan meskipun atasnya tampak kosong, kala tangan Sitanggang terarah ke ruang kosong tersebut ia mendapati sebentuk buku tebal yang dapat ia genggam.

Tiba-tiba seluruh kapal bergoncang. Dan dari segala arah terdengar suara seperti orang marah dan menggerutu namun lafalnya tidak jelas bahkan cenderung bukan suara manusia.

"Nnnkadishtuorr ot air'luhh! llll mgepuaaah sid'f na'b'vtii ga'vgho uh'eor l' hrii. Ana'temgha mgep mg far'ro!"

(Buku itu hanya diperuntukkan bagi pengikut Tuanku, orang luar tidak berhak)

Anehnya meski Oka dan Dwarapala yang lain tak dapat memahami perkataan makhluk itu, Andi dan Sitanggang dapat memahaminya!

"Siapa kamu dan kenapa kamu ada di sini!" hardik Andi yang kini sudah mengambil alih kendali atas tubuhnya lagi.

"Y' ah jh'ger ng Y' ah ahl'n'gha orr'ee llll ya uh'eog! (Aku pemburu dan aku memburu jiwa untuk tuanku!)" suara makhluk itu tak bisa dilacak dari mana asalnya karena ia seperti berada di seluruh sudut ruangan.

"Kita mungkin bisa kalahkan dia dan tuannya, tapi bersiap-siap saja ini akan jadi mimpi buruk Sitanggang. Buka kitab itu dan baca sembarang kata yang ada di sana!" ujar Datu Merah.

Sitanggang patuh dan membuka kitab yang semula tak kasat mata itu. Ketika halaman pertama ia buka langsung saja Sitanggang seperti tahu cara membacana.

Y' vulgtlagln ahorr'eog y'caldabb

uh'eog ot n'ghft shuggog

ahagl nilgh'ri hri's gotha

ephaiah mgepgoka

(Aku memuja Y'caldabb yang perkasa

Tuan dari Tanah Gelap yang ada jauh 'di bawah'

Setiap keinginan dari Sang Pemuja

Akan dikabulkan!)

Kegelapan yang menyelimuti ruangan itu mulai luruh dan makhluk yang tadinya tak nampak itu kini mulai tampak onggokan dagingnya di tengah-tengah kegelapan tersebut. Serangan dari Andi tadi rupanya membuat ia terluka berat sehingga ia tampak tak bisa bergerak dan hanya bisa terduduk lemas di depan sebuah robekan dimensi yang di baliknya kau bisa melihat ratusan bintang di langit malam.

Gn'th'bthnk ot gnaiigof'nn, llll mgepah'azanafl y'caldabb

L' h' ch'nglui'ahog sl'ea ng h' tharanak l' shuggog

(

Darah anak-anak mereka dikumpulkan untuk Y'caldabb

Untuk menghancurkan segelnya dan membawanya ke dunia

)

Itu adalah kata-kata terakhir dari makhluk itu sebelum tubuhnya dihancurkan Sitanggang dengan Pamodilan miliknya.

"Sekarang bagaimana?" tanya Sihar.

"Bang Sihar tetap di sini, yang lain boleh ikut dengan kami ke dunia yang ada di balik robekan dimensi ini. Tapi yang lain bebas apakah hendak ikut kita atau tidak, sebab di dunia di balik portal ini, jimat timah hitam dari Ihutan Naipospos mungkin tak lagi bisa melindungi kalian."

*****

Sihar akhirnya patuh untuk tinggal sementara Oka, Qoiry dan Zikri memilih untuk ikut Sitanggang serta Andi ke dunia di balik portal itu. Apa yang mereka saksikan sungguh ada di luar bayangan mereka. Mereka seperti berada di aula batu yang luasnya berkali-kali lipat lapangan sepakbola di mana di ujungnya tampak sebuah dinding batu abu-abu yang memiliki rekahan warna merah darah.

"Dan di sini Sitanggang! Kita harus dorong makhluk itu kembali ke dalam dinding!" Datu Merah keluar sejenak dari raga Sitanggang dan menunjuk ke arah rekahan tersebut.

Tak lama sesudah itu kelima anak muda itu menyaksikan pemandangan yang ada di luar nalar. Dari dalam rekahan merah itu keluar belasan bentuk tangan manusia berukuran raksasa, tangan-tangan itu mencengkeram sisi-sisi luar dinding batu itu kemudian siapapun pemilik tangan itu tadi menghantam-hantamkan tubuhnya dari balik dinding batu dan tampak berusaha memperlebar rekahan itu namun tak dapat.

Sitanggang dan Andi mendekat disusul oleh Oka dan kedua rekannya. Ketakutan mulai merayapi pikiran mereka dan sekonyong-konyong Simbora milik Oka mulai tampak retak dan kemudian hancur menjadi serpihan.

Lalu Oka mulai merasakan sensasi seperti paku menghujam ke otaknya, tangannya tak lagi dapat ia kontrol dan sekonyong-konyong nyaris saja pelatuk senjatanya ia tekan kala moncong senapan itu mengarah ke arah Sitanggang, untung saja aksinya itu berhasil dicegah oleh Zikri.

"Surung ma ho Batara Pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung jari-jari, ina ni pungpung jari-jari, Batara si pungpung jari. Surung pamungpung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu!" Sitanggang mengetukkan tongkatnya ke lantai bangunan itu dan kemudian tujuh bola sinar keunguan keluar dari ujung bawah tongkatnya. Ketujuh bola itu berubah rupa menjadi jarum kemudian menghujam ke tujuh dari belasan tangan yang muncul dari dalam rekahan tersebut.

Terdengar suara marah dan mengerang dari balik dinding tersebut dan juga tanah di sekitar mereka mulai bergetar, meski begitu mantra Sitanggang tadi berhasil menahan gerakan tujuh tangan raksasa tersebut.

"Qoiry! Bantu Andi! Andi siap-siap pengawalnya muncul!" ujar Sitanggang.

Benar saja tak lama kemudian sejumlah makhluk yang serupa dengan makhluk yang mereka temui di atas Ourang Medan kini mewujud dari lantai batu yang mereka pijak. Qoiry dengan gesit langsung menembaki setiap makhluk yang muncul. Di dunia ini, mereka ternyata bisa disakiti, tak seperti di dunia nyata. Adapun Andi langsung menyambar senapan Oka dan melakukan hal serupa. Meski kemampuan beladirinya tinggi, Andi merasakan akan lebih efektif melindungi Sitanggang yang tengah merapalkan mantra dengan senapan ketimbang kemampuan beladiri.

Zikri yang berusaha menahan Oka agar tidak terus meronta juga sesekali memberikan tembakan dukungan meski mempertahankan Oka yang histeris tanpa diketahui sebabnya ini juga tidak mudah. Tenaga Oka yang lebih senior dan lebih tua dari dirinya jelas lebih besar daripada Zikri yang baru saja lulus dari pelatihan setahun yang lalu. Tapi sejauh ini Dwarapala junior itu berhasil menahan dan mengunci gerakan Oka agar tidak mengamuk lebih jauh lagi.

Sitanggang lantas mewujudkan empat Sigale-gale guna membantunya berkonsentrasi dari gangguan makhluk-makhluk pemburu jiwa tersebut.

Setelah Andi, Qoiry, dan Zikri diiringi bantuan Sigale-gale miliknya bisa cukup menguasai situasi, Sitanggang mengerahkan seluruh energinya yang tersisa ke dalam tongkat Tunggal Panaluan miliknya lalu mengarahkannya ke arah dinding batu merekah tersebut.

Aku manomba Debata di Banua Ginjang

Debata Mula Jadi Nabolon

Debata mula mula

Debata Asiasi
Debata Soripada

Debata Mangala Bulan

Aku manumpur huta ni musu

Aku aninganing Debata

Manggomal pintuna

Pat parapat

Dilangkophon pintuna

(

Aku beri hormat pada Debata di Banua Ginjang

Debata Mula Jadi Nabolon

Yang adalah debata pertama

Debata Asiasi

Debata Soripada

Debata Mangala Bulan

Aku tengah bertempur dengan kampung musuh

Kumohonkan pada Debata

Agar menutup pintu gerbangnya

Rapatkan rapatkan

Rapat dan tutup agar tidak bisa dilalui musuh

)

Apapun maksud mantra yang diucapkan Sitanggang tersebut, sebuah sinar merah terang keluar dari tongkat Sitanggang dan menghantam rekahan merah tersebut. Suara marah dan menggeram-geram keluar dari dalam rekahan tersebut dan rekahan itu kini perlahan-lahan tertutup.

Begitu rekahan itu tertutup sempurna, kendali Oka terhadap raganya ia rasakan perlahan pulih. Ia berhenti meronta lalu dengan bantuan Zikri serta Qoiry akhirnya ia berhasil berdiri tegak kembali.

"Sekarang kita kembali ke kapal itu," ujar Sitanggang.

Namun kejutan lain menanti mereka begitu mereka kembali ke kapal Ourang Medan, seluruh badan kapal itu bergetar. Pipa-pipa yang sudah berkarat itu mulai lepas satu demi satu dan dinding-dinding kapal tua itu mulai retak-retak dan pecah lalu meledak.

"Kita harus segera keluar dari sini! Terjun ke laut!" ajak Andi yang sudah diberitahu bahwa kejadian ini bisa saja terjadi oleh Karaeng Baning.

Semua rekannya tak ada yang membantah, melalui sebuah dinding ruang kargo yang sudah pecah dan berlubang besar, mereka semua pun terjun ke laut. Kala di dalam laut, Andi mengumpulkan semua rekan-rekannya dan menyuruh mereka berpegangan pada dirinya erat-erat. Lalu setelah itu Andi mengaktifkan sistem roket pendorongnya pada kecepatan terendahnya dan perlahan mereka menuju ke arah pesisir guna bertemu kembali dengan KRI T. Amir Hamzah yang sudah terlebih dahulu sudah menuju arah pesisir sesuai arahan Karaeng Baning tadi.

Kelima anak muda itu akhirnya bertemu dengan KRI T. Amir Hamzah sebelum mencapai pesisir dan akhirnya mereka berlima ditolong naik ke KRI tersebut. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top