BAB 16.2 : BERAKSI
Kata-kata dari prajurit TNI tadi soal 'sampai ketemu lagi di akhirat' jadi terbayang-bayang di benak Andi sampai nasi kotak di hadapannya tandas ia lahap. Begitu ia selesai makan dan minum, pria bermata tajam yang dipanggil Profesor Denny oleh orang-orang Unit Lima itu lantas mengajak dirinya berkeliling dengan borgol yang sudah dilepas untungnya.
"Mayat hidup yang kamu lawan tempo hari," kata Denny, "bukan mayat hidup pertama yang kami temui."
"Wut? Itu artinya selama ini ada wabah zombie yang tengah melanda Indonesia dan Unit Lima adalah Tim Cepat Tanggap untuk melawan zombie-zombie tersebut?" celetuk Andi yang malah membayangkan Unit Lima seperti unit khusus dalam permainan video membantai mayat hidup macam Resident Evil dan sebagainya.
"Bukan wabah, keberadaan mereka lebih ke ranah supranatural! Kami melawan mereka dengan bantuan makhluk-makhluk seperti temanmu itu, Karaeng Baning."
"Jadi kalian memakai bantuan jin? Eeee ... Jin Muslim yang bersahabat kan?"
"Dikotomi bahwa makhluk beda alam dengan kita itu kalau nggak malaikat, ya jin, kalau nggak gitu ya setan sudah terlalu kuno. Kami memakai dikotomi lain di sini Andi Ampa Rawallangi! Kami menyebut makhluk semacam Karaeng Baning itu Usana, yang artinya mereka yang sudah ada sejak masa lampau, sementara makhluk-makhluk yang kamu lawan, yang Karaeng Baning sebut 'Lanun' kami sebut Kroda – manifestasi kekacauan. Usana dan Kroda saling bertentangan satu-sama-lain. Usana lebih di pihak manusia sementara Kroda bertujuan membunuh manusia – baik dalam jumlah kecil maupun jumlah besar."
"Tapi kenapa tak ada satupun berita soal 'kroda' ini di luar sana, Profesor?"
"Karena kami merahasiakannya rapat-rapat. Coba bayangkan apa reaksi masyarakat kalau tahu jika setiap malam kota mereka diteror sekumpulan mayat hidup?"
"Panik!"
"Bingo!" Profesor Denny mengacungkan jari telunjuknya kepada Andi, "Dan apa yang terjadi jika masyarakat panik?"
"Ketertiban dan keamanan akan terganggu!"
"Nah! Itu sebabnya kami membutuhkan bantuanmu untuk melawan mereka semua. Kamu akan bergabung dengan lima yang lain."
"Aaaa tunggu Profesor! Apa salah satu dari mereka itu bocah kontet yang namanya Sitanggang?"
"Ya, kenapa?"
"Celaka tiga belas!" Andi mengumpat dalam hati, "Itu sebabnya kenapa kok Sitanggang punya hak akses besar sekali di Unit Lima ini!"
"Oh ya aku lupa, kamu menggunakan username dan password Sitanggang kan untuk mencuri Tubarani?"
Kena telak! Andi sampai tak bisa menanggapi perkataan Si Profesor selain dengan sebuah anggukan.
"Profesor! Kita ada masalah!" tiba-tiba seorang prajurit TNI AD berlari-lari ke arah Denny, "Dua Lanun itu sudah tiba di pelabuhan, mereka sudah melukai seorang petugas bea-cukai yang ada di pelabuhan!"
"Waktunya kamu beraksi ternyata lebih cepat dari dugaanku! Ayo lari! Ikut aku!" ujar Denny sembari mulai berlari menuju aula pusat markas.
******
Di tengah aula itu Andi melihat zirah Tubarani yang sempat ia 'curi' tanpa sengaja kini sudah berdiri gagah dan seluruh permukaannya sudah diwarnai dengan warna jingga krom, kontras dengan warna aslinya yang masih abu-abu metalik.
"Masuk ke sana dan bantu rekan-rekan barumu menghadapi mereka. Ngomong-ngomong Sitanggang itu prajurit yang pakai zirah warna merah, yang tolong kamu di kapal yacht tadi!"
"Mana Karaeng Baning?"
"Dia sudah di dalam zirah itu, kamu masuk saja!"
******
Andi pernah naik helikopter, tapi seumur-umur baru kali ini naik helikopter dengan posisi satu kakinya memijak landing skids, sementara kaki yang satu lagi berada dalam helikopter. Meski begitu ia mulai menikmati sensasi ini, terlebih ketika ia melihat dari kejauhan, sekelompok prajurit berbaju zirah warna-warni terlihat berusaha melumpuhkan dua petarung mayat hidup berbaju campuran logam-kayu yang sempat ia lihat tempo hari.
Makhluk-makhluk ini amat lincah dan tampak sudah kenyang asam-garam dunia pertarungan. Kala prajurit berzirah kuning yang memegang mandau dan terabi itu menghantam tubuhnya dengan terabi dan dengan segera berusaha membelahnya dengan mandau, Lanun berbaju merah itu menepis pergelangan tangan lawannya di detik-detik terakhir kemudian menyarangkan serangan telapak tangan ke dagu prajurit kuning yang tak lain adalah Nara itu kemudian mengakhirinya dengan pukulan dua kepalan tangan yang menghempaskan Nara sejauh beberapa meter.
Sitanggang yang melihat Nara terhempas, kembali membentuk dua Sigale-gale tambahan untuk mengepung Lanun berbaju merah itu. Namun meski sudah dikepung lima Sigale-gale, Lanun merah itu tampaknya tak khawatir, buktinya dengan menggunakan satu kakinya sebagai pijakan dan satu kaki lainnya untuk melancarkan tendangan berputar bagaikan gasing, ia berhasil memporak-porandakan lima Sigale-gale milik Sitanggang menjadi serpihan. Lalu, dengan cepat ia melompat dan mengarahkan badiknya ke arah dada Sitanggang. Sitanggang dengan sigap langsung menggunakan tongkat Tunggal Panaluan miliknya untuk menangkis hujaman badik milik Lanun merah itu. Lanun itu kemudian menggunakan tongkat Sitanggang sebagai pijakan kemudian menendang kepala Sitanggang hingga Lokapala merah itu terhempas ke deretan peti kemas kosong.
Di sisi lain Regina, Ignas, dan Panji juga disibukkan dengan Lanun yang satu lagi. Lanun ini bahkan lebih brutal daripada temannya karena ia menggunakan tiang beton yang tergeletak di dekat sana sebagai senjatanya. Ia mengayunkan tiang-tiang beton itu ke arah Ignas, Regina, dan Panji. Ketiga Lokapala itu berhasil menghindar dan bertahan dengan bantuan Salawaku Regina sejauh ini, namun kroda itu kembali membuat ulah tak terduga dengan melemparkan enam tiang beton ke arah mereka sehingga selubung Salawaku Regina kini menipis.
"Beta tak bisa tahan ini lebih lama!" seru Regina.
"Santai Non!" ujar Denny melalui visor Regina, "Aku sudah kirim bantuan! Hei! Terjunkan Tubarani sekarang!"
******
"Lompat sekarang!" perintah seorang prajurit TNI yang ada di helikopter itu.
Andi pun melompat tanpa pikir panjang, tibanya dia di atas tanah menimbulkan suara debum keras seperti granat yang langsung memancing perhatian kedua kroda Lanun tersebut.
Kedua Lanun itu mendesis. Mereka menarik keluar badik mereka masing-masing dari sarungnya lalu tanpa pikir panjang mereka langsung melompat dan mengarahkan bilah badik mereka ke arah operator zirah Tubarani.
"Aktifkan senjata!" Andi memberi perintah kepada AI zirahnya, sejumlah opsi senjata mulai dari pistol laser, misil pencari target, roket mini, dan sebuah senjata mirip badik warna keemasan dengan pelindung jari tangan muncul di kaca visornya.
Karaeng Baning lantas mengambil alih dengan memilih senjata mirip badik itu lalu dengan menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, ia berkelit dari hujaman dua badik lawan kemudian ia balas menghujam ke arah Lanun hijau. Lanun hijau memiringkan badan – menghindar, namun Tubarani juga turut memutar badan 270 derajat, dan melancarkan satu pukulan telapak tangan ke perut Lanun hijau sehingga Lanun itu terhempas.
Kemudian Lanun merah menyerang, serangannya tusukan badik yang langsung digabung dengan gerakan tangan cepat yang berkali-kali mengenai dagu Tubarani. Andi di dalamnya relatif tidak merasakan apapun selain getaran ringan namun gerakan Lanun merah ini cukup mengganggunya sehingga ketika Karaeng Baning menyarankan suatu gerakan serangan balasan, Andi tanpa pikir panjang mematuhinya. Bagian tengah lengan bawah Andi sengaja ia pertemukan dengan telapak tangan lawan dalam rentetan pukulan yang sulit ditangkap mata itu. Kemudian Andi membuat gerakan tangan satu lingkaran penuh dan kini giliran Andi menyarangkan rentetan pukulan jarak dekat kepada Lanun merah.
Lanun hijau yang tampak sudah kembali berdiri lantas turut menerjang Andi, merunduk dan mengarahkan tendangan kaki ke arah kaki Andi. Namun tendangannya tak bisa merubuhkan Andi, malah justru ia terpental oleh ledakan energi yang terbentuk dari benturan antara kakinya dengan betis kiri Andi.
Lanun merah mulai terhuyung akibat sejumlah pukulan yang bersarang di tulang belikat, rusuk kanan, ulu hati, bahu, dan perut. Jika dianalisa secara gerakan lambat, tak kurang dari 80 pukulan sudah ia terima sejauh ini. Karaeng Baning tahu lawannya sudah membuka celah untuk diserang lantas menghujamkan badik itu ke leher Lanun merah.
Lanun hijau yang menyaksikan raga temannya sirna perlahan-lahan, langsung melompat ke arah Andi, berniat menyarangkan satu pukulan dan beberapa sabetan badik ke tubuh pembunuh kawannya itu. Meski begitu Andi lantas memutar badiknya, sehingga bilahnya menghadap belakang kemudian menusukkannya di ulu hati Lanun hijau tepat ketika Lanun itu hanya berjarak sesenti saja dari atas tanah.
"Siri', sudah ditegakkan!" kata Andi yang meneruskan perkataan Karaeng Baning.
=====
Siri' (dibaca sirik) = adalah norma atau keteraturan yang dijunjung masyarakat Bugis. Dalam konteks ini keberadaan Lanun (perompak) yang mengacau dan merusak adalah contoh orang yang melanggar siri'.
=====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top