Bab 20.1 : Ourang Medan

Selat Malaka, 23.30 WIB

KRI Erabu Biru nomor lambung 829 milik TNI AL baru saja menyelesaikan putaran kedua patroli rutin mereka di Selat Malaka. Sejauh ini situasi tampak masih aman terkendali. Drone-drone jelajah yang dikontrol pusat kontrol mereka di Tanjungbalai juga tidak melaporkan adanya hal-hal aneh. Hanya sejumlah nelayan dari Inderapura dan Tanjungbalai yang berlayar sampai mendekati perbatasan Indonesia dan Malaysia untuk memancing ikan dan menangkap cumi. Semua nelayan sudah melaporkan aktivitas mereka masing-masing melalui radio.

Bagi komandan kapal KRI Erabu Biru, Letnan Kolonel Ismail Hidayat, semuanya tampak normal-normal saja, namun kehadiran tiga anak remaja dengan baju zirah Dwarapala di haluan kapalnya menjadikan dirinya penuh kewaspadaan. Dia sudah sering mendengar tentang fasilitas rahasia milik negara bernama Unit Lima yang melatih sejumlah anak-anak remaja berkemampuan psikis untuk mengatasi masalah yang 'tak tertangani' oleh anggota TNI biasa namun baru kali ini ia bertemu mereka secara langsung. Ketiga anak muda itu tak banyak bicara, di balik zirah dan helm mereka, takkan ada yang menyangka jika yang paling tua dari mereka sekalipun masih berusia 18 tahun, masih di bawah usia termuda anggota TNI yakni 19 tahun. .

"Sersan Mayor Fajar!" Ismail memanggil anggota tertua sekaligus komandan tim kecil Dwarapala itu, "Sudah kalian temukan sesuatu yang dirisaukan oleh Doktor Dimas dan Panglima Kodam Bukit Barisan?"

"Belum Letnan Kolonel! Qoiry? Bagaimana? Sudah dapat sinyal baru?" tanya Fajar pada anggotanya.

Dwarapala wanita itu hanya menggeleng, "Sinyal dan jejak kabut darah itu menghilang Sersan. Maaf sekali saya dan Zikri sama sekali tidak menangkap tanda apa-apa."

Lalu operator radio kapal kapal tiba-tiba menginterupsi pembicaraan Ismail dan para Dwarapala itu, "Maaf Dan! Ada dua perahu nelayan melaporkan sebuah kapal sepertinya terdampar di tengah laut. Hanya 11 mil laut dari perbatasan dengan Malaysia!"

"Kapal pencuri ikan?" juru mudi kapal menduga-duga.

"Bentuknya seperti kapal kargo Komandan, tapi tampaknya dari kapal generasi lama, sudah banyak karatnya katanya," sambung operator radio itu lagi.

"Dwarapala! Laporkan perkembangan ini kepada Unit Lima! Kami akan ajak kalian ke kapal yang terdampar di gosong karang, lalu kalian akan kami pulangkan ke Inderapura!" ujar Ismail.

"Siap Dan!" Fajar dan kedua rekannya memberi hormat pada Sang Letkol.

******

Jarak antara titik yang dimaksud kedua nelayan itu sekitar 92 mil laut atau 170 kilometer. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam karena kecepatan kapal yang mereka tumpangi maksimal hanya 53 knots. Fajar dan Zikri terus berkomunikasi dengan Markas Unit Lima Cabang Sumatra Utara di Sibolangit tapi begitu semakin mendekat ke arah kapal terdampar itu sinyal mulai mengalami gangguan. Radio mereka hanya menangkap statik dan ternyata radio kapal KRI Erabu Biru pun dilaporkan mengalami hal serupa.

Dari kejauhan tiba-tiba mereka melihat kehadiran kapal perang perusak KRI T. Amir Hamzah juga turut mendekat ke arah mereka. Ketiga Dwarapala dan Sang Letkol komandan KRI Erabu Biru saling pandang. Kapal perang tipe perusak tidak akan diterjunkan jika bukan situasi darurat. Sudah jadi rahasia umum jika Kementerian Pertahanan, meskipun anggarannya selalu jadi anggaran dengan porsi terbesar di APBN namun sebenarnya jumlahnya masih kurang untuk menutupi biaya operasional TNI. Sebagai akibatnya di TNI AL misalnya, kapal-kapal yang bukan kapal patroli biasanya hanya diisi bahan bakar setengah penuh dan baru diisi penuh jika harus melakukan misi. Itu sebabnya di perairan lepas dan perbatasan-perbatasan lautan yang jauh dari daratan biasanya hanya ada kapal-kapal patroli semata yang berpatroli, sebab kapal patroli lebih sedikit konsumsi bahan bakarnya.

Tapi selain hanya ada kapal patroli saja yang jaga perairan lepas, jumlah kapal patroli di TNI AL sebenarnya juga kurang memadai untuk menjaga seluruh wilayah lautan NKRI, itu sebabnya satu kapal harus mengitari area luas, bisa mencapai luas 500-1000 km persegi, dan harus dilakukan berulang-ulang. Dengan tidak maksimalnya jumlah kapal patroli, maka jangan heran jika kapal pencuri ikan sering melintas masuk wilayah Indonesia. Adanya kesatuan Kepolisian Perairan, Direktorat Bea Cukai, dan Gugus Tugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sama sekali tidak banyak membantu.

Oleh karena itulah kehadiran KRI T. Amir Hamzah artinya adalah pernyataan bahwa situasi sudah gawat. Letkol Ismail dan tiga Dwarapala itu menyaksikan KRI T. Amir Hamzah menyampaikan pesan kepada mereka lewat lampu sinar yang dinyala-matikan, sebuah kode morse. Dan pesan yang disampaikan oleh KRI T. Amir Hamzah sangat tidak baik.

"T-A-R-G-E-T K-I-T-A A-D-A-L-A-H K-R-O-D-A! K-A-P-A-L K-A-R-G-O I-T-U K-R-O-D-A"

Sinyal radio tiba-tiba lumpuh dan kabut merah darah tampak turun menyelimuti permukaan lautan. Para Dwarapala itu mulai menarik senjata mereka dari punggung dan melepas katup pengaman senapan mereka. Ketika kapal yang dimaksud mulai tampak, mereka menyaksikan ada dua kapal kayu milik nelayan tradisional setempat terapung-apung tanpa lampu dan juga tampak tanpa awak sama sekali.

Lampu sorot kapal mengamati bahwa kapal ini benar adalah kapal kargo tapi yang membuat Letkol Ismail terhenyak adalah jenis kapal ini. Berdasarkan apa yang telah ia pelajari di Akademi AL, kapal ini termasuk tipe kapal kargo lama, biasa beroperasi sekitar tahun 1940-an sampai 1950-an. Bahan bakarnya masih solar, bukan hasil distilasi metana klarat seperti kapal-kapal modern saat ini.

Ismail berusaha tetap tenang tapi pelan-pelan dia berjalan mendekati Fajar, "Sersan Mayor, biasanya apa yang akan kita temukan di kapal kroda seperti ini?"

"Setan Bapak!" jawab Fajar setengah berbisik, "Yang entah kenapa bisa lepas ke muka bumi."

******

Belajar dari pengalaman TNI AL dengan kasus De Dragoons beberapa waktu yang lalu*), KRI T. Amir Hamzah dan KRI Erabu Biru sama sekali tidak melepaskan tembakan ke kapal kargo yang seluruh badan kapalnya sudah berkarat di sana-sini tersebut. Mengingat sejumlah nelayan telah hilang dari kapal mereka tanpa penjelasan dan tidak bisa diandalkannya drone dalam kasus ini maka yang bisa mereka lakukan adalah mendekat dengan hati-hati kemudian menaikkan beberapa prajurit pilihan bersama 3 Dwarapala yang ikut dengan mereka guna memeriksa kapal.

=======
*) lihat Lokapala Season 1 Chapter 11 : De Vliegende Hollander
=======

Fajar, wakil komandan Tim A, memimpin dua rekannya masuk ke dalam palka kapal dan menyusuri lorong panjang yang mengarah ke deretan kabin-kabin yang diisi oleh meja kayu yang sudah membusuk dan ranjang-ranjang besi yang telah berkarat. Lantai kabin seluruhnya basah oleh air, pertanda kebocoran terjadi di lambung kapal dan mulai naik ke tempat ini. Tapi kapal yang lahir dari fenomena penuh anomali seperti ini bisa saja melawan hukum fisika dengan tidak tenggelam ke dalam air. Meski begitu Qoiry sempat terperosok cukup dalam karena lantai yang ia injak ternyata rapuh sekali.

"Kita harus melangkah lebih hati-hati," ujar Fajar memperingatkan dua rekannya yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan dari keduanya.

Karena komunikasi terputus, Fajar sama sekali tak bisa berkomunikasi dengan tim dari TNI AL yang menyusuri jembatan komunikasi serta ruang mesin. Tapi sejenak Fajar merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan, seolah setiap dinding di tempat ini memiliki mata dan telinga yang menyaksikan dan mendengar semua aktivitas mereka. Fajar memang punya kepekaan lebih tinggi dibandingkan Dwarapala kebanyakan, karena itu jika ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, ia merasa lebih baik mengikuti nalurinya daripada tidak selamat.

Tanpa berkomunikasi dahulu dengan rekan-rekannya, Fajar langsung menarik sebuah granat kejut (flashbang) dari ikat pinggangnya kemudian melemparkannya ke ujung lorong di hadapannya. Baik Qoiry maupun juniornya, Zikri, sempat terkejut dengan perlakuan Fajar, namun segera saja mereka berterimakasih karena tindakan Fajar itu. Sebab karena tindakan Fajar itulah apa yang sebelumnya tak tampak kini tampak.

Mereka melihat tiga layon yang sebelumnya bersembunyi di balik pintu-pintu loker, menunggu mangsa, kini berhamburan keluar. Ketiga Dwarapala itupun langsung melepaskan tembakan yang merobohkan tiga layon tersebut. Sesudah itu suasana kapal terasa hening, sepi, bahkan terlalu hening. Fajar merasa mereka tidak baik berlama-lama di kapal tersebut, karena itu ia cepat-cepat memerintahkan Qoiry dan Zikri keluar dari kabin dan kembali ke haluan kapal. Dari sana mereka cepat-cepat naik ke geladak kapal tapi di tengah jalan Zikri melihat nomor registrasi kapal yang sudah pudar disertai nama kapal tersebut.

SS Ourang Medan

******

Kala ketiga Dwarapala itu tiba kembali di haluan kapal, mereka mendapati kesunyian yang terlalu hening.

"Sepi nyenyet!" Zikri yang keturunan Pujakesuma itu berkomentar.

=======
Pujakesuma = Putra Jawa Kelahiran Sumatra, keturunan orang Jawa yang orangtua atau leluhurnya pindah ke Sumatra.
=======

"Kembali ke Erabu Biru!" ujar Fajar.

Qoiry dan Zikri langsung saja mengikuti Fajar berlari ke sekoci milik Erabu Biru namun kejutan ternyata sudah menanti mereka. Ternyata tidak ada seorang pun lagi yang menjaga sekoci Erabu Biru. Tapi Fajar tak mau membuang waktu. Dimintanya Qoiry dan Zikri turun ke sekoci dan dia turun terakhir, kemudian bertiga mereka menyalakan motor kapal sekoci itu dan berlayar kembali ke Erabu Biru.

Di Erabu Biru meski tampak beberapa lampu sorot menyala, yang mereka temukan ternyata sungguh tak mereka perkirakan. Jasad-jasad prajurit TNI AL, awak Erabu Biru, tampak terbujur kaku dengan di sepanjang geladak dan haluan kapal. Ekspresi mulut mereka menganga dan mata mereka melotot. Apapun yang mereka lihat tampaknya sangat menakutkan dan hal itu membuat adrenalin ketiga Dwarapala itu semakin memuncak.

"Apapun yang ada di kapal itu mungkin sudah ada di sini," bisik Zikri.

"Atau saat ini makhluk itu sedang ada di T. Amir Hamzah!" balas Qoiry.

"T. Amir Hamzah tak tampak lagi, apakah mereka berputar balik?" ujar Fajar.

"Apapun yang terjadi, sebaiknya kita segera pergi dari sini Sersan Mayor!" usul Qoiry.

"Aku setuju," sambung Zikri.

"Baiklah, aku akan jalankan kapal! Kalian berdua lindungi aku dari apapun yang akan muncul!" ujar Fajar.

Ketiga Dwarapala itupun segera bergegas menuju ruang kemudi dengan berusaha sesedikit mungkin membuat suara saat melangkah. Kala mereka tiba di ruang kemudi mereka mendapati sosok jenazah Letkol Ismail dan jurumudi tampak menggenggam senjata dan radio komunikasi.

Fajar menyalakan kembali panel kontrol kapal patroli ini dan setelah memastikan semua perangkat kapal berada dalam kondisi baik ia pelan-pelan menyalakan mesin dan dengan sedikit latihan mengemudikan kapal yang pernah ia terima dari Unit Lima, ia putar balik kapal menuju pesisir timur Sumatra.

Sampai sekitar 30 km berjalan, tak ada masalah apapun yang dihadapi oleh kapal Erabu Biru namun setelah satu jam perjalanan Fajar mendapati perangkat komunikasi kapal masih belum juga menangkap sinyal radio apapun.

"Ada Kroda di kapal ini!" ujar Fajar setengah berbisik kepada dua rekannya.

"Bagaimana ini Sersan Mayor?" tanya Qoiry.

"Kita tidak bisa begini terus!" ujar Fajar, "Tapi kita sama sekali tidak tahu apa yang akan kita hadapi jadi kita tidak tahu cara melawan mereka."

"Usul saya Sersan Mayor, kita merapat dahulu ke pangkalan TNI AL dan biarkan mereka melakukan kontak dengan Unit Lima. Biar Letnan Sihar dan lainnya bisa kemari untuk memberikan dukungan!" usul Zikri.

"Kroda ini mengacaukan alat-alat komunikasi, sangkamu dia tidak bisa mengacaukan alat komunikasi di pangkalan TNI AL nantinya?" balas Fajar.

"Lantas apa yang bisa kita lakukan sekarang Sersan Mayor?" tanya Qoiry, "Kalau kita berhadapan dengan Kroda ini kita kalah jumlah, mati pun terhitung kita mati konyol, sebab kita sama sekali tak dapat memberi sumbangsih apa-apa kepada Unit Lima soal makhluk ini!"

Fajar terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya memikirkan sebuah skenario. Kemudian dilihatnya jenazah jurumudi dan Letkol Ismail yang memegang radio padahal jelas-jelas sinyal radio kacau, takkan ada transmisi yang bisa sampai ke kapal manapun lebih-lebih Pangkalan TNI AL atau Unit Lima.

"Kecuali ....," Fajar mulai menyadari sesuatu, "Zikri! Periksa rekaman di perangkat radio!"

Zikri mengangguk patuh kemudian mulai mengutak-atik perangkat radio kapal, berusaha mencari rekaman suara baik yang sudah ditransmisikan ataupun yang gagal ditransmisikan. Log terakhir tranmisi radio adalah sekitar 2 jam yang lampau dan percakapan itu gagal ditransmisikan.

"Kami mendengar ....," itu suara Letkol Ismail, "Suara minta tolong dari dalam kapal. Suara awak kapal kargo tersebut. Bahasanya Inggris!" Letkol Ismail terdengar ragu dan terbata-bata.

"Sesuatu ada di sini," Letkol Ismail melanjutkan, "Kami temukan Prada Zulfiqar tewas dengan mulut menganga tapi tetap berdiri kaku di senapan mesin yang ia jaga. Pelda Aritonang yang bertugas di dapur selanjutnya."

"Kami kirim sinyal morse ke KRI T. Amir Hamzah, menyuruh mereka pergi! Supaya dinding-dinding mereka tak bersuara seperti kami! Dinding-dinding! Ya! Dinding-dinding kapal kami bertelinga dan bermulut! Siapa mendengar dan berbicara pada dinding ....," tranmisi hening lama sekali.

"Juru mudi sudah mati!" kembali keheningan menyeruak sebelum akhirnya suara terakhir Letkol Ismail terdengar, "Saya mati!"

Fajar langsung berinisiatif memeriksa sekoci darurat kapal dan mendapati masih ada 2 sekoci yang tersisa. Ia mulai berinisiatif membuka sejumlah kait pengaman sekoci melalui panel kontrol dan menyisakan hanya satu kait pengaman untuk mempertahankan sekoci tersebut.

Kemudian Fajar mengambil sebuah pensil di meja jurumudi dan karena tak ada kertas di sana, ia menulis di meja dengan permukaan putih tersebut.

10 km dari bibir pantai, turun pakai sekoci!

Begitulah kalimat yang dituliskan Fajar di sana.

Kala jarak 10 km dari bibir pantai makin mendekat, Fajar mulai mengurangi kecepatan kapalnya sebelum akhirnya menurunkan dua sekoci itu ke laut kala KRI Erabu Biru sudah mulai melambat. Ketiga Dwarapala tersebut berjalan menuju bagian belakang kapal kemudian Zikri dan Qoiry terjun lebih dahulu. Fajar sebagai pemimpin tim merasa dirinya harus menjaga keduanya sampai akhir. Ketika ia mendapati keduanya sudah berenang sampai sekoci barulah ia terjun. Namun tanpa ia sangka, tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri sesosok makhluk ganjil. Makhluk itu tidak bermata, tubuhnya tinggi berotot namun tak proporsional karena kepala dan lehernya menyatu, mulutnya menganga dan menampilkan deretan gigi yang panjang dan tajam sementara lubang-lubang aneh tampak pada dada dan perutnya. Makhluk itu mencengkeram Fajar, membuka mulutnya dan Qoiry serta Zikri menyaksikan senior dan atasan mereka terjatuh tanpa daya ke lautan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top