BAB 5.1 : AGATS
Tanjung Paser, Kaltim, 14.00 WITA
Kepala Ignas pusing. Tiba-tiba saja semua yang ada di kota ini terasa amat sangat berat. Bapak-ibu gurunya mengajar mata pelajaran ilmu berhitung, bahasa, ilmu alam dan ilmu sosial lebih cepat daripada buaya air tawar Papua kejar mangsa. Itu masih belum ditambah kewajibannya patroli tiap dua hari sekali sebagai Lokapala. Ignas khawatir nilai-nilainya nanti jadi merah semua di tempat ini. Malu dia kalau pulang ke rumah sodorkan raport merah kepada bapaknya. Bisa marah besar itu bapaknya kalau sampai tahu dia dapat nilai merah. Memalukan!
Itu juga masih ditambah beberapa teman sekelasnya kurang menerimanya dengan baik. Logat Melayu-Papuanya yang khas dan sulit hilang sering jadi bahan olok-olok di kelas. Semisal kala Ignas mengeluh mengantuk dan berkata, "Aduh, saya kok sulit sekali tahan mata?" maka kelompok anak-anak tadi akan menertawakan istilah 'tahan mata'-nya tadi. Atau ketika Ignas berkomentar soal hujan lebat, "Wah! Hujannya kuat yah?" maka tiap kali ada suatu peristiwa alam berintensitas tinggi, kelompok anak-anak itu akan menggunakan istilah 'kuat' untuk meledek Ignas. Contohnya kalau siang sedang panas mereka akan berkata, "Wah Ignas! Mataharinya kuat yah!" atau kalau ada angin kencang, "Ignas! Anginnya kuat loh!"
Untungnya Lokapala dan Oka mau memahami soal logatnya yang 'tidak biasa' itu. Oka bahkan berujar, "Tak usah diambil hati." ketika Ignas mengeluh soal anak-anak itu.
Ponsel Ignas tiba-tiba berbunyi tepat ketika ia hendak masuk kamar, "Ya! Halo?"
"Tolong turun ke bawah, Kasuari mau bicara dengan kamu!" kata Oka.
*****
Kasuari, itu nama Usana yang menjalin kontrak dengan Ignas. Atau setidaknya begitu sepanjang pengetahuan para staf Unit Lima dan Lokapala yang lain. Tapi Ignas tahu bahwa 'Kasuari' bukanlah nama sebenarnya dari Usana itu. Usana sengaja tidak memberitahu namanya pada Denny dan staf Unit Lima yang lain untuk alasan yang sampai sekarang Ignas tidak tahu.
Usai meletakkan tas sekolahnya di kamar, Ignas bergegas menuju lift, memindai arlojinya di panel lift dan turun ke basement di mana Oka, masih berseragam sekolah, sudah menunggu.
"Aku keluar dulu, Kasuari mau pembicaraan ini jadi pembicaraan empat mata," kata Oka sembari beranjak pergi.
"Terima kasih sudah berkabar pada sa," kata Ignas.
Oka mengangguk dan menaiki lift kembali ke asrama sementara Ignas memperhatikan tabung penyimpanan nomor lima yang dihuni oleh Kasuari lekat-lekat. Tabung itu kosong, begitu pula empat yang lain.
"Sepi yah?" ujar Ignas.
"Memang sengaja sa bikin begini," kata sosok spektral berwujud burung Kasuari biru yang muncul di hadapan Ignas sesaat kemudian.
"Ada apa Kasuari?" tanya Ignas penasaran.
"Sudah saatnya ko tidak lagi bertarung pakai gaya adu jotos seperti itu. Sudah saatnya ko pakai gaya bertarung yang sa ajarkan!"
"Apa? Sa tak suka pakai gaya itu!"
"Tapi sekarang harus, Ignas! Dorang ampat [1]dan Tuan Profesor deteksi musuh baru pagi ini! Cepat bak buaya air tawar Agats! Gesit bak semut-semut hutan! Kuat bak para Kasuari!"
Agats, Kabupaten Asmat, Papua, 2 tahun yang lalu
Jika seorang anak sekolah dari Jawa ditanyakan mengenai suku apa saja yang hidup di Papua, jawaban pertama yang akan terlontar dari mulut mereka adalah Asmat. Ya, Asmat. Suku ini seolah menjadi representasi pulau Cendrawasih ini selayaknya suku Bugis merepresentasikan Pulau Sulawesi, suku Batak merepresentasikan Pulau Sumatra, suku Jawa merepresentasikan Pulau Jawa, dan suku Dayak yang merepresentasikan Kalimantan.
Tapi kondisi tempat tinggal banyak orang Asmat tidak sebagus reputasi mereka sebagai pemahat-pemahat handal. Salah satu kota tinggal utama mereka, Agats adalah kota yang berdiri di atas rawa. Para penduduk dan pemerintah kota harus membuat jembatan-jembatan kayu serta bangunan-bangunan panggung supaya tempat itu bisa dihuni. Tapi kondisi rawa yang berair, lembab, dan asam membuat bangunan-bangunan itu harus diganti kayunya setidaknya setiap 2 tahun sekali.
Itu tadi bicara bangunannya, dari sisi ekonomi penduduk Agats masih menggantungkan diri mereka pada hutan yang kaya sagu dan tanaman sayur. Tapi menebang sagu adalah pekerjaan berat. Tidak seperti memanen padi yang bisa dilakukan oleh satu sampai empat orang saja pada sebuah lahan, menebang satu pohon sagu dan mengolahnya menjadi tepung bisa jadi melibatkan tiga keluarga sekaligus. Jika orang yang ikut masih kurang, maka anak-anak usia sekolah pun mau-tak-mau harus ikut masuk hutan dan tebang sagu. Hasilnya? Sekolah mereka sering terbengkelai.
Hal itulah yang sering dikeluhkan Thobias Salabai pada istri dan anak lelakinya, Ignas. Sebagai guru PNS yang juga merangkap kepala sekolah SMP setempat, Thobias sering sekali menemukan kondisi seperti ini : masuk kelas dan mendapati hanya anaknya seorang yang hadir di sana.
"Mana semua teman ko?" begitu Thobias sering bertanya.
Anak lelakinya akan menjawabnya dengan senyuman lebar, "Pi ke hutan. Tebang sagu guna makang mata ruma." (Pergi ke hutan, buat tebang sagu untuk makan satu rumah).
Senin sampai Sabtu, Thobias mengajar di SMP dan kadang juga di SD. Jam belajarnya ... terserah anak-anak. Bisa jadi dalam seminggu hanya tiga kali Thobias masuk kelas di SMP dan dua kali masuk kelas di SD. Hari Minggu, Thobias punya tugas lain.
Agats penduduknya banyak yang beragama Katolik Roma. Tapi sebagaimana orang banyak tahu, jadi pastor Katolik itu susahnya bukan main. Seorang lulusan SMA harus sekolah teologi selama 9-10 tahun sebelum bisa jadi pastor. Dan data statistik dari tahun ke tahun menunjukkan : dari 100 calon pastor yang lazim disebut frater, ada 10 yang bertahan jadi pastor itu sudah bagus!
Lalu apa hubungannya dengan Thobias? Karena jumlah pastornya sedikit, di wilayah tempat tinggalnya ada gereja tapi tak ada pastornya. Sehingga Thobias yang dianggap sebagai kepala keluarga paling 'pandai' di wilayah itu langsung diusulkan umat setempat untuk jadi pemimpin gereja. Usul yang langsung disetujui oleh Uskup setempat, sehingga tiap hari Minggu Thobias wajib pimpin upacara di gereja. Jabatan sahnya : penanggungjawab pastoral paroki (gereja). Tapi umat satu gereja panggil dia Pastor Thobias, dan mereka semua perlakukan dia bak pastor sungguhan meski sebenarnya bukan.
Setidak-tidaknya bagi Thobias, dengan jabatan hari Minggunya itu dia bisa beri wejangan pada umat soal pentingnya sekolah. Tiap hari Minggu tak pernah alpa ia berujar, "Pace[2], Mace [3] sekalian. Kamorang pu anak mo laki mo perempuan. Tolong, suruh pi ke sekolah, jang ke hutan sudah! Sa tau tebang sagu guna makang mata ruma itu penting! Tapi asah otak bak piso penting juga sudah!" (Bapak, Ibu sekalian. Kalau Anda punya anak, tolong suruh pergi ke sekolah, jangan melulu ke hutan. Saya tahu tebang sagu buat makan serumah penting, tapi mengasah otak juga pentinglah!)
Tiga bulan berlalu, wejangannya mulai agak manjur. Setidaknya tiap kali dia masuk separuh kelas sudah hadir. Enam bulan kemudian kelas sudah mulai hampir penuh. Thobias gembira! Usaha kerasnya tak sia-sia. Kalau ia bisa mempertahankan disiplin ini sampai setahun ia yakin kebiasaan mau sekolah ini akan terus berlanjut. Bahkan demi melancarkan tradisi disiplin ini, ia sama sekali tak pernah mengizinkan Ignas bolos meski putranya itu sedang sakit!
Tapi tiba-tiba di bulan ketujuh mau tidak mau dia harus buat anaknya bolos, alasannya karena ia menerima sebuah telepon yang mengharuskannya pergi selama setidaknya dua minggu. Dan si penelepon tegas memintanya datang bersama Ignas.
Saat telepon itu terputus, Thobias menghampiri Ignas yang tampak sedang bermain kartu remi dengan adik perempuannya.
"Ignas!" panggil Thobias.
"Ya Pace?"
"Berkemas. Kita ke Merauke sekarang. Tete[4] Simon tetiba sakit keras dan dia bilang mo ketemu ko!"
"Eh? Sekolah? Hampir ujian ini Pace!"
"Ko nanti sa ikutkan ujian khusus!"
"Teman-teman?" tanya Ignas turut mengkhawatirkan teman-temannya nanti kambuh semangat bolosnya kalau ayahnya sebagai 'teladan' mereka tiba-tiba bolos.
"Pace akan minta Mace buat ganti Pace ajar anak-anak selama Pace ke Merauke sama ko!"
*****
Untuk pergi dari Agats ke Merauke tidak mudah. Sebelum mencapai bandar udara yang letaknya 20 km di timur Agats, hanya bisa menggunakan speedboat melalui aliran sungai atau teluk yang masih banyak dihuni buaya air tawar yang ganas dan kadang suka makan orang. Sungai-sungai ini juga lebar, aliran sungai ada yang besarnya bisa mencapai 400 meter. Kendala teknis tidak jarang terjadi pada speedboat, misalnya mesin mati atau macet. Bila terjadi begini, hanya ada dua opsi yang bisa dilakukan: menginap di 'jalan' sembari menunggu bantuan datang dari lalu-lalang speedboat atau ikut nebeng speedboat lainnya.
Thobias tidak berharap mesin speedboatnya macet, siapa pula yang berharap macam begitu? Tapi naas tak dapat ditolak! Mesin macet dan tak bisa diperbaiki! Walhasil, Thobias hanya bisa menunggu speedboat lain lewat dengan penuh rasa was-was sambil terus berdoa, semoga tidak ada buaya menghampiri mereka.
Hari sudah beranjak malam. Nyamuk-nyamuk mulai merayah tubuh para penumpang speedboat yang sudah mulai berusaha tetap sadar untuk mengantisipasi adanya buaya itu. Nyamuk-nyamuk itu tak begitu mereka hiraukan karena mereka mulai mendengar kecipak air yang tidak wajar. Sesuatu yang besar barusan masuk ke dalam air. Thobias dan pemilik speedboat menyorotkan senter ke arah suara. Mereka tak mendapati apa-apa.
"Bagaimana ini Pastor? Ada buaya?" tanya si pemilik speedboat.
"Sa tak bisa jamin. Buaya mendekat dan caplok mangsa kadang tanpa suara," jawab Thobias.
"Buaya Pace?" celetuk Ignas, "Tuh di sana ada banyak!"
Thobias dan pemilik speedboat mengarahkan senter mereka ke arah yang ditunjuk Ignas dan mereka mendapati delapan moncong makhluk bersisik itu tampak menyembul di air sungai yang kecoklatan.
"Tuhan Yesus! Delapan?" si pemilik speedboat sontak terkejut karena tamu tak diundang mereka bakal datang berombongan. Satu buaya saja sudah buat was-was, apalagi delapan!
"Hai!" Ignas tampak memukul-mukul permukaan air dengan tangan kirinya, seolah menantang para buaya itu.
"Nak! Keluarkan tangan ko dari air!" tegur Thobias.
Yang disuruh tidak mendengarkan. Ia terus saja memainkan telapak tangannya di air sampai akhirnya Ignas berkata, "Pace dan sa hendak pergi tengok Tete kami yang sakit. Kam sekalian tolong jangan buat takut torang bertiga sudah!" (Saya dan bapak saya hendak menengok kakek kami yang sakit. Kamu berdelapan, jangan buat kami bertiga takutlah!)
Para buaya yang lazimnya ganas itu terdiam. Mereka sama sekali tak tampak bergerak. Kala Ignas kembali berujar, "Tolong sudah?!" para buaya itu seolah sepakat membubarkan diri. Tiga orang itupun luput jadi hadiah arisan para buaya.
[1]Mereka berempat (Empat Usana yang lain)
[2]Bapak
[3]Ibu
[4]Kakek
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top