BAB 6.2. KEMBALI BERTUGAS

Markas Lokapala, Basement Asrama Akademi Kumala Santika, 18.30 WITA

Sudah terhitung sebulan lebih sejak Oka terakhir kali mengenakan zirah Dwarapala miliknya. Pertempuran terakhirnya adalah pertempuran di Pantai Timur melawan invasi Todak bersama sejumlah prajurit Raider dan Batalyon Infanteri Tanjung Paser, dan semenjak itu Oka tak pernah lagi mengenakan zirah ini lagi. Tapi malam ini adalah pengecualian. Berhubung Sitanggang terkena flu dan Ignas kena remedi ulangan fisika sehingga harus belajar intensif, Pusaka yang tidak mau Panji keluar sendiri akhirnya menugaskan Oka menjadi 'pendamping' Panji untuk malam ini.

Panji turun agak telat dari jadwal yang seharusnya tapi Oka maklum. Sitanggang baru saja menghubunginya dan berkata bahwa Panji tadi ketiduran. Bangun-bangun sudah Maghrib dan belum mandi, belum sholat, belum makan, sehingga sudah pasti dia melakukan ketiga hal itu dulu sebelum turun ke bawah.

Benar saja, Panji muncul 10 menit kemudian dengan rambut masih basah, belum disisir, dan di pinggir mulutnya ada noda kuah sayur kuning serta dua butir nasi. "Maaf terlambat! Ayo kita berangkat Oka!"

*****

Menggunakan motor berwarna abu-abu metalik, dua prajurit berzirah graphine itu keluar dari markas mereka ke arah sisi timur kota. Sedikit banyak Oka menjadi merasa ini semacam nostalgia karena warna zirah Warak tidak jauh beda dengan para Dwarapala dahulu. Lalu tiba-tiba dia ingat dengan Haryo, Mirna, Amir, Safitri, dan Rangga. Bicara soal Rangga, mau tak mau Oka menoleh ke arah Pantai Timur yang tampak membentang di sisi kiri sedang mereka lalui.

"Letnan Rangga," desah Oka pelan, "semoga Anda masih hidup."

Kedua motor itu mulai memasuki area perkotaan. Di sebuah taman kota suasana tamppak ramai oleh dentuman musik dari tempat para seniman jalur indie memamerkan kebolehannya di jalanan. Lampu jalanan yang berwarna-warni menghiasi jalanan. Ada acara besar di tengah kota rupanya.

"Acara apa ini?" tanya Panji.

"Konser musik indie dan pameran seni rupa modern yang disponsori sebuah operator seluler sama sebuah perusahaan rokok," kata Oka.

"Owh," Panji manggut-manggut.

"Mau lihat?"

"Kita kan lagi patroli?"

"Lihat sambil patroli kan bisa?"

"Tumben kamu mangkir, Oka?"

"Bukan mangkir, aku cuma punya firasat ... kita harus jaga tempat ini."

******

Panggung musik itu terang benderang oleh aneka lampu sorot berwarna merah, kuning, biru, magenta dan banyak warna lainnya. Seorang remaja perempuan yang bertindak sebagai vokalis sebuah band dan berdandan ala gothic tampak menyanyikan lagu yang di telinga Panji iramanya tidak jelas. Death Metal atau apa begitu alirannya. Para pengunjung acara ini sendiri tampaknya tidak terganggu dengan kehadiran Oka maupun Panji. Barangkali karena mereka sudah sering melihat personel militer seperti Raider atau KOSTRAD yang memakai pakaian seragam zirah serupa mereka.

Warak, Usana yang mengikat kontrak dengan Panji, secara mengejutkan tadi setuju saja dengan usul Oka tentang berjaga di tempat ini. Alasannya apa, Warak tidak mau menjelaskan secara detail. Panji jelas mencoret alasan : 'Usana Warak ingin dengar konser rock dan death metal' dari daftar alasan kenapa Warak juga ingin berdiam di sini.

Jam masih menunjukkan pukul 19.00 WITA ketika Warak muncul di layar Panji dan memperingatkannya untuk waspada.

"Ada apa Warak?"

"Musuh!" kata Warak.

"Oka! Musuh!" panggil Panji melalui helm visornya.

"Di mana musuhnya?" tangan Oka bersiaga di kantung pistol miliknya.

"Dekat, tapi tersembunyi," ujar Warak.

Mata Panji nyalang ke kiri dan ke kanan. Mencoba mencari-cari keberadaan musuh yang diidentifikasi 'dekat' oleh Warak. Oka pun juga pasang mata awas namun di antara sekian banyak orang itu sulit memperkirakan di mana keberadaan musuh. Apalagi Unit Lima dilarang membuat keributan dengan membubarkan acara tanpa izin dari pihak berwenang setempat seperti Walikota misalnya.

"Kapten," Oka menghubungi markas Unit Lima melalui helm visornya.

"Ya Kopral?" jawab Pusaka.

"Warak memberitahu bahwa ada musuh di Taman Kota Putri Petong. Tapi kerumunan tengah ramai. Mohon izin untuk mengevakuasi warga."

"Aku punya saran lebih bagus, Panji!"

"Ya Kep?!" sahut Panji.

"Ada bom asap di kompartemen seragammu, di betis kiri. Lemparkan ke kerumunan dan bilang kalau ada kebocoran gas. Nanti kan massa akan bubar sendiri."

Panji membuka kompartemen di betis kirinya dan langsung melemparkan dua bom asap ke kerumunan. Oka langsung menyambung keluarnya asap dari bom itu dengan provokasi, "Gas bocor! Gas bocor! Lekas menyingkir!"

Kerumunan langsung bubar jalan tanpa harus disuruh dua kali. Semuanya langsung berlari ke area di luar jangkauan asap putih itu. Panggung gembira penuh musik itupun kini sepi lengang, tak ada lagi orang yang hadir di sana, kecuali tiga. Dua dari mereka adalah Oka dan Panji sementara yang satu lagi sudah tak perlu ditanyakan lagi siapa.

"Itu Krodanya!" seru Oka yang langsung menembaki siluet sosok pria berotot itu dengan sinar laser.

Tapi kemudian sosok itu menghilang.

"Eh?" baik Oka maupun Panji kebingungan ketika sosok itu lenyap. Keduanya mendekati tempat di mana sosok tadi berada namun hanya menemukan onggokan kotoran berupa tanah hitam.

"Panji! Awas di belakang!" seru Warak memperingatkan.

Panji sontak menghantamkan sikutnya ke belakang dan segera saja sosok pria tadi melayang dan membentur sebuah tiang lampu yang langsung jatuh kemudian pecah. Sosok pria tadi tampak menggeram dan membuat gerakan menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sejenak sebelum memasang posisi siaga kembali. Sekali lagi, belum sempat ia beraksi, dirinya sudah duluan ditembak Oka sampai hancur menjadi gundukan tanah hitam.

"Apa itu tadi?" tanya Oka terheran-heran.

"Siti iring ulun setra Penang Rajasawamsa!" (Tanah dari kuburan, wahai trah Wangsa Rajasa) seseorang tiba-tiba bersuara dari kejauhan.

"Oh ya ampun!" Warak berkomentar singkat sebelum berkata, "Panji, hati-hati dengan orang ini!"

"Kenapa Warak, lagipula ...," belum sempat Panji usai berkata-kata. Tiba-tiba saja ia sudah melihat melihat sosok itu di sampingnya.

Sosok itu tak buang waktu. Ia menarik tangan Oka dan membanting remaja berbaju zirah itu dengan satu tangan semata tanpa kesulitan sama sekali.

"Apa?" Panji terperanjat.

"Jangan bengong! Menghindar!" bentak Warak.

Sosok itu anehnya tidak langsung menyerangnya. Sebaliknya ia malah kembali berjalan mendekati Oka. Oka sendiri langsung berusaha menggapai pistolnya yang tadi sempat terpental saat ia terjatuh tadi. Ketika ia mendapatkannya ia berusaha menembaki makhluk itu namun makhluk berwujud pria besar berotot dengan aneka hiasan gelang emas dan ikat kepala emas itu mencengkeram tangannya kuat-kuat. Kekuatan cengkeramannya mulai merusakkkan zirah Oka dan nyaris saja mematahkan tangannya kalau saja Panji tidak ikut campur dengan menyabetkan senjata pedang kembarnya ke tangan Kroda tersebut.

Kroda itu mundur sejenak ketika melihat tangannya terluka dan mengucurkan darah berwarna kehitaman. Panji sendiri langsung pasang badan di depan Oka.

"Rewanda Purusa unandika patik bisit sapu ramapati penang Rajasawamsa! Minggir sira!"

Entah bagaimana Panji tahu bahwa Kroda itu menyuruhnya minggir dan Panji punya satu jawaban tegas untuk perintah itu, "TIDAK!"

Wajah Kroda berwujud pria empat puluh tahunan dengan rambut hitam lebat digelung itu tampak murka. Dikeluarkannya sebuah medali bulat dengan simbol matahari dan ditunjukkannya benda itu kepada dua remaja di hadapannya, "Rake Tuhan Mapatih

ring Majapahit, Dyah Halayudha, aganita guiianinditalaksana, mundang Niyaka Dharmaputra!"

Dari paving-paving di sekitar sosok Kroda itu langsung muncul sejumlah sosok-sosok berkulit hitam yang memiliki wujud nyaris serupa dengan sosok Kroda itu. Hanya saja mata mereka menyala merah dan kulit mereka hitam, tidak sawo matang seperti sosok Kroda itu.

Panji langsung pasang kuda-kuda dan mulai menerjang ke arah sosok-sosok hitam yang dipanggil oleh Kroda itu. Panji pikir bisa menebas mereka dengan satu-dua kali tebasan, ternyata tidak! Sosok-sosok itu sungguh alot bukan main. Empat kali ditebas pun sosok itu tak rubuh juga. Pedang Sika Warak Panji seperti hanya membelah tanah pasir yang basah dan alot. Alih-alih berhasil menghancurkan satu saja dari antara para makhluk itu, Panji justru dibanting ke tanah dua kali sebelum dilemparkan ke sebuah pohon asam yang jaraknya sekitar 10 meter dari tempatnya semula.

"Kode merah! Kode merah!" Panji memberitahu markas melalui helm visornya, "Butuh bantuan segera!"

*****

Nasib Oka sedang tidak bagus. Selagi tadi Panji sibuk dengan prajurit-prajurit berkulit hitam itu, ia malah didekati secara pribadi oleh sang Kroda berpenampilan bangsawan era klasik tersebut. Kroda itu tersenyum mengejek pada Oka dan memberi isyarat jari telunjuk tertekuk menunjuk dirinya, seolah menantang Oka adu tanding.

Oka langsung mengaktifkan pisau laser di tangan kirinya dan menyiagakan telunjuk kanannya di pelatuk pistol lasernya. Saat Kroda itu mulai bergerak, Oka segera menembakkan amunisi laser dari pistolnya tapi ia hanya menghantam udara hampa. Sosok Kroda itu ternyata sudah berada di sebelah kirinya. Oka langsung berguling ke depan sembari menembak lagi. Kali ini kena, tapi tembakan itu seakan tak berefek pada si Kroda. Kroda itu tampak mengibaskan tangan pada bekas tembakan berupa lubang hitam menganga di bagian dada kanannya sebelum kembali menerjang ke arah Oka.

Tusukan pisau laser harusnya mampu menghentikannya, begitu pikir Oka. Nyatanya tidak! Alih-alih dihentikan, Kroda itu malah mengunci gerakan tangan kiri Oka lalu membantingnya ke tanah. Oka mengerang, ia merasa tangannya tengah mengalami dislokasi, tapi ini belum selesai. Kroda itu membantingnya sekali lagi dan lagi dan lagi. Berkali-kali, hingga Oka bisa melihat betapa zirahnya mulai mengalami malfungsi sehingga tidak bisa bergerak sebagaimana mestinya, termasuk fitur komunikasi di visor kini tak berfungsi. Oka berharap Panji bisa segera menolongnya tapi belum sempat ia bertindak lebih jauh, sebuah hantaman kuat mendarat di perutnya.

Oka sampai muntah di dalam helm karena hantaman itu. Hantaman itu terus berlanjut tubuh atas Oka didera hantaman-hantaman dari si Kroda sementara tubuh bagian bawahnya terus menerus menghantam lantai paving. Hantaman-hantaman itu pada akhirnya membuat ia kehilangan kesadaran dan ... pemindai alat vital di zirahnya menyatakan jantungnya .... berhenti bekerja .... .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top