BAB 6.6 : PURUSA DRAJAG
Medali pemanggil Dharmaputra itu telah hancur. Mahapati sendirian dan mereka semua berlima di sini. Rasanya menaklukkan Mahapati tidak akan terlalu sulit. Itu pikiran yang terlintas di benak masing-masing Lokapala minus Regina.
Gadis asal Ambon itu entah kenapa merasakan ketidaknyamanan yang amat sangat, bahkan Usana miliknya, Kabaresi alias Ina Saar pun merasakan hal serupa. Kala para Lokapala maju dengan penuh percaya diri, Regina malah maju dengan mengangkat perisai sambil berusaha memposisikan diri di hadapan teman-temannya.
"Regina? Kenapa kamu posisinya begitu?" tanya Nara yang heran dengan posisi Regina yang terlalu 'awas'.
"Beta dan Ina Saar punya firasat kurang baik," jawab Regina singkat.
Sementara itu Mahapati tampak bergeming, diam saja di tempatnya. Ia tampak menyilangkan tangannya di belakang punggungnya dan tanpa diduga-duga ia menarik medali lain yang serupa dengan miliknya tadi dan memamerkannya kepada kelima Lokapala. Kontan saja kelima remaja itu langsung ambil manuver menghindar terlebih ketika Mahapati berseru-seru memanggil entitas lain melalui medalinya itu.
"Purusa Wasana Lodra drajag ring Mayapada!" (Purusa Wasana dan Lodra datang(lah) ke Dunia Manusia!)
Asap hitam yang berputar bak angin ribut itu muncul kembali. Regina langsung mengambil posisi di depan Panji dan menyuruh ketua timnya itu menginstruksikan yang lain berdiri di belakangnya.
"Semua berdiri di belakang Regina dan saya!" ujar Panji.
Namun terlambat.
Sebelum semuanya masuk dalam jangkauan perlindungan Regina tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari arah angin ribut itu dan menghantam Sitanggang, Nara, dan Ignas.
Panji beruntung karena sudah berdiri tepat di belakang Regina sehingga terlindung oleh tameng Salawaku Regina. Setelah serangan berkas sinar itu berakhir, Panji bisa menyaksikan ada dua sosok lain yang berdiri di hadapan Mahapati.
Dua sosok itu mengenakan jubah hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh mereka. Wajah mereka ditutupi topeng warna tembaga berhias dua tanduk. Satu tanduk berada di dahi dan berbentuk seperti tanduk badak sementara tanduk yang satu lagi berada di puncak kepala dan berbentuk seperti tanduk kambing yang lurus sempurna.
"Dyah Halayudha," kata satu dari mereka dengan suara berat, "Inikah mereka?"
"Duli Tuanku! Ya ini mereka!" ujar Mahapati, yang ternyata bisa berkata-kata dalam bahasa yang Panji dan Regina mengerti.
"Siapa kalian?" tanya Regina.
"Purusa!" ujar sosok yang lain, "Wasana," ia menunjuk dirinya sendiri, "Lodra," kali ini ia menunjuk ke arah kawannya.
"Apa mau kalian? Apa kalian juga Kroda?" sambung Panji.
"Kroda? Ah hah hah!" Purusa yang disebut Wasana tadi terdengar mengeluarkan tawa kekeh.
"Udu, bukan!" jawab Lodra menimpali perkataan Wasana, "Yummu pakatahu, janaloka sakrith asuddhi purusa!" (Ketahuilah kamu, Janaloka (dunia manusia) dahulu adalah milik Purusa!)
Panji dan Regina tidak bisa langsung menerjemahkan perkataan kedua makhluk itu namun segera saja Usana Warak dan Usana Kabaresi menginstruksikan kedua bocah itu untuk lari.
"Kalian ... tak akan bisa ... melangkah jauh!" kata Wasana sembari merentangkan kedua tangannya dan percik-percik darah di ruangan itu segera berkumpul di antara kedua tangan Wasana membentuk segumpal bola darah yang lama-lama memancarkan cahaya jingga menyilaukan.
"Merunduk!" ujar Regina sembari memposisikan Salawaku miliknya untuk menangkis serangan itu. Bola darah berpijar itu dilemparkan Wasana ke arah Regina. Daya dorongnya sungguh luar biasa. Regina nyaris tak bisa menahannya.
Mengetahui Regina tengah dalam kesulitan, Warak segera berinisiatif memberitahu Panji, "Panji, pegang bahu Regina, alirkan seluruh tenagamu yang masih sisa pada Regina!"
Biasanya Panji akan sungkan jika disuruh memegang perempuan, tapi ini kondisi kritis, sehingga Panji pun akhirnya menurutinya. Ketika tangan Panji menyentuh bahu Regina, segera saja Panji merasakan sentakan dan merasa seluruh energinya disedot oleh Regina. Selubung biru yang keluar dari Salawaku Regina makin tebal tapi bola darah serangan Sang Purusa masih saja berputar kencang bak cakram.
"Belum cukup!" ujar Ina Saar, "Datu Merah, Sarita, Komot, beta minta tangan kalian!"
"Tak dapat," kata Datu Merah, sistem elektronik zirah ini rusak, kami tak bisa menggerakkan zirah ini sama sekali.
"Kalau begitu rubah saja diri kalian jadi roh lalu rasuki Regina secara bersamaan!" ujar Warak yang sudah keluar duluan dari raga Panji dan memasuki raga Regina.
Tiga Usana yang lain akhirnya mematuhi saran itu dan ketiganya memasuki raga Regina secara bersamaan.
Selubung biru yang melindungi Regina dan kawan-kawannya makin tebal dan pada satu kesempatan akhirnya berhasil menghentikan putaran bola darah itu meski sesaat kemudian bola itu meledak dan menghancurkan segenap ruangan pesta di hotel itu.
Hawa panas segera merasuki Regina yang tiba-tiba saja merasa tubuhnya menjadi amat berat. Sistem pemindai di visornya menyatakan zirahnya mengalami kerusakan akibat dipaksa menanggung beban kerja di luar batas toleransi.
Kala ledakan itu berakhir, Regina bisa melihat seluruh ruangan itu hancur lebur dan dari lima Lokapala, hanya dia dan Panji saja yang masih bisa berdiri cukup tegak. Regina melihat Nara, Sitanggang, dan Ignas tampak tergolek tanpa daya di sana. Pemindainya segera ia aktifkan dan ia melihat tanda-tanda vital ketiganya masih ada dan cukup bagus. Regina menarik nafas lega sebelum beralih kembali ke arah Mahapati dan dua Purusa itu.
Ternyata mereka sudah tak ada di sana!
******
Markas Unit Lima, 21.00 WITA
Regina dan Panji tampak memandangi lalu-lalang petugas kesehatan yang tengah merawat Ignas, Nara, dan Sitanggang. Ketiganya memang tidak mengalami luka berat namun tengah tak sadarkan diri. Kondisi mereka lumayan stabil, perkiraan para dokter paling lambat mereka akan siuman dalam 2 hari. Tapi masalah baru menanti. Zirah Lokapala rusak berat oleh ledakan yang ditimbulkan Purusa di hotel tadi. Meski Denny dan timnya ngotot mengerjakan perbaikannya siang malam, mereka memperkirakan maksimal hanya dua zirah yang bisa segera berfungsi kembali. Itu artinya Regina dan Panji harus bekerja sendirian selama beberapa waktu.
"Jadi bagaimana ini? Ale mau patroli satu-satu atau beta dan ale patroli sama-sama?" tanya Regina.
Panji tak segera menjawab. Pikirannya kacau. Ia pikir ia sudah hebat dengan menguasai Sundang Majapahit. Ia pikir mudah saja mengalahkan Mahapati yang medalinya sudah tidak berfungsi. Ia ceroboh dengan tidak memperkirakan Mahapati punya medali lain dan punya teman yang kuat. Akibat kecerobohannya sekarang zirah Lokapala rusak dan tiga kawannya cedera. Panji mengacak-acak rambutnya menyesali segala kebodohannya di peristiwa tadi sebelum Regina menyentuh bahunya.
"Eh ya?" Panji terkejut.
"Beta tanya, ale mau kita patroli satu-satu tiap malam atau sama-sama?"
"Sama ... sama, kalau kamu sampai cedera juga ... aku nggak bisa ... aku nggak bisa ... aku ..... ."
"Beta tahu ale pikir ini semua salah ale. Beta bilang ini bukan salah punya ale. Ale memang ketua kita orang punya tim tapi bukan berarti setiap kita yang cedera adalah salah ale!"
"Aku tahu, aku tahu tapi ... ah ... begini ah," Panji kembali menunduk dan mengacak-acak rambutnya sebelum akhirnya berdiri dan pamit pada Regina, "Maaf Regina ... aku mau menenangkan diri dahulu."
Regina mengangguk lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan Panji sebelum Usana miliknya, Ina Saar muncul dari raganya dan mewujudkan diri di sampingnya, "Bocah ale tadi ajak bicara kondisinya tidak stabil. Sepertinya untuk sementara kitorang dua harus kerja sendiri. Warak pun akan kesulitan kerja bersama anak itu sekarang."
"Beta tahu itu Ina Saar. Tapi sekarang yang jadi masalah, bagaimana kitorang dua atasi Kroda kalau cuma sendiri?"
"Ale tidak terampil pakai parang, tapi ale punya otak encer. Mari pikirkan berdua, apa yang harus kitorang dua lakukan!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top