Bab 20.3 : Tondi
Markas Unit Lima Tanjung Paser, 10.30 WITA
Ruang rapat ini biasanya hanya dimasuki oleh orang-orang penting di Unit Lima. Dwarapala ataupun Lokapala tidak pernah sekalipun diajak masuk kemari karena di sini hadirin sering berbicara adalah petinggi-petinggi militer atau menteri-menteri negara. Namun hari ini situasinya tampak berbeda. Sitannggang, Oka, dan Andi diperbolehkan masuk dan di hadapan mereka tampak Mayor Pusaka dan Samad selaku Wakil Kepala Unit Lima, berhadapan dengan citra holografis dari Panglima Kodam Bukit Barisan, Dimas Nazra – Kepala Unit Lima Cabang Sumatra Utara, serta Kepala Badan Intelijen Negara.
"Situasi di Selat Malaka ini bisa jadi berkembang di luar kendali," ujar Dimas Nazra, "Dan Dwarapala Tim A takkan bisa mengatasinya. Jumlah mereka kini tinggal tujuh orang dan itupun hanya lima orang yang kondisi mentalnya cukup stabil untuk diterjunkan ke lapangan."
"Situasi di TNI AL juga tidak baik, kondisi mental awak kapal KRI T. Amir Hamzah juga terguncang pasca mengalami teror di Selat Malaka itu. Sesuatu jelas-jelas mampu merusak pikiran prajurit-prajurit terbaik kita!" sambung Sang Kepala BIN.
"Bagaimana dengan KRI Erabu Biru, Bapak?" tanya Pusaka.
"Tim gabungan dari Marinir dan Kostrad Raider Medan berhasil mengembalikan kapal itu ke galangan TNI AL di Pekanbaru tapi harganya mahal. Beberapa anggota Marinir mengalami mimpi buruk terus menerus hingga tak bisa tidur sementara seorang Kostrad Raider baru saja melakukan percobaan bunuh diri meski dia baru saja menjalani tes psikologi rutin sebulan yang lalu dan hasilnya normal."
"Kami membawa Lokapala yang kira-kira bisa dimintai penjelasan soal ini, Mayor Jendral!" ujar Samad kepada Sang Pangdam Bukit Barisan, "Sitanggang, kamu paling ahli soal begini-begini, silahkan kemukakan pendapatmu."
Sitanggang melirik kepada Datu Merah yang berdiri di belakang Samad namun tak bisa dilihat oleh mata Sang Pangdam dan Kepala BIN karena mereka tak memiliki teknologi lensa khusus Unit Lima. Sitanggang meminta ijin pada Datu Merah untuk bicara apa adanya dan Datu Merah hanya menjawab dengan anggukan.
"Maaf Bapak-Bapak, tapi pernahkah Bapak-Bapak mendengar soal Tondi?" tanya Sitanggang.
Sang Pangdam mengernyit tak mengerti sementara Sang Kepala BIN dan Letkol Dimas Nazra tampak paham dengan perkataan Sitanggang.
"Mitosnya orang Batak ya?" tebak Letkol Dimas Nazra.
"Tubuh manusia terdiri dari tubuh fisik dan sejumlah roh yang mendiaminya. Di kaki kita ada roh, di tangan ada roh, di badan ada roh, dan di kepala juga ada. Kalau satu roh hilang katakanlah yang di kepala maka hilanglah pikiran orang itu."
"Maksudmu jadi sinting, Kopral?" tebak Sang Kepala BIN.
"Semacam itu! Jadi dugaan aku adalah apapun yang ada di kapal kargo itu menghisap atau melahap tondi kita sedikit demi sedikit."
"Oh ya bagaimana dengan kabarnya Dwarapala yang terlibat dalam penelusuran di kapal terkutuk itu, Letkol Dimas?" Pusaka tiba-tiba sadar bahwa daritadi mereka belum membicarakan nasib Fajar dan dua rekannya.
"Fajar seperti orang hilang ingatan, Qoiry dan Zikri terguncang tapi masih bisa bercerita cukup jelas. Ngomong-ngomong soal kapal itu ... kapal itu nomor registrasinya aneh, tidak tercatat dalam nomor registrasi kapal manapun yang pernah berlayar. Dan namanya itu lo ... SS Ourang Medan!" ujar Letkol Dimas.
"Kapal yang jadi urban legend itu ya," sambung Samad.
"Kapal itu membawa sesuatu ..., dibawa oleh orang-orang Jepang setelah kekalahan mereka pada Perang Dunia ke 2," ujar Sitanggang.
Sang Kepala BIN terhenyak, "Dari mana kau dapat informasi itu Kopral?"
Pusaka dan Samad juga tak mengerti, mereka tidak pernah mendapatkan info seperti itu tapi jika melihat reaksi Kepala BIN seperti itu maka jelas informasi itu benar atau setidaknya menyerempet kebenaran.
"Apa yang BIN tahu soal itu, Bapak?" tanya Sang Pangdam Bukit Barisan.
"CIA dan Jōhōhonbu – Badan Intelijen Pertahan Jepang – pernah membuka salinan soal kapal itu kepada BIN. Dikatakan bahwa saat Rikugun Dai Nippon menduduki Kota Medan, mereka menemukan seorang Warga Belanda, antropolog amatir dan mantan mandor kebun karet di Jambi. Orang Belanda ini tidak pernah ditangkap oleh Rikugun ataupun dijarah rumahnya oleh warga lokal entah mengapa. Setiap perwira dan prajurit Rikugun yang datang untuk menggeledah rumahnya selalu saja mundur bahkan seorang anggota Laskar Pemuda langsung hilang ingatan sekembalinya dari rumah itu."
"Kala Orang Belanda ini meninggal, Rikugun yang sudah dalam posisi kalah diam-diam menjarah isi rumahnya. Satu temuan mereka menarik hati seorang perwira dari Nana-san-ichi Butai alias Unit 731."
"Sebentar!" Samad menghentikan pembicaraan, "Unit 731 ini unit yang terkenal karena mengujicobakan bakteri dan virus kepada tawanan perang bahkan pernah buat ratusan Romusha di Klender tewas massal karena vaksin typhus dan kolera mereka dicemari oleh bakteri tetanus?"
Sang Kepala BIN mengangguk.
"Dan perwira yang tertarik dengan Si Orang Belanda ini siapa namanya, Pak?" tanya Letkol Dimas.
"Mereka hanya menyebutnya 'Fumio' dan Fumio juga tidak melaporkan secara detail mengenai apa yang ia temukan di rumah orang Belanda itu. Ia hanya menuliskan bahwa temuannya bisa jadi menjadi senjata pamungkas Dai Nippon di ranah diplomasi!"
"Jadi benda apapun ini adalah semacam pengontrol pikiran?" Sang Pangdam Bukit Barisan menyimpulkan.
"Lebih buruk daripada sekedar pengontrol pikiran, Bapak," ujar Sitanggang, "Benda ini bisa memanggil makhluk dari seberang yang sulit dikontrol dan memiliki kemampuan membuat dimensi kantong! Siapapun yang terjebak dalam dimensi kantong miliknya takkan bisa keluar dari sana."
=======
Dimensi kantong = istilah dalam fisika teoritis mengenai keberadaan suatu dimensi lain yang tidak seluas alam semesta. Dimensi kantong bisa jadi hanya berisikan ruang yang hanya cukup untuk menyimpan sebuah barang, atau tampak seperti sebuah kamar, sebuah rumah dengan pekarangannya, atau sebuah kota tapi di luar dimensi itu hanya ada kehampaan.
=======
"Lantas apa nama makhluk ini?" tanya Letkol Dimas.
"Makhluk ini tak bernama," kata Sitanggang, "Namanya sudah terlupakan sejak bertahun-tahun yang lalu dan legenda soal makhluk ini juga sudah sirna seutuhnya. Hanya Usana-Usana seperti Datu Merah sajalah yang masih ingat soal keberadaannya."
"Bagaimana kita bisa hentikan makhluk ini?" tanya Sang Pangdam.
"Dengan menyerangnya ke dimensi kantongnya atau jebak dia di dimensi kantong buatan kita sendiri!"
"Dan kau bisa lakukan itu, Sitanggang? Membuat dimensi kantong?" tanya Samad yang mulai tidak yakin.
"Saya tidak tapi Usana milik Andi bisa!"
******
Andi sebenarnya belum mengerti benar soal segala macam mengenai Usana, Kroda, dan makhluk-makhluk aneh yang selama ini mereka temui, tapi apa daya, ia memang jarang berbicara dengan Usana partnernya, tidak seperti Lokapala yang lain, karena selama beberapa minggu yang lalu masih diorientasi. Setelah masa orientasi dan minggu neraka selesai sekalipun, penyesuaian Andi dengan sekolahnya yang baru membuat dirinya tidak sempat bicara banyak dengan Usana Karaeng Baning. Jadi bisa dibayangkan betapa kagetnya Andi ketika Sitanggang – Si Kontet Dari Batak Yang Riang Gembira – itu bisa tahu soal kemampuan Usana partnernya yang Andi saja tidak tahu.
Andi melirik pada Karaeng Baning yang mewujudkan diri sebagai kura-kura raksasa dengan cangkang paduan warna hitam dan warna kuning nyaris jingga. Yang ditatapi tampak tak peduli malah asyik bicara sendiri dengan Datu Merah, entah bicara soal topik apa.
"Kamu yakin bisa kendalikan kemampuan itu Andi?" tanya Mayor Pusaka.
Andi hanya mengangkat bahu, "Saya belum pernah mencobanya, Mayor. Lagipula baru kali ini saya tahu Karaeng Baning punya kemampuan semacam itu."
"Karaeng Baning? Bagaimana menurutmu?" tanya Samad sembari membetulkan letak kacamata khusus miliknya yang membuatnnya mampu melihat keberadaan makhluk astral seperti Kroda dan Usana.
"Aku yakin Andi bisa kendalikan kemampuan ini. Tak sulit sebenarnya, hanya seperti menahan nafas dalam air selama beberapa puluh menit," jawab Karaeng Baning.
"Oh? Itu sebabnya ya waktu masa orientasi kamu meminta kami menenggelamkan Andi di tangki air dingin selama 10 menit sampai 100 kali percobaan?"
"Iyek!"
======
Iyek = iya (dialek Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat)
======
Andi masih ingat orientasi kejam itu. Dibangunkan pukul 2 pagi oleh para prajurit zeni Unit Lima kemudian dipaksa menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali celana pendek dan disuruh turun ke tangki air sedalam 5 meter yang sejatinya dipakai untuk menguji kekuatan zirah Tubarani untuk menahan tekanan dalam laut. Air dalam tangki itu sangat dingin dan asin, Andi hanya bisa bertahan selama 3 menit saat itu, tapi begitu ia keluar untuk menghirup udara, ia hanya diberi waktu 10 detik kemudian ditenggelamkan lag. Begitu terus sampai sekitar 30 kali barulah ia boleh keluar dan mandi air hangat.
Positifnya latihan itu : sekarang ia mampu menyelam selama 30 menit tanpa alat bantu, negatifnya : saat itu ujian Matematika dan Bahasa Inggrisnya nol karena otaknya mampet dan kayaknya bergeser dari posisinya semula. Awalnya Andi jengkel, tapi setelah melalui minggu neraka bersama kelima rekan barunya, barulah Andi menyadari bahwa setiap Lokapala memang mengalami perlakuan tidak manusiawi selama masa pelatihannya. Ignas adalah rekan sekaligus seniornya yang paling blak-blakan soal itu.
"Sa diminta panjat tebing tinggi. Kata Bapa-Bapa itu 30 meter tingginya, tapi sa panjat harus pakai tangan kosong punya! Tak ada itu nama tali buat aman. Kalau jatuh sa mati sudah! Yang lain sa yakin sangat pasti alami hal-hal macam begitu tapi dengan bentuk beda-beda," begitu Ignas membagikan kisahnya saat minggu neraka tempo hari.
"Jadi positif Mayor Jendral, Letkol Dimas, dan Bapak Kepala BIN, kita akan kirimkan Sitanggang dan Ignas untuk membantu Tim-A Dwarapala. Karena daya dukung Tim-A sedang kurang, kami akan kirimkan juga Oka sebagai bala bantuan."
*****
Pangkalan Udara Soewondo (d/h Bandara Internasional Polonia), Medan, 15.00 WIB
Unit Lima tidak membuang-buang waktu lebih banyak lagi. Tak sampai satu jam setelah pertemuan antara Sitanggang, Andi, dan Oka bersama para pejabat militer tadi usai, mereka langsung diminta terbang ke Pangkalan Udara Soewondo di Kota Medan guna membantu Tim-A Dwarapala. Perjalanan mereka selama 3 jam di udara sama sekali tak terasa karena tiga anak muda itu memutuskan untuk tidur sejenak sebelum nanti malam mengalami hari yang panjang. Bahkan ketika pesawat angkut TNI itu mengalami turbulensi hebat, tampaknya tak ada satupun tiga anak muda itu yang terbangun dari tidur mereka.
Ketika mereka akhirnya mendarat di landasan pacu bandara, barulah ketiganya terbangun. Sitanggang yang seharusnya tampak antusias karena pulang ke rumahnya, kota Medan, malah bereaksi datar-datar saja. Tentu saja ini membuat Usana Karaeng Baning yang sedari tadi menumpang di raga Andi bertanya, "Kenapa anak ini tidak girang ketika pulang kampung?"
"Karaeng, kalau kau sudah tahu bagaimana rasanya pasar di Medan, aku ragu kaupun akan rindu tempat ini," jawab Datu Merah.
Karaeng Baning memiringkan kepalanya tak mengerti tapi dia akhirnya tidak bertanya lebih jauh sebab anak yang ia dampingi sudah diminta turun dari pesawat. Segera saja ia merasuk kembali ke dalam raga Andi. Ketiga anak muda itu diantar untuk naik ke sebuah mobil minibus berplat militer dan beberapa menit kemudian Karaeng Baning langsung paham alasan Datu Merah tadi mengatakan hal demikian.
Pasar yang dimaksud Datu Merah adalah jalan raya dan sebagaimana sudah jadi rahasia umum jumlah pengendara tak patuh aturan di Kota Medan termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Di sebuah perempatan jalan suara klakson bertalu-talu tanpa henti padahal lampu lalu lintas masih merah warnanya. Sang sopir minibus yang ditumpangi Sitanggang dan kawan-kawannya sampai membuka jendela dan berseru, "Jangan terus-terus saja kau pencet itu klakson! Diam kau Lae! Lampu masih merah Lae! Dasar! Ketua sekali kau!"
Ketika lampu akhirnya hijau, tanpa disangka-sangka sejumlah pengendara motor dari arah berlawanan yang seharusnya lampunya sudah merah melakukan manuver 'berani mati' dengan berbelok ke lajur yang arus lalu lintasnya berlawanan dengan dirinya kemudian naik ke trotoar dan memaksa sejumlah pejalan kaki menyingkir.
"Eh, dari dulu aku sudah sering dengar kalau kota Medan kadang semrawut lalu lintasnya, tapi apa sih maksudnya 'Ketua Sekali Kau' itu?" tanya Oka yang sekarang penasaran.
"Coba lihat baliho dan papan-papan iklan itu Lae. Banyak sekali Bapak-Bapak Berkumis Tak Sadar Umur menggengam tangan ke atas sambil memproklamirkan diri sebagai ketua organisasi masyarakat. Kalau bukan Ketua Pemuda Cinta Keadilan Medan, ya Ketua Pemuda Cinta Tanah Air, lalu ada lagi yang Ketua Pemuda Tumpah Darah Indonesia, habis itu Ketua Pemuda-Pemudi Peduli Bangsa dan ah banyak lah. Semua bilang dirinya ketua, semua ingin jadi ketua, padahal Bapak-Bapak yang jadi ketua itu juga jadi ketua di ormas apa juga? Nama ormasnya pakai pemuda tapi wajahnya sudah mendekati setengah abad. Apa namanya itu kalau bukan 'ketua sekali kau'?"
Andi cekikikan karena mendengar betapa lucunya Sitanggang kala menjabarkan setiap hal. Kalau diingat-ingat di keals pun Sitanggang sering memakai analogi sinting seperti itu untuk menjelaskan presentasi di kelas. Contohnya segitiga sama kaki akan disebut Sitanggang sebagai segitga poligami yang adil adapun segitiga yang tidak sama kaki akan disebut Sitanggang sebagai segitiga poligami yang berat sebelah. Sejumlah guru merasa agak keberatan dengan penjabaran Sitanggang yang 'tidak biasa' seperti itu, itu sebabnya jika ada tugas yang harus dipresentasikan beberapa guru lebih memilih untuk melewati Sitanggang atau jika Sitanggang bergabung dalam suatu kelompok jangan Sitanggang yang presentasi.
Untungnya Sitanggang itu anaknya asyik dan setelah masa orientasi selesai Andi mendapati bahwa Sitanggang itu adalah Lokapala yang paling bisa diajak main bareng karena sama-sama suka video game. Sayangnya kesibukan beruntun di sekolah membuat Andi juga jarang main bareng dengan Sitanggang.
"Kita sudah sampai," sopir minibus mereka berhenti di sebuah bangunan yang merupakan wisma milik TNI AD, "Tim A menunggu kalian di dalam."
"Terima kasih sudah mengantar kami Kopral!" ujar Oka.
"Semoga berhasil dan semoga semuanya selamat!" Sang Sopir membantu ketiga remaja itu menurunkan barang-barang mereka dan mengantar mereka ke ruang tamu asrama di mana Sihar dan rekan-rekan Dwarapalanya tengah duduk di ruang tamu dengan beralasakan bantal dan tikar.
Di antara mereka ada seorang remaja yang sangat mencolok karena ukuran tubuhnya yang paling kekar dan bongsor di antara semua anggota Dwarapala Tim-A. Posturnya mengingatkan Oka pada sosok Rangga namun wajahnya jelas tidak. Wajahnya bahkan pernah membuat Oka yang saat itu masih berusia 12 tahun takut setengah mati sebab sosok remaja itu dahulu gemar merundung Oka. Sudah tak terhitung berapa kali Oka ditenggelamkan kepalanya ke kamar mandi oleh sosok remaja bernama Fajar itu jika Oka tidak mau memberikan 'setoran mingguan'. Fajar juga dahulu gemar memukul atau menendangi Oka dan ia hanya berhenti jika pelatih atau sesama Dwarapala senior seperti Sihar mau menegurnya. Tapi jika tindakannya tidak ketahuan, ia akan memukuli Oka lebih parah lagi. Lalu suatu ketika Fajar tak lagi meminta setoran lagi pada Oka dan juga tak berani mengganggunya lagi. Oka saat itu tak tahu apa sebabnya tapi ketika Sihar menceritakan soal Rangga di Tanjung Paser tempo hari itulah Oka baru paham jika Rangga saat itu menghajar Fajar habis-habisan dan mengancam akan memperlakukan Fajar lebih buruk lagi jika Fajar masih mengganggu Oka.
Tapi Fajar yang menyeramkan itu kini tak lagi tampak di sana. Tatapan matanya menatap lurus dan kosong. Beberapa rekannya seperti Lidya Situmorang dan Sihar Siregar berusaha mengajaknya bicara tak ada satupun reaksi yang ia berikan. Mulutnya terbuka dan air liurnya terkadang mengalir keluar tanpa bisa ia cegah. Sosok Fajar sekarang lebih mirip mayat hidup dibandingkan kondisinya dahulu. Oka memang tidak suka dengan Fajar tapi ia prihatin juga melihat kondisi seorang rekan sesama Dwarapalanya jadi seperti itu.
"Horas Bang Sihar, juga Abang-Abang dan Ito-Ito sekalian dari Tim A!" sapa Sitanggang menyapa komandan Dwarapala Tim-A beserta rekan-rekannya.
"Horas Sitanggang! Senang sekali anggota kehormatan Tim-A pulang kandang juga setelah lama mengembara ke tanah seberang!" Sihar tampak berdiri dan memeluk Sitanggang, "Ah! Siapa ini? Dwarapala baru?" Sihar menunjuk ke arah Andi.
"Lokapala Baru, Letnan," jawab Oka.
Sihar tampak bingung karena ia sama sekali belum dengar soal Andi, "Nama?" Sihar menunjuk ke arah Andi.
"Pratu Andi Ampa Rawallangi, Letnan."
"Orang mana?"
"Bugis-Makassar, tapi tinggal di Tanjung Paser."
Sihar langsung menoleh ke arah Oka, "Anak ini aslinya warga sipil kan?" nada suaranya khawatir.
"Sitanggang dan yang lainnya juga dahulu warga sipil, Letnan. Saya akui bahwa Andi memang masih baru tapi Letnan harus percaya pada saya bahwa dia cukup bisa diandalkan. Dia tahu harus bergerak dengan cara apa dan bagaimana."
"Abang Sihar! Bolehkah saya lihat kondisi Sersan Mayor Fajar?" Sitanggang meminta izin.
"Ah! Ah! Ya! Silahkan!"
Sitanggang langsung mendekati Dwarapala yang hilang ingatan itu lalu menempelkan kepalanya ke dahi Sang Dwarapala. Kemampuan istimewa Sitanggang langsung aktif dan rekaman ingatan dari Fajar langsung bermain di otak Sitanggang.
Sitanggang menyaksikan sosok ganjil yang tiba-tiba muncul di samping Fajar kala Fajar mencoba kabur dari Erabu Biru itu. Sosok itu ganjil, tak bermata, berkulit pucat dan penuh lendir, tapi seolah tembus pandang karena begitu ia menyentuh kepala Fajar, makhluk itu tidak menyentuh helm maupun kepala Fajar.
Melainkan langsung ke otaknya!
Sitanggang terhenyak mundur, tubuhnya menggigil dan sensasi seperti otaknya disentuh tangan dingin yang kasar dan berlendir itu masih membekas di kepalanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top