BAB 16.1 : KEPUTUSAN TETTA

Kantor Pusat PT. Sawerigading Corpora, Tanjung Paser, 14.30 WITA

"Silakan dimulai presentasinya," ujar seorang pria berusia 50 tahunan ketika jam di tangannya tepat menunjukkan pukul 14.30.

Seorang wanita muda berbusana dominan abu-abu kemudian berdiri mendekati layar presentasi kemudian mulai mempresentasikan bahannya.

"Saya akan melaporkan fluktuasi harga saham dari 4 anak usaha PT. Sawerigading Corpora. Untuk PT. Bahari Manurung Jaya, rata-rata harga sahamnya sudah meningkat 13% dari harga bulan lalu. Penilaian kinerja dari sisi aset dan kesejahteraan karyawannya baik sekali. Adapun PT. Gosowong Tompok Tikkaq harga sahamnya agak turun sebesar 3% karena sudah seminggu ini tidak bisa beroperasi pasca keruntuhan terowongan dalam tambang."

"Bagaimana dengan PT. Lattuq Gima Farmaeutika?" tanya pria paruh baya yang memimpin rapat tersebut.

"PT. Lattuq Gima masih belum bisa beroperasi maksimal, Pak Arung. Sahamnya masih berkisar di kisaran harga Rp. 700 per lembar. Investor masih belum cukup percaya dengan kemampuan perusahaan ini bertahan di tengah kondisi pasar kita."

"Dan PT. Palanroe Nautika?"

"PT. Palanroe Nautika sudah mendapat respon baik dari para investor sejak go public sebulan yang lalu. Saat ini harga sahamnya sudah mencapai Rp. 1.430,- per lembar Pak Arung."

"Berarti ....," lelaki bernama Arung itu tampak menimbang-nimbang sesuatu, "Bilang pada Ahmad Alhajri, direkturnya PT. Palanroe supaya dia siapkan diri untuk tender membuat kapal trimaram dari TNI AL yang akan dibuka bulan depan! Untuk direktur PT. Lattuq Gima saya minta gencarkan promosinya! Pasang iklan yang banyak tapi efektif di media sosial! Saya targetkan setengah tahun lagi PT. Lattuq Gima sudah punya modal yang cukup untuk membuat pabrik kantong darah skala internasional sehingga kita bisa ikut dalam tender proyek strategis pemerintah! Jelas?"

Semua yang hadir di meja rapat itu mengangguk mengiyakan sembari menulis sejumlah agenda di sabak elektronik mereka masing-masing.

Lalu sekonyong-konyong ada ketukan keras di pintu ruang rapat, yang langsung dijawab oleh Arung, "Ya? Masuk!"

Pintu putih itupun terbuka, seorang pria bernama dada "Pandu" tampak masuk dengan gugup sambil menundukkan kepala, "Maaf Bapak-Ibu, kami dari divisi IT baru saja menerima email dari tiga pihak yakni Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara, dan Unit Penanganan Masalah Khusus TNI AD alias Unit Lima. Intinya mereka semua meminta Bapak-Ibu tidak keluar dulu dari ruang rapat ini karena mereka hendak melakukan pemeriksaan kepada Bapak-Ibu semuanya. Mereka juga bilang hendak memeriksa seluruh data dalam server kita."

"Untuk keperluan apa sampai kita diperiksa seperti itu? Kita tidak beraktivitas di ranah yang melanggar hukum kan?" alis kiri Arung naik, pertanda ia sedang keheranan.

"Itu ...," Pandu tampak ragu-ragu mengatakannya, "Tempo hari sempat ada peretas yang memasuki server Unit Lima dan membobol semua data penting di Unit Lima. Data-data yang hilang di antaranya data-data strategis negara. Dan sayangnya Pak ... jejak digitalnya juga mengarah ke sini."

"Maksud kamu, server kita juga disusupi?" tanya Arung.

"Tidak Pak, server kita digunakan para peretas itu sebagai sarana tempat backup data-data Unit Lima dan juga dipakai untuk menjalankan program penjebol password milik mereka."

"APA?" wajah Arung memerah, "Berarti divisi IT lalai dalam bertugas bukan?! Siapa kepala divisi IT-nya?"

"Sa-saya Pak!"

"Bagus! Kamu siap bertanggungjawab untuk ini, Pandu?"

"Si-siap Pak tapi ada satu pesan lagi Pak. Pesan ini dari Kementerian Pertahanan khusus untuk Bapak. Tadi Menteri Pertahanan berkali-kali menelepon Bapak namun tidak diangkat. Beliau bilang Bapak diizinkan menemui anak Bapak di Markas Unit Lima hanya sampai jam 6 sore hari ini."

"Tunggu! Ada apa dengan Si Rawallangi?"

"Peretas yang menggunakan server kita untuk membobol server Unit Lima ... adalah keponakan Bapak, Andi Muhammad Rizal, serta anak Bapak, Andi Ampa Rawallangi!"

******

Markas Unit Lima, 16.00 WITA

Andi Ampa Rawallangi tengah ditempatkan di sebuah kursi dengan sejumlah personel TNI mengacungkan senjata ke arahnya. Senjata itu katanya diisi peluru tajam yang siap menembus tubuhnya kapan saja, membuat Andi sangat gugup dan berkeringat banyak sekali. Sudah dua jam dia dibiarkan diam saja di dalam ruangan ini tanpa ditanyai apa-apa. Tangannya juga dalam kondisi terborgol, bahkan jika ingin ke kamar mandi pun borgolnya tak boleh dilepas.

Jam dinding di ruangan itu menunjukkan sekarang sudah jam 4 sore. Perutnya Andi keroncongan karena belum sarapan dan makan siang, tapi sepertinya bapak-bapak bertampang seram ini sama sekali tidak ada niatan untuk memberinya makan. Kemudian tanpa ia duga masuklah seorang pria berkacamata yang menyodorkan kepadanya satu kotak makanan. Namun ketika Andi hendak meraihnya, pria itu menggeser kotak makanannya menjauhi Andi.

Andi merengut, ia ingin berkata kasar tapi takut karena sejumlah senapan sedang menodongnya.

"Kalau kamu ingin makan, kamu harus turuti apa kata saya!" ujar pria itu.

"Saya minta pengacara!" ujar Andi, mencoba membangun kepercayaan dirinya untuk melawan dominasi yang ia rasakan dari para prajurit ini.

"Tidak akan ada pengacara!" kata pria berkacamata itu lagi, "Apalagi bagi seorang agen intelijen asing yang tertangkap basah mencoba melarikan proyek pertahanan strategis Republik Indonesia."

"Saya bukan agen intel Bapak!" bantah Andi, "Saya hanya dijebak seorang agen intel asing yang nama sandinya Mr. B199ie! Kalau tidak percaya saya punya buktinya "

"Kamu tahu? Kalau kamu membantu seorang agen intelijen asing berdasarkan kerelaan hati tanpa paksaan lalu agen intel itu tertangkap atau aktivitasnya terpantau oleh Badan Intelijen Negara maka yang tersisa dari pengkhianat semacam kamu hanya kurungan penjara 25 tahun. Tidak peduli berapapun umurmu, seberat apapun penyakitmu, setinggi apa pangkatmu, seberapa banyak uangmu, sama sekali tak ada artinya. Kamu akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Khusus di Jakarta dalam 10 hari jika kami selesai mengunggah berkasnya hari ini," pria itu tersenyum penuh kemenangan menyaksikan remaja tanggung di hadapannya bergidik ngeri dan mulai meringkuk, berusaha menyembunyikan diri dari tatapan orang-orang di sekitarnya.

"Kementerian Pertahanan sudah menerbitkan surat penangkapanmu dan kakak sepupumu itu. Saat ini orang-orang kami juga sudah menjemput ayahmu untuk mengucapkan selamat tinggal selama 25 tahun padamu. Di sana kamu takkan boleh dikunjungi seorang pun, kamu akan dikurung di satu sel yang terisolir dari tahanan lain, temanmu hanya buku semata, takkan ada gawai, takkan ada komputer, takkan ada internet. Di sana kamu akan menua sendirian dan saat kamu kembali ke peradaban ...," pria itu terus saja menggelontorkan fakta-fakta yang sudah menanti Andi di penjara nantinya.

"STOP!" Andi menjerit, "Stop! Ampun Pak! Ampun!" anak itu akhirnya bersimpuh di kaki pria berjas lab putih tersebut, "Saya akan lakukan apa saja Pak! Ayah saya juga akan memberi apapun pada negara atau Anda pribadi Pak! Apapun Pak! Asalkan saya tidak dipenjara di tempat seperti itu!"

"Ayahmu tak bisa menolong kamu," ujar pria itu sembari menunjuk ke arah pintu di mana Arung, direktur utama Sawerigading Corp, sudah berdiri mematung dengan ekspresi muka mengeras campuran antara rasa malu dan marah.

"Masuk Pak Arung!" ujar pria itu ramah, dan Arung pun masuk dengan nafas mendengus-dengus.

"Tetta!" Andi menghambur dan memeluk kaki ayahnya sambil terus tersedu, "Tolong Langi, Tetta, Langi nggak tahu kalau yang Langi bantu itu musuh negara! Langi nggak mau dipenjara!"

======

Tetta = Ayah

Amma = Ibu

======

Yang Arung lakukan berikutnya sama sekali di luar dugaan Andi, lelaki paruh baya itu menjambak rambut anaknya sendiri kemudian menampar pipi putranya sampai anak itu jatuh tersungkur di lantai.

"Ayam! Sambala! Sundala!" Arung mengumpat-umpati anaknya dalam Bahasa Bugis, "Kamu bikin malu Tetta! Kamu bikin malu negara kita! Kamu bikin malu Amma kamu di atas sana!"

Lalu pandangan Arung beralih kepada pria yang tadi menakut-nakuti anaknya dengan fakta-fakta soal penjara, "Profesor Denny, saya harus minta maaf sekali atas kelakuan anak saya. Tapi bisakah keputusan soal penjara terisolasi selama 25 tahun itu dipikirkan kembali? Setolol-tololnya anak saya ini, saya lebih suka menghajarnya sendiri daripada saya mati penasaran karena membayangkan di sana nanti dia mati dihajar orang lain."

"Pak Arung, Anda sudah saya beri rincian kerugian kami akibat ulah putra Bapak kan? Zirah Tubarani yang dicuri itu biaya pengembangannya Rp. 1,2 Milyar; sementara seluruh data kami yang rusak akibat peretasan nilainya 1 Milyar, komputer server yang rusak dan lumpuh harganya 5 Milyar, sementara denda atas perusakan fasilitas milik negara apalagi yang ini masuk dalam kategori fasilitas strategis amat rahasia mencapai Rp. 1 Trilyun. Itu belum termasuk ongkos yang dihabiskan negara untuk menangkap komplotan putra Bapak yang menelan dana 800 juta."

Arung terdiam, otaknya mulai sibuk menghitung-hitung berapa banyak dana yang bisa ia gerakkan dan dapatkan dalam waktu kurang dari 10 hari. Ia menaksir rumah tinggalnya itu jika dijual rumah berharga 3 Milyar, sementara seluruh aset perusahaannya nilai totalnya 1,8 Trilyun. Akan tetapi semua juga tahu, barang yang dijual cepat karena kepepet butuh duit harganya pasti turun, sejelek-jeleknya perusahaannya akan ditawar 1 Trilyun oleh pembelinya nanti. Mobil dan aset-aset lainnya jika dijual cepat akan menghasilkan dana 500 juta. Artinya total dana yang bisa ia dapatkan hanya 1 Trilyun 3,5 Milyar; masih kurang dari total jumlah denda yang disebutkan Profesor Denny yakni 1 Trilyun 8 Milyar!

"Apakah ... ada cara lain bagi anak saya yang bodoh ini untuk menebus kesalahannya?"

"Ada!" ujar Profesor Denny, "Satu : Anak Bapak harus pindah sekolah dari Benuo Taka ke Kumala Santika! Dua : Anak Bapak harus bersedia dipekerjakan dalam proyek pertahanan bernama sandi Lokapala! Tiga : Anak Bapak akan diberi uang saku 3 juta per bulan, dengan uang saku itulah Anak Bapak akan mencicil hutangnya!"

Tiga juta sebulan dipakai membayar hutang 1 Trilyun 8 Milyar? Otak Arung yang sudah fasih berhitung ekonomi langsung menemukan fakta bahwa anaknya butuh waktu 334 bulan untuk melunasi hutang itu! Itu sama saja anaknya harus kerja sukarela tanpa gaji selama 27 tahun hidupnya! Itu mah hampir sama kayak hukuman penjara! Bedanya ini Andi bisa lebih bebas ke mana-mana saja.

"Bagaimana jika saya menyerahkan sebagian saham perusahaan saya kepada Unit Lima? Saya memiliki anak perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan kapal selam dan kapal laut skala kecil. Masih merintis memang, tapi setidaknya Negara bisa memanfaatkannya untuk pembuatan proyek-proyek strategis kan?" Andi mencoba mengajukan tawaran.

"Hmm," Denny tampak mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sebelum memanggil seorang pakar dari jajaran stafnya, "Doktor Yusril, tolong buat perhitungan potensi nilai saham PT. Palanroe Nautika dalam 20 tahun ke depan. Cukupkah untuk membayar kerugian kita saat ini jika dihitung berdasarkan nilai inflasi dan kerugian akibat mundurnya jadwal?"

Yang diminta melakukan perhitungan hanya berkata, "Sebentar!" sebelum mencoret-coret kertas dan menekan-nekan tombol kalkulator di sabak elektroniknya lalu kembali dengan wajah cerah, "Belum Profesor! Anak itu dan bocah satu lagi yang namanya Rizal masih harus bekerja untuk kita selama 7 tahun tanpa dibayar!"

"Terima kasih Doktor Yusril!" kata Denny sembari menatap Arung yang wajahnya tampak sedikit lega, "Pakar telah bersabda Pak Arung!"

"Tak apa Profesor! Saya sudah lega dia tak jadi dihukum penjara atau kena hukum kerja paksa selama 27 tahun! Kalau Profesor butuh dua anak keparat itu selama tujuh tahun! Saya siap merelakan mereka, toh ... ini juga untuk membuat mereka jera!"

"Anda serius?" alis Denny naik sebelah.

"Saya serius 800%! Biar anak-anak ini tahu betapa susahnya cari duit! Dan hei Nak!" Arung menuding ke arah anaknya yang meringkuk di sudut ruangan dengan tatapan takut-takut pada ayahnya, "Bilang sama Rizal, uang sakunya kukorting 50%! Untuk kamu kukirimi kamu 200 ribu per bulan! Pakai baik-baik! Paham?"

"Tetta! Serius cuma 200 ribu?!" mata Andi membelalak tidak percaya, wajar saja karena dia dulu saban minggu dapat uang saku 1 juta rupiah.

"Tentu saja! Yah Prof! Mana coba dokumen yang harus saya tandatangani? Saya terima keputusan ini! Mungkin selama ini saya terlalu memanjakan anak ini sampai-sampai dia jadi begini. Semoga dengan hidup sebagai 'orang miskin' dia lebih bisa menghargai hidupnya!" mata Arung berbinar-binar gembira sementara mata Andi menatap Arung nanar dengan tatapan tak percaya.

"Habislah kau Nak!" bisik seorang prajurit TNI yang berdiri di samping Andi, "Sampai bertemu denganmu lagi di akhirat!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top