BAB 19.5 : BALI TARTAR!
Dibandingkan dengan Lanun yang pernah Panji lawan di lautan dahulu, Kroda Tartar ini masih lebih bisa diikuti pergerakannya. Masalah utama Panji adalah jumlah mereka yang banyak dan Panji sendirian. Jika ada rekannya seorang saja, Panji yakin bisa menangani jumlah sebanyak ini, tapi jujur saja ia tidak terlalu percaya diri melawan 11 kroda sendirian.
Satu kroda akhirnya berhasil ia penggal kepalanya, tapi kemudian ada tiga kroda lain yang menembakinya dengan anak-anak panah. Kala ia menangkis serangan-serangan itu, dengan bilah pedang kembarnya, giliran ia nyaris disabet oleh sebuah golok besar dan meskipun ia berhasil menghindar, salah satu kroda berhasil menembus pertahanan Panji dan menusuk salah satu betis kakinya dengan pedang mereka. Kroda itu segera ia tebas dan sirna namun teman-temannya kini bermanuver semakin cepat dan semakin brutal menggoreskan pedang mereka ke zirah Panji.
Lalu sekonyong-konyong ada sesuatu yang membuat lima dari sembilan kroda yang tersisa itu terpental ke angkasa. Terdengar suara gelegar seekor gajah dan dari balik para prajurit Tartar itu kini ada seekor gajah yang rupanya agak ganjil. Selain tingginya yang tidak terlalu jauh beda dengan tinggi orang dewasa, gajah ini juga mengeluarkan pendar sinar hijau!
"Gajah Liman!" suara Warak dalam zirah Panji terdengar senang melihat sosok itu.
"Siapa dia?"
"Teman lama! Sekarang habisi semua Orang Tartar yang masih sisa!"
Gajah Liman langsung menyabetkan belalainya menghantam sesosok kroda Tartar lalu tak sampai sepuluh detik menusukkan gadingnya ke sesosok kroda yang lain. Panji di lain sisi berhasil menebas tubuh tiga kroda sekaligus dan sekarang jumlah kroda yang tersisa hanya tinggal empat.
"Panji! Gajah Liman mau membantu kita! Naiki punggungnya!"
Panji langsung menaiki punggung Si Gajah seperti instruksi Warak. Karena ukuran gajah ini tidak terlalu tinggi maka Panji, meski kakinya cedera, tidak terlalu kerepotan saat menaiki gajah ini. Kejutan justru datang ketika Panji usai memposisikan dirinya di punggung Liman. Tiba-tiba saja ia sudah berada di samping posisi empat kroda yang tersisa. Salah satunya bahkan ada dalam jarak serang Panji.
Panji berhasil menebas leher Kroda Tartar yang ada dalam jarak serangnya, sekarang sisa tiga kroda lagi. Panji berniat menerjang salah satu kroda yang ada di hadapannya dan tanpa disuruh Liman langsung menusukkan gadingnya ke tubuh kroda malang itu.
Sisa dua kroda membuat Panji langsung mencabut pistolnya dari kompartemen senjata. Keduanya mengambil posisi yang berlawanan dan menembakkan anak-anak panah ke arah Panji. Kembali Liman berkelit dengan langkah yang nyaris tak terlihat oleh mata telanjang dan memposisikan dirinya tepat di belakang sesosok kroda. Satu tembakan telak menyirnakan sang kroda sementara kroda yang tersisa kini berusaha melarikan diri namun langsung dihancurkan oleh tubrukan gading Liman.
"Sekarang bagaimana?" tanya Panji.
"Nonaktifkan dulu zirahmu," begitu Warak berujar dan Panji mematuhinya, "Lalu biarkan Liman mengantarkan kita pulang ke Nglegok!"
Si gajah gaib itu mengeluarkan suara khas gajah yang riang lalu membawa Panji ke tujuannya dengan berlari melintasi jalanan yang telah sepi.
Sesampainya di dekat RS, Gajah Liman tiba-tiba sirna dan membuat Panji terjatuh di aspal keras.
"Duh! Ke mana dia?"
"Oh? Liman? Coba lihat tangan kirimu," Panji melihat ke tangan kirinya dan ia terkejut saat menyadari dirinya sudah memegang sebuah keris yang tidak tahu ia dapat dari mana.
"Liman adalah gajah tunggangan para raja, termasuk Usana, tapi ia tidak seperti Toka yang bisa bicara bebas. Liman setia pada satu tuan, terutama jika tuannya itu dari keturunan raja. Jaga baik-baik keris itu, nanti kita serahkan pada Unit Lima."
"Eeeee," Panji tak terlalu memperhatikan penjelasan Warak karena ia rasa ada sesuatu yang ia lupakan tadi.
"ASTAGA!" Panji kini panik.
"Kenapa?"
"Motorku ketinggalan di Makam Ki Ageng Sengguruh! Dan di sana sekarang ada dua jenazah!"
******
Dusun Karanganyar Barat, 13.00 WIB.
Penemuan jenazah Haji Imran Jajuli beserta sesosok paranormal itu langsung jadi kehebohan. Di mana-mana warga membicarakan bagaimana Sang Kamituwo yang sejatinya bukan warga asli desa itu namun dijadikan tetua karena kecerdasan dan sikap murah hatinya itu harus mengalami kematian yang tragis. Prosesi pemakamannya dipadati oleh ratusan warga dari empat dusun. Panji sendiri sebenarnya tidak mau ikut-ikutan dalam acara pemakaman sosok bajingan yang masih tidak puas juga punya empat istri dan berani-beraninya mengguna-guna orangtuanya. Meski begitu demi mewakili keluarganya Panji akhirnya menghadiri prosesi pemakaman tersebut karena Ibunya belum kuat beraktivitas normal.
Masalah motornya yang ketinggalan di TKP akhirnya berhasil diurus oleh Unit Lima dengan bantuan Koramil setempat. Motor itu ia laporkan dicuri saat ia menunggui ibunya di RS dan Panji juga menyediakan sejumlah alibi untuk kepolisian dengan bantuan 'kesaksian buatan' dari Koramil setempat. Luka di betisnya untungnya pulih cepat, sekarang nyaris tak berbekas dan itu wajar karena salah satu keuntungan dirinya bergabung dengan Lokapala adalah luka fisik apapun yang ia derita pulih 2-3 kali lebih cepat daripada manusia biasa.
Panji berharap ini adalah terakhir kalinya ia harus melihat orang mati di hadapannya. Ia tidak menyukai Pak Imran tapi jujur saja ia sama sekali tak berharap orang itu mati, apalagi mati tragis seperti itu. Tapi yah, apa mau dikata, Imran sendiri yang memilih jalan seperti itu kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top