BAB 19.2 : MENTHONG

Dusun Karanganyar Barat, Desa Modangan, 22.30 WIB

Usai mengunci pintu rumahnya, Panji dengan menggunakan jaketnya berjalan menyusui jalanan desa yang tak berasapal menuju ke rumah Pak Kamituwo bernama Majid. Di kantong celananya sudah ia bawa amplop berisi uang dari ibunya, tak lupa ia bawa sejumlah uang cadangan guna berjaga-jaga jika uang yang ia bawa kurang.

Meskipun malam semakin larut,bukan sekali-dua kali Panji berpapasan dengan sesama pemuda desa dan warga yang masih berkeliaran di jalanan atau sekedar ngobrol di depan rumahnya. Di desa ini memang jarang ada orang yang tidur di bawah jam 1 pagi ditambah adanya sebuah tradisi unik yang sering dijalankan bersama tradisi melekan ini.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Pak Majid" sapa Panji kepada Sang Kamituwo yang tampak masih terjaga di depan rumahnya sambil memberi makan kucing liar dengan potongan-potongan ikan asin.

"Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," pria yang usianya sudah lima puluhan namun seluruh rambutnya masih hitam legam dan dibiarkan tumbuh melampaui leher itu langsung berdiri menyambut Panji. Keduanya bersalaman dan Pak Majid langsung mengajak Panji duduk di dalam ruang tamunya.

"Mau minum apa Dek?" tanya Majid ketika ia telah duduk di kursi ruang tamu.

"Ah kok repot-repot Pak, kula mriki namung badhe mangsulaken arta ingkang ibu kula ngampil [Ah kok repot-repot Pak, saya kemari hanya hendak mengembalikan uang yang dipinjam Ibu saya saja kok]."

"Ladalah! Bu Tari nika kados pundi sih? Taksih gerah kok malah manah nyaur utang [Lho, Bu Tari ini bagaimana sih? Masih sakit kok malah mikirin bayar hutang]? "

"Nggih kula nggih mboten mangertos Pak Majid, kula nanging dipuntedha kados niki [Ya, saya juga tidak tahu Pak Majid, saya hanya dimintai Ibu seperti itu]."

"Duh kula kok dadi mboten eca. Eh aku malah lali, Mas Panji kepriye kabare [Duh aku kok jadi nggak enak hati. Eh aku lupa, Mas Panji gimana kabarnya]?"

"Sae Pak, alhamdulillah! Bapak kados pundi? [Baik Bapak, alhamdulillah! Bapak bagaimana?]"

"Alhamdulillah! Tasik roso![ Masih kuat dan perkasa!]" Pak Majid tampak memamerkan otot lengannya yang memang kekar berotot, "Mas Panji sakolah è dimmah? Ghi è pesantren?[Mas Panji sekarang sekolahnya di mana? Masih di pesantren?]" tiba-tiba saja Pak Majid ganti bahasa dari bahasa Jawa ke bahasa Madura.

Kebanyakan penduduk di desa itu hanya bisa bahasa Indonesia dan Jawa saja, bahkan sebagian anak mudanya pun sekarang sudah kebingungan memakai bahasa Jawa. Tapi beberapa penduduk desa ini ada yang bisa bahasa Madura juga, dikarenakan sebagian penduduk desa ini punya menantu orang Madura, salah satunya ya keluarganya Panji itu.

"Engko' marè ta' agghi' è pesantren, bâjarina engko' sakolah è SMA Akademi Kumala Santika, Tajhung Paser,[Sekarang saya tidak lagi di pesantren, tapi sekolah di SMA Akademi Kumala Santika, Tanjung Paser]" Panji yang dilahirkan dari ayah seorang Madura tulen dan Ibu warga desa setempat biasa diajak bicara tiga bahasa oleh orangtuanya sejak kecil karena itu dia enteng saja menjawab tantangan dari Sang Kamituwo.

Pak Majid tertawa terbahak-bahak lalu mengacungkan ibu jarinya, "Wah Nak Panji ini bener-bener deh! Anak muda lain tak ajak ngomong Madura malah melongo, padahal Bapak ini kan pengen bisa belajar bahasa Madura biar nggak plonga-plongo saja waktu keluarga besan datang nanti. Hahahaha!"

Panji pun ikut tertawa dan pembicaraan antara keduanya berlanjut cukup lama sampai akhirnya terdengar denting kentongan poskamling 12 kali, pertanda hari sudah menginjak pukul 12 malam.

"Walah Pak! Saya sampai lupa waktu! Saya mohon pamit dulu ya Pak!" ujar Panji.

"Lha Mas Panji! Jangan dulu lah! Temanin saya menthong dulu dong!"

Menthong adalah salah satu tradisi unik di desa ini, menthong adalah tradisi makan berat di tengah malam atau larut malam. Makan berat ya artinya makan dengan nasi dan lauk pauknya sekalian. Nggak peduli apakah sorenya sudah makan menthong yah menthong saja. Panji membayangkan Regina pasti akan jengkel setengah mati dengan tradisi ini karena kebanyakan karbohidrat itu sebenarnya kan tidak baik menurut ilmu kedokteran. Meski yah kalau mau dilihat data secara statistik lebih banyak pasien yang kena stroke di daerah lain yang tidak punya tradisi ini daripada di daerah Modangan dan sekitarnnya yang punya tradisi menthong kan?

"Yah, baiklah Pak! Monggo Bapak rumiyin![Silahkan Bapak yang makan lebih dulu!]"

******

Perut Panji rasanya mau meletus karena menthongnya Si Bapak tadi nggak kaleng-kaleng. Ada rendang, gulai, pecel lele, nasi kuning, sama tahu-tempe. Mana Si Bapak maksa ambilkan nasi buat Panji dan ngambilinnya pakai porsi portugal pula.

=======
Portugal = porsi tukang gali = porsi besar
=======

Panji berkali-kali bersendawa saking kenyangnya atau orang setempat akan menyebutnya kemlakaren. Ia berpikir sesampainya di rumah ia harus duduk dulu selama beberapa jam sampai perutnya tenang kembali. Tapi seketika pikirannya dibuyarkan oleh suara seperti kembang api yang melintas di angkasa. Kepala Panji mendongak dan dilihatnya ada sebentuk sinar merah seperti kembang api tapi melintas secara horizontal di angkasa dan memandanginya saja membuat seluruh bulu kuduk Panji berdiri.

******

Rumah Sakit Dr. Aliya, Nglegok, Kab. Blitar, 10.00 WIB

Panji merasa lumayan beruntung karena kondisi ibunya relatif stabil jadi belum perlu dirujuk ke RS lain yang lebih besar. Hal ini dikarenakan apabila terjadi pecah pembuluh darah otak RS Dr. Aliya belum memiliki peralatan yang memadai untuk menangani kasus semacam itu sehingga harus dirujuk ke RSUD di pusat kota. Pagi ini ibunya sudah sadar dan sudah bisa makan meskipun Panji harus membantu menyuapi ibunya akibat tangan beliau masih kebas dan gemetaran.

"Kapan kamu datang, Le?" tanya ibunya.

"Kemarin sore, Bu."

"Kembar dan Dega piye Le?"

"Ada di rumah Lik Bambang sekarang."

"Utangku karo Pak Majid wes kok balekno to Le? [Hutangku di Pak Majid sudah dibayar, Nak?]"

"Sampun Bu. Udah, Ibu istirahat dulu saja nggak usah mikir-mikir yang berat dulu. Dokter tadi kan juga sudah bilang begitu," ujar Panji sembari menyuapi Ibunya sesendok lagi.

"Le, aku arep takok karo kowe. [Nak, aku mau nanya sama kamu.]"

"Nggih Bu?"

"Yen Ibu rabi maneh, kowe setuju apa ora? [Kalau Ibu menikah lagi, kamu setuju atau tidak?]"

Oke! Ini kejutan besar bagi Panji. Sejak ayahnya gugur dalam tugas saat usia Panji baru 10 tahun tidak pernah sekalipun Panji lihat Ibunya dekat dengan laki-laki lain. Pun ketika Panji masih bersekolah di sebuah ponpes modern sebelum direkrut menjadi Lokapala belum pernah dia dengar Ibunya dilamar orang. Oke, memang selama setahun ini Panji jadi agak jauh dengan keluarganya karena Lokapala menuntut totalitasnya dalam belajar dan bertarung, tapi melalui komunikasi dengan Dega dan Paklik Bambang, Panji belum pernah dengar Ibunya dekat dengan pria lain.

Tidak, tidak, Panji bukannya takut akan ancaman kekejaman Bapak Tiri, tapi Panji curiga ada faktor lain kenapa Ibunya mempertimbangkan menikah lagi, "Ibu banyak hutang?" tanya Panji.

Ibunya menggeleng, "Tidak Le! Ibu pinjam uang dari Pak Kamituwo itu juga karena gaji Ibu waktu itu telat turunnya."

"Terus kenapa Ibu mau nikah lagi?"

"Ibu kesepian."

"Terus kalau boleh Panji tahu calonnya Ibu siapa ya?"

Ibunya tampak senyum-senyum sendiri, "Nanti kalau Ibu sudah keluar dari RS, Ibu kenalin sama calon bapakmu ya?"

Oke! Semua pembicaraan ini sudah masuk tahap sangat menakutkan! Kondisi Sang Ibu sudah dalam tahap tidak normal di mata Panji.

******

Ketika Lik Bambang datang ke RS bersama Dega untuk menggantikan Panji menjaga ibunya, Panji meminta untuk bisa bicara berdua sebentar dengan pamannya itu.

"Lik, apa Ibu lagi punya pacar?"

Ekspresi pamannya tampak bingung, "Hah? Mbak Tari punya pacar? Gosip dari mana kamu dapat itu, Nji?"

"Dari mulut Ibu sendiri."

"Kapan Mbakyu ngomong gitu?"

"Barusan Lik, makanya aku nanya apakah Paklik tahu soal itu?"

"Demi Allah, Nji, aku ya baru dengar sekarang. Begini saja, biar saya dan Ibu kamu ngomong-ngomong dulu nanti perkembangan selanjutnya akan saya kabari kamu. Oke?"

"Nggih Lik," Panji hanya bisa mengangguk dan bergegas pulang ke rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top