[INDONESIANA : CHAPTER 11]
De Vliegende Hollander (The Flying Dutchman)
The Flying Dutchman (atau "Orang Belanda Terbang") adalah suatu legenda kapal hantu yang fenomenal bahkan hingga saat ini. Kapal ini konon dikutuk melayari tujuh samudera hingga akhir zaman. Kapal hantu ini telah banyak diangkat ke dalam karya fiksi, dan yang paling terkenal adalah adaptasinya dalam film The Pirates of Carribean di mana kapal ini dinahkodai seorang kapten-separuh-gurita bernama Davy Jones.
Mitos awal kapal ini berhubungan erat dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang entah hendak mendirikan koloni di Tanjung Harapan, atau hendak berlayar menuju Jawa, nekat melayari Tanjung Harapan padahal badai sedang ganas. Tanpa mempedulikan protes awak kapal dan penumpang, si kapten kapal nekat saja melaju terus. Ketika awak kapal memberontak, si kapten kapal menembak pemimpin pemberontakan lalu membuang jasadnya di laut kemudian terus saja berlayar meski ada tiang layarnya yang sudah rubuh. Ketika masuk kabinnya, ia ditemui sesosok entah hantu atau iblis yang mengutuknya untuk melayari tujuh samudera bersama sekumpulan kru orang mati lalu dengan bodohnya Si Kapten menjawab, "Amen!"
Salah satu versi legenda The Flying Dutchman berkaitan erat dengan pelayaran kilat seorang kapten VOC bernama Bernard Fokke pada tahun 1678. Saat itu ia berhasil berlayar dari Belanda ke Batavia dalam waktu hanya 3 bulan 10 hari saja! Sesuatu yang mustahil mengingat saat itu Inggris melayari lautan paling cepat selama 6 bulan hanya untuk mencapai India. Reputasinya ini membuat dia dikelilingi desas-desus bahwa Fokke menggunakan bantuan setan untuk mempercepat pelayarannya. Tapi apapun yang terjadi, Fokke dianggap sebagai seorang tokoh berjasa oleh Gubernur Jendral VOC Rijcklof Volckertsz. van Goens (menjabat 4 Januari 1678 – 25 November 1681) karena telah berhasil mengirimkan sejumlah surat penting dari Belanda dalam waktu secepat itu. Sebuah patung kemudian didirikan baginya di Pulau Kuipertje (sekarang Pulau Panjang di Kepulauan Seribu) sebelum patungnya dihancurkan Inggris tahun 1808. Bagaimana akhir hidup Fokke, tidak diketahui.
Armada Timur AL
Komando Armada Indonesia Kawasan Timur adalah satuan armada angkatan laut yang menjaga wilayah Indonesia dari wilayah Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, hingga Papua. Bermarkas pusat di Surabaya, komando armada timur memiliki beberapa pangkalan antara lain di :
1. Surabaya
2. Makassar
3. Kupang
4. Manado
5. Ambon
6. Jayapura
7. Merauke
8. Tarakan
9. Sorong
Gorys Keraf
Gorys Keraf adalah tokoh pendidikan nasional kelahiran Lamera (sekarang Lembata) NTT. Selain Sutan Takdir Alisyahbana, beliau adalah ahli tata bahasa yang berjasa mempengaruhi diksi (gaya bahasa) dan tata bahasa Indonesia dari era 1970-an sampai saat ini. Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD, SMP, dan SMA sampai tahun 2000-an awal masih senantiasa mengutip karya Gorys Keraf terutama buku-buku berikut ini:
Tata Bahasa Indonesia (1970)Komposisi (1971; 1980)Diksi dan Gaya Bahasa (1981)Eksposisi dan Deskripsi (1981)Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan Menengah (1991)Lingustik Bandingan Historis (1958)Lingusitik Bandingan Tipologis (1990)Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum (1992)
Gorys meninggal 30 Agustus 1997 di Jakarta pada usia 61 tahun.
Cakalele
Cakalele saat ini dikenal sebagai nama tarian perang dari Maluku bagian utara dan tengah, tak terkecuali di Kepulauan Banda. Namun sejatinya Cakalele adalah sebutan bagi tentara keamanan kampung adat, yang mana di daerah Lontor (Banda), kampung adat dipimpin seorang kepala desa bergelar 'Orang Kaya' dan dibantu dengan lima ketua adat bergelar Orlima / Orang Lima. Pasca pendudukan Belanda dan pembantaian besar-besaran penduduk Kepulauan Banda oleh Coen, Belanda menghapus sistem cakalele dan menggantinya dengan sistem Malesi, di mana hanya boleh ada dua prajurit Malesi dari tiap kampung.
Cakalele Ambon
Cakalele Banda
Des Alwi
Des Alwi Abubakar atau bisa dipanggil Des Alwi saja adalah salah seorang tokoh veteran Pertempuran 10 November di Surabaya, diplomat, pengusaha dan sejarawan Indonesia. Des Alwi merupakan anak Pulau Banda Neira yang diangkat anak oleh Sutan Syahrir dan Muhammad Hatta saat kedua tokoh itu dibuang ke Banda, meski pada akhirnya biaya hidup dan pendidikan Des Alwi lebih banyak ditanggung oleh Bung Hatta. Des Alwi biasa memanggil ayah angkatnya (Mohammad Hatta) dengan sebutan "Oom Kacamata" dan selama di Jawa ia terlibat dalam beberapa peristiwa penting seperti Pertempuran 10 November di Surabaya.
Awalnya Alwi bekerja sebagai penyiar radio di Yogya namun Alwi kemudian mendapat kesempatan melanjutkan kuliah di King's College, Inggris Raya, di mana ia berteman dengan Tun Abdul Razak yang kelak menjadi Perdana Menteri Malaysia. Selepasnya dari King's College, ia menjadi staf di beberapa kedutaan Indonesia seperti Bern, Vienna, dan Manila.
Sama seperti Bung Hatta, Alwi tidak merasa cocok dengan cara Bung Karno yang cenderung memerintah dengan gaya diktator dan dikelilingi pejabat yang serba 'yes-man' alias 'Asal Bapak Senang'. Des Alwi makin mantap tidak mendukung Soekarno ketika Soekarno menyatakan Kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia, sehingga pada saat kampanye Ganyang Malaysia berlangsung, Des Alwi menetap di Kuala Lumpur menggunakan nama samaran dan kelak ketika konfrontasi ini berakhir, Des Alwi adalah orang Indonesia paling berjasa menormalkan hubungan Indonesia dan Malaysia sampai saat ini (terlepas dari beberapa oknum orang Indonesia dan Malaysia sepertinya tidak menghargai jasa beliau dan seakan selalu ingin memicu keributan tidak perlu antar dua bangsa).
Selepas tidak lagi menjadi diplomat, Des Alwi membuka hotel di Banda dan mulai menulis dan meneliti soal Sejarah Banda, tanah kelahirannya. Ia juga membuka museum sejarah Banda di Banda dan hasil penelitiannya dibukukan dalam buku berikut :
Buku ini menjadi referensi banyak kisah fiksi yang mengangkat tentang Banda seperti chapter Lokapala kali ini, film dokumenter berjudul Banda : The Dark Forgotten Trail yang rilis tahun 2017, dan juga Komik Bara : The Dark Age of Banda karya Ockto Baringbing terbitan Kosmik.
Des Alwi meninggal di Jakarta pada 12 November 2010 dalam usia 82 tahun karena komplikasi jantung dan ginjal.
Kepulauan Banda
Kepulauan Banda adalah sumber segala biji pala yang beredar dari Jawa, Malaka, India, Iran, Iraq, Mesir, dan Eropa. Biji pala Lontor terkenal sampai Spanyol dan Portugis dan inilah yang membuat penjelajah Eropa kala itu begitu bernafsu menemukan jalan ke sumber rempah. Banda pertama kali coba ditaklukkan Portugis, kemudian Belanda, dan terakhir Inggris, yang butuh pala sebagai obat untuk penyakit pes yang sedang mewabah di negara mereka, menaklukkan Pulau Run, bagian dari Kepulauan Banda. Perang antar armada dan pasukan Eropa di seputaran pulau ini bukan hal baru. Belanda bahkan bersedia menukar Manhattan (New York) milik mereka dengan Pulau Run milik Inggris, saking bernafsunya mereka memonopoli perdagangan pala.
Pamor Kepulauan Banda redup ketika harga pala tak lagi mahal, apalagi pada masa Orde Baru, harga pala jatuh cukup tajam sehingga sampai saat ini nama Kepulauan Banda seolah terasing dari penduduk Indonesia kebanyakan, lebih-lebih yang tinggal di Indonesia Barat.
Jan Pieterszoon Coen
Jan Pieterszoon Coen (dibaca : Yan Pieterzuun Kun) adalah Gubernur Jenderal VOC untuk Hindia Belanda ke-4 yang menjabat dari 30 April 1618 – 1 February 1623 kemudian menjabat lagi pada 30 September 1627 – 21 September 1629 . Coen adalah orang yang mengubah Jayakarta menjadi kota Batavia dan seorang yang kaku, keras hati, dan – meski zaman itu terkenal sebagai zaman kacau – kekejamannya ada di luar batas kewajaran zaman itu. Hal ini terlihat pada tahun 1621 ketika ia memerangi orang-orang Banda dan pada akhirnya sukses mengurangi populasi 15.000 penduduk Banda menjadi tinggal 1.000 orang saja! Kalau itu belum cukup buruk, ia memerintahkan para Orang Kaya Banda ditangkapi, dibelah perutnya hidup-hidup, dipenggal, dimutilasi, kemudian potongan tubuh mereka ditancapkan di bambu runcing lalu dipajang di tempat umum. Adapun sekitar 883 orang Banda dibawa pergi ke Batavia sebagai budak, kebanyakan wanita dan anak-anak, 167 orang gagal bertahan hidup sampai Batavia dan jasad mereka dibuang ke laut.
Sikapnya ini sebenarnya membuat banyak orang tak nyaman, tak terkecuali para Heereen Seventien – Tujuh Belas Pria Terhormat – yang merupakan pemimpin VOC kala itu serta para politisi Republik Belanda (pada zaman Coen, bentuk Belanda masih republik, belum kerajaan). Beberapa dari mereka bahkan mengajukan protes keras sebab Orang-Orang Banda yang telah melawan dengan gagah berani seperti itu mestinya dihormati sebagai kesatria dan hukuman untuk mereka cukup pengasingan di tempat jauh macam Sri Lanka atau semacamnya, bukan dibantai! Meski begitu, karena dipandang membawa banyak keuntungan finansial bagi Belanda dan membuat Belanda kuat menghadapi Spanyol (Belanda merupakan bekas koloni Spanyol yang melepaskan diri) dan Inggris kala itu, Coen sampai saat ini dianggap sebagai pahlawan nasional di Belanda.
Coen meninggal tahun 1629 kala pasukan Sultan Agung dari Mataram mengepung Batavia dan mengotori sungai-sungai di Batavia hingga timbul wabah kolera di Batavia. Coen diduga dimakamkan di Batavia, tepatnya di De Oude Hollandsche Kerk – Gereja Tua Belanda, yang sekarang menjadi Museum Wayang di Kota Tua Jakarta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top