BAB 17.5 : BATU TERBELAH
Markas Unit Lima, 01.00 WITA
"Batu Bertangkup?" alis Profesor Denny naik sebelah ketika mendengar laporan Sitanggang mengenai makhluk yang ia curigai menjadi dalang di balik hilangnya orang-orang di bagian selatan kota, "Aku belum pernah mendengar makhluk ini sebelumnya. Bisa ceritakan lebih jauh Sitanggang?"
Sitanggang menekan beberapa tombol keyboard di mejanya, mengetikkan kata kunci "batu bertangkup" dan mulai menjelaskan soal makhluk yang mereka hadapi, "Batu Bertangkup adalah makhluk yang biasanya menelan orang-orang yang secara sukarela datang kepada mereka. Biasanya orang-orang yang memilih ditelan Batu Bertangkup adalah orang-orang yang mengalami tekanan hidup. Kita bisa melihatnya jelas di legenda-legenda yang tersebar di seantero Sumatra. Misalnya di Gayo Aceh, ada legenda mengenai 'Batu Belah Batu Bertangkup' di mana sekeluarga petani yang memiliki anak sulung yang durhaka mengalami kemalangan yang tiada henti. Mulai dari kambing mereka hilang ketika digembalakan, persediaan beras terakhir yang dibuang si anak durhaka ke sumur, periuk tanah liat yang jadi harta terakhir mereka pecah di dapur, dan pada akhirnya si ayah yang tewas diserang babi hutan karena parang logamnya sudah tua dan aus sehingga patah ketika dipakai melawan babi hutan. Dalam kedukaan yang amat sangat, si istri yang merasa sudah tak sanggup lagi hidup berjalan ke sebuah batu. Menyanyikan kidung di hadapan sebuah batu besar.
Batu belah batu bertangkup.
Hatiku alangkah merana.
Batu belah batu bertangkup.
Bawalah aku serta.
"Itulah bunyi kidungnya. Begitu terucap batu itu membelah dua dan si ibu masuk ke dalamnya sebelum batu itu menutup kembali, mengurung si ibu di dalamnya untuk selama-lamanya. Varian cerita serupa dapat kita temukan pula pada legenda Batu Gantung di kota Parapat, Danau Toba. Seorang gadis yang tidak rela dijodohkan diceritakan terperosok ke sebuah lubang tebing lalu karena tak bisa keluar ia mengucapkan 'Parapat, Parapat' meminta si batu itu untuk menghimpitnya sampai mati dan itulah yang terjadi.
"Kisah lain yang serupa bisa kita lihat di Indragiri Hilir, Riau. Alkisah seorang janda tua yang frustasi mengurusi ketiga anaknya yang nakal dan tidak patuh akhirnya meminta kepada sebuah batu yang mampu bicara bernama Batu Batangkup untuk menelannya hidup-hidup," Sitanggang mengakhiri penjelasannya dan mendapati teman-teman serta para petinggi Unit Lima tampak saling pandang keheranan.
"Kisahnya agak ganjil ya?" tanya Sitanggang.
"Tidak, kami cuma heran saja," kata Pusaka, "bagaimana anak yang sehari-harinya main game sampai 10 jam ternyata sangat paham soal legenda seperti ini?"
Teman-temannya terkekeh tapi Sitanggang tetap pasang muka datar. Panji langsung menangkap kesan bahwa Sitanggang memang benar-benar sedang tidak bisa diajak bercanda sehingga ia menyilangkan kedua tangannya sebagai tanda kepada rekan-rekannya untuk lebih serius memperhatikan Sitanggang.
"Bagaimana kita bisa mengalahkan Batu Bertangkup ini?" tanya Denny.
"Kita butuh bom yang punya daya ledak setara dengan bom yang mampu meruntuhkan gedung 12 lantai," kata Sitanggang, "Atau kita pakai saja Panca Mukhi Usana untuk setiap Batu Bertangkup yang kita temui."
"Setiap?" Oka langsung berkomentar soal itu, "Berapa banyak Batu Bertangkup yang ada di sana?"
"Dari jumlah tengkorak manusia yang kita temukan tadi ada lebih dari tiga, aku menduga setidaknya ada dua Batu Bertangkup yang ada di dalam hutan."
"Repot jika kita harus mencarinya ke dalam hutan, apalagi jika bentuknya mirip dengan batu biasa," ujar Denny.
"Sitanggang, bisa kita pancing Batu Bertangkup ke area luar hutan? Dengan suatu ritual misalnya?"
"Bisa ... tapi ...," Sitanggang tampak ragu.
"Kenapa Kopral Sitanggang?" tanya Pusaka.
"Saya membutuhkan dua hal untuk ritual ini, tapi saya ragu apakah Unit Lima bersedia memenuhinya."
"Katakan saja apa yang kau butuhkan Sitanggang," ujar Profesor Denny.
"Saya membutuhkan seorang pasien dari RSJ atau poli psikiatri yang memiliki riwayat percobaan bunuh diri setidaknya sekali, kemudian saya membutuhkan 20 kantong darah dari PMI, golongan darah bebas, tapi sebaiknya yang mendekati tanggal kadaluarsa penyimpanan supaya kita tidak terlalu menguras persediaan stok darah."
Selain Nara, semua Lokapala yang hadir di sana tampak terperanjat dengan persayaratan yang diminta Sitanggang. Andi bahkan sempat melontarkan ketidaksetujuannya, "Maaf Prof, kita ini mau menangkap monster atau melakukan ritual pemujaan setan?"
"Yang akan dilakukan Sitanggang bukan ritual pemujaan setan, Pratu Andi. Dan jika kesannya ritual ini tidak sejalan dengan budaya dan pemikiran yang kamu anut, saya harus tegaskan satu hal : tidak semua setan bisa dimusnahkan oleh cara modern. Terkadang dukun-dukun tradisional justru punya trik-trik lebih bagus untuk memusnahkan mereka," kata Denny, "Baiklah Sitanggang, saya akan persiapkan semua yang kamu minta. Kamu juga perlu Dalihan Na Tolu?"
======
Dalihan Na Tolu = tiga tungku, tiga batu besar yang dipakai untuk menyangga periuk masak oleh masyarakat Batak Toba.
======
"Ah ya, itu juga!"
******
Andi tak habis pikir bagaimana ceritanya ada makhluk-makhluk yang bisa makan orang seperti ini di bumi Indonesia. Lebih tidak jelasnya lagi, makhluk ini coba dipanggil dengan ritual yang bawa-bawa darah dan orang gila. Kesannya ritual ini berhubungan dengan ritual pemujaan setan yang konon menurut cerita yang ia dengar dari forum-forum internet bisa jadi akan berakhir dengan kematian atau minimal mendatangkan kesialan kepada orang-orang yang apes.
Ia mulai berpikir-pikir untuk membuat-buat alasan agar tidak perlu hadir dalam ritual laknat yang akan dilaksanakan nanti malam pukul 20.00 itu, namun alasan apa yang harus ia utarakan ia masih belum tahu.
Namun rencananya untuk tidak hadir malam itu buyar begitu ia mendapati Usana Karaeng Baning tiba-tiba muncuk di hadapannya dengan posisi melayang di udara.
"Eeeeh!" Andi melangkah mundur selangkah karena kaget melihat Usana partnernya itu muncul tiba-tiba di hadapannya.
"Jangan berpikir untuk bolos, Nak! Nanti dendamu dinaikkan! Kamu mau kerja seumur hidup tanpa gaji di sini?"
"Njir!" Andi baru ingat urusan denda-dendanya itu, sepertinya untuk sementara dia memang tidak bisa membantah dan harus ikut apapun kata 'atasannya'.
*******
Tanjung Paser, 20.00 WITA
Malam ini Tanjung Paser tidak hujan, namun karena siang tadi hujan, tanah lapang yang menjadi tempat pelaksanaan ritual serta kayu-kayu bakar yang tadinya hendak dipakai untuk membuat api unggun menjadi basah. Meski begitu Sitanggang tampak tak mempermasalahkan semua itu. Ia dengan santai mengangkat kayu-kayu yang masih basah itu dari mobil tepak milik kepolisian kemudian mematahkannya dengan bantuan Andi serta Panji dan memasukkannya ke dalam tungku sebelum dituang dengan minyak jelantah untuk membuat kayu-kayu itu lebih mudah terbakar.
Sementara itu Regina dan Nara tampak memegangi seorang pria paruh baya yang berwajah kusut serta tatapan matanya kosong. Pria itu terkadang tampak tertawa-tawa sendiri sambil menunjuk-nunjuk tungku api dan berkata, "Makan ayam, makan ayam, makan kambing ya? Hehehehehehe! Wahahahahahahaha! Ekekekekekeke!!!!"
"Tolong ambil darahnya, Sersan Regina," pinta Sitanggang ketika ia mulai memotong tiga jeruk limau dan memercikkan air serta daging buahya ke dalam tungku guna mengurangi aroma minyak jelantah bekas penggorengan ayam krispi yang ia gunakan tadi sekaligus menguarkan aroma kegiatan masak-memasak.
Regina lantas memegang lengan pasien sakit jiwa tersebut kemudian dengan sebuah jarum suntuk ia menyuntik pembuluh darah pasien sembari menarik keluar sejumlah darah dari pembuluhnya dan memberikannya pada Sitanggang.
Darah si pasien kemudian dicampurkan Sitanggang ke dalam sebuah ember logam yang mana Ignas dan Andi sudah diminta untuk menuangkan 20 kantong darah nyaris kadaluwarsa ke dalam ember tersebut.
Sitanggang kemudian berjalan ke arah ember tersebut dan mengangkatnya lalu membawanya ke hadapan si pasien sakit jiwa dan berkata, "Mas,aku mau minta cerai!"
Kalau saja kondisinya lebih santai Panji dan kawan-kawannya mau ketawa kala mendengar Sitanggang yang cowok bilang 'mau cerai' di hadapan sesama pria seperti itu. Sayangnya karena kondisi saat ini sangat mencekam ditambah reaksi si pasien RSJ yang malah menangis meraung-raung disertai mata yang nyalang, serta terus meronta minta dilepaskan dari cengekeraman Regina dan Nara yang menahannya agar dirinya tak menyakiti diri sendiri membuat suasananya semakin tegang.
"Mati! Mati! Aku mau mati saja! Mana racun? Mana pisau? Mana Baygon? Mana pembersih lantai? Mana istriku? Mana anakku? Mana? Mana? Manaaaa?"
Si pasien tercatat ditinggalkan istri dan anak-anaknya pasca di-PHK oleh perusahaan. Si pasien kemudian tercatat dua kali berusaha bunuh diri yakni dengan meminum obat pemusnah serangga dan cairan pembersih lantai sementara usaha kedua ia mencoba memotong pergelangan tangannya tapi gagal. Emosi si pasien sangat penuh kesedihan dan keputusasaan, si pasien sudah berharap tidak lagi hidup di dunia ini dan Sitanggang ini sangat sempurna. Dengan meniatkan dalam batin agar segala emosi yang pasien rasakan merasuk ke dalam cairan darah dalam ember ini, Sitanggang akhirnya merasa siap untuk menarik perhatian para Batu Bertangkup.
Sitanggang kemudian mematerialisasi tongkat Tunggal Panaluan miliknya yang ia tancapkan tak jauh dari tungku Dalihan Na Tolu. Kemudian ia memercikkan sedikit darah dalam ember ke dalam api unggun sembari berujar.
Batu bertangkup, batu terbelah,
Bawa aku pergi!
Ini masakanku yang terakhir
Aku sudah puas hidup!
Batu bertangkup, batu terbelah,
telanlah aku sampai batas kaki!
Istri dan anak sudah tinggalkan aku
Harta benda pun aku tak lagi punya!
Batu bertangkup, batu terbelah,
telanlah aku sampai batas pinggang!
Teman-temanku pergi menjauh
Orang-orang asing mengurungku dalam ruang sempit
Batu bertangkup, batu terbelah,
telanlah aku sampai batas kepala!
Parapat! Parapat!
Batu Parapat!
====
Parapat = himpitlah (aku)
====
Sekejap kemudian bumi bergetar, seperti ada gempa singkat yang cukup kuat. Sitanggang kemudian melanjutkan menyiramkan darah di ember itu membentuk lingkaran mengelilingi Dalihan Na Tolu. Aroma anyir darah yang kental dengan aroma logam menguar ke udara, beberapa polisi dan prajurit zeni Unit Lima yang turut berjaga sampai menutup hidung karena tak tahan dengan aroma darah yang sebegitu kuatnya.
Lalu dari dalam hutan terdengar suara berderak-derak. Seperti suara sebuah traktor yang merobohkan pohon-pohon besar di dalam hutan.
"Siapkan pelontar roket!" Panji memberi perintah ketika mulai mendengar suara keributan dari dalam hutan, "Nara dan Regina, ungsikan pasien itu ke tempat aman!"
Ignas, Panji, dan Andi lantas bergerak mengambil pelontar roket yang sudah dipersiapkan sedari tadi sembari menunggu apapun yang akan keluar dari hutan sementara Sitanggang berjalan santai mendapati tongkat Tunggal Panaluannya dan mencabutnya perlahan sembari membiarkan satu-demi-satu wajah di tongkatnya memancarkan sorot mata merah menyala.
Dua sosok makhluk keluar dari dalam hutan. Sosok mereka tiga kali lebih tinggi daripada tinggi manusia dewasa kebanyakan. Mereka berjalan dengan dua kaki namun tubuhnya tersusun atas batu cadas dan akar-akar pohon serta tunggul-tunggul pohon yang patah.
"Pamodilan!" Sitanggang menembakkan energi merah dari tongkatnya hingga menghantam satu dari dua makhluk itu.
Serangan Sitanggang kemudian juga diimbuhi lontaran roket perusak tank lapis baja dari senjata yang dipanggul Ignas, Panji, dan Andi. Sosok yang terkena 3 roket itupun akhirnya remuk menjadi serpihan batu.
Makhluk yang satu lagi langsung menggeram marah dan melontarkan sebongkah batu besar yang menindih Panji dan Ignas sementara Andi berhasil menghindar di detik-detik terakhir.
"Sersan Mayor Panji dan Kopral Ignas terluka!" seru Andi yang panic melihat ada bongkahan batu besar yang menimpa Lokapala warna hitam dan biru itu.
"Tak usah kau khawatir, Lae! Mereka tidak apa-apa! Sekarang tembak saja kroda itu!" ujar Sitanggang sembari mengetukkan tongkat ke tanah dan membentuk tiga boneka Sigale-gale bersenjatakan pisau lalu memerintahkan tiga boneka mekanis itu menyerang makhluk yang serupa golem dalam kebudayaan barat tersebut.
"Regina, bagaimana kondisi pasien itu?" tanya Sitanggang yang tengah mencoba mengulur waktu sementara Andi mengisi ulang pelontar roketnya.
"Sudah satu mobil ranpur kembali ke RS! Apa yang bisa kami bantu?"
"Ada satu drum penuh bahan bakar cair di salah satu truk zeni. Tolong lemparkan ke arah makhluk itu!"
"Gimana Panji dan Ignas?"
Sitanggang menoleh ke arah batu besar itu dan mendapati kedua rekannya sudah berhasil membebaskan diri tanpa cedera sedikit pun.
"Baik-baik saja!"
*******
Sigale-gale Sitanggang ternyata hanya bertahan kurang dari 10 menit sebelum diremukkan oleh makhluk perwujudan Batu Bertangkup itu. Dan naasnya Batu Bertangkup yang satu ini jauh lebih tangguh daripada temannya yang sudah dihancurkan tadi. Roket yang dilontarkan Andi kea rah makhluk itu ia tepis dan malah menghantam sebuah tebing, menimbulkan longsor yang kini telah turun ke kota.
Para polisi dan zeni pendukung operasi mulai mundur mengambil jarak aman, membiarkan enam Lokapala itu mengatasi hal ini.
"Ada saran Sitanggang?"
"Sampai Nara dan Regina berhasil angkat drum isi bahan bakar ke puncak tebing itu," Sitanggang menunjuk ke sebuah tebing landai yang puncaknya berada dekat sekali dengan bagian kepala Batu Bertangkup yang nyalang merah, "Kita harus pastikan Batu Bertangkup ini tetap sibuk!"
"Ignas serang dia dari jauh, Sitanggang keluarkan lagi Sigale-galemu, Andi ikut saya terjang dari jarak dekat!" seru Panji yang sudah mengaktifkan pedang Sika Warak miliknya.
"Bagian mana yang harus saya serang Sersan Mayor?" tanya Andi.
"Yang mana saja!" ujar Panji yang sudah maju duluan dan Andi mengekor dari belakang sembari mengaktifkan badik miliknya.
"Hindari bagian kepala! Saya bidik kepala!" ujar Ignas mengkonfirmasi targetnya lalu mulai menarik tali busurnya dan melesatkan satu panah energy yang langsung meledak di kepala Batu Bertangkup.
Di sisi lain Panji dan Andi mulai menyerang bagian kaki makhluk ganjil tersebut. Mereka memulainya dengan dengan mencoba memotongi akar-akar yang tampaknya merekatkan batu-batu itu menjadi bentuk kakinya namun ternyata sulit sekali memotong akar-akar tersebut karena sangat alot dan nyaris sekeras batu. Batu Bertangkup pun tak tinggal diam, ia mengayunkan tanggannya dan melempar Panji jauh ke arah selatan, membuat komandan tim itu menghantam sejumlah batang pohon muda sampai pohon-pohon itu rubuh kemudian berusaha menginjak Andi meski gagal karena Andi sigap menghindar dan menjauh lalu mulai mengganti strateginya dengan menembaki Si Batu Bertangkup dengan pistol.
Begitu mendapati Panji terlempar jauh dan Andi terpaksa mundur, Sigale-gale Sitanggang pun maju dan mencoba melakukan hal serupa dengan Panji dan Andi, yakni memotong akar-akar yang merambat dan menyatukan batu-batuan tersebut. Sementara itu Nara dan Regina bahu-membahu mendorong drum bahan bakar itu dan ketika sudah tiba di puncak, Nara membelah badan drum itu dengan mandaunya dan Regina segera memberikan dorongan terakhir yang menyebabkan drum itu jatuh ke tubuh Si Batu Bertangkup, membasahinya dengan bahan bakar hidrokarbon yang mudah terbakar.
Sitanggang yang menyaksikan hal itu lantas berlari ke arah persediaan pelontar roket terakhir yang sudah diisi ulang oleh Panji yang baru saja kembali ke medan tempur secepat mungkin.
"Tembak sama-sama!" Panji juga memanggul sebuah pelontar roket dan memberikan satu lagi kepada Sitanggang dan keduanya langsung menekan picu senjata tersebut, melontarkan dua roket berhulu ledak yang menghantam dan membakar sekujur tubuh Batu Bertangkup.
"Dia masih bergerak!" seru Andi yang mendapati Si Batu Bertangkup masih keras kepala tidak mau mati juga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top