BAB 9.1 : KEMPEITAI

Mandor, Kalimantan Barat, Agustus 1945

"Takeda Sōchō! Musuh telah mengepung kita! Amunisi kita telah habis! Ke mana kita harus mundur?" seru seorang prajurit bersenapan laras panjang yang memakai seragam coklat kehijauan.

=====

Sōchō = Sersan Mayor (bahasa Jepang)

=====

"Berapa yang tersisa? Berapa jumrah musuh yang tersisa?" jawab Sang Sōchō.

"Derapan Sōchō. Tapi amunisi sudah habis, musuh mendekat, jumrahnya 20 orang dan mereka seperti kebar ditembak!" jawab Sang Prajurit.

"Tembak paha mereka!"

"Sudah Sōchō! Tapi tidak bisa! Mereka rain daripada Pang Suma!"

"Bagaimana ini?" keluh seorang prajurit yang lain.

Yang ditanya tidak menjawab, malah menghunus sebilah katana yang sedari tadi bertengger di pinggangnya. Bilahnya telah kusam oleh noda tanah dan darah namun tampak masih mampu untuk mengoyak tubuh manusia.

"Kita adarah prajurit-prajurit setia Dai Nippon! Kita tak boreh gentar! Jika musuh hendak menangkap kita, rebih baik kita harakiri! Hunus katana karian! Tenno Heika! Banzai! Banzai! Banzai!"

"Tenno Heika! Banzai! Banzai! Banzai!" semua prajurit yang berkumpul di dalam gua itu berseru lantang sambil membuka atau merobek baju seragam mereka kemudian menusukkan katana itu ke perut dan dengan satu hentakan menyayatkan bilah pedang itu dari tengah perut ke ujung kanan perut mereka.

====

Tenno Heika = Kaisar Hirohito

Banzai! = panjang umur (Kaisar)!

====

Rasa nyerinya memang luar biasa, tapi bagi para prajurit itu mati seperti ini jauh lebih terhormat daripada ditangkap. Maka dari itu ketika satu per satu jasad itu rubuh ke lantai gua, mereka semua menyunggingkan senyum puas, kecuali Sang Sōchō yang belum benar-benar mati karena kurang cepat merobek perutnya.

Lintasan kenangan menyerbu benaknya. Kenangan akan tanah airnya di Pulau Honshu dengan Gunung Fuji yang menjulang tinggi dan puncaknya tengah tertutup salju tebal ketika ia berangkat dari sana menuju Singapura. Kenangan akan bunga sakura yang mekar beberapa bulan lalu dan tak sempat ia lihat bersama keluarganya, dan kenangan betapa para perwira Kempeitai di Pontianak dengan berjumawanya menyatakan bahwa mereka akan ditugaskan menumpas sebuah pemberontakan kecil.

===

Kempeitai = polisi militer Jepang (tergabung dalam Angkatan Darat Imperial)

===

"Mereka sebut diri Angkatan Majang Desa! Tapi angkatan ini tak ada apa-apanya dibandingkan Nanking!" ujar seorang perwira berpangkat Rikugun-Chūi – Letnan Satu, dengan membandingkan pemberontakan di Kalimantan Barat ini dengan penaklukan Nanking, Tiongkok, yang terjadi beberapa waktu yang lalu, "Nanking yang kuat dan perkasa tunduk di bawah kita, maka Majang Desa juga akan punya nasib serupa!"

Tapi ternyata perkiraan Sang Rikugun-Chūi meleset. Kala itu mereka memasuki sebuah desa bernama Kunyil yang telah ditinggal pergi sebagian besar penduduknya. Perwira pimpinan mereka, Nagatani, memerintahkan penggunaan sebuah kantor bekas perusahaan perkayuan milik orang Cina bernama KKK sebagai markas. Siapa nyana ternyata tak sampai seminggu separuh resimen Kempeitai itu dibabat habis oleh segerombolan orang Dayak dan Melayu yang notabene hanya punya mandau, keris, tombak, dan parang. Lebih mengerikannya lagi mereka semua amat lincah sehingga sulit dibunuh, bahkan ada yang tidak mempan ditembak.

Sebuah strategi disusun kembali, kelemahan seorang pemimpin mereka yang bernama Pang Suma berhasil diketahui, yakni bagian paha. Jika Pang Suma ditembak pahanya maka kekebalan dan keperkasaannya akan hilang. Strategi itu dijalankan. Pang Suma tewas tapi ternyata panglima Angkatan Perang Majang Desa bukan sekedar Pang Suma semata. Masih ada panglima yang lain dan kematian Pang Suma membuat mereka makin beringas hingga kompi-kompi kecil seperti yang ia pimpin ini harus bernasib seperti ini. Kehabisan amunisi, terancam ditangkap, dan terpaksa harakiri.

Lalu di tengah-tengah erangannya menahan rasa sakit, Takeda Sōchō menyaksikan sesosok orang datang mendekat. Pakaian orang itu terbuat dari kulit pohon, memakai kalung dari tengkorak-tengkorak kepala monyet dan sebuah mandau tergantung di pinggangnya.

"Takeda Sōchō, apa masih ingin hidup?" tanya orang itu.

"Kau bercanda!" Takeda tertawa miris sambil meringis karena rasanya ususnya yang ia putus tadi sudah mulai mengeluarkan darah lebih banyak lagi, "Aku sudah mau mati dan kau tanya aku apa aku masih mau hidup?

"Tuan mau hidup atau tidak?" tanya orang itu lagi.

"Memangnya kau bisa buat aku hidup? Kalau ya sirakan! Aku jelas mau hidup! Aku akan kembari ke Honshu! Aku harus purang pada ayah-ibuku, pada adik-adikku!"*)

====

*)Dialog Melayu Imperial Jepang = karena orang Jepang masa itu tidak biasa menyebut huruf 'l', segala kata Melayu yang ada huruf 'l'-nya disebut 'r' oleh orang-orang Jepang

====

"Tuan akan kembali ke sana, tapi setelah Tuan menyelesaikan pertempuran Tuan di tanah ini. Tuan akan mengabdi pada Tuan yang aku abdi. Tuan saya memiliki musuh lain. Dan musuh itu ada di antara Majang Desa bentukan Pang Suma. Kalau Tuan mau mengalahkan mereka, maka Tuan akan dibebaskan pulang. Bagaimana?"

"Aku terima apapun syaratmu itu!"

"Baiklah!"

******

Perairan Tanjung Paser, Masa Kini

Sebuah kapal tanker yang bermuatan ratusan ribu liter bahan bakar cair tampak beranjak keluar dari sebuah rig di timur lepas pantai kota Tanjung Paser. Kapal itu baru saja menentukan arah pelayarannya ke arah timur ketika seorang awak kapalnya berteriak-teriak.

"Ada orang tenggelam! Ada orang tenggelam! Awas! Dekat sekali dengan kapal!"

Sang kapten kapal langsung memerintahkan jurumudinya menghentikan laju kapal yang sedianya hendak berbelok itu supaya tidak menghantam jasad atau tubuh korban tenggelam itu. Kapten kapal segera turun dan memerintahkan sejumlah awak yang berpengalaman memberikan pertolongan di laut untuk turun menggunakan perahu karet dan membawa jasad itu ke atas kapal.

Perahu karet pun diturunkan dan jasad pria setinggi 166 cm berpakaian serba coklat namun compang-camping itu dinaikkan ke atas perahu. Raut mukanya belum terlalu pucat, dan kulitnya tampak masih segar. Seorang paramedis kapal yang turut dalam perahu karet segera memberikan pemijatan jantung dan bantuan pernafasan sementara perahu karet itu dipacu kembali ke arah kapal tanker.

"Ahoi! Tim SAR sedang menuju kemari. Bagaimana kondisinya?" seru kapten kapal dari atas geladak.

"Tampaknya masih hidup, Bos! Lagi dicoba dipijat jantungnya!" jawab seorang awak kapal karet yang memegang kendali motor perahu karet.

Tiga menit usaha pemijatan dan pemberian nafas buatan membuahkan hasil. Pria berkulit kuning yang tak sadarkan diri itu terbatuk-batuk keras sembari mengeluarkan sejumlah air dari dalam paru-parunya sebelum mulai menarik dan membuang nafas kembali.

"Yeaaa!!! Kita berhasil! Dia masih hidup! Sang paramedis berusia dua puluh tahunan itu tampak girang sembari mengangkat kedua tangannya dan kegirangannya segera diikuti sorak kegirangan dari seluruh awak kapal tanker tersebut.

******

Rumah Sakit Umum Tanjung Paser, 10 jam kemudian

Seorang perawat tengah memeriksa denyut nadi, dan volume cairan infus dari seorang pasien tanpa identitas yang tadi pagi dibawa oleh Tim SAR ke rumah sakit ini. Pasien ini dikatakan tenggelam di lepas pantai Tanjung Paser dekat dengan rig penambangan lepas pantai. Pakaiannya dan penampilannya aneh menurut para dokter, berupa seragam coklat berkerah yang telah compang-camping serta celana panjang dengan warna serupa. Tinggi pria ini hanya 166 cm, lumayan pendek untuk standar tinggi orang dewasa Indonesia masa kini. Tapi otot-ototnya terbentuk dengan baik, pejal dan keras, bak roti sobek seolah-olah pria ini sudah terbiasa melakukan aktivitas fisik yang lumayan berat.

Sudah 9 jam sejak pasien ini dipindahkan ke RS ini, dan masih saja belum ada tanda-tanda pasien ini akan sadar. Si perawat muda berkacamata yang ditugaskan untuk melakukan pengontrolan rutin kali ini pun sebenarnya sama sekali tidak berharap pasien ini akan segera sadar, tapi apa daya dirinya dibuat kaget setengah mati ketika tangan pasien itu mencengkeram kuat tangan kirinya dan mulutnya langsung mengeluarkan sejumlah pertanyaan panik, "Koko wa doko? Ima doko ni iru no?" (Di mana aku? Di mana aku sekarang?)

Sang perawat yang kebetulan hanya bisa sedikit bahasa Inggris itupun pas-pasan langsung menjawab, "Please calm down, Sir! Cam down! You're safe!"

Tapi pasien itu tampaknya tidak paham bahasa Inggris dan kembali mengulangi perkataannya tadi, "Koko wa doko? Ima doko ni iru no?"

Si perawat sebenarnya ingin segera berlari ke nurse station dan meminta tolong pada perawat lain yang mungkin tahu orang ini benernya bicara pakai bahasa apa, tapi apa daya pasien ini mencengkeram erat tangannya dan terus-menerus bertanya dalam bahasa yang tidak ia mengerti.

"Sakit Mister! Lepas!" jerit sang perawat dan tampaknya si pasien itu agak paham bahasa Indonesia karena dengan segera ia mengendurkan cengkeramannya lalu kemudian bertanya kembali dengan bahasa yang lebih mirip bahasa Indonesia meski tampaknya itu bahasa Melayu.

"Awak tanya, ni Nippon lah?"

"Nippon?" perawat itu mengernyit tak mengerti sembari memencet bel pemanggil perawat guna memanggil teman-temannya di nurse station.

"Bendera! Bendera! Awak mau riat bendera di sini!"

Meski sedikit bingung perawat itu kemudian berlari ke sudut ruangan di mana ada sebuah bendera merah putih kecil yang tersampir di sana lalu ia kembali ke ranjang pasien itu dan menunjukkan bendera itu.

"Ini bendera di sini."

"Indonesia?" tanya pasien itu.

"Ya!" perawat itu mengangguk.

"NIPPON - INDONESIA SAMA-SAMA!" pasien itu bersorak kencang sekali, mengejutkan sang perawat dan juga sekumpulan perawat lain yang kebetulan masuk ke sana pasca mendengar bel panik yang dibunyikan berkali-kali oleh rekan mereka barusan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top