BAB 3.3 : MIRAH RAYEK

Todak, makhluk ganjil berbentuk ikan bertanduk pedang yang datang kemari mendahului Mirah Rayek, adalah makhluk yang memuakkan di mata wanita itu. Kulit mereka keras berlendir licin dan rupa mereka pun tidak menarik. Dengan mata bulat hitam yang memancarkan aura buas serta gigi-geligi tajam di bawah tanduk pedang mereka semakin membuat Todak bukanlah makhluk yang dengan senang hati didekati oleh sembarang orang, termasuk Mirah Rayek.

Tapi perintah dari Purusa bukanlah perintah yang bisa ia bantah begitu saja. Karena campur tangan Purusa-lah maka ia dapat kembali mendapat kesempatan kedua di masa ini setelah sebelumnya hidupnya berakhir dengan sia-sia dan penuh ironi.

"Tidak akan ada kesempatan ketiga!" begitu tadi Purusa itu memperingatkannya sebelum ia berangkat ke arah yang Purusa itu tunjuk.

Sosok Mirah Rayek kini berubah menjadi sosok wanita berkulit coklat kasar bak kulit pohon berselimutkan selendang hitam yang meliliti seluruh tubuhnya. Ketika selendang itu ia kibaskan melayanglah sosok wanita itu ke angkasa, melintasi jalanan yang sudah mulai gelap dan diterangi lampu-lampu kota ke arah Sungai Karasik.

Area seputaran sungai yang ia tuju itu tampak tengah ditutup. Ia merasakan adanya seekor Todak yang terkepung dari segala penjuru oleh kehadiran manusia-manusia bersenapan mesin. Tapi masalah utama yang dihadapi Si Todak adalah kehadiran dua anak muda berzirah putih dan biru yang ditunggangi oleh keberadaan lain yang Purusa tadi lazim sebut Usana.

Mirah Rayek mengibaskan dua ujung selendang hitamnya dan dalam sekejap saja semua senapan mesin yang ada di sana terlontar ke udara. Para prajurit yang tadinya sudah bersiap menembak langsung terbelalak dan tidak siap ketika si Todak yang tengah mereka kepung tiba-tiba melompat dan menusuk salah satu teman mereka.

Ignas dan Regina langsung bereaksi dengan mencabut pistol laser mereka dan menembaki Todak itu namun mereka juga tidak siap ketika Mirah Rayek tiba-tiba turun dan membelitkan selendangnya ke arah senjata kedua Lokapala itu lalu menariknya ke arah dirinya sendiri.

"Hei!" Regina dan Ignas kaget begitu senjata mereka terlepas begitu saja dari genggaman mereka. Lebih kaget lagi ketika tiba-tiba saja mereka sudah dihujani tembakan sinar laser yang sedikit banyak merusak zirah mereka karena mereka tadi sengaja menyetel lasernya ke mode laser intensitas tinggi.

"Berlindung!" Regina menyerukan perintah kepada para prajurit yang juga dihujani sinar laser sekaligus memberi isyarat pada Ignas untuk berlindung di belakangnya. Salawaku ia aktifkan, membuat selubung energi biru transparan yang menyelimuti dirinya dan Ignas. Namun selubung energi itu belum cukup kuat benar untuk menahan gempuran sinar laser intensitas tinggi. Baru menahan tiga tembakan, selubung itu hancur dan sekali lagi sinar laser intensitas tinggi menghantam zirah Regina. Regina terdorong ke belakang. Ignas berinisiatif nekat menyerang namun juga terhantam oleh sinar laser dari senjata mereka sendiri. Ketika energi dalam senjata itu habis barulah serangan itu berhenti.

Dan sosok Mirah Rayek telah menghilang. Meninggalkan Ignas dan Regina yang terkapar di pinggir sungai dengan sensor visor mereka menunjukkan tanda-tanda kondisi kritis.

*****

Semua itu terjadi begitu cepat. Oka yang langsung bereaksi dengan memanggil Sitanggang turun saja jadi merasa tidak berguna. Sitanggang sendiri merasa amat bersalah karena kurang cepat datang ke lokasi dan Panji juga merasa bersalah karena harusnya malam itu mereka patroli bertiga namun gara-gara kehilangan arloji maka ia tidak bisa ikut patroli. Tapi Pusaka segera menegaskan bahwa itu semua bukan salah siapapun. "Semua itu bukan salah-siapa-siapa. Itu kecelakaan yang bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Setidaknya mereka masih hidup, hanya luka berat," begitu Pusaka berkata kepada Panji dan Sitanggang pada briefing malam itu.

Tapi dengan tidak aktifnya Regina serta Ignas, maka Sitanggang dan Panji diwajibkan utnuk patroli terus tiap malam selama seminggu penuh. Sesuatu yang mereka rasa agak berat untuk dilaksanakan. Panji dan Sitanggang langsung berjalan ke arah lift dengan enggan sembari diikuti Oka dari belakang.

Sementara itu di kamar kondominiumnya sendiri Mirah Rayek, yang telah kembali mewujud sebagai wanita paruh baya berpenampilan elegan tampak kembali sibuk memandangi aneka perhiasan yang terpajang rapi di lemari kamarnya. Ada yang berupa kalung, cincin, gelang dalam aneka motif dan rupa. Melihat-lihat itu semua membangkitkan kembali ingatannya tentang kehidupannya di masa lalu.

Dahulu kala di suatu daerah di Tanah Gayo, daerah yang sekarang dikenal sebagai Aceh Tengah, hidup seorang janda dari seorang Datu (penguasa wilayah) yang telah dilupakan namanya. Janda itu memiliki beberapa anak dan banyak cucu. Salah satu anaknya adalah Muyang Mersa. Muyang Mersa memiliki 7 anak dan yang bungsu Merah Mege namanya. Mirah Rayek, nama janda itu, sangat suka dengan barang-barang bagus dari daerah-daerah seberang yang dibawa oleh para pedagang masuk Gayo.

Tapi sekalipun janda seorang Datu, hidup Mirah Rayek pun sudah tentu tidak bisa semewah seorang istri Sultan. Jumlah barang bagus yang ia beli pun terbatas, membuat janda ini semakin merasa tidak puas dengan kehidupannya.

Dan di tengah-tengah ketidakpuasan itu sebuah niat jahat sering menghampirinya. "Mencurilah! Takkan ada yang akan menghukummu karena anakmu Muyang Mersa adalah seorang Datu! Menuduh ibu seorang Datu mencuri adalah penghinaan besar! Takkan ada yang berani macam-macam denganmu."

Maka semenjak itu setiap kali ada pedagang masuk ke daerahnya, Mirah Rayek selalu memanggil mereka semua, mengajak mereka masuk ke dalam, menyuguhkan makan dan minum sambil melihat-lihat barang dagangan mereka sambil mengambil satu atau dua barang kecil atau menukar barang-barang mereka dengan barang serupa miliknya yang kualitasnya lebih rendah. Ia menukar piring Cina milik seorang pedagang dengan piring Cina yang mirip namun sudah pecah, ia menukar tongkat penuh perhiasan seorang pedagang dengan tongkat serupa yang batu permatanya sudah copot di sana-sini. Para pedagang itu tahu bahwa mereka tengah dikerjai namun menuduh ibu seorang Datu sebagai pencuri akan membawa masalah besar bagi mereka, andaikan mereka memilih untuk menghindar dari rumah Mirah Rayek pun tak mungkin. Sebab rumah janda itu letaknya tak jauh dari pintu masuk desa.

Bertahun-tahun melakukan hal itu, kebiasaan mencuri Mirah Rayek sudah mendarah-daging. Ia semakin lihai mencari tukang terampil untuk membuat barang tiruan dan menukarnya dengan kecepatan yang menakjubkan sehingga tidak ada korbannya yang sadar bahwa barangnya telah ditukar oleh Mirah Rayek.

Kemudian tibalah saat naas itu. Sang cucu bungsu dari Muyang Mersa, Merah Mege, suatu kali datang dari hutan membawa sebuah piring keramik besar. Anak lelaki yang masih polos itu menceritakan pada neneknya bahwa yang ia bawa ini adalah piring ajaib. Digoyang dan didiamkan sebentar maka aneka makanan lezat akan tersaji di atas piring itu. Kata-kata bocah itu segera terbukti. Aneka makanan lezat langsung tersaji di atas piring ajaib itu begitu hal tersebut dilakukan.

Mirah Rayek sudah lupa pada aturan jangan mencuri milik darah-daging sendiri. Timbul keinginannya untuk memiliki piring itu. Maka disuruhnya cucunya itu bermain-main di pekarangan rumahnya yang luas selagi ia mengganti piring ajaib itu dengan piring keramik yang tak kalah indah namun tak bertuah apapun jua.

Puas bermain, Merah Mege pun mengambil piringnya itu lalu pamit pulang pada neneknya.

Hari-hari berlalu, Merah Mege kembali bertamu ke rumah neneknya. Kali ini dengan membawa seekor ayam jago. Di rumah neneknya, Merah Mege kembali bercerita tentang piring ajaibnya yang tiba-tiba tidak berfungsi. Namun pohon sakti di hutan tempat ia menyuguhkan kue apam telah menggantinya dengan seekor ayam ajaib. Tahi ayam itu bukan tahi berbau busuk sebagaimana lazimnya ayam namun tahinya adalah butiran-butiran emas murni. Kembali muncul niat Mirah Rayek untuk mengambil ayam sakti itu. Maka disuruhnya Merah Mege kembali bermain-main di halaman dan sekali lagi ia menukar barang milik cucunya itu dengan benda biasa. Ayam jago biasa yang bisanya cuma bertahi busuk bukan emas.

Petangnya Merah Mege kembali pamit pulang dengan membawa ayam yang telah ditukar Mirah Rayek. Sesudah cucunya pulang berjalanlah Mirah Rayek ke halaman belakang dan memunguti kotoran-kotoran emas dari si ayam sakti. Diraupnya butiran-butiran emas itu dengan wajah sumringah dan penuh kepuasan. Benaknya dipenuhi dengan keinginan untuk membeli aneka barang-barang indah bahkan jika ia cukup sabar ia bisa saja mengumpulkan cukup emas untuk pergi ke kota untuk berbelanja di sana.

Esok siangnya Merah Mege kembali datang kepada Mirah Rayek. Seperti biasa Mirah Rayek menyambut cucunya sambil mengamati bahwa kini cucunya membawa sebuah tombak yang gagangnya indah berukir dan bilah besinya hitam berkilau. Mahal pasti jika tombak itu dijual. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan sikap Merah Mege hari itu. Ia tidak lagi menceritakan soal barang yang ia bawa dan langsung pamit bermain ke halaman dengan nada ketus. Tapi Mirah Rayek tak peduli. Langsung saja ia pergi ke kamarnya dan mengambil tombak yang serupa dengan tombak kepunyaan Merah Mege.

Namun belum sempat tombak itu ia tukar, tombak milik Merah Mege itu tiba-tiba bergerak sendiri dan sebelum Mirah Rayek sadar, dadanya telah tertembus bilah tombak Merah Mege. Segera saja nenek tua itu tersungkur di lantai tanpa sempat menjerit apalagi minta tolong. Begitu Merah Mege puas bermain dan masuk kembali ke dalam rumah. Ia mendapati neneknya telah berwujud jasad yang berlumuran darah. Tahulah dia bahwa selama ini neneknya sendirilah yang telah mengambil benda-benda ajaib miliknya.

******

Abad demi abad telah berlalu. Tiba-tiba saja Mirah Rayek kembali terbangun, di sebuah tempat yang asing dan nyaris tanpa cahaya kecuali cahaya kemerahan redup. Tempat ini juga terasa lembap dan berair. Namun yang paling ia herankan adalah wujudnya yang kini berkulit kasar seperti kulit pohon dan dia dihadapkan pada sosok-sosok asing bertopeng tanduk yang tingginya lebih tinggi daripada pria paling besar di desanya sekalipun. Mereka berdua menyatakan diri sebagai Purusa. Mereka menjanjikan Mirah Rayek akan mendapatkan semua yang ia inginkan asalkan Mirah Rayek mau membantu mereka menemukan 'sesuatu'.

******

Sesuatu itu adalah sebuah senjata. Kedua Purusa dari dimensi seberang itu tahu bahwa seseorang dari sekian banyak manusia telah membuat sebuah senjata yang mampu mengusir keberadaan mereka dari dunia manusia, setidaknya untuk sementara waktu. Di Sinabung dan Sibayak, tiang merah yang mereka buat telah dihancurkan oleh senjata itu. Di Maupora pun hal serupa terjadi. Hanya di sini mereka berdua masih berhasil mempertahankan keberadaan tiang merah meski butuh tenaga dan usaha ekstra bagi mereka berdua untuk melakukan hal ini.

Sampai saat ini mereka berdua belum tahu seperti apa senjata itu dan di mana lokasinya. Namun Todak yang diselamatkan Mirah Rayek kemarin memberi mereka sebuah info penting.

"Mereka simpan senjata itu di bawah tanah, di tengah kota, Wasana!" kata seorang Purusa.

"Aku akan utus Mirah Rayek ke sana. Ia bisa memasuki tempat penyimpanan senjata itu tanpa dicurigai."

"Dan setelah itu?"

"Kita masih harus menunggu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top