BAB 9.6 : MANGKOK MERAH
Kediaman Kapten Pusaka, 23.45 WITA
Kapten Pusaka, sebagaimana layaknya anggota TNI lainnya, sedianya tinggal di rumah dinas yang disediakan negara. Namun karena Pusaka sendiri merupakan anggota unit khusus yang notabene tugasnya dirahasiakan, kediaman Pusaka di kota ini pun sengaja dipisahkan dari kediaman dinas para prajurit TNI pada umumnya. Pusaka disewakan satu rumah yang letaknya hanya satu kilometer dari sekolah Oka. Di rumah ini hanya ada dia dan istrinya. Anak mereka belum punya, karena itu Oka kadang-kadang tinggal di sini jika Oka sedang mau tinggal atau Nyonya Pusaka 'memaksa' Oka tinggal.
Hari ini seharusnya Oka pulang kemari, tapi Oka tampak enggan pulang sehingga Oka mempersilakan ia tinggal di akademi lalu memakai waktu liburnya untuk melakukan aksi yang Pusaka tahan-tahan dari seminggu yang lalu : mencoba ramuan herbal buatan ahli botani Unit V yang katanya bisa meningkatkan kesempatan pasangan yang sulit punya anak untuk punya anak. Jadi sejak 4 jam yang lalu Pusaka sengaja mematikan ponsel dan segala alat komunikasinya untuk hanya berdua saja dengan istrinya. Sayangnya kemesraan pasutri yang baru berlangsung empat jam itu langsung buyar gara-gara suara bel pintu rumah.
"Siapa yang bertamu malam-malam gini, Mas?" wajah istri Kapten Pusaka yang seolah tampak seperti gadis mahasiswa 20 tahunan awal meski usianya sudah kepala 3 langsung mengernyit kebingungan.
Pusaka sendiri langsung punya firasat tidak enak dengan bel itu. Cepat-cepat ia turun dari ranjang, memakai celana dan kaus lalu berlari keluar rumah. Di depan rumah ia melihat Oka dalam balutan zirah Dwarapala mengendarai motor dinasnya. Senapan laras panjang tersampir di punggungnya. Itu saja sudah menjelaskan pada Pusaka apa yang terjadi.
"Sebentar Oka! Saya ganti baju dulu!" ujar Pusaka.
Begitu masuk kembali ke kamarnya, Pusaka langsung disambut tatapan kecewa istrinya.
"Kerja lagi ya?"
"Ya! Ada kondisi darurat! Oka di depan pakai zirah tempur dan persenjataan lengkap! Harusnya aku nggak matikan ponsel dan komunikator tadi!" ujar Kapten Pusaka gusar.
"Oka nginap?" tanya istrinya lagi.
"Mungkin besok aku suruh dia kemari. Tapi jelas tidak malam ini. Dia tugas lapangan hari ini."
Nyonya Pusaka lantas turun dari ranjang, mendekati Sang Kapten lantas berkata, "Jaga dia baik-baik ya Mas," ada nada khawatir dalam suaranya.
"Pasti!" ujar Pusaka sembari mengencangkan tali sepatu botnya.
Pusaka lantas mengambil sebuah helm kemudian berjalan ke depan rumah, membonceng Oka menuju Markas Unit Lima.
*****
Markas Unit Lima, 01.00 WIB
Hari ini benar-benar menjadi malam yang panjang bagi Dokter Janggan dan Samad. Aksi tak terduga berupa kedatangan para kroda yang Samad sepakai diberi nama sandi 'Ronin' menurut usulan Nara di lapangan tadi sungguh membuat Unit Lima kocar-kacir. Dengan Pusaka yang izin libur dan Denny yang tak sadarkan diri setelah entah bagaimana ceritanya kerasukan Usana yang tidak bekerjasama dengan Unit Lima, praktis Samad sebagai orang nomor tiga di Unit Lima secara tidak langsung memegang kendali operasional darurat.
"Kapten Pusaka datang!" ujar Panji ketika melihat lewat layar monitor ketika mendapati Oka telah masuk dan membonceng Kapten Pusaka.
"Mana Nara?" tanya Sitanggang yang baru saja mengambil secangkir kopi untuk dirinya dan mendapati di antara Lokapala yang berkumpul di sini – masih mengenakan zirah mereka – hanya Nara yang tidak ada.
"Nara menyepi sejenak," kata Regina.
Sitanggang mendengus, sementara itu Kapten Pusaka yang sudah turun dari motor Oka tergopoh-gopoh berlari ke ruang tengah markas yang kini difungsikan sebagai ruang penyusunan strategi itu.
"Situasi Doktor?" tanya Pusaka pada Samad.
"Takeda Kei, warga Jepang, korban kapal karam yang ditolong kapal tanker tempo hari itu ternyata Kroda. Begitu Sarita milik Nara melakukan kontak dengan Takeda, sosok aslinya langsung muncul. Kesimpulan sementara yang bisa kita ambil dari berbagai info yang terkumpul : Takeda ini mantan Kempeitai pada era Perang Dunia II dan sekarang dia masih kira zaman kita ini masih masa perang atau setidak-tidaknya kita ini jadi bawahannya Jepang Raya. Kalau info ini benar, maka Takeda harus dihabisi sesegera mungkin. Veteran perang kolot biasa saja sudah berbahaya apalagi Kempeitai macam dia."
"Apa Doktor punya usul bagaimana kita habisi dia?" tanya Panji, "Para Kempeitai yang mengawal dia ini punya taktik tempur yang profesional. Lebih berbahaya daripada latihan manapun yang kami hadapi di simulasi."
"Dan peluru senapan Arasakanya," kata Sitanggang sembari menunjuk sepucuk senapan Arasaka milik seorang prajurit yang tadi berhasil diatasi Nara dan Regina, "kadang mampu menembus zirah kami."
"Sebenarnya ada cara yang efektif untuk melawan dia dan pengawal-pengawalnya," kata Nara yang baru saja keluar dari tempat menyepinya dengan membawa seekor ayam jantan berbulu hitam yang masih hidup dan terus saja berpetok-petok.
"Apa itu, Nara?" tanya Samad sembari berusaha menahan diri untuk tidak bertanya : 'buat apa sih ayam itu?'
"Perang Semesta, kita harus satukan tenaga semua yang bisa angkat senjata untuk melawan mereka," kata Nara dengan tatapan menusuk dan nada bicara yang bergetar.
"Itu sih strategi konvensional kita Nara, maksudku itu bagaimana kita bisa habisi mereka secepat mungkin dengan kerusakan yang minim?" sahut Panji.
"Perang Semesta bukan sekedar kita semua turun dan bekerja sama ala tim Power Rangers, Panji. Perang Semesta itu artinya kita semua harus selaras dalam visi, misi, gerak, dan tujuan."
"O-ow!" Sitanggang baru menyadari apa maksud Nara barusan. Sebagai sesama 'tukang sihir' dalam tim, Sitanggang tahu bahwa maksud Nara barusan adalah memakai semacam sihir sebagai semacam 'booster' untuk memperkuat kekuatan Lokapala.
"Kau ... mau pakai apa Nara?" tanya Sitanggang takut-takut, "Jangan bilang kalau ayam di tanganmu itu untuk ... sesaji?"
"Yah ...., maaf banget ya ayam, semoga di kehidupan selanjutnya kamu terlahir dalam kondisi lebih baik," Nara langsung mematahkan leher ayam itu di depan semua yang hadir di sana dan tiba-tiba saja sudah ada sebuah mangkok batok kelapa yang bercat merah di tangan Nara.
Mangkok itu Nara letakkan di atas meja besar berbentuk bulat di tengah ruang strategi dan langsung dia iris lehernya menggunakan sebuah pisau kecil. Darah ayam itu mengucur, mengisi mangkok itu hingga setengah penuh kemudian keanehan terjadi.
Mangkok itu menggandakan diri. Dari semula satu menjadi dua, dari dua menjadi empat, dari empat menjadi enam. Masing-masing berisi sejumlah genangan darah ayam tadi. Nara mempersilakan tiap anggota Lokapala mengambil satu mangkok lalu menawarkan mangkok keenam kepada Kapten Pusaka.
"Jangan Kapten Pusaka," sergah Oka sembari mengambil mangkok keenam, "Aku saja!"
"Baiklah!" ujar Nara sembari menjentikkan jarinya dan kelima mangkok itupun menghilang. Hanya menyisakan satu mangkok merah yang ia pegang di tangannya.
Nara memasukkan tiga jarinya ke dalam mangkok, mengambil sedikit darah ayam dalam mangkok dan mengoleskannya ke dahinya, kemudian ke kedua pergelangan tangannya, dan terakhir ke bagian telapak kakinya sembari menyanyikan kidung yang asing di telinga semua yang hadir di sana.
Sesudah itu semua selesai semuanya awalnya tampak normal-normal saja. Sampai kemudian para Lokapala dan Oka merasakan sesuatu seperti pisau tak kasat mata ditekan ke jantung mereka.
"Nara! Ko buat apa ini?" tanya Ignas sembari memegangi bagian dadanya.
"Tahan sedikit!" kata Nara.
"Arrghh!" Oka meringis menahan perasaan nyeri luar biasa itu selama beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa sakitnya tak lama kemudian mereda.
Tapi sebagai ganti dari rasa sakit itu kini terasa gejolak dalam dada keenam remaja itu hasrat yang meluap-luap untuk mencari dan menghabisi seseorang : Takeda Kei alias Ronin.
******
Hutan Bukit Barat, Tanjung Paser, 02.00 WITA
Guna memperbesar peluang bertahan hidup pasukannya yang hanya tinggal segelintir, Takeda memerintahkan pasukannya bergerak ke arah barat, masuk hutan, dan memulai perang gerilya sembari menunggu kesempatan menyerang. Namun betapa terkejutnya Takeda ketika ia masuk lebih dalam ke tengah hutan, ia mendapati enam sosok sudah menghadang langkahnya.
Para prajuritnya pun langsung bersiap, bayonet senapan mereka yang semula terlipat kini teracung gagah siap menerkam siapapun yang mengahalangi langkah mereka.
"Siap?!" Panji sebagai kapten tim menanyakan kesiapan teman-temannya.
"Siap!" jawab mereka semua.
"Serang!" ujar Panji dan serempak enam remaja itu menarik senjata laser mereka dan mulai menembaki para Ronin.
Para Ronin itu membalas dengan tembakan senapan Arasaka sementara pimpinan mereka, Takeda, maju mengeluarkan senjata dari kedua pergelangan tangannya dan menarget satu orang : Lokapala Tatung alias Nara.
Nara yang kebetulan sudah mengincar Takeda sejak tadi langsung menyambut serangan Takeda dengan serangan pula. Kala bilah pedang Takeda hendak menyabet kepalanya, Nara langsung memposisikan terabi miliknya untuk melindungi kepala selagi membungkukkan tubuh dan menendang tempurung lutut Takeda hingga posisi kroda itu goyah. Selanjutnya dengan sentakan kaki kiri, Nara melakukan salto bak macan dahan dan menyabetkan mandaunya ke punggung Takeda. Takeda pun langsung membalas dengan membalikkan badan dan menyabetkan bilah senjatanya keras-keras dan berhasil merusak zirah Nara di bagian perut karena Nara gagal menghindar.
Tapi luka segitu tampaknya tidak dianggap apa-apa oleh Nara karena dengan segera ia kembali menyerang dengan berlari setengah membungkuk, ia menyabetkan mandaunya dengan target bagian kaki Takeda. Mandaunya berhasil melukai kaki Takeda tapi tidak seperti perkiraan Nara, Takeda masih bisa bergerak dan kali ini hampir saja menusuk Nara dari atas.
"Hao! Hati-hati! Kita bukan orang punya ilmu kebal macam Pang Suma!"
=======
Hao = Halo (bahasa Dayak Kalbar)
Kita = kamu (bahasa Dayak Kalbar)
=======
"Oke!" jawab Nara pendek dan mulai menyerang lagi, kali ini dengan menghantamkan terabinya ke kepala Takeda keras-keras sampai mantan Kempeitai itu mundur. Disusul dengan tendangan setengah lingkaran yang mengenai kepala Takeda telak. Tapi Takeda belum rubuh, ia kembali bangkit dan menyerang, kali ini sabetannya melukai kaki Nara dan membuat Lokapala itu harus mengambil langkah mundur sejauh beberapa meter.
"Pedangnya merepotkan!" keluh Nara.
"Warak! Bisa bantu kami?" pinta Sarita via jalur komunikasi.
"Ya!" Usana partner Panji menjawab pendek namun Panji segera datang dan dengan pedang kembarnya mulai saling tangkis dan serang melawan Takeda.
"Sekarang Nara, tarik nafas, buang, tarik nafas lagi, buang. Konsentrasi. Abaikan dulu rasa sakit, kamu cari kesempatan selagi Kroda itu sibuk dengan Panji. Begitu kesempatan datang langsung serang. Jangan ragu!"
Nara menunggu sembari menarik dan membuang nafas lalu ketika Ronin berhasil menjatuhkan Panji, Nara melihat kesempatan!
Gadis itu berlari sekencang-kencangnya dalam posisi agak merunduk kemudian menyabetkan senjata mandaunya ke arah Sang Ronin, namun kali ini ia mengincar bagian tangannya.
Satu sabetan kuat, dan tangan kanan Takeda terpisah dari tubuhnya. Takeda terlambat bereaksi dan kemudian mengambil keputusan salah dengan menggunakan sisa tangannya untuk langsung menyerang Nara pasca memutar badannya lebih dahulu. Nara yang sudah menebak Takeda akan mengambil langkah seperti itu langsung menghindar dan kali ini ia memanjat sebuah pohon selincah monyet bekantan lalu bertengger di suatu dahan.
"Bakaryou!" maki Takeda, "Turun kau Dayak sialan! Dasar Warui Hito!"
Takeda belum puas memaki-maki ketika Nara tiba-tiba melempar mandaunya ke arah Takeda. Takeda refleks menangkis namun mandau itu tiba-tiba berputar bak bumerang selama beberapa detik sebelum mengarah ke bagian punggung Takeda dan ....
Kepala Takeda pun terpisah dari tubuhnya setelah mandau itu mengenai leher belakangnya.
"Maaf Takeda-san," kata Nara dari atas pohon, "Kami tak mau lagi nyanyikan Kimigayo, kami tak mau lagi ada Hi-no-maru berkibar di tanah kami, kami tak mau lagi membungkuk pada kalian dan Tenno Heika, dan lebih-lebih kami muak dengar kalian sebut kami Warui Hito! Pergilah kamu dengan tenang ke alam berikutnya. Semoga karmamu cukup untuk menghindarkanmu dari Neraka dan semoga di kehidupan berikutnya kamu terlahir dalam kondisi yang lebih baik."
=========
Kimigayo = lagu kebangsaan Jepang
Hi-no-maru = bendera Jepang
Warui Hito = orang jahat, label yang diberikan Jepang pada setiap pribumi dan orang Tionghoa yang melawan pendudukan Jepang di Indonesia.
=========
Nara pun melompat turun sembari menyaksikan tubuh Takeda terurai menjadi partikel-partikel hitam kemerahan dan menarik mandaunya yang menancap di sebuah pohon. Sementara itu bersamaan dengan menghilangnya Takeda, para Ronin yang lain pun menyaksikan tubuh mereka terurai menjadi partikel-partikel hitam kemerahan sebelum lenyap tanpa bekas.
"Misi selesai," lapor Panji kepada Unit Lima.
"Aduh! Rasanya plong!" kata Oka mengomentari dadanya yang kini tak lagi sesak.
"Nara!" tiba-tiba Regina mendekati Nara dan menudingnya dengan jari telunjuknya.
"Ya Re? Ada apa?" tanya Nara tanpa rasa bersalah.
"Tolong jangan ... membuat kitorang lihat lagi ayam meninggal dunia dengan cara seperti tadi!"
"Jangan khawatir," dari balik helmnya, Nara tersenyum, "Mari berdoa saja semoga kita tak perlu memakai teknik ini lagi untuk melawan musuh kita."
******
Vihara Maha Awalokiteswara, Sektor Utara Tanjung Paser, 18.00 WITA
Tanjung Paser memasuki petang dan Sang Romo Pandita penjaga vihara mendapati viharanya sepi seperti biasa. Ia sudah berniat menutup pintu vihara tapi dengan segera ia mendengarkan seorang mendaraskan japamantra kepada Boddhisattva. Ia melirik ke dalam dan mendapati remaja putri bernama Nara itu tengah memutar japamala – tasbih – miliknya sembari mengucapkan japamantra kepada Boddhisattva berulang-ulang. Sang Romo Pandita urung menutup pintu vihara dan memutuskan untuk menunggu barang sejam lagi sebelum dirinya pulang.
Ketika ia membalikkan badan, ia mendapati bahwa ia kedatangan tamu lagi, seorang profesor muda bernama Denny Sagita yang berdiri dengan muka cemberut di depan pintu pagar vihara.
"Bagaimana Prof? Pertemuan Anda dengan tamu dari barat itu menyenangkan?" tanya Sang Pandita.
"Kurang menyenangkan. Tiba-tiba saja dia ajak aku bertengkar lawan Kroda sampai badanku sakit semua. Ngomong-ngomong apa rencana Dakara di sini, Romo Pandita? Apa Dakara di sini untuk memata-matai Unit Lima atau untuk apa?"
"Jangan khawatir, Profesor. Kota ini sudah jadi wilayah Daerah Operasi Militer kalian. Dakara takkan ikut campur urusan kalian. Saya di sini hanya sebagai pengamat sekaligus – jika Anda memerlukan – perwira rohani bagi prajurit-prajurit Anda yang kebetulan beribadah di sini."
"Akhir-akhir ini Nara sering ke sini?"
"Tampaknya begitu."
"Apa yang dia doakan di dalam sana?"
"Dari mantranya tampaknya dia mendoakan kesejahteraan arwah."
"Arwah siapa?"
"Musuh-musuh yang ia bunuh."
"Dari mana Anda tahu?"
"Karena sebagai prajurit dan seorang Buddhist saya juga melakukan hal serupa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top