BAB 9.2 : AWALOKITESWARA
Markas Lokapala, Tanjung Paser, 07.00 WITA
Hari ini hari Minggu. Sebagian besar murid-murid akademi sudah pasti berplesir entah ke mana namun bagi Oka, hari Minggu seperti ini malah dia habiskan berkutat di ruang monitor Markas Lokapala alih-alih jalan-jalan atau pulang ke rumah Kapten Pusaka yang bertindak sebagai walinya. Maka dari itu ketika Denny masuk ke dalam markas dan mengira markas itu kosong, dia menjadi kaget bukan kepalang kala Oka menyapanya, "Selamat pagi Prof!"
"Duh! Eh! Pagi! Hmmm, kamu tahu ke mana Sarita?" Profesor muda itu menunjuk ke arah tabung nomor lima yang sedianya berisi Usana milik Nara, seorang Usana berwujud prajurit pemburu kepala Suku Dayak yang lazim disebut pengayau, namun berjenis kelamin wanita. Yah, pokoknya dia tahu Sarita itu wanita hanya dari suaranya sebab wajahnya tak pernah nampak sebagaimana Datu Merah milik Sitanggang dan Ina Saar milik Regina karena mereka menggunakan bentuk semacam kain untuk menutupi wajah mereka sehingga jika kita mengabaikan aksesoris etnik mereka, orang pasti mengira mereka itu ninja.
"Tadi Nara turun kemari dan Sarita langsung keluar, ikut dengan Nara."
"Kamu tahu dia ke mana?"
"Mungkin ke vihara. Ini kan hari Minggu."
"Vihara yang mana? Sanggar Suci? Boddhagaya?"
"Bukan Prof, dia pasti ke Vihara Maha Awalokiteswara."
******
Vihara Maha Awalokiteswara, Sektor Utara Tanjung Paser, 08.00 WITA
Mahayana ... adalah nama satu dari tiga aliran besar agama Buddha yang berkembang di Indonesia. Aliran terbesar dan paling pertama diakui (kembali) oleh pemerintah Indonesia adalah aliran Theravada yang praktek dan ritusnya sangat mirip dengan agama Buddha yang dianut sebagian besar penduduk Thailand dan Myanmar. Dua aliran lainnya adalah Mahayana dan Vajrayana yang jika dilihat sekilas memiliki kemiripan dengan agama Hindu misalnya dalam hal penamaan makhluk-makhluk adikodrati seperti Sakra yang juga punya nama lain Indra, raja kahyangan; Anoman, kera putih yang membantu Rama mengalahkan Rahwana; Mahakala yang di dalam agama Hindu merupakan nama lain dari Batara Syiwa, dan masih banyak lagi.
Tapi dari sekian banyak makhluk adikodrati yang dipercayai oleh umat Buddha Mahayana, Awalokiteswara adalah yang paling populer. Awalokiteswara memang bukan Buddha sebagaimana Siddharta Gautama namun Awalokiteswara termasuk makhluk yang posisinya hanya setingkat di bawah Buddha. Golongan makhluk bernama Boddhisattva – Calon Buddha, mereka yang meniatkan diri menjadi Buddha dan terus menerus bekerja demi kebahagiaan semua makhluk dengan mengajarkan pengetahuan dharma kepada semua makhluk mulai dari jasad renik, hewan, tumbuhan, dan yang paling penting yang mendapat kesempatan terlahir sebagai manusia.
Mereka yang berdoa di hadapan rupang – arca – Awalokiteswara biasanya memiliki berbagai ujub tapi pada intinya, puja di hadapan Awalokiteswara dimaksudkan sebagai semacam sesi 'berguru' pada Awalokiteswara supaya dapat mendapat ilham atau pencerahan guna menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, dengan sesedikit mungkin melakukan perbuatan yang melanggar sila – aturan – yang pernah diajarkan oleh Buddha Sakyamuni alias Siddharta Gautama.
Sehari-harinya, puja bakti di vihara ini tidak dipimpin oleh bhiksu, tapi oleh seorang romo pandita – yakni umat Buddha awam – yang ditunjuk oleh para bhiksu untuk memimpin ritus puja bakti kala tidak ada bhiksu yang bisa memimpin. Puja bakti sedianya dimulai pukul 10 pagi tapi Nara sengaja datang pagi-pagi karena dia hendak berkonsultasi dengan Sang Romo Pandita. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya.
Tepat pukul sembilan, terlihat Sang Romo Pandita vihara tersebut, seorang pria Melayu dengan rambut telah memutih datang berjalan dengan busana kemeja dan celana serba kuning. Nama orang itu Mukayat Hadi, sebuah nama yang sama sekali tidak ada bau-bau Buddhismenya sama sekali, bahkan kalau orang biasa melihat Sang Romo Pandita kala menjalani profesinya sehari-hari sebagai pedagang sembako di pasar, takkan ada yang mengira kalau dia itu seorang pemuka agama Buddha.
"Selamat pagi Romo," sapa Nara ketika Sang Pandita mendekat.
"Met pagi. Kok pagi benar? Yang lain masih belum datang tuh!" jawab sang pandita sembari membuka kunci pagar vihara.
"Errrr, begini Romo, bolehkah saya berkonsultasi sedikit dengan Romo?"
Sang Pandita melirik sejenak ke arah Nara dengan tatapan sedikit menyelidik sebelum matanya menangkap sosok Sarita, Usana milik Nara tengah memberikan tatapan tidak suka ke arah Sang Pandita.
"Silakan, ayo masuk ke dalam dulu, ngomong-ngomong siapa namamu?"
"Nara!"
Sampai di teras vihara, Sang Pandita segera duduk bersila menghadap Nara yang juga mulai mengambil posisi duduk bersila.
"Kamu ada masalah apa?"
"Errr, begini. Jadi intinya Romo, saya ini diberi semacam kesempatan belajar di sebuah akademi yang biayanya cukup mahal. Sebagai imbal baliknya, saya diharuskan melakukan beberapa aktivitas dan kegiatan yang mohon maaf sedikit banyak kurang menyenangkan bagi saya. Selain itu setiap kali saya memikirkan rumah saya di Singkawang sana, saya kok merasa berdosa sudah meninggalkan orangtua saya di sana. Salah satu dari orangtua saya tengah sakit tapi saya di sini malah hidup enak. Saya bingung apa sebaiknya saya mundur dan pulang ke Singkawang atau tetap di sini dan menjalani hidup seperti ini?"
Sang Pandita manggut-manggut lalu berdiri sejenak kemudian berdehem sebelum mulai berujar, "Aktivitas yang kurang menyenangkan itu berkaitan dengan kemiliteran ya ... Lokapala?"
Dan sekarang Nara dibuat terperanjat karena dia awalnya tidak menyangka Romo Pandita ini tahu soal Lokapala. Setahu dirinya, proyek Lokapala adalah sebuah proyek rahasia dan hanya sedikit yang tahu soal proyek itu.
"Tu-tunggu, darimana Romo tahu soal itu?"
"Dari sosok di balik tubuhmu yang sedari tadi menatap tidak suka ke arah saya. Jangan khawatir Balian. Aku tidak hendak menyakiti atau berbuat macam-macam dengan anak ini."
Nara masih belum pulih dari keterkejutannya. Wajah dan telinganya kini memerah karena diliputi kecemasan kalau-kalau Denny sampai tahu soal ini. Profesor itu sudah mewanti-wanti kalau sampai ada orang di luar Unit Lima yang tahu soal masalah Lokapala, konsekuensinya bakal berat.
"Jangan khawatir, Nara. Aku tahu soal Lokapala karena diberitahu pihak-pihak atas."
"Siapa sebenarnya Romo?"
Sang Pandita mengeluarkan sebuah lencana dengan simbol lingkaran yang dikelilingi cakram matahari. Simbol itu tidak memiliki tulisan yang menjelaskan organisasi macam apa itu tapi Sang Pandita akhirnya menjelaskan, "Bukan hanya Unit Lima yang memerangi makhluk-makhluk yang kalian temui itu. Jauh sebelum Unit Lima ada, makhluk-makhluk dari seberang diperangi oleh kami, Dakara. Jadi jangan takut karena kami adalah sekutu kalian. Yah, kurang lebih sekutu lah.
"Dan kembali soal masalahmu tadi. Aku bisa menduga kalau masalahmu ini terkait, sila – aturan – yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni melarang kita untuk membunuh tapi di sisi lain kalian sebagai Lokapala bukan satu-dua kali saja harus membunuh kan?"
Nara mengangguk, "Saya terusik, ayah saya meskipun seorang tukang jagal selalu berusaha menjadi orang Buddha yang baik, selalu berusaha tidak menyakiti makhluk lain, dan selalu menentang keras pembunuhan. Tiba-tiba di sini saya sudah membunuh seorang nenek tua, seekor kucing besar yang buas tapi mungkin saja hanya mencari makan, serta seorang tua putus asa yang diperdaya untuk membunuhi orang-orang demi kebebasannya"
"Kamu dan makhluk yang bersamamu itu. Apa hubungan kalian baik?"
Nara melirik ke arah Sarita dan wanita Usana itu memberi tatapan menusuk ke arah Nara. Tatapan buas dan selalu ingin membantai lawannya tanpa kecuali bahkan di penugasan terakhir, Sarita nyaris saja mengarahkan Nara untuk menghabisi Tino yang dirasuki Toka karena merasa Tino menghalangi dirinya.
"Tidak terlalu, kami punya perbedaan pandangan yang amat besar."
"Kamu juga balian kan, Nara?"
"Balian?"
"Ya, istilah gampangnya dukun suku Dayak."
"Bukan, saya hanya anak remaja biasa."
"Yang diikuti roh seorang balian. Balian sakti dari masanya saya lihat. Atau ... oh bukan hanya balian. Dia Togukng kan?"
====
Togukng = roh penjaga hutan Kalimantan Barat, bisa berubah menjadi berbagai macam wujud hewan ataupun manusia tapi wujudnya yang paling lazim adalah macan dahan.
====
"Kamu tahu banyak, Pak Tua!" sahut Sarita yang mulai keluar dari tubuh Nara dan langsung merubah dirinya dari sosok wanita yang memanggul mandau di punggungnya menjadi sesosok macan dahan Kalimantan dengan kulit kuning bertotol-totol.
"Sarita jangan!" cegah Nara karena khawatir Sarita hendak mencelakai Sang Pandita.
Tapi Usana itu hanya menggeram sementara Sang Pandita masih tampak bersila dengan tenang.
"Bagaimana saya bisa jadi umat Buddha yang baik kalau saya terus bersama dia? Suatu ketika dia akan membunuh orang tak bersalah dan saat itu saya takkan bisa mencegahnya sama sekali."
"Apa yang kamu takutkan dari membunuh?"
"Karma buruk. Kehidupan saya sekarang sudah cukup buruk Romo! Dan saya tidak mau karena saya membunuhi orang atau makhluk hidup lain di kehidupan saya yang sekarang akhirnya membuat kehidupan saya di kelahiran berikutnya menjadi lebih buruk lagi."
"Kamu tahu apa tujuan akhir dari setiap dari kita?"
"Menjadi makhluk yang bisa bekerja membahagiakan semua makhluk."
"Seperti Sang Sakyamuni dan juga seperti Awalokiteswara?"
====
Sakyamuni = orang bijak dari Sakya, sebutan lain bagi Siddharta Gautama.
====
"Ya."
"Tapi tahukah kamu bahwa seorang Sakyamuni pun pernah membunuh?"
"Apa? Masa?"
"Ya. Di masa lampau, Sang Sakyamuni hidup sebagai seorang nahkoda kapal, ia tahu mengenai ajaran dharma, ia tahu mengenai larangan membunuh serta aturan-aturan lain yang berlandaskan kewajiban. Seumur hidupnya ia berusaha sekeras mungkin mematuhi aturan-aturan itu meski kehidupan sebagai pelaut itu keras, rentan godaan akan hiburan tak sehat, serta rentan akan amarah yang tak terkontrol akibat kondisi lautan yang ganas.
"Lalu di suatu hari ia mendapati serombongan pedagang menaiki kapalnya. Para pedagang itu adalah pedagang yang jujur dan murah hati. Sang Nahkoda dianugerahi mata yang bisa melihat apa yang takkan dilihat orang lain. Mata itu mampu melihat takdir seseorang, apakah ia akan hidup atau mati. Kalau mati ke mana dia akan pergi? Terlahir di alam dewata ataukah sebagai manusia ataukah sebagai hewan? Saat Sang Nahkoda saat itu melihat para pedagang, ia melihat bahwa satu kelahiran lagi saja para pedagang itu akan terlahir sebagai makhluk-makhluk tercerahkan setara Buddha. Tapi di antara mereka terdapat seorang pencuri. Si pencuri ini bukan hanya hendak mencuri tapi juga hendak membunuh seluruh pedagang itu untuk mengambil harta mereka. Garis takdir pencuri ini di mata Sang Nahkoda jelas. Mati dan tak ada jalan lain!
"Tapi kemudian ia melihat dua kemungkinan. Jika ia memberitahu para pedagang itu akan keberadaan si pencuri, sudah pasti si pencuri akan dikeroyok sampai mati tapi dengan imbas, para pedagang itu akan batal terlahir makhluk tercerahkan dan mampir dulu ke neraka sekitar beberapa juta tahun manusia. Jika ia membiarkan seorang pedagang dibunuh maka ia berdosa sebab ia mampu menghentikan kejadian itu tapi ia membiarkannya saja selain itu Si Pencuri sudah pasti akan dijebloskan ke alam neraka selama beberapa juta tahun dan harus terlahir berkali-kali sebagai hewan sebelum terlahir kembali sebagai manusia. Terntunya jika ia terlahir kembali sebagai manusia setelah periode kelahiran hewan itu pastilah ia akan termasuk sebagai golongan manusia paling hina. Mungkin sebagai budak, mungkin juga sebagai orang miskin berpenyakit kusta.
"Jalan terakhir yang ia lihat adalah ia sendiri yang membunuh si pencuri. Dengan begitu si pencuri kelak bisa terlahir dengan kehidupan yang lebih baik, para pedagang bisa terlahir di alam dewata, tapi konsekuensinya justru Sang Nahkoda akan mampir dulu ke neraka sebelum terlahir kembali! Sang Nahkoda bimbang, dan memikirkan hal itu masak-masak, menimbang dan menimbang kembali hingga akhirnya ia memutuskan bahwa ia akan melakukan hal itu. Maka ia pun membunuh sendiri si pencuri dan setelah sekian lama terjadilah apa yang telah dilihat Sang Nahkoda, para pedagang lahir kembali sebagai para calon Buddha, sang pencuri terlahir kembali di kahyangan, dan Sang Nahkoda terpuruk ke dalam kelahiran yang 'tidak menyenangkan'. Butuh puluhan ribu kelahiran lagi baginya hingga akhirnya ia terlahir menjadi Pangeran Siddharta.
"Dan itulah Nara, apa yang dimaksud dengan berjuang demi kebahagiaan banyak makhluk."
Nara menelan ludah, cerita tadi seolah hendak menyindirnya dengan kata-kata seperti ini : 'Jika Guru kita, junjungan kita, saja mau berkorban dengan menanggung karma buruk dan menempuh berbagai macam kehidupan sekian lama demi menyelamatkan beberapa orang yang sejatinya sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengannya, masakan kamu sekarang mau cari selamat sendiri?'
"Dan soal hubunganmu dengan Si Balian. Bolehkah saya beri saran?"
"Silakan Romo."
"Kamu keturunan Dayak dan karena itu kamu dipilih sebagai Balian. Itu jalanmu dan jalan ini mungkin tidak terlalu kamu sukai, tapi cobalah menjalaninya dengan menerima kondisimu apa adanya. Apa yang terhidang dalam kehidupan kita kadang tak dapat kita kontrol dan kita pilih. Dan apa yang kita kira buruk belum tentu buruk. Bagi kamu dan kehidupanmu sebagai prajurit, bisa jadi bantuan Sang Togukng ini sebuah anugerah. Yang penting bagaimana kamu melihatnya dan bagaimana memanfaatkannya."
"Dan bagaimana jika pada satu atau dua kondisi saya terpaksa mengorbankan nyawa manusia?"
"Pikirkan baik-baik keputusan itu dan jika kamu yakin bahwa dengan tindakan itu akan banyak nyawa yang lain terselamatkan, ambil keputusan itu dan hadapi konsekuensinya dengan penuh ketegaran."
"Sulit!"
"Memang tidak pernah mudah."
*****
Kala Denny sampai di Vihara Maha Awalokiteswara, dilihatnya puja bakti di vihara itu sudah mulai. Denny enggan masuk lebih jauh, maka dari itu ia menunggu di depan vihara. Benaknya dipenuhi kecemasan karena semalam Nara mengirimkan pesan berbunyi seperti ini.
Nara : Selamat malam Prof. Maaf untuk sementara bisakah saya mohon Profesor tidak menunjuk saya untuk turun ke lapangan? Saya perlu merenungkan keputusan saya, apakah keputusan saya ini benar atau salah.
Denny : Keputusanmu sudah benar.
Nara : Tapi saya tetap merasa ada yang salah, Prof. Jadi maaf sekali. Saya perlu merenung dan menenangkan diri.
Denny sudah khawatir Nara tiba-tiba mengajukan pengunduran diri dari proyek Lokapala. Jika sampai itu terjadi, Denny tidak tahu lagi ke mana dia harus mencari pengganti Nara. Tak sembarang orang bisa mengendalikan Usana dan dari antara lima Usana, Sarita adalah yang paling sulit dikendalikan. Semua Usana yang lain mengiyakan fakta itu, termasuk juga Komot, Usana berbentuk burung Kasuari milik Ignas yang dulu Denny kira paling brutal di antara semua Usana yang dia temui.
Di tengah-tengah penantiannya, sesosok macan dahan tiba-tiba muncul di hadapan Denny.
"Sarita?" Denny agak terkejut dengan kemunculan Sarita seperti itu.
"Hao, Denny. Nara takkan mundur, dia takkan lari lagi. Aku rasa kami mungkin mulai bisa sedikit paham perasaan satu sama lain."
====
Hao = Halo (bahasa Dayak Iban)
====
"Bagaimana kalian bisa mencapai kesepakatan seperti itu? Kalian kan sering sekali berkonflik?"
"Nara dapat nasehat bagus dari orangnya Hoemardani. Orang yang pimpin upacara di dalam sana."
"Dakara!" Denny terkejut mendengar ada orang Dakara yang ditempatkan di sini. Lebih terkejut lagi kala mendengar bahwa orang itu menyaru sebagai agamawan di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top