Bab 20.4 : Ihutan Naipospos

Asrama Dwarapala Tim-A, Medan, 19.40 WIB

"Makhluk itu mampu menghancurkan otak manusia dalam sekejap. Operasi penanganan Kapal Hantu SS Ourang Medan ini tidak boleh diikuti orang banyak. Kita nanti akan dapat lebih banyak mayat ketimbang orang hidup jika kita nekat mengikutsertakan banyak orang."

"Berapa orang maksimal yang boleh ikut Sitanggang?" tanya Sihar.

"Lima orang Bang! Di luar jumlah itu tak yakin aku bisa lindungi semuanya."

"Karaeng Baning mungkin bisa lindungi kita juga dari serangan makhluk itu?" Oka memberikan pendapatnya.

"Tak bisa," ujar Karaeng Baning, "Melindungi kalian semua sekaligus menyiapkan dimensi kantong untuk menjebak makhluk di Ourang Medan itu pekerjaan berat. Aku pun tak yakin bisa melakukannya."

"Tapi jika jumlah tim yang masuk kapal terlalu sedikit, bagaimana kita bisa menyisir seluruh kapal dan menemukan benda apapun itu yang dahulu dibawa Unit 731?" Letkol Dimas, prajurit TNI bergelar Doktor, pimpinan Unit Lima Cabang Sumatra Utara mulai mengkhawatirkan prospek anak-anak buahnya bisa keluar dari kapal hidup-hidup.

Semuanya diam, pilihannya sama-sama sulit, jika yang masuk kapal terlalu sedikit maka ada kemungkinan benda misterius yang dahulu dikuasai Unit 731 tak bisa mereka temukan dan bisa jadi jatuh ke tangan yang salah, jika yang masuk kapal cukup banyak maka artefak atau benda apapun itu mungkin bisa ditemukan tapi taruhan nyawanya besar. Baik TNI AL maupun TNI AD sudah tidak bisa lagi mengorbankan personel mereka lebih banyak lagi karena perang masih belum selesai. Menerjunkan seluruh Dwarapala ke sana tanpa dukungan personel TNI? Juga bukan pilihan bagus! Dwarapala aktif di Sumatra Utara tinggal enam, kondisi Fajar sekarang seperti itu, dan generasi baru Dwarapala juga belum siap mengisi kekosongan personel di Tim-A.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba ponsel Letkol Dimas berbunyi. Kala ponsel itu ia angkat, terdengarlah suara Profesor Denny dari seberang, "Doktor Dimas, saya akan kirim kolega saya untuk membantu saya terkait Ourang Medan itu. Beliau akan datang pukul 20.00 nanti. Terima kasih!"

Lalu sambungan langsung diputus.

Letkol Dimas hanya bisa terdiam namun akhirnnya memutuskan untuk menunggu kolega dari atasannya tersebut.

******

Pukul 20.00 tepat sebuah kendaraan sedan berhenti di hadapan asrama para Dwarapala. Turun dari kendaraan tersebut adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tubuhnya dibalut baju safari, kain ulos tersampir di satu lengannya, dan ada semacam sorban menghiasi kepalanya. Pria itu membetulkan letak kacamatanya sejenak sebelum berjalan mendekati gerombolan anak muda plus sejumlah prajurit yang menunggunyaa sedari tadi di teras asrama.

"Selamat malam!" sapa pria itu.

Sitanggang yang sedang dirasuki Datu Merah tiba-tiba refleks mendekat, menundukkan kepala kepada orang itu, dan berujar, "Horas Raja Ihutan!"

"Horas Datu Sitanggang! Kami sudah lama dengar soal Anda!" jawab pria itu sopan meskipun biasanya orang yang lebih muda tidak pernah disapa sesopan itu oleh tokoh tua-tua Batak.

"Saya Letnan Kolonel Dimas Nazra, komandan Unit Lima Cabang Sumatra Utara," Dimas mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan orang itu.

"Saya Daoni Mara Naipospos, Raja Ihutan Parmalim dari Huta Tinggi Samosir, Anggota Dakara! Kepala BIN dan teman lama saya, Denny, yang meminta saya kemari. Jadi kita berangkat malam ini juga?"

"Kami punya masalah soal itu, Sitanggang tidak percaya diri bisa melindungi kami semua dari serangan Kroda yang mampu merusak pikiran itu," ujar Letkol Dimas.

"Saya punya solusinya Letnan Kolonel, tapi sebelum itu saya mohon dengan sangat pada adik-adik ini. Saya sempat dengar ada yang berkasak-kusuk soal saya, beberapa dari kalian sebut saya seorang Sipele Begu! Itu sangat tidak sopan dan di medan tempur nanti itu akan mengurangi efektivitas metode yang saya pakai untuk lindungi kalian semua," ujar Naipospos.

"Apa metode yang akan Bapak berikan pada kami?" tanya Sihar.

"Hampir sama seperti cara Datu Sitanggang, saya akan memakai metode Simbora. Kalian semua harus bawa satu simbora di balik baju zirah kalian. Semua personel TNI yang ikut dalam operasi kali ini juga harus membawa sebuah Simbora. Saya akan berfokus melindungi kalian sementara Datu Sitanggang dan teman-temannya akan berfokus mengalahkan makhluk kroda itu."

"Simbora itu apaan sih?" celetuk Zikri.

"Jimat timah hitam buatan para Datu Batak," jawab Sihar pelan, "Kopral Sitanggang juga sering pakai untuk bertempur melawan kroda."

"Oh! Sipelebegu!" celetuk Zikri lagi yang langsung berbuah sebuah cubitan keras di perutnya oleh Qoiry.

=======
Parmalim / Ugamo Malim = agama tradisional Orang Batak

Raja Ihutan = pemimpin tertinggi Parmalim, kira-kira mirip Paus versi Parmalim

Sipelebegu = sebutan orang kebanyakan untuk menyebut Datu-Datu Batak yang mempraktekkan ilmu hitam, kadangkala penganut Parmalim juga sering disamakan sebagai Siepelebegu. Sipelebegu sendiri punya arti : penyembah roh jahat.
=======

*******

Selat Malaka, 23.30 WIB

KRI Inong Balle yang ditugaskan menjadi garda terdepan operasi penetralisir "Ourang Medan" sudah mendapati kapal kargo berhantu itu tengah berlayar semakin mendekati Kota Tanjungbalai. Karena saluran komunikasi rawan terputus, para awak Inong Balle langsung menembakkan pistol suar ke udara guna memberitahu kemunculan kapal hantu itu. Begitu awak kapal KRI T. Amir Hamzah melihat suar itu, bergegaslah kapal perang itu melaju ke arah pistol suar itu.

Ketika KRI T. Amir Hamzah makin mendekat ke arah kapal hantu itu, mereka menyaksikan dari kejauhan ada sejumlah kapal patroli bercorak loreng-loreng tengah mengamati kejadian di sana. Komandan kapal T. Amir Hamzah sempat panik karena dari ciri-ciri kapal tersebut mereka adalah kapal milik Angkatan Laut Diraja Malaysia.

"Apa kita sudah terlalu dekat dengan perbatasan?" tanya Letkol Dimas yang turut serta dalam operasi dan mengenakan zirah Kemladingan sebagai pelindung diri.

"Tampaknya begitu Letkol!" ujar Komandan KRI T. Amir Hamzah. "Navigasi kita tampaknya kacau, kita hanya tinggal beberapa mil saja dari perbatasan Malaysia!"

"Mungkin saya bisa usir mereka!" ujar Andi di balik zirah Tubaraninya.

"Aku tak mau tahu caranya pokoknya mereka harus pergi! Cepat kau usir mereka Tubarani!"

Andi langsung terjun ke dalam laut dan dengan segera sistem roket pendorong zirah Tubarani mengarahkan dirinya ke arah kapal-kapal perang Angkatan Laut Diraja Malaysia. Tubarani menyelam sampai kedalaman 300 meter, kemudian Karaeng Baning menyuruhnya berhenti. Ia diam saja selama beberapa saat sebelum Karaeng Baning mengambil alih kontrol zirahnya.

Karaeng Baning mengucapkan sesuatu, seperti campuran antara Bahasa Bugis yang Andi kenal serta bahasa yang datang dari masa yang telah lampau dan sudah terlupakan. Seketika Andi merasakan ada arus bawah laut yang kuat dan bergulung-gulung melintas di kanan dan kirinya kemudian mengarah ke lambung kedua kapal perang Malaysia itu. Kedua kapal itu oleng dan goncang, tampak adanya retakan di lambung keduanya. Tak lama setelah itu kedua kapal itupun berbalik arah dan Andi pun kembali mengaktifkan roket pendorongnya menuju kapal hantu Ourang Medan tersebut.

Di waktu yang bersamaan KRI T. Amir Hamzah menembakkan meriam ke arah Ourang Medan dan menghancurkan bagian buritan kapalnya sehingga lajunya melambat dan perlahan berhenti. Begitu kapal hantu itu berhenti Ihutan Naipospos langsung naik turun ke haluan kapal. Tongkat Tunggal Panaluan yang mirip dengan milik Sitanggang hanya saja terbuat dari kayu tergenggam di tangannya. Begitu jarak KRI T. Amir Hamzah dan Ourang Medan sudah sangat dekat, Naipospos menghentakkan tongkatnya ke lantai haluan kapal sembari membacakan tonggotonggo kepada para Debata seperti Mulajadi Na Bolon, Soripada dan Manggala Bulan. Simbora setiap orang yang mengeluarkan sinar pendar jingga. Kemudian usai tonggotonggo usai ia ucapkan giliran tabas yang meluncur dari mulut Naipospos.

"Pagar hami so hona begu so hona aji ni halak! (Pagari kami sehingga tak ada kekuatan jahat bisa menyakiti kami!)"

Seketika dari lantai KRI T. Amir Hamzah muncul sesuatu yang terpental kembali ke arah geladak Ourang Medan. Tak ada yang bisa melihat jelas apa yang terlempar tadi tapi yang jelas warnanya hitam legam dan berbentuk seperti bola daging.

"Lemparkan tangga jaring!" Sihar memerintahkan para Dwarapala Tim-A melempar tiga tangga jaring ke arah Ourang Medan kemudian para Dwarapala itu dengan gesit menaiki tangga itu menuju dek Ourang Medan diikuti oleh rekan-rekannya dan terakhir oleh Sitanggang.

Adapun Andi memilih untuk langsung naik ke atas kapal dengan bantuan tenaga lontaran dari roket pendorong miliknya. Ia mendarat di geladak kapal yang agak rapuh namun karena refleks pertarungannya paling bagus di antara Lokapala, ia segera berhasil berdiri tegak kembali tanpa kesulitan.

"Sekarang bagaimana?" tanya Sihar kepada Sitanggang.

"Kita bagi tim Dwarapala jadi dua! Satu tim ikut aku dan tim lain dikawal Andi! Oka dan Bang Sihar akan bergerak bersama aku! Nanti Bapak-Bapak Marinir yang akan cari informasi di geladak kapal! Tim yang saya kawal cari ke kabin awak kapal sampai ruang mesin, sementara tim yang dikawal Andi biar cari ke ruang kemudi dan sisir lantai dua."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top