BAB 4 : NI RARUNG

Pasekan baru saja pulang dari tugas luar kota yang berlangsung lama tapi malam ini dia sudah harus pergi lagi, lebih gawatnya lagi kali ini dia harus pergi berdua dengan Tantri, sehingga otomatis Oka akan ditinggal sendirian di rumah.

"Ajik jahat!" Oka merajuk dan menendangi balok lego mainannya sampai sejumlah komponen lego berhamburan di lantai.

"Ajik dan Meme harus pergi, Nak. Ini tugas," Tantri berusaha membujuk Oka supaya mau tenang, tapi anak itu malah menangis keras-keras.

Sementara itu Pasekan tampak menelepon seseorang sebelum akhirnya menutup telepon dengan wajah kecewa, "Waduh celaka! Dik Kanya nggak bisa jagain Si Gung karena suaminya tugas luar kota dan dia ikut suaminya."

====

Si Gung = anak lelaki (maksudnya Oka)

====

"Terus Oka kita titipkan siapa?"

"Aku dengar tadi Si Oka minta Luh Siti buatkan dua es ancruk. Untuk siapa?"

"Kapten Pusaka dan istrinya."

"Oka seneng sama mereka?"

"Kamu mau titipin Oka ke Gek Laksmi?"

"Kayaknya sih. Emang ada pilihan lain?"

******

"Boleh-boleh saja!" begitu jawaban Laksmi alias Nyonya Pusaka ketika dimintai tolong oleh pasutri Pasekan untuk menjaga Oka selagi mereka pergi ke Jawa Timur selama seminggu.

Oka tampaknya senang-senang saja dijaga oleh Laksmi tapi sebelum Pasekan dan Tantri berangkat, tiba-tiba Oka menarik-narik celana Pasekan dan berkata, "Ajik! Ayo foto bersama!"

"Buat apa, Ka?" tanya Tantri yang keheranan karena putranya tiba-tiba hari ini rewel dan permintaannya aneh-aneh.

"Buat obat kangen Oka!"

"Biar saya fotokan," Kapten Pusaka yang sudah usai berpakaian menawarkan diri, "Nanti fotonya biar dicetakkan Laksmi."

"Di mana ini fotonya?" Tanya Pasekan.

"Di sana saja bagus!" Pusaka menunjuk ke satu titik di area pondok yang ditumbuhi banyak pohon.

"Yak Oka! Naik sini ke pundak Ajik!" Pasekan pun menempatkan anak lelakinya itu di atas pundaknya dan Pusaka pun mulai menghitung mundur.

"Yak! Satu ... dua ... tiga!" blitz kamera menyala, merekam momen ayah, ibu, dan anak itu ke dalam memori kamera.

Tiga kali Pusaka menekan tombol untuk merekam momen itu sebanyak tiga kali, dan ketika sudah usai, ia pun menyerahkan kamera digitalnya pada Laksmi, "Jangan lupa dicetakkan ya, Dik?"

*****

Gunung Wilis, Jawa Timur, 22.00 WIB

Pusaka, Pasekan, dan Tantri akhirnya tiba di daerah Sawahan, Nganjuk, yang masih termasuk kaki Gunung Wilis tepat pukul 10 malam. Di sana, di sebuah hotel yang telah dipesan khusus sebagai akomodasi bagi mereka, sejumlah orang-orang berwajah angker yang jelas bukan orang militer tampak telah menunggu mereka.

"Bli Pasekan," seorang dari antara mereka yang berjanggut hitam tebal dan bertubuh agak gempal namun tampak memiliki kewibawaan lebih tinggi dari kawan-kawannya tampak menyapa lalu mendekati Pasekan.

"Warok Mardi!" Pasekan menyapa hangat orang yang ternyata seorang Warok itu, "Bagaimana kondisinya?"

"Penduduk sudah diungsikan. Banteng Raiders dari Semarang sudah diterjunkan di sisi barat gunung dan akan menyisir Hutan Pinus Nongko Ijo, Zeni Tempur 5 dari Kepanjen sudah mulai menyisir sisi timur dari Air Terjun Dolo. Nanti kami minta bantuan teman-teman dari Zeni Tempur 18-Bali untuk menyisir dari kawasan Air Terjun Sedudo sampai puncak Gunung Wilis."

"Apa peran Dakara nantinya?" tanya Kapten Pusaka yang belum paham benar jalannya operasi sebab perintah ini diberikan dengan sangat mendadak.

"Dakara akan jadi baris pemukul utama melawan orang-orang Laskar Ratu Adil itu," jawab Warok Mardi.

"Sebenarnya saya masih kurang paham, apa maksud Dakara dengan mereka mencoba membangkitkan Calon Awrang? Apa membangkitkan dalam arti harafiah semacam membangkitkan zombie begitu? Kalau iya bukannya Situs Calon Awrang Nateng Girah letaknya 70 kilometer ke arah timur dari sini kan? Kenapa kita malah berjaga di sini?"

"Situs Nateng Girah mungkin memang bekas tempat tinggal Calon Awrang, Kapten," ujar Warok Mardi, "Tapi yang menyegel kekuatan atau orang awam bilang kesaktian Calon Awrang adalah Mpu Baradah. Dan Mpu Baradah tinggal di Lemah Tulis, di Gunung Wilis. Di mana lokasi persis Lemah Tulis itu, sekarang tidak ada yang tahu! Nama tempat itu sudah lenyap ditelan zaman! Tapi jelas kelompok ekstremis berjuluk Laskar Ratu Adil itu hendak mencari di mana Lemah Tulis berada."

"Dakara juga tidak pernah menemukan Lemah Tulis?" tanya Letnan Asnan, ajudan sekaligus wakil Pusaka dalam operasi kali ini.

"Kami pernah mencoba," kata Pasekan, "tapi setiap kali saya atau teman-teman saya yang bisa nglekas atau meraga sukma menjelajahi wilayah ini, BMKG selalu melaporkan adanya gempa yang diduga bersifat vulkanis, tapi begitu kami menjauh, Gunung Wilis seperti normal kembali. Jadi kami menyimpulkan Gunung Wilis seperti punya tabir gaib sendiri bagi kami, karena itu kami tidak mau terlalu mengusiknya. Tapi sekarang kami terpaksa mengusiknya."

=====

Nglekas = melepas roh dari raga, termasuk salah satu kemampuan para praktisi leyak

=====

"Jadi .... resiko terburuk dari operasi kali ini adalah Gunung Wilis bakal meletus?" ujar Pusaka.

"Ya," Pasekan dan Warok Mardi kompak mengangguk

"Ancuk!" tanpa sadar Letnan Asnan mengeluarkan umpatan khas Jawa Timurnya.

******

Kapten Pusaka langsung mengumpulkan timnya yang terdiri dari 40 prajurit zeni veteran dari Denpasar dan Singaraja.

"Jadi misi kita adalah mencari di mana kelompok eksterimis ini berada, lalu membuat pagar betis dan jebakan guna mencegah mereka kabur. Tidak ada kompromi dalam operasi kali ini, perintah kita adalah bunuh di tempat, jangan sisakan mereka satu orang pun kecuali dia menyerah. Kita akan mulai pencarian dari Air Terjun Sedudo. Di sini kita akan membagi tim menjadi dua. Tim satu yang saya pimpin akan menyusuri sisi barat air terjun, tim dua dipimpin Sersan Mayor Tusiran akan menyusuri sisi timurnya. Jika tidak menemukan apa-apa kita akan bertemu di puncak Wilis besok pagi pukul 5 tepat. Ada pertanyaan?"

Letnan Asnan langsung mengacungkan jari, "Maaf Kep, kenapa bukan saya yang memimpin tim dua?"

"Saya butuh dukungan teknis Anda sebagai operator drone dan pakar demolisi di tim satu Letnan."

"Tapi ...!"

"Tak ada tetapi Letnan, ini perintah!"

"Siap Dan!" Asnan pun berhenti mendebat Pusaka.

"Oke! Ayo kita berangkat sekarang!" Pusaka dan timnya lantas berbalik arah dan mulai mendaki bukit menuju Air Terjun Sedudo. Di belakang mereka, Pasekan dan Tantri yang telang bersalin menggunakan seragam loreng turut mengikuti mereka dari belakang.

******

Tim Pusaka mendaki lereng barat Air Terjun Sedudo yang konon dipercaya warga sekitar berkhasiat membuat orang yang mandi di sana awet muda apabila dilakukan pada malam tertentu, mereka mendaki lereng tebing yang licin kemudian memasuki vegetasi hutan yang mulai rapat di bagian atas air terjun.

Lima jam berjalan melintasi sungai, tebing, hutan, dan semak rapat sembari berkomunikasi dengan tim penyisir lainnya, Pusaka akhirnya mendapat kontak dari regu Banteng Raiders yang menyisir dari arah Hutan Pinus di sebelah barat.

"Target terlihat, 50 orang turun ke suatu gua!" begitu laporan yang mereka terima dari grup Banteng Raiders.

"Semuanya lekas berkumpul dan kepung Lemah Tulis!" Pusaka memberi perintah pada regunya dan komandan-komandan regu yang lain mengucapkan perintah serupa.

Dalam waktu setengah jam, daerah yang mereka curigai sebagai Lemah Tulis, sudah terkepung oleh setidaknya 50 personel TNI dan 35 personel Dakara. Semuanya mendekati area tersebut sesenyap mungkin.

"Ada yang bisa beri intel?" komandan Banteng Raiders membuka percakapan.

"Kami tak bisa melihat ke dalam karena ada tabir gaib yang menghalangi mata batin kami," lapor Warok Mardi, "Pasekan? Cai bisa nglekas sekarang?"

===
Cai = kamu
Nglekas = melepas jiwa dari raga
===

"Tidak bisa, nanti mereka tahu kita ada di sini," jawab Pusaka.

"Apa sebaiknya kita serbu saja?" usul komandan regu yang lain.

"Mungkin kita bisa terbangkan drone dulu ke dalam?" usul Letnan Asnan.

"Ada usul drone apa yang cocok untuk medan seperti ini, Letnan?"

"Kita punya drone belalang, ciptaan LIPI. Masih baru prototype tapi untuk medan ini saya rasa cocok!"

"Aktifkan benda itu, Let!" Pusaka menyetujui usulan Asnan, "Bagaimana yang lain? Setuju?"

"Setuju! Silakan diteruskan!" jawab Warok Mardi dan para komandan regu yang lain.

*****

Drone berbentuk belalang besar sepanjang 7 cm itu segera diaktifkan dan mulai melompat-lompat menuju arah gua. Kamera yang terpasang di drone tersebut memberikan umpan balik ke kacamata khusus yang dipakai para prajurit dan anggota Dakara yang berada di sana.

Drone itu menyusuri gua cadas yang gelap selama beberapa saat sebelum akhirnya kameranya menangkap citra sekumpulan orang yang membentuk lingkaran tengah mengelilingi sesuatu. Seorang dari antara mereka mencabut keris, mengangkatnya tinggi-tinggi sembari berujar :

"Ingsun amatak ajiku Si Pundi Jagad

Niat ingsun melek tutuga tekan sedina sesuk, manjing teguh rahayu kang santoso

Kun kanikun ingsun kun, kowe kama salah, aja angganggu gawe, aku ratuning kun.

Aku iki putune Prabu Brawijaya! Aku iki putune Prabu Erlangga!

Tur nika aku iki manungsa sakti ing jagad

Kinasihipun Betara Ing Jagad

Aku iki Ratune sampeyan kanti gelar Sinuhun Ingkang Dalem Prabu Agung Rajasanegara!

Aku celuk asmane sampeyan, Cantrik kinasihe Sri Nateng Girah!

Aku nyeluk asmanipun kinabulanipun Ni Rarung!"*)

======
*)Terjemahan :
Aku mengucap mantra untuk memanggil ilmu kesaktianku

Aku berniat terjaga sepanjang malam sampai hari esok tanpa gangguan

Jadi kamu yang hendak mengganggu aku, ingat-ingat bahwa kamu tidak berhak menggangu rajamu

Aku ini cucunya Prabu Brawijaya, cucunya Prabu Airlangga

Aku ini manusia sakti

Yang dikasihi para dewata

Aku ini rajamu, gelarku Yang Mulia Raja Agung Rajasanegara

Aku memanggil namamu, wahai murid terkasih dari Sri Nateng Girah (Calon Awrang)

Aku memanggil namamu, wahai Ni Rarung

======

"Mampus!"begitu komentar Pasekan ketika mendengar ucapan-ucapan mantra tersebut, "Kapten Pusaka! Kita harus segera masuk!"

"Dakara memohon bantuan seluruh teman-teman AD untuk menyerbu masuk! Kita harus hentikan mereka sebelum mereka memanggil makhluk sakti bernama Ni Rarung!" Warok Mardi menambahkan.

"Lepas pengaman senjata, dekati perlahan, lalu sergap!" ujar Pusaka.

Para pasukan gabungan itupun perlahan mengendap-endap mendekat sebelum akhirnya ketika cukup dekat dengan mulut gua, para anggota Dakara maju ke barisan paling depan lalu bersama-sama mengulurkan tangan ke sesuatu tabir yang tak nampak dan membuat gerakan menyentak seolah-olah tengah merobek suatu kain.

Terdengar suara dentuman segera sesudah mereka melakukan hal tersebut dan langsung saja di dalam terdengar suara gaduh.

"SERBU!" semua komandan pasukan tak terkecuali Kapten Pusaka menyerukan perintah untuk menyerang.

Rentetan bunyi senapan terdengar dan beberapa orang yang ada di dalam sana tumbang dengan kondisi berlumuran darah. Tapia ada sebagian anggota kelompok ekstremis tersebut yang tetap tegak berdiri. Para anggota Dakara yang melihat bahwa lawan mereka yang ini kebal peluru langsung beranjak ke bagian depan barisan dan mulailah terjadi perkelahian tangan kosong antara Dakara dengan kelompok lawan mereka.

Sementara itu di tengah ruangan, dua orang anggota 'Laskar Ratu Adil' tengah diberondong peluru oleh para anggota Banteng Raiders, tapi naas ternyata mereka juga kebal peluru dan tak ada anggota Dakara yang sedang bebas yang dapat mengatasi mereka. Maka dari itu, Pusaka dan timnya langsung melontarkan granat ke arah mereka, berharap ledakan tersebut cukup untuk mengganggu konsentrasi mereka, sehingga pimpinan mereka yang bersembunyi di balik tubuh mereka berdua. Granat itu meletus dan membuat kedua orang itu tampak terhuyung meskipun jika mereka manusia normal, tubuh mereka sudah meledak.

Dan setelah itu, tampaklah di hadapan Pusaka seorang pria empat puluh tahunan, menggunakan kemeja dan terompah hitam serta blangkon hitam. Wajahnya karismatik namun matanya tampak memendam amarah serta dendam. Di hadapannya terdapat sesosok wanita yang tubuhnya tampak hanya ditutupi kain putih.

"Angkat tangan! Anda sudah terkepung! Rencana Anda sudah gagal! Menyerah saja!"

"Terkepung? Saya?" orang itu terkekeh, "Saya sama sekali tidak terkepung! Andalah yang terpojok! Anda telah memasuki batas suci yang hanya boleh dimasuki orang-orang terpilih macam saya!" orang itu tertawa.

"Kapten Pusaka! Minggir!" tegur Warok Mardi yang tampak memegang sebuah tali usus – cambuk yang berfungsi ganda sebagai sabuk para Warok – yang telah bersimbah darah.

Pusaka serta prajurit lainnya langsung menurut, dan Warok Mardi langsung mengayunkan tali usus tersebut kepada suatu tabir tak kasat mata. Tabir itu langsung lenyap dengan menimbulkan suara meledak disertai suara seperti kaca pecah. Sesudah itu Warok Mardi langsung mengayunkan tali ususnya kepada dua pengawal yang masih terhuyung-huyung akibat letusan granat tersebut. Keduanya mengeluarkan suara melolong sebelum pingsan tak sadarkan diri.

Sang Warok menyabet dan memutar tali ususnya ke udara sehingga terdengar suara seperti halilintar menyambar-nyambar di udara kemudian ia mendekati sang pimpinan sekte.

"Kowe wis ora isa mlayu – Kamu sudah tidak bisa lari!" Sang Warok mendekati lawannya dengan mata melotot-mengancam

"Aku ora niat mlayu!" sang pimpinan sekte tertawa, "Kowe sing kudu mlayu!" dan bersamaan dengan itu secara tiba-tiba ia menusukkan keris kecil yang sedari tadi tak disadari keberadaannya oleh para pengepungnya ke tubuh gadis persembahan di hadapannya.

Langsung saja timbul gelombang kejut dan tenaga dorong yang luar biasa yang mendorong segenap orang yang berada di gua itu hingga beberapa membentur dinding gua, beberapa terhempas sampai keluar gua, dan anggota-anggota Dakara veteran seperti Pasekan, Tantri, dan Warok Mardi pun sampai harus mati-matian bertahan pada pijakan mereka sebelum ikut pula terhempas.

Belum juga para anggota pasukan gabungan dan anggota sekte Laskar Ratu Adil yang terhempas tadi berdiri tegak, gelombang kejut kedua sudah kembali menghempaskan semua yang ada di sana hingga keluar dari mulut gua.

******

Pusaka baru saja berusaha berdiri tegak kembali ketika sebuah tangan kuat mencengkeram lehernya.

"Kamu patihnya?" tanya pemilik tangan itu, suaranya seperti perpaduan antara suara dua orang wanita yang menggema di ruang tertutup meskipun saat ini mereka berada di luar gua.

Ketika pandangan Pusaka kembali normal, ia melihat bahwa wanita yang jadi tumbal upacara di dalam gua tadilah yang kini mencengkeram lehernya. Pusaka lantas segera menarik sangkurnya untuk menusuk tangan si wanita tersebut namun ia mendapati kulitnya sekeras batu. Alih-alih menembus kulitnya, sangkur Pusaka malah patah.

"Hrrraaah!!" wanita itu menjerit dan dari kuku-kuku jarinya lantas keluar memanjang sementara wajahnya perlahan berubah rona menjadi menghitam dan rambutnya pun kini acak-acakan. Sosok wanita ini menjelma seperti para leyak wanita pengiring Sang Rangda dalam sendratari Calon Awrang di Bali.

Wanita itu mencakar wajah Pusaka dengan tangan kirinya lalu melempar Pusaka jauh sekali hingga punggung Pusaka menghantam keras sebuah batu besar. Bekas cakaran wanita itu terasa perih, panas, dan mendidih sementara Pusaka merasakan punggungnya tak bisa ia gerakkan.

Lalu terdengar kembali suara kontak senjata. Beberapa prajurit TNI yang berhasil bangkit berusaha menghabisi wanita itu namun tentu saja gagal. Dengan satu raungannya, kedua prajurit TNI itu tiba-tiba diam, tak bergerak, kemudian jatuh tak bernyawa dengan tujuh lubang di kepala mereka mengeluarkan darah.

Pasekan dan Tantri menyaksikan apa yang mereka takutkan terjadi. Sang istri melirik kepada sang suami yang sudah tampak kepayahan, "Bli, kita harus menyegel dia kembali di gua itu!"

"Tiyang tahu, Luh! Tapi bagaimana Luh tahu sendiri kan apa resikonya jika kita menyegel Ni Rarung dengan kondisi kita yang begini?" jawab Pasekan.

====
Luh = panggilan untuk wanita Bali yang masih muda
====

"Kalau kita tidak menyegelnya, banyak nyawa yang akan terancam, bahkan nyawa Si Gung pun akan terancam! Rarung takkan puas hanya dengan nyawa penduduk sepenjuru kota Kediri atau Ponorogo! Dia pasti akan menebarkan kematian di daerah lainnya."

"Kalian mau segel dia?" tampak Warok Mardi dan Letnan Asnan mendekati pasangan suami-istri itu.

"Kami akan melindungi kalian dari ancaman lain selagi kalian berdua menyegel iblis wanita terkutuk itu!" ujar Asnan dengan semangat berapi-api.

Sementara itu wanita yang telah dirasuki makhluk alam lain bernama Ni Rarung itu tampak mengamuk dan membunuhi satu demi satu yang ada di sana, baik itu anggota sekte Laskar Ratu Adil maupun anggota pasukan gabungan. Para anggota Dakara yang memiliki kelebihan supranatural saja harus takluk dan tewas jika bukan karena cakar beracun Ni Rarung ya karena raungan suara makhluk itu yang entah bagaimana tampaknya mampu menimbulkan kerusakan pada otak.

"Kita lakukan sekarang?" Warok Mardi memberi isyarat pada Asnan, Pasekan, dan Tantri.

Ketiganya mengangguk dan Sang Warok langsung melontarkan tali usus-nya hingga menjerat leher Ni Rarung kemudian mengalirkan segenap tenaga dalamnya untuk menyeret wanita itu supaya bergerak lebih mendekati mereka. Ni Rarung berontak namun Warok Mardi tetap berusaha sekuat tenaga sambil merapalkan mantra-mantra dari Kitab Teles.

====
Kitab Teles = kitab ilmu kesaktian pegangan para Warok
====

Ni Rarung kembali berontak dan mengeluarkan suatu gelombang kejut kembali ketika kedua tangannya ia katupkan. Warok Mardi berusaha bertahan namun segera saja konsentrasinya terpecah hingga ia tak sadar jika Ni Rarung sudah berada di hadapannya persis dan siap menikam jantungnya menggunakan kuku-kukunya yang tajam beracun.

"Awas Pak!" Letnan Asnan yang masih bisa berdiri karena berlindung di belakang Sang Warok lantas menarik tubuh Warok Mardi namun naas lehernya tertebas kuku Ni Rarung.

"Pasekan! Tantri!" seru Warok Mardi yang kembali menjerat kaki Ni Rarung dengan tali usus-nya.

Sementara itu Tantri dan Pasekan bersama-sama mengeluarkan lembar-lembar kertas yang dirajahi mantra-mantra beraksara Bali. Keduanya lantas menebar kertas berajah itu ke tanah yang dipijak oleh Ni Rarung sebelum mencengkeram leher dan tangan Ni Rarung.

Ni Rarung tertawa kejam sambil berujar, "Apa-apaan ini? Cantrik-cantrik murid Bahula? Kalian bukan lawan tandingku! Bawa kemari Bahula atau malah Bharadah sialan itu kemari!"

===
Mpu Bahula = anak Mpu Bharadah yang kawin dengan anak gadis Calon Awrang sebelum akhirnya mengkhianati mertuanya dengan mencuri lontar sakti Calon Awrang dan membawanya kepada Mpu Bharadah.
===

Pasekan dan Tantri tak mengacuhkan hinaan Ni Rarung namun lebih memilih mengkonsentrasikan segala kekuatan gaib yang masih tersisa dalam diri mereka untuk membuat semacam kurungan gaib berwarna kebiruan bagi Ni Rarung.

Ni Rarung berusaha merusak kurungan gaib itu dengan melontarkan raungan yang jelas bukan suara manusia maupun hewan tapi lebih terdengar seperti raungan seribu singa yang diimbuhi seribu jeritan wanita. Kurungan gaib itu sempat memudar namun Warok Mardi segera membantu memperkuat kembali kurungan itu dengan turut mendorong kurungan itu ke dalam gua.

Tapi semakin mereka melangkah, pemberontakan Ni Rarung semakin hebat, bahkan ketiga anggota Dakara tersebut merasakan ada pukulan-pukulan dari tangan-tangan tak tampak berusaha meremukkan tubuh mereka meski Ni Rarung masih terkurung oleh kurungan gaib mereka.

"Mardi! Pergi dari sini! Selamatkan yang masih hidup!" begitu Pasekan memohon.

"Jangan bercanda! Kalian belum berhasil memasukkan iblis wanita ini ke dalam gua kan!"

"Kami akan berhasil! Anda tolong saja yang lain!" kali ini Tantri yang berujar.

"Tapi ...!"

"Kami mohon!" keduanya dengan suara berat kembali memohon Mardi pergi meninggalkan mereka.

"Baiklah!" Mardi akhirnya membiarkan keduanya pergi menunaikan tugas terakhir mereka.

Begitu Pasekan dan Tantri berada di depan gua, mereka langsung bersiap melontarkan kurungan itu ke dalam gua namun Ni Rarung menjejakkan kakinya ke tanah dan tertawa terkekeh, "Kalian akan mati! Anak kalian juga akan mati!"

Wajah Pusaka dan Tantri penuh butir-butir keringat sebiji jagung, keletihan mulai menyiksa mereka, dan aktivitas adu ilmu gaib dengan sosok sakti dari ratusan tahun lalu ini benar-benar menguras tenaga mereka meski mereka baru melakukan ini selama beberapa menit. Pasangan suami istri itupun kemudian mengambil jalan terakhir. Mereka mengubah sosok mereka menjadi dua sosok Banaspati Raja dan sayup-sayup di luar sana Warok Mardi bisa mendengar dua sosok itu melantunkan Mantra Mrityujana.

Om trayambakam yaja mahe

Sugandhim pusthi wardhanam

Urwa rukamiwa bandanaath

Mrityor mokshiya mamritat *)

=====

*) Terjemahan :
Aku memuja Tuhan Siwa yang bermata tiga,

yang memberikan keharuman dan memelihara segala makhluk.

Semoga Dia membebaskanku dari kematian menuju keabadian,

seperti mentimun masak yang lepas dari tangkainya.

=====

Nadanya mengungkapkan kepasrahan mereka berdua kepada Sang Kuasa menjelang akhir hidup mereka. Dan benar saja, tak lama kemudian terdengar sebuah ledakan besar. Kembali Sang Warok harus terhempas dan hilang kesadaran.

******

Pusaka baru sadarkan diri keesokan harinya. Ia mendapati tubuh sejumlah anggota pasukan gabungan dan anggota sekte bergelimpangan di mana-mana. Dengan mengabaikan rasa sakit yang menyiksa ia mencoba mencari siapapun yang masih bertahan hidup. Ia mendatangi satu demi satu sosok yang terkapar itu sebelum menyadari bahwa semua sosok tubuh yang ia datangi sudah tak bernyawa, baik itu sosok anggota Banteng Raiders, sosok anggota Zeni yang jadi anak buahnya, sosok-sosok anggota Dakara, maupun anggota-anggota sekte Laskar Ratu Adil. Semuanya mati!

Tiba-tiba Pusaka teringat akan Pasekan dan istrinya Tantri. Jantungnya berdegup cepat ketika membayangkan tentang apa yang telah terjadi pada kedua kawan baiknya itu, "Bli Pasekan! Mbok Tantri!" begitu Pusaka memanggil-manggil nama kedua orang itu.

"Tak usah repot-repot berteriak-teriak begitu Kapten," tiba-tiba terdengar suara Warok Mardi.

"Warok Mardi!" Pusaka berjalan tertatih menghampiri pria berjanggut lebat itu, "Anda selamat!"

"Ya, saya selamat! Tapi saya tidak bisa bilang demikian untuk yang lain. Maaf! Saya turut berduka pula untuk bawahan Anda, Kapten. Letnan Asnan tewas dalam tugas. Ia meninggal sebagai pahlawan, sebagaimana kawan-kawan kita yang lain," ujar Warok Mardi sembari menunjuk ke arah jasad Letnan Asnan yang ia baringkan di atas sebuah batu besar.

"Oh jangan! Jangan! Jangan!" Pusaka mendekati jasad itu dengan panik, sedikit berharap bahwa ini semua hanya mimpi atau Letnan Asnan masih bisa ditolong tapi harapannya langsung sirna ketika melihat luka sayat melintang di leher bawahannya. Luka yang fatal dan mustahil bagi bawahannya itu untuk tetap hidup setelah mendapat luka itu.

Lalu Pusaka kembali teringat pada Pasekan dan Tantri, "Ke mana Bli Pasekan dan Mbok Tantri?"

Warok Mardi menundukkan kepala, tak berkata apapun juga, tapi itu saja sudah menjawab apa yang ditanyakan Pusaka barusan.

"Ayo Kapten, kita sebaiknya turun gunung dulu. Kita harus mencari bantuan. Alat komunikasi kita rusak dan tak ada yang bisa dipakai."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top