BAB 8.4 : MELINTAS BATAS

Menjelang pukul 10 Panji pamit undur diri pada Dokter Janggan dan beranjak menuju lapangan sepakbola untuk berlatih dengan klub sepakbolanya. Tapi karena terus menerus memikirkan Tino, maka sejak tadi operan Panji ke teman satu timnya tidak pernah benar. Entah meleset, entah bolanya direbut tim lawan.

"Panji! Keluar! Ganti pemain!" sang pelatih membunyikan peluit lalu berseru memanggil Panji.

"Kamu sakit?" tanya si pelatih pada Panji yang berlari menuju bangku cadangan.

"Tidak sih Pak."

"Kamu tidak enak badan?"

"Hmm agak sih Pak."

"Begini saja Nji, hari ini kamu istirahat saja. Selasa kita latihan lagi, kalau kamu masih begini juga saya tempatkan kamu di bangku cadangan di pertandingan uji coba minggu depan. Jelas?"

"Jelas Pak. Terima kasih," ujar Panji yang segera berlari keluar lapangan bola dan cepat-cepat menuju asrama putra. Ada perasaan tidak enak yang mengganjalnya sejak tadi. Perasaan aneh yang tidak dapat dijelaskan.

Begitu sampai di asrama putra, Panji cepat-cepat memencet tombol menuju basement paling bawah secara terburu-buru sampai-sampai lupa melakukan pemindaian arloji Lokapalanya. Akibatnya jelas, alih-alih menuju markas Lokapala, Panji malah diturunkan di halaman parkir bawah tanah yang berisikan kendaraan operasional sekolah.

"Aduh!" begitu pintu lift terbuka, Panji menepuk kepalanya sendiri ketika menyadari kebodohannya. Ia segera memindai arloji yang memunculkan logo holografik Unit Lima dan membawanya ke basement markas mereka.

"OKA!" Panji berseru kaget ketika ia tiba di bawah basement.

"Kenapa?" tanya Oka sembari membalikkan badannya.

"Ke mana Toka?"

"Toka masih di ..., eh???" Oka terperanjat menyaksikan tabung milik Warak yang tadinya ditempat Toka sekarang kosong melompong. Warak yang berjaga di sana pun juga terperanjat mendapati Toka berhasil lolos dari pengawasannya.

"Gandrik! Bocah itu melakukannya lagi?"

"Melakukan apa Warak?" tanya Panji.

"Melintas batas!"

"Maksudnya?" Oka tampak tidak mengerti.

"Nanti saja kujelaskan. Sekarang cepat kita ke tempat di mana anak yang Toka rasuki tadi berada!"

****

Gandrik = umpatan Jawa Tengah kuno abad 15-18

****

******

10 menit sebelumnya

Toka yang berhasil memulihkan sebagian besar energinya akhirnya berhasil lolos dari pengawasan Warak dengan membuat lubang hitam kecil di belakang punggungnya dan memasuki lubang tersebut. Dalam waktu kurang dari semenit tubuh astral Toka sudah muncul di samping tempat tidur Tino yang masih terlelap.

"Tino, terima kasih ya," Toka tampak membelai rambut si bocah yang masih tertidur itu selama beberapa saat sebelum bersiap pergi, namun langkahnya terhenti ketika bocah itu ternyata terbangun dan memanggilnya.

"Toka, mau ke mana? Ajak aku!"

"Tino, kamu mau apa? Kalau kamu ikut aku nanti kamu terluka lagi."

"Tapi aku mau ikut Toka. Kalau Toka ada dalam ragaku, rasa sakitnya berkurang. Toka kan tahu selama dua tahun ini kaki, punggung, dan tanganku seperti disayat-sayat pisau tak nampak."

"Tapi kalau kamu ikut aku bisa-bisa kamu mati, No."

Mata Tino nampak berkaca-kaca mendengar kata 'mati', membuat Toka yang tubuh aslinya sudah mati juga sejak ratusan tahun lalu jadi merasa tidak enak hati. Bagi sebagian orang proses berakhirnya hidup ini bukan perkara yang bisa diterima dengan mudah.

"Tak apa," ujar Tino sambil menyeka air matanya yang menggenang, "usiaku juga tidak lama lagi kok Toka. Aku bisa merasakannya. Saban hari tubuhku ini makin lemah. Untuk bangun saja aku harus dibantu Bapak atau Ibu. Untuk menelan makanan tiga suap saja aku sampai berkeringat seperti habis lari keliling lapangan."

Toka terdiam namun Tino kembali melanjutkan ucapannya, "Kamu boleh pakai ragaku lagi, Toka. Kita temui gurumu sama-sama yuk?"

Mata Tino memancarkan rasa penuh harap supaya Toka mau menerima permohonannya. Dan sorot mata itu juga menyampaikan pesan lain yang sampai ke dalam pikiran Toka, "Aku ingin bisa berjalan-jalan dan bermain di taman bermain seharian penuh. Sekaliiii sajaaa seumur hidupku."

Itu adalah perwujudan hasrat terdalam dari lubuk hati Tino yang ditangkap oleh alam pikiran Toka.

Toka menimbang-nimbang sejenak tawaran yang diutarakan Tino tersebut sebelum akhirnya mengiyakan tawaran si bocah. Dua bocah berbeda alam dan generasi itupun kembali menyatu sebagai satu tubuh dan tubuh Tino segera turun dari ranjang lalu mengibaskan telapak tangannya membentuk portal lubang hitam yang mana segera dimasuki oleh Toka dalam raga Tino. Keduanya pun segera menghilang dari bangsal rawat.

******

Pusat Kota Tanjung Paser, 12.00 WITA

Sementara itu di tempat lain, di sebuah gedung bertingkat yang tengah dalam proses konstruksi, Ignas dan kawan-kawan berhasil menemukan Kroda target mereka dan segera menyusun formasi penyergapan. Regina sebagai pemimpin tim, menggantikan Panji yang tidak bisa bertugas, segera memerintahkan tiga temannya menyebar ke sepenjuru area mengelilingi sebuah tiang beton di mana Sang Tokek Raksasa tampak tengah tertidur. Keempat Lokapala itupun melangkah dengan hati-hati – nyaris tanpa suara – membuat formasi mengelilingi Si Tokek dan akhirnya Regina memberi isyarat untuk menyerang.

Keempat Lokapala menarik pistol mereka dari kompartemen senjata di bagian paha kanan mereka dan menembakkan pancaran sinar laser berintensitas tinggi ke arah tokek besar itu. Namun sayang Si Tokek menyadari kehadiran mereka dan berkelit menghindar.

Si Tokek berhasil mendarat di lantai berdebu namun Nara segera mengaktifkan senjatanya dan sebuah terabi – perisai, serta sebuah mandau segera terbentuk dari sejumlah partikel logam hitam yang keluar dari bagian telapak tangan zirahnya. Ignas mengaktifkan busurnya dengan cara serupa dan Sitanggang memanggil tongkat Tunggal Panaluannya dengan cara serupa. Ketiga Lokapala itu segera maju serentak menerjang Si Tokek namun Si Tokek ini segera melompat dan menempel di tiang beton lain lalu dengan kecepatan tinggi merayap di tiang ke bagian yang lebih tinggi.

Ignas segera bereaksi dengan menembakkan anak panahnya ke arah Si Tokek. Satu anak panah berwarna kebiruan segera melesat dari busurnya dan menghantam bagian atas tiang tepat di atas kepala Si Tokek sehingga Si Tokek tersebut tertimpa serpihan beton yang cukup menghambat langkahnya. Langkahnya lari ke bagian atas kembali digagalkan oleh tembakan tiga berkas laser yang mengenai tubuhnya telak ditambah hantaman anak panah milik Ignas segera membuatnya kehilangan keseimbangan dan tubuhnya meluncur ke tanah. Namun dengan cepat ia membalikkan badan sehingga ia sukses mendarat dengan keempat kakinya. Begitu ia mendarat Regina sudah bersiap hendak menghantamnya dengan parangnya bersama-sama dengan Sitanggang namun Si Tokek itu menjulurkan lidahnya dan ujung lidahnya yang lengket itu melekat pada zirah Regina kemudian Si Tokek itu melontarkan Lokapala warna putih itu hingga keluar gedung.

"Regina!" Sitanggang langsung panik dan pikirannya dipenuhi kekalutan melihat Regina terlempar keluar seperti itu.

"Fokus! Fokus!" seru Ignas sembari memperingatkan Sitanggang yang sempat kehilangan fokusnya dan nyaris saja membuat dia jadi korban lidah maut berujung lengket itu.

"Nara langsung maju dan menghantam kepala Si Tokek dengan terabi kemudian disusul dengan sabetan beruntun dari mandau miliknya. Di luar dugaan Nara, ternyata makhluk ini kulitnya tebal dan alot. Sabetan tadi hanya membuat kulitnya sedikit tergores. Nara pun langsung dibalas dengan sedurukan kepala oleh Si Tokek dan terlontar sejauh beberapa belas langkah ke belakang.

"Kooo ini yaaaahh???" Ignas dengan gemas langsung menghajar kepala Tokek dengan kepalan tangan kirinya dan karena kekuatan pukulan Ignas yang dayanya di luar nalar manusia maka Kroda itupun terhuyung mundur karena merasakan pening luar biasa dari serangan Ignas barusan.

"Tembak lantainya!" ujar Sitanggang kepada Ignas dan Ignas pun menurut dengan menembakkan anak panah ke lantai yang jadi pijakan Tokek dan kontan saja Si Tokek kini jatuh bebas dari lantai empat ke lantai tiga. Belum usai juga, Sitanggang kini yang menembakkan pistolnya ke pijakan Tokek di lantai tiga dan kembali Si Tokek jatuh di lantai bawahnya.

"Ayo!" Nara segera berinisiatif memimpin dua temannya yang tersisa untuk terjun lantai bawah. Ignas dan Sitanggang pun ikut terjun dan di lantai dua mereka mendapati kejutan lain.

Mereka dan Si Tokek tidak sendirian, bersama mereka telah berdiri sosok anak kecil berbaju pasien rumah sakit yang tak lain adalah Tino.

"Kakak-kakak tolong berhenti dulu! Tolong jangan serang Pu Kirli lebih jauh dari ini!" terdengar perpaduan suara Tino dan Toka bersamaan.

"Adik! Minggir! Dia berbahaya!" seru Ignas penuh nada khawatir.

"Tidak mau!" jawab Toka.

"Eh Anak Kecil! Cepatlah kau minggir atau kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!" ujar Nara yang kepribadiannya berbalik 180 derajat dari kepribadian sehari-harinya.

"Silakan!" Toka malah tak gentar dan melangkah maju ke hadapan Si Tokek yang tengah tidak dapat bergerak seolah menantang Nara dan kawan-kawannya.

"Bocah!" Nara sudah mengangkat mandaunya sampai bilahnya mencapai batas kepalanya, seolah bersiap menyerang.

"Tu-tunggu Nara!" Sitanggang segera sigap memegangi tangan Nara yang memegang mandau, "Dia masih anak kecil dan warga sipil pula. Bisa-bisa kita nanti kena hukum Kapten Pusaka kalau dia kita bunuh."

"Da .. tu .. Me.. rah!" suara Nara terdengar berat dan penuh amarah, "Minggir!"

"Tunggu dulu, Nara. Ko boleh penggal itu Kroda, tapi adik ini jangan sudah! Ayo kitorang bujuk dulu baru basmi krodanya? Setuju?!" Ignas kini juga ikut-ikutan menahan tangan Nara yang sudah tidak tahan lagi hendak membantai kroda itu.

"Berhenti Nara! Ini perintah!" terdengar perkataan Regina yang tampak menaiki tangga-tangga gedung setengah jadi ini dengan terburu-buru, "Biarkan Toka coba menenangkan dulu kroda ini. Toka silakan!"

"Terima kasih Kak Regina!" ujar Toka yang entah dari mana tahu nama Regina.

Toka segera membalikkan badannya kepada Si Tokek alias Pu Kirli yang pernah menjadi gurunya itu dan menghaturkan sembah sujud dengan menangkupkan kedua tangannya sembari membungkuk, "Mohon terima sembah murid kepadamu Guru. Bersedialah mendengarkan apa kata murid Guru ini barang sejenak saja."

"Apa maumu TOKA?!" mata Si Tokek mendelik marah pada bocah di hadapannya ini tapi ia tak mampu bergerak karena aksi jatuh bebasnya tadi sedikit banyak melukai tubuhnya.

Toka tampak meraih kantung celananya dan menunjukkan pada Si Tokek sejumlah biji nangka, jumlahnya sembilan, "Rama Guru ingatlah ini. Ingatlah Jawadwipa di seberang sana, di sana tanah asal kita, tempat biji-biji ini berasal. Di sana subur dan banyak buah-buahan yang bisa kita nikmati. Di sana meski dalam wujud seperti ini, Rama Guru tak perlu menambah karma buruk dengan membunuhi orang-orang seperti di tempat ini. Rama Guru, Toka ini pernah berjanji akan terus tinggal di sisi Guru dan mencoba menghapus kutuk Guru sehingga Guru bisa pergi ke alam tujuan berikutnya. Kenapa Guru tidak mempercayai Toka dan tidak mau menunggu sedikit lagi? Kenapa Rama Guru mau saja diperalat untuk menyakiti manusia-manusia di tempat ini?"

******

Jawadwipa = Pulau Jawa

******

Si Tokek hanya terdiam, cukup lama sebelum akhirnya muncul sesosok makhluk yang tak disangka-sangka para Lokapala yang hadir di sana.

"Rake Tuhan Mapatih ring Majapahit, Dyah Halayudha, aganita guiianinditalaksana, mundang Niyaka Dharmaputra!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top