BAB 17.3 : MENELUSUR MASA LAMPAU
Asrama Akademi Kumala Santika, 18.00 WITA
Sepanjang perjalanan menuju ke gedung asrama, Sitanggang diam seribu bahasa. Andi sama sekali tak pernah melihat sisi Sitanggang yang ini sebelumnya. Anggota tim e-sport Kumala Santika itu kini tidak seperti Sitanggang yang biasanya ceria dan suka bergurau.
Ketika Sitanggang tiba di kamarnya ia bahkan langsung masuk tanpa berpamitan dengan Andi, meninggalkan Andi yang hanya bisa bengong keheranan di lorong asrama.
"Kenapa ko bengong, Andi?" tanya Ignas yang tampaknya baru pulang dari acara lari sore hari.
"Kopral Sitanggang baru saja bertingkah tidak biasa," Andi berusaha menjawab pertanyaan Ignas seformal mungkin sebab ia trauma dibentak-bentak Peltu Aritonang dan dikurung bersama-sama 'Ratu Pantai Utara' jika ia ketahuan tidak berlaku hormat pada 'atasan-atasannya' ini.
"Dia orang mah tidak biasa tingkahnya."
"Tapi sehabis pulang dari TKP tadi Kopral Sitanggang sama sekali tidak bicara sepatah kata pun dengan saya."
"Oke! Itu aneh!" Ignas pun mulai tampak khawatir dan mengetuk pintu kamar Oka, Panji, dan Sitanggang.
Beberapa detik kemudian Oka keluar dari kamar tersebut dan meletakkan jari telunjuknya di bibir, "Jangan ribut, Sitanggang dan Panji lagi tidur dan hari ini Sitanggang aneh banget!"
"Apa yang ko temukan tadi di hutan?"
"Ada jejak darah tanpa mayat, Kopral Ignas. Tampaknya ada Kroda yang memangsa manusia di hutan dan mampu menelannya bulat-bulat," ujar Andi.
"Belum ada petunjuk?" tanya Oka.
"Belum Kopral Oka, kita diminta menunggu sampai petang baru nanti ada hasilnya."
"Hmm oke, ngomong-ngomong nih ya ... jangan panggil kita dengan sebutan pangkat dong! Ini kan sekolah! Nanti kita dikira merundung kamu lagi!" ujar Oka.
"Tapi ... apa kata Peltu Aritonang nanti kalau saya tidak hormat pada Kopral dan Sersan semua?"
"Oh ayolah, yang kemarin itu cuma OSPEK! Perploncoan!" ujar Oka, "Kita semua juga pernah kok 'kenalan' dengan Ratu Pantai Utara dalam berbagai versi!"
"Tunggu apa maksudnya dalam berbagai versi?"
"Yang berperan jadi Ratu Banci penebar mimpi buruk bagi prajurit baru di Unit Lima itu biasanya prajurit senior di Unit Lima yang aslinya macho banget! Macam Ratu Pantai Utara kemarin yang jadi kan Pratu Zulkarnaen?!" ujar Ignas.
"Hah! Beneran?!"
"Kenapa? Ko pikir ko beneran mau diperjakain?" Ignas terkikik geli.
******
Ketika malam kembali turun menyelimuti kota, dan para petugas polisi satu demi satu meninggalkan TKP, tersisa hanya seorang petugas polisi muda yang menjaga lokasi TKP agar tidak diusik tangan-tangan jahil. Kepolisian kota menolak bantuan pengamanan dari Unit Lima dengan alasan bantuan dari Unit Lima akan 'menyalahi prosedur' pengamanan TKP yang menjadi tanggungjawab kepolisian. Tapi karena hari ini banyak sekali tugas-tugas kepolisian yang lain, otomatis kepolisian kota hanya sanggup menugaskan seorang petugas saja untuk menjaga TKP.
Si petugas itu sendiri tampak berusaha mengusir kebosanan dengan menghisap rokok sebagaimana kebanyakan orang Indonesia lainnya. Satu batang, dua batang, dan akhirnya tiga batang telah ia habiskan dalam tempo setengah jam saja. Sampai pada akhirnya ia menyadari dirinya kehabisan rokok dan memilih menyibukkan diri dengan menonton siaran ulang pertandingan sepak bola nasional yang sudah ia unduh beberapa waktu yang lalu di ponsel pintarnya.
Kemudian sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki. Polisi itu langsung waspada dan ia melihat di kejauhan sana – di antara cahaya remang lampu-lampu daruat yang dipasang di sekitar TKP penemuan mobil – ada sesosok wanita berjalan gontai mendekati si polisi. Si polisi itu lantas mengarahkan sorot lampu senter ke arah wanita itu namun ia sekarang tak menemukan siapapun di sana.
Si polisi itu lantas melaporkan situasi pada markasnya via radio polisi, "Ajag-4 kepada Sarang Elang, mendapat visi seorang memasuki wilayah TKP dengan berjalan gontai. Kemungkinan membutuhkan pertolongan paramedis!"
Tapi tak ada jawaban dari seberang, yang terdengar dari walkie-talkienya hanya sejumlah suara statik yang berisik. Polisi itu lantas meraih ponselnya dan berusaha mengirimkan pesan singkat namun tiba-tiba saja ponselnya mati mendadak dan tak mau menyala kembali.
Sang polisi meraih senternya untuk menerangi lingkungan sekitarnya yang gelap gulita. Beruntung senternya tidak rusak dan dapat berfungsi sempurna. Sorot sinar senter 30 lampu LED itu membuat lingkungan sekitarnya menjadi relatif terang. Sang polisi melangkah mendekati bentuk beberapa jejak kaki yang menginjak tanah berlumpur. Jejak kaki itu mengarah ke jauh ke dalam hutan namun si polisi itu akhirnya memutuskan nekat masuk ke dalam hutan.
******
Akademi Kumala Santika, 20.00 WITA
Sitanggang sudah tidur mulai tadi sore, tapi baik Oka maupun Panji selaku teman sekamarnya merasa tidur Sitanggang agak ganjil. Sitanggang tidur melewati Maghrib, tidak bangun untuk makan, dan dalam tidurnya ia terus-terusan mengigau.
"Badannya panas?" tanya Panji ketika melihat Oka memegang dahi Sitanggang.
"Tidak," Oka menggeleng, "Sitanggang tampaknya benar-benar kelelahan saja."
"Tapi ini nggak wajar, dia tidak pernah tidur lewat Maghrib apalagi mengigau seperti itu!"
"Perlu kulaporkan pada Profesor Denny?"
"Sebaiknya gitu sih!"
******
Sitanggang dan Datu Merah punya hubungan tak biasa dibandingkan hubungan Lokapala-Usana lainnya. Jika Lokapala yang lain bertemu dengan rekan Usana mereka dalam kondisi baik-baik dan seringkali tanpa paksaan, Sitanggang justru bertemu Datu Merah secara traumatis.
Kala itu ia sedang liburan bersama keluarganya di Danau Toba, sesuatu yang sebenarnya Sitanggang tolak berkali-kali namun ia kalah suara 3 banding 1 dengan ayah, ibu, dan kakak lelakinya. Ibunya bahkan menganggap Sitanggang terlalu banyak main game dan gawai sehingga sekali-kali perlulah diajak berlibur ke tempat wisata alam.
Tapi masalah sebenarnya bukan itu. Kenapa Sitanggang suka main game tanpa henti dan kenapa dia tidak mau ke tempat-tempat wisata alam sebenarnya karena sedari balita ia sering melihat sesuatu yang tak nampak. Di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai Sitanggang berusia 5 tahun, Sitanggang seringkali diajak bermain sekelompok anak kecil yang tampaknya normal-normal saja sampai ketika Ibunya meneriakinya.
"Iqbal? Bicara sama siapa kau? Jangan bicara sendiri seperti itu! Bisa dikira gila kau nanti!" tegur Ibunya dengan suara lantang dan logat Batak yang khas.
Begitu dia sadar bahwa dia sudah bermain-main dengan hantu, sekelompok anak itu tersenyum jahat sebelum menghilang. Sejak itu setiap malam jendela kamarnya selalu diketok tangan-tangan dari makhluk tak nampak, yang selalu mengajaknya bermain.
"Sitanggang! Ayo maiiinnn!" begitu anak-anak tak kasat mata itu sering mengajaknya.
Mereka tak dapat masuk ke kamar yang ditempati Sitanggang dan kakaknya, namun itu jelas membuat Sitanggang sering terjaga sampai pagi. Ia jadi takut tidur dan tak bernafsu makan. Ayahnya yang seorang developer video game kemudian memperkenalkan Sitanggang pada sebuah game ponsel dan setelah itu Sitanggang akhirnya bisa mengalihkan perhatiannya dari anak-anak tak kasat mata itu menggunakan game gawai yang selalu ia mainkan nyaris 10 jam sehari.
Kembali ke soal liburan di Danau Toba, belum juga sehari lewat di danau ini, Sitanggang sudah bertemu dengan aneka makhluk tak lazim. Salah satunya adalah sosok anak lelaki yang telanjang dada namun kulitnya dihiasi sisik-sisik emas. Anak bersisik emas itu memperhatikan Sitanggang terus-menerus dari atas sebuah tebing ketika keluarga Sitanggang tiba di hotel. Anak itu bahkan dalam beberapa jam sudah berada di depan lobby hotel tempat Sitanggang menginap lalu berkali-kali berteriak-teriak ke arah danau dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Sitanggang sembari menunjuk-nunjuk ke arah Sitanggang.
Sitanggang takut anak itu berniat membunuhnya untuk kemudian dijadikan sate dan dimakan oleh segenap begu penghuni Danau Toba. Tapi yang datang kemudian benar-benar di luar dugaannya.
======
Begu = hantu / makhluk astral dalam kepercayaan Batak
======
Sore itu seorang pria aneh dengan kulit merah jambu menyambangi hotel tempat Sitanggang menginap. Ia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat panjang, sebagian wajahnya tertutup sebagian oleh sebuah kain jingga, bajunya tak berkancing sehingga Sitanggang bisa melihat dada dan perutnya yang pejal berotot.
Makhluk itu tampak berusaha bicara pada Sitanggang tapi Sitanggang yang ketakutan setengah mati langsung kabur ke kamar dan tidur meringkuk. Ia bahkan menolak ajakan keluarganya untuk turun dan makan. Walhasil ia ditinggal sendirian di kamar.
Lalu makhluk itu datang menembus pintu kamarnya dan sejak saat itu ia selalu mengikuti Sitanggang ke manapun Sitanggang pergi. Tak ada ayat doa atau apapun yang mampu mengusir makhluk itu. Setelah berbulan-bulan mencoba mendatangi beberapa orang yang konon 'pandai' dalam mengurusi makhluk semacam itu, Sitanggang akhirnya menyerah dan membiarkan makhluk itu terus mengikutinya. Baru setelah 3 bulan akhirnya Sitanggang mulai bisa mendengar perkataan makhluk itu.
"Nama aku Datu Merah, dan aku kemari untuk angkat kau jadi murid!" itu kalimat pertama yang bisa Sitanggang dengar dari mulut Datu Merah.
******
Para Datu atau Guru adalah dukun adat masyarakat Batak. Mereka adalah orang-orang yang pandai membaca penanggalan hari baik dan buruk, juga merapalkan mantra dan sihir pemelihara kehidupan dan juga penghancur kehidupan. Seorang calon Datu akan berguru pada seorang Datu atau Guru senior, biasanya seorang Datu hanya akan punya satu murid pada suatu waktu bahkan terkadang Sang Datu hanya punya satu murid seumur hidupnya.
Datu Merah pernah bilang bahwa seharusnya Sitanggang bersyukur diperbolehkan takdir punya guru seorang Datu tapi Sitanggang sendiri tidak merasa begitu.
Sejak 'diangkat murid' oleh Datu Merah, kemampuan Sitanggang dalam menelusur masa lampau baik melalui sentuhan tangan maupun mimpi makin menjadi. Ia mudah sekali lelah dan tak bersemangat, nilai-nilainya pas-pasan walau syukurnya ia tetap bisa naik kelas dan lulus SD serta SMP. Mimpi bagi Sitanggang sekarang sering menjadi ajang perjalanan ke masa lampau seseorang atau suatu tempat.
Contoh bagusnya adalah kali ini. Ia tadi mendapatkan visi kuat yang membuaat kepalanya sakit dan sekarang visi ini berlanjut di alam mimpi. Ia melihat kehidupan dari gadis yang hilang itu sebelum pergi ke hutan, lebih tepatnya sekarang Sitanggang menjadi si gadis yang hilang itu.
Ia menghadapi setumpuk tugas berupa analisa keuangan moneter yang harus sudah usai sore itu. Masalah utamanya dosen-dosennya mewajibkan ia membaca minimum 12 buah buku yang tebalnya antara 300-450 halaman sebagai referensi wajib dari tugas tersebut. Sebuah notifikasi pesan berdenting di ponsel pintarnya. Seorang kawan mengajaknya menonton konser band terkenal yang akan diadakan besok Sabtu malam. Namun gadis itu membalasnya dengan pesan penolakan. Tugasnya masih menggunung dalam taraf tidak manusiawi, akhir pekan pun harus ia habiskan dengan membaca literatur atau memproses segunung data menjadi bentuk yang lebih ringkas dan mudah dipahami atau menulis artikel ilmiah. Ia lelah namun tak dapat istirahat, sebab orangtuanya menekankan ia harus menyelesaikan kuliah ini dalam waktu 2 tahun semata dan saban minggu orangtuanya menerornya dengan pesan-pesan semacam ini :
Kapan lulus?
Eh tau nggak? Lisa anaknya Pak Trisno Tunggal sudah lulus cum-laude lo!
Gimana progress tesismu, Nak?
Orangtuanya sama sekali tak pernah bertanya, "Kamu sehat Nak?" atau "Gimana Nak perasaanmu hari ini?" atau "Sekarang hobi kamu apa, Nak?"
Semua pertanyaan orangtuanya adalah seputar kuliah-kuliah-dan-kuliah. Tak ada urusan berbagi kabar atau menanyakan hobinya atau sekedar obrolan basa-basi. Orangtuanya hanya ingin dengar dia lulus semata. Maka dari itu ketika sebuah forum media sosial menyatakan tentang sebuah batu yang konon dapat menyelesaikan persoalan hidup dan juga konon bisa bernyanyi, ia seolah ada magnet menariknya ke sana dan ia pun bergegas ke lokasi batu tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top