BAB 7.1 : KESAKSIAN
Tanjung Paser, 07.00 WITA
Bagaimana cara supaya kita ingat terus kepada Tuhan? Masing-masing individu atau kelompok punya caranya sendiri-sendiri. Ada yang dapat mengingatnya dengan mudah dengan mendengarkan ceramah dari ahli agama, zikir atau wirid, melakukan doa-doa di luar waktu yang diwajibkan, berpuasa, bermeditasi, dan bagi Regina sendiri, rutin ke gereja adalah caranya untuk terus mengingat akan adanya Keberadaan Yang Maha Tinggi.
Gereja yang rutin Regina datangi letaknya tak jauh dari akademi. Cukup berjalan 20 menit, Regina sudah sampai di gereja tersebut. Biasanya ia berjalan bersama Ignas yang pasti juga ke Gereja Katolik yang letaknya persis di samping Gereja Kristen tempat Regina biasa beribadah.
Tapi kali ini berbeda. Teman sekamar Regina yang bernama Marlina bersikeras mengajak Regina ke gereja lain. "Gerejanya asyik lo! Ada bandnya, pendetanya gaul dan humoris!"
Regina sudah berulang kali menjawab 'tidak tertarik' tapi tetap saja Marlina membujuknya. Terakhir kali Marlina membujuknya dengan mengatakan bahwa besok Sinta dari kamar sebelah yang satu gereja dengannya tiba-tiba sakit dan dia tidak punya teman untuk naik bus ke gereja dan tidak enak kalau dia datang ke gereja sendirian saja.
Dan Regina jadi makin mati kutu ketika Nara ikut-ikutan berkomentar, "Temani saja Marlina, Re, apa susahnya sih?"
Regina sudah punya sejumlah argumen penolakan di benaknya tapi entah kenapa dengan Nara dia jadi canggung dan akhirnya mengalah saja. Walhasil pagi ini dia harus menemani Marlina yang – entah habis makan apa – tiba-tiba pagi ini jadi cerewet setengah mati di dalam bus. Ada-ada saja yang dia jadikan topik pembicaraan, "Ayahmu dokter ya, Re? Wah, kakak sepupuku juga ada yang jadi dokter di Palangkaraya dan habis ini mau ambil spesialis. Spesialisnya nanti rencananya mau ambil di Universitas Diponegoro, Semarang. Terus kamu juga mau jadi dokter Re? Aduh, aku sih yakin kamu bisa jadi dokter soalnya esai-esai biologi sama kimiamu bagus banget! Duh! Aku kagum deh!"
Dialog super panjang serta diucapkan nyaris tanpa titik dan koma itu baru sebagian kecil saja dari celotehan Marlina. Mau-tidak-mau Regina yang terbiasa hidup dalam suasana 'tenang' emosinya mulai naik meski ia berusaha sabar dengan tidak terlalu menghiraukan percakapan Marlina. Dalam hati, ia menyesal juga kenapa kemarin dia tidak tegas menolak ajakan Marlina dan saran Nara.
Akhirnya bus sampai tujuan, dan Regina pun menarik nafas lega karena paling tidak dia tidak perlu mendengar celotehan Marlina karena harusnya di dalam gereja Marlina lebih diam. Yah ... harusnya begitu sih. Nyatanya? Regina sama sekali tak menyangka jika gereja yang dimaksud Marlina adalah sebuah kebaktian yang diadakan di sebuah hotel, bentuk gereja yang tidak menetap di satu tempat melainkan gereja yang lazim mengadakan kebaktian dari hotel ke hotel, dari mall ke mall. Ayahnya, seorang dokter kepala Puskesmas di Lontor, Banda Naira, Maluku, menyebut gereja-gereja macam ini sebagai gereja 'teologi kemakmuran' sebab biasanya gereja macam ini akan mendorong jemaatnya sukses secara duniawi supaya mereka bisa lebih banyak 'berkarya'.
"Pendetanya bakal menyampaikan kotbah ala pengusaha, jemaatnya pun banyak yang pengusaha, atau kalangan menengah atas lah. Ose kalau ingin jadi orang kaya masuk sana lah. Pasti mudah dapat relasi bisnis habis kebaktian selesai."
"Kenapa bukan Papi saja yang masuk ke sana?" tanya Regina waktu itu.
"Kalau beta masuk sana, beta nanti periksa pasien sambil hitung-hitung. Macam : oh, ini pasien harusnya beta kasih obat harga 100 ribu per dosis, biar beta dapat poin dari perusahaan obatnya, satu pasien 5 poin. Nanti kalau poin beta sampai 1000, beta bisa ajak istri beta dan tuan putri beta ini," kata ayahnya sambil memencet hidung Regina, "jalan-jalan ke Paris 3 hari 2 malam."
"Kalau begitu kenapa Papi tidak masuk saja ke sana?"
"Pasien beta cuma sanggup bayar beta 15 ribu per bulan, kalau beta kasih obat 100 ribu bisa lari semua nanti pasien beta," jawab ayahnya sambil tertawa.
Tapi memang menurut Regina ayahnya benar. Profesi ayahnya adalah dokter, lingkungan kerjanya menuntut kerelaan dan ketulusan hati, sehingga gereja teologi kemakmuran jelas tidak cocok bagi ayahnya. Perhitungan untung-rugi bukan bidang kerja ayahnya dan ayahnya juga tidak terlalu suka menghitung untung-rugi sampai tahap mendetail.
Regina sendiri belum pernah masuk gereja dengan suasana seperti ini. Di dalam auditorium hotel itu panggung ditata sangat rapi dan indah. Dekorasinya jelas mahal, jemaat-jemaatnya mengenakan pakaian yang bagus dan jelas cukup mahal, itu belum nilai dari perhiasan-perhiasan atau barang mahal yang mereka bawa. Regina sempat melirik seorang anak remaja lelaki seumuran dirinya mengoperasikan sabak elektronik yang harganya di pasaran 5 kali lipat sabak elektronik Sitanggang. Semua hal itu membuat tempat ini memliki aura yang benar-benar mewah dan megah.
"Ai, ai, ai, apa-apaan ini semua? Orang-orang ini semua pakai emas lebih banyak dari orang-orang kaya[1] di Lontor dan Nusa Ina[2]," celetuk Ina Saar yang tiba-tiba muncul di samping Regina.
Regina diam saja, karena Marlina sudah kembali berceloteh, kali ini dengan seorang anak perempuan yang sedikit lebih tua dari mereka dan duduk persis di samping Marlina. Regina tidak mau dianggap sakit jiwa karena ngomong sendiri dengan sosok Ina Saar yang tak terlihat.
Celotehan Marlina berlangsung tidak lama. Acara kebaktian dimulai tak lama kemudian. Dan seperti lazimnya ibadah orang Kristen Protestan di gereja lain, Sang Pendeta mulai berkotbah, mengajak jemaatnya bersorak menyebut nama Tuhan, menyayikan lagu-lagu kerohanian yang dalam kasus ini dibalut dengan lagu modern yang menghentak-hentak dan satu lagi yang sering dilakukan gereja-gereja semacam ini : kesaksian hidup. Kesaksian hidup adalah cerita dari seorang anggota jemaat atau mungkin orang lain yang diundang Sang Pendeta untuk menceritakan pengalaman rohani yang pernah dialaminya.
"Mari Saudara-saudariku! Kita sambut Saudari kita yang dikasihi Tuhan, Eva Ulina Siagian!" ujar Sang Pendeta
Seorang wanita berusia empat puluhan, bertubuh lumayan subur meski tidak gembrot-gembrot amat, dengan dandanan make-up cukup tebal dan riasan pensil alis yang juga cukup tebal naik ke atas panggung setelah dipanggil oleh Sang Pendeta yang juga adalah seorang wanita itu.
"Terima kasih pada Bu Pendeta! Salam damai Saudara-saudariku! Haleluya!" ujar wanita yang kini berdiri di atas podium itu sambil menebar senyum ke seluruh ruangan.
Nyaris seisi ruangan kompak menyerukan "Haleluya!" sebagai jawaban atas seruan wanita itu.
"Saudara-saudariku yang terkasih dalam Kristus, saya senaaang sekali hari ini dapat hadir di sini untuk berbagi kisah dengan Saudara-saudari semua, untuk makin meneguhkan iman kita dalam Tuhan. Untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu baik, Ia ada mendampingi kita dalam segala hal, dalam susah maupun senang, dalam duka ataupun suka. Baiklah, mari kita mulai saja. Saudara-saudariku yang terkasih, sekitar 20 tahun lalu, suami saya meninggal bunuh diri. Ia meninggalkan saya sendirian bersama dua anak kami," raut wajah wanita itu tampak sendu dan segenap hadirin pun turut memasang muka terhenyak.
"Suami saya jatuh bangkrut setahun sebelum peristiwa naas itu terjadi. Hutang kami sangat besar mencapai Dua Milyar Rupiah kala itu sementara saya sendiri hanya ibu rumah tangga biasa, tak punya pengalaman kerja, tak punya pekerjaan, dan tak ada penghasilan apapun. Suami saya memiliki asuransi jiwa, tapi itu semua segera ludes tandas dalam setahun karena anak sulung saya mengalami kecelakaan motor dan kakinya harus dioperasi, sementara anak bungsu saya butuh banyak biaya untuk masuk universitas. Segalanya tampak sangat gelap bagi saya, saya merasa ditinggalkan Tuhan, saya merasa betapa Tuhan saat itu jahat sekali karena tidak mendengarkan doa saya. Seolah Tuhan mengabaikan betapa kami selalu menyumbangkan persepuluhan pendapatan kami untuk gereja dan sepersepuluh yang lain untuk kegiatan amal, betapa Tuhan mengabaikan betapa kami adalah keluarga Kristen yang taat dan tak pernah alpa untuk berdoa baik itu pagi, siang, sore maupun malam. Saya kecewa tapi terus mencoba yakin bahwa Tuhan punya jalan untuk saya," wanita itu hening sejenak dan seisi ruangan turut hening bahkan ada beberapa hadirin yang air matanya meleleh.
"Terkadang dalam mimpi saya seolah bermimpi bertemu dengan suami saya. Suami saya di mimpi itu berkali-kali mengulurkan tangannya dan berkata pada saya : "Ma! Ayo ikut Papa! Di sini tidak ada penderitaan lagi seperti di dunia!". Demi Tuhan! Saya tidak bisa tidak tergoda untuk menerima tawaran itu, tapi segera saya tersadar jika saya meninggal siapa yang akan mengurus anak-anak saya?
"Kala itu saya bekerja kembali sebagai seorang pekerja administrasi di sebuah agen majalah yang menjadi tempat kulakan agen-agen majalah dan koran di Surabaya. Tapi pada masa itu, era majalah fisik yang diedarkan melalui agen-agen mulai berkurang. Orang mulai banyak melirik toko buku karena toko buku selain punya majalah juga punya komik, novel, dan koran. Alhasil majikan saya pun tak bisa menggaji saya sesuai UMR kota Surabaya dan berkali-kali majikan saya mengungkapkan pada saya betapa ia meragukan kelangsungan usahanya ini.
"Pada akhirnya ketakutan saya dan majikan saya menjadi kenyataan. Bisnis distribusi majalah tempat saya bekerja akhirnya kolaps pasca anak majikan saya bergabung dengan sebuah partai politik dan memakai uang yang seharusnya dipakai untuk membayar penerbit sebagai dana kampanye. Anak majikan saya berkali-kali berkata bahwa ia yakin akan menang pemilu dan duduk sebagai wakil rakyat di DPRD kota tapi saya sendiri pesimis dan akhirnya kekhawatiran saya benar adanya. Alih-alih menang, si anak kalah, dan sejak itu menjadi setengah sinting. Usaha majikan saya tutup karena majikan saya harus memasukkan anaknya ke institusi kesehatan jiwa yang notabene tidak dicakup oleh BPJS. Saya pun kembali menjadi pengangguran.
"Saudara-saudari bisa bayangkan betapa saya sudah jatuh ditimpa tangga dan masa depan saya tidak pasti. Saya sudah hampir memutuskan untuk bunuh diri sebelum akhirnya saya bertemu dengan seorang teman yang mengajak saya membantunya dalam usaha propertinya. Ia meminta saya menawarkan properti berupa rumah tipe 54, yang ia jual kepada kenalan-kenalan saya. Saya awalnya ragu tapi karena terdesak maka saya memohon dengan sangat kepada Tuhan supaya setidaknya saya bisa menjual satu saja dari antara rumah-rumah ini guna menyambung hidup saya beberapa bulan ke depan. Di luar dugaan, ternyata seorang kenalan saya langsung membeli dua unit, uang komisi sebesar 40 juta pun langsung masuk ke rekening saya. Saya pun kemudian mencoba menawarkan rumah lagi kepada orang lain yang belum saya kenal dan saya berhasil menjual tiga unit lagi. Saya pun menjadi semakin percaya diri dan terus menekuni usaha ini. Lalu tak terasa 14 tahun sudah saya menekuni dunia properti. Dalam 14 tahun ini pula saya kemudian merambah ke sektor lain antara lain jual beli kurs mata uang asing, logam berharga, showroom mobil, butik pakaian dan Puji Tuhan Haleluya! Sekarang saya bisa merasakan bahwa Tuhan benar-benar membuat segala hal indah pada waktu-Nya! Bahwa doa bisa membuat sesuatu yang mustahil menjadi nyata! Bahwa Tuhan bisa membalikkan nasib seorang manusia dari yang semula menderita menjadi bahagia dan memiliki banyak harta sebagaimana kisah Nabi Ayub! Ooooh! Betapa Tuhan itu baik! Betapa Allah Bapa itu baik! Marilah kita memuji terus nama-Nya! Marilah kita mengumandangkan lagu merdu untuk Bapa di Surga! Haleluya! Pujilah Tuhan!"
Dan segera saja ruangan itu kembali penuh sorak-sorai, lagu rohani, seruan penuh syukur kepada Keberadaan Yang Maha Tinggi serta tepuk tangan orang-orang yang bersukaria. Hanya satu orang saja yang tampak enggan mengikuti semua itu. Orang itu adalah remaja Maluku bernama Regina yang hanya bisa diam terpaku ketika Ina Saar, Usana yang mengikat kontrak dengannya, mengomentari singkat kesaksian ibu bernama Eva Ulina Siagian itu, "PENDUSTA!"
[1] Ina Saar merujuk pada orang kaya dari Banda Naira, Kepulauan Maluku abad 14-16, yakni gelar bagi sekumpulan orang yang punya pengaruh politik kuat dan harta cukup banyak serta biasanya menjabat sebagai dewan pengambil keputusan desa atau semacam kepala desa.
[2] Nusa Ina = Pulau Ambon
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top