[INDONESIANA : AKHIR SEASON 1]
Hakka
Orang Hakka (=tamu) atau biasa disebut juga Khek atau Ke Jia sejatinya adalah termasuk etnis Han, salah satu grup etnis Tionghoa yang merupakan salah satu grup etnis Tionghoa terbesar di Indonesia selain Hokkian, Kanton, Tiochiu, dan Hainan. Suku Hakka banyak menyebar di daerah Tiongkok Selatan dan Timur serta Asia Tenggara karena mereka sering berpindah tempat tinggal untuk keperluan niaga. Di Kalimantan mereka banyak bermukim di Kalimantan Barat tepatnya di Pontianak dan Singkawang. Salah satu tokoh Hakka paling terkenal di Indonesia adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dalam bab ini, ayah Nara adalah seorang keturunan Hakka sementara ibunya seorang Iban, itu sebabnya Nara dan adiknya menggunakan dua dialek itu bersama-sama dengan bahasa Indonesia.
Iban
Orang Iban adalah salah satu grup etnis Dayak paling 'tua' di Kalimantan karena mereka diduga sebagai suku Melayu-Dayak yang pertama tiba di pulau tersebut. Sebagian besar suku Iban bermukim di Sabah dan Sarawak, Malaysia. Di Indonesia biasanya mereka bermukim di Kalimantan Barat. Dahulu Orang Iban sejak dikenal sebagai prajurit Dayak paling tangguh dan paling ditakuti di antara semua Suku Dayak yang lain, karena jarang sekali dalam hakayau (perburuan kepala) mereka gagal. Dahulu mereka bermusuhan sengit dengan Suku Apau Kayan yang bermukim di daerah Kalimantan Timur, namun sekarang sudah tidak lagi. Orang Iban tidak punya Kepala Suku, sebagai gantinya mereka memilih Ketua Suku yang dipilih berdasar musyawarah. Ketua Suku bisa diturunkan kapan saja apabila masyarakat merasa ia tak lagi bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat Iban. Suku Iban juga memiliki keunikan dengan tradisi tato atau pantang yang biasanya dirajahkan di bagian-bagian tubuh tertentu sebagai tanda status sosial atau pengalaman dan keahlian dari si empunya tato, meskipun tradisi ini kian punah. Bahasa Iban sendiri merupakan bahasa Melayu-Dayak yang paling baik terdokumentasi dalam jurnal-jurnal ilmiah dan kamus-kamus online terutama yang berasal dari Malaysia. Sebagian besar orang Iban menganut agama Protestan atau Katolik meski ada pula yang karena sudah menikahi orang-orang Hakka dan keturunan Tionghoa yang lain kini menganut Buddhisme.
Dayak Bukit
Orang Dayak Bukit adalah sub-suku Dayak / Banjar yang tinggal di kawasan Kalimantan Selatan, tepatnya di seputaran Pegunungan Meratus. Mereka saat ini rata-rata beragama Kaharingan namun perbedaan yang mencolok dengan Dayak yang lain adalah mereka sering mengenakan kain seperti sorban (biasanya berwarna putih atau kuning atau kadang biru) sebagai penutup kepala. Dayak Bukit juga sering disebut juga Orang Banjar Meratus, Orang Bukit, dan Orang Dayak Meratus. Bahasa mereka 11-12 dengan Bahasa Banjar.
Sampek
https://youtu.be/vLTIcx3ybec
Sampek atau Sape (artinya = tiga dawai) adalah alat musik Suku Dayak berdawai tiga yang menghasilkan suara khas. Sampek biasanya digunakan untuk ritual atau untuk hiburan senda-gurau semata. Sampek dahulu hanya boleh dimainkan lelaki sebagai music pengiring bagi kaum wanitanya yang menari. Namun saat ini Sampek sudah boleh dimainkan kaum wanita.
Candi Dadi
Candi Dadi adalah sebuah candi yang terletak di kawasan Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul, Tulungagung, Jawa Timur. Candi ini diduga peninggalan Kerajaan Majapahit pada era abad XIV – XV. Tidak seperti kebanyakan candi di Jawa Timur, Candi Dadi dibangun menggunakan batu andesit dan keunikan utama candi ini adalah di bentuk atapnya yang berupa segi delapan dengan sebuah sumur di tengahnya sebagai tempat meletakkan tirta (air suci). Masyarakat Desa Wajak Kidul dahulu takut dengan candi ini karena konon candi ini dahulu merupakan sabab-musabab banyak gadis desa setempat tidak laku-laku sampai tua jadi perawan kasep meskipun seiring berjalannya waktu mitos ini mulai memudar dan sekarang gantian kaum laki-lakinya yang sering jadi jomblo tua.
Balian Mambur
Balian Mambur yang nama aslinya adalah Tanghi adalah tokoh legenda di kalangan Orang Dayak Bukit. Terlahir sebagai anak yatim-piatu, Tanghi kemudian diadopsi seorang lelaki dewasa dari sukunya, namun ternyata ayah angkatnya juga meninggal sebelum Tanghi dewasa. Terjerumus ke lembah kesedihan, Tanghi menolak pulang dan tetap tinggal di makam ayah angkatnya sampai suatu malam ia melihat sesosok hantu pemakan jenazah bernama Bumburaya hendak menggali kubur dan memakan jasad ayah angkatnya.
Tanghi yang tadi tertidur tiba-tiba terbangun mendengar bunyi kuburan digali. Tanghi mencari-cari asal suara itu, dilihatnya di dalam kuburan ada makhluk asing yang hanya pernah didengarnya dari cerita orang tua dulu.
Di sekitar kuburan yang digali tadi terdapat Salipang (tas kecil dari rotan yang digantungkan di bahu), menurut cerita salipang ini adalah tempat Bumburaya menyimpan ilmu kesaktiannya. Dengan mengendap-endap¬ Tanghi mendekati salipang yang ditinggal di atas liang dan segera mengambilnya, Bumburaya terkejut mencium bau manusia hidup, segera ia bangkit dengan pandangan mengerikan dan mengancam didekatinya Tanghi yang sedang memegang salipang miliknya. Tetapi Tanghi tidak merasa gentar, karena dalam kesedihannya ia tidak peduli lagi apakah hidup atau mati.
Melihat manusia yang ada dihadapannya tidak takut, Bumburaya melunak dan berusaha membujuk Tanghi untuk mengembalikan salipang miliknya. Rupanya tanpa salipang miliknya Bumburaya tidak memiliki kekuatan apa-apa kalau ingin menghadapi manusia.
"Bulikakan pang salipang ampun diaku," bujuk Bumburaya. (kembalikan salipang milikku)
"Kada handak, ikam sudah maulah idabul lawan kuburan abah diaku!" tolak Tanghi (tidak mau, kamu sudah berlaku jahat terhadap kuburan ayahku)
"Lamun kada handak mambulikakan jua kubunuh ikam!" ancam Bumburaya (kalau tidak mau mengembalikan akan kubunuh)
"Bunuh ha, aku ni kadada guna hidup di dunia lagi, kadada wadah mangadu, kadada rumah wadah banaung, baik aku mati ha daripada marista mananggung darita!" tantang Tanghi (bunuhlah, tidak ada gunanya lagi aku hidup di dunia, tidak ada tempat mengadu dan rumah tempat bernaung, lebih baik mati saja daripada merana menanggung derita)
"Ikam masih halus, mun balum masanya mati kada kawa diaku mambunuh ikam!" kata Bumburaya (kamu masih kecil, kalau belum waktunya mati, aku tidak bisa membunuh kamu)
Adegan bujuk membujuk ini berlangsung lama, Tanghi tetap pada pendiriannya untuk minta bunuh, minta mati kepada Bumburaya. Sedangkan Bumburaya tidak mau membunuh Tanghi karena menurutnya belum waktunya Tanghi mati. Akhirnya Tanghi membujuk Bumburaya untuk menghidupkan kembali ayahnya, tetapi Bumburaya memberi peringatan bahwa tubuh ayahnya sudah sebagian hancur apabila dihidupkan akan menjadi bentuk yang mengerikan.
Tanghi bersedia apapun bentuk ayahnya asal bisa tetap hidup bersamanya. Maka mulailah Bumburaya menghidupkan ayah Tanghi, ternyata memang benar saat ayah Tanghi bangkit, matanya dan sebagian besar tubuh sudah dimakan ulat dan mengerikan. Tanghi melihat kondisi ayahnya malah ketakutan, ia minta kepada Bumburaya untuk mengembalikan saja ayahnya dalam kubur. Bumburaya pun kembali mematikan ayah Tanghi dan mengembalikan mayatnya dalam kubur.
Setelah keinginan Tanghi dipenuhi ternyata Tanghi tetap tidak mau mengembalikan salipang milik Bumburaya. Tidak kehabisan akal Bumburaya pun membujuk Tanghi dengan kesaktian miliknya.
"Apa maksud ikam?" tanya Tanghi (apa maksudmu)
"Gasan ikam kubariakan minyak nang ada di dalam salipang itu, minyaknya bahasiat banar, urang garing wan urang nang sudah mati kawa ikam tambai mun disapuakan minyak ngini," terang Bumburaya (untukmu kuberikan minyak yang ada di dalam salipang, minyaknya sangat berkhasiat, orang sakit dan orang mati bisa disembuhkan kalau diusapkan minyak ini)
"Mun kaya itu, aku hakun," kata Tanghi (kalau begitu aku bersedia)
"Tapi ada sabuting syaratnya, ikam kada bulih jauh-jauh manambai urang, batasnya kada bulih tapamalam di wadah urang nang ikam datangi itu," kata Bumburaya lagi (Tapi ada satu syaratnya, kamu tidak boleh terlalu jauh mengobati orang, batasnya tidak boleh sampai bermalam di tempat orang yang akan diobati)
"Kanapa kaya itu?" tanya Tanghi (mengapa seperti itu?)
"Mun ikam kawa sakahandak hati maubati, urang nang garing sampai jauh-jauh, kadada lagi kena urang mati maka kadada lagi mayat gasan aku makan!" Bumburaya menerangkan (kalau kamu bisa sekehendak hati mengobati orang sampai jauh, tidak ada lagi orang yang mati, maka tidak ada mayat untuk aku makan)
Tanghi pun setuju, dikembalikannya salipang milik Bumburaya, setelah itu segera Bumburaya memberikan ilmunya serta minyak untuk mengobati orang sakit bahkan orang yang sudah mati kepada Tanghi. Akhirnya Tanghi menjadi pananambaan (tabib) yang sanggup mengobati sakit apa saja dan menghidupkan kembali orang yang mati.
Nama Tanghi semakin terkenal, berduyun-duyun orang menemuinya, bagi yang sakit ringan datang sendiri, yang sakit berat didatangi ke rumah tetapi Tanghi tetap memegang syarat untuk tidak terlalu jauh menambai (mengobati) orang. Karena ketenarannya itu ia mendapat gelar Balian Mambur konon cara Balian ini masih dipakai sampai sekarang.
Beberapa tahun kemudian Tanghi sudah tua dan berkeluarga serta semakin terkenal. Rupanya dengan ketenarannya itu dan niat baik Tanghi membuatnya lupa untuk tidak mengobati orang jauh-jauh sehingga Bumburaya tidak mempunyai makanan mayat lagi di sekitar sana dan akhirnya pergi meninggalkan Tanghi. Akibatnya ada orang yang iri dan mengetahui rahasia perjanjian Tanghi dengan Bumburaya.
Saat Tanghi melakukan pengobatan yang jauh, orang yang iri itu menculik anak dan istri Tanghi kemudian membunuhnya, supaya Tanghi tidak bisa lagi menghidupkan dibakarnya mayat mereka berdua dan abunya dibuang ke sungai.
Saat Tanghi pulang dia tidak menemukan anak dan istrinya, kata orang kampung mereka berdua sudah dibunuh dan dibakar tanpa ada sisa mayatnya lagi. Mendengar ini Tanghi pun kehilangan semangat hidup, pikirnya buat apa dia bisa mengobati orang tetapi keluarga sendiri tidak bisa disembuhkan.
Akhirnya Tanghi bertekad tidak ingin lagi menemui manusia, dia bersumpah bila manusia ingin bantuannya harus mengadakan upacara balian delapan hari delapan malam tanpa makan dan tidur terus menerus batandik. Setelah mengucapkan sumpah itu Tanghi menghilang jasadnya mendewata dan tidak bisa lagi ditemui manusia.
Sejak saat itu di kepercayaan Kaharingan bermunculan Balian-Balian lainnya untuk melakukan pengobatan tetapi tidak ada yang sehebat Balian Mambur yang sampai bisa menghidupkan orang mati. Balian yang lain selalu berupaya memanggil Balian Mambur tetapi tidak ada yang sanggup. Menurut kepercayaan apabila ada orang Dayak Bukit sakit kemudian diobati Balian tetapi tidak berhasil berarti Balian Mambur tidak sudi datang menolong mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top