BAB 3.2 : PENCURI

Markas Unit V, Tanjung Paser, 08.00 WIB

Esok paginya ketika Pusaka memasuki kantor Unit Lima, ia mendapati bahwa sejumlah staf dan prajurit yang bertugas di sana tampak uring-uringan. Profesor Denny juga tak terkecuali. Wajahnya memerah dan matanya melotot menahan amarah. "Tidak becus semua! Brengsek semua!" omel Sang Profesor sebelum berbalik melotot ke arah Kapten Pusaka. "Kep! Kuharap kau masih simpan chip yang kutitipkan pada Anda tempo hari."

Pusaka memang masih menyimpannya. Ia segera mengeluarkan chip tersebut dan menyerahkannya pada Denny. Denny langsung memasukkan chip itu pada ponselnya dan menampilkan data-data holografik tentang kondisi geografis Tanjung Paser dan sekitarnya. Ia kemudian beralih kepada sekumpulan staf yang tampak antri di depan ruang operasional, "Dengar! Saya beri toleransi pada Anda semua untuk mendapatkan kembali chip-chip itu sampai malam ini pukul 20.00 WITA. Jika ada yang gagal mengembalikan chip-chip itu sampai batas waktu, maka ucapkan selamat tinggal pada gaji Anda bulan ini!"

Muka para staf langsung pias. Tidak dapat gaji sebulan akan jadi masalah klasik bagi mereka. Kebutuhan hidup takkan tercukupi dan mereka pasti terpaksa pinjam duit ke koperasi atau bank. Itu artinya gaji bulan depan juga tak bakal mereka nikmati secara utuh karena harus dipotong cicilan pada koperasi atau bank. Itu saja yang gajinya masih utuh, mereka yang sudah terlanjur punya hutang di koperasi atau bank sebelumnya akan tambah pusing lagi.

"Ada apa ini Prof?" tanya Pusaka pada Denny yang masih tampak uring-uringan.

"Kehilangan dompet dan tas berjamaah," kata Samad yang ada di dekat Denny, "dan celakanya Kep, chip berisi data-data penelitian atau data operasi Unit Lima milik mereka masing-masing ada di dalam dompet atau tas mereka yang hilang itu."

Pusaka tahu artinya itu. Kehilangan satu chip saja sudah memungkinkan terjadinya kebocoran informasi rahasia dari Unit Lima, apalagi jika chip yang hilang jumlahnya puluhan seperti ini. Nyamuk pers atau lebih buruk lagi musuh negara bisa memanfaatkan info yang ada dalam chip itu untuk tujuan tidak baik.

"Sepertinya habis ini yang akan terjadi bukan hanya kehilangan dompet berjamaah, Dok. Mungkin akan ada potong gaji berjamaah," ujar Pusaka.

******

Tanjung Paser, 15.00 WITA

Di sudut lain kota Tanjung Paser, tampak seorang wanita paruh baya berbalut blazer ungu tua berbelanja di sebuah butik mahal di kota itu. Wanita itu tampak tidak lama-lama dalam memilih baju. Dengan segera ia menyambar sebuah baju gaun panjang berhiaskan manik-manik di seluruh permukaan kainnya. Ia juga segera saja menyambar aneka jam mahal keluaran Alexandre Christie lalu dengan percaya diri melangkah ke kasir.

"Semuanya 4 juta rupiah, Bu," kata kasir itu.

Wanita itu tanpa ragu mengeluarkan uang tunai sejumlah 4 juta dan langsung keluar dari toko itu menenteng aneka belanjaan tersebut. Ia cegat sebuah taksi dan disuruhnya sang sopir mengemudi menuju sebuah kompleks kondominium kelas atas di sisi barat Tanjung Paser.

Wanita itu turun dari taksi dan melangkah masuk ke dalam kondominium dengan penuh percaya diri. Ia berjalan menuju elevator dan menekan tombol elevator tersebut menuju lantai 10 tempat ia tinggal. Sesampainya di lantai 10 ia berjalan santai menuju sebuah kamar bernomor 112 dan memasukkan kartu kuncinya hingga pintu kamarnya terbuka. Kamar itu sendiri terdiri dari sebuah dapur dan dua kamar tidur. Wanita itu berjalan ke arah salah satu akar tidur yang di dalamnya dipenuhi aneka barang mulai dari sepatu, tas, jam tangan, pakaian-pakaian mahal hingga perhiasan-perhiasan emas. Wanita itu tampak memandangi seluruh benda di dalam kamar itu dengan perasaan puas.

Namun senyum puas wanita itu tak bertahan lama. Sosok seorang berjubah hitam dan bertopeng dua tanduk tampak sudah berdiri di sudut kamar tersebut. Meski memakai topeng namun jelas sekali wajah di balik topeng itu menyorotkan tatapan tidak suka kepada sang wanita paruh baya.

"Mirah Rayek," kata sosok misterius tersebut, "Gata h'an tuwoe lon ngon gata na janji ?" (Mirah Rayek, engkau tidak lupa kan bahwa sayadan kamu ada perjanjian?)

"Nah, ulon h'an tuwoe, Po Purusa ," jawab wanita yang bernama Mirah Rayek itu, "Tapi seperti Gata Po Purusa beri mandat pada ulon , Po minta ulon cari keberadaan beunda itu dalam satu bulan. Ulon baru ada di sini empat hari. Haraplah Po sabar." (Nah, saya tidak lupa Tuan Purusa. Tapi sebagaimana mandat Tuan pada saya, yang mana benda itu harus ketemu dalam sebulan, saya di sini baru empat hari. Jadi  Tuan harap sabar)

"Lon bingong. Gata nyanggo biasa hireuen ngon beunda macam gini. Lon ingen gata jeuet buet dilee dudoe meuseunang. " (Saya ragu. Engkau biasanya mudah terpukau dengan benda-benda bagus macam ini. Saya ingin engkau fokus bekerja dahulu baru bersenang-senang kemudian.)

"Ulon akan lakukan perintah Po Purusa."

"Nah, lon preh ase gata. " (Nah, saya tunggu hasil kerjamu)

*****

Sosok bertopeng itu pun kemudian lenyap. Mirah Rayek menghela nafas panjang sejenak sebelum akhirnya meletakkan tas-tas belanjaannya di atas sebuah tempat tidur lalu berjalan keluar kamar dan turun kembali ke lantai dasar kondominium. Ia melempar senyum ke arah resepsionis dan petugas keamanan yang ada di lantai dasar sebelum akhirnya berjalan menjauh dari area kondominium ke arah timur.

Di sana ada sebuah bangunan yang sudah tak terpakai, sempat terbakar beberapa bulan yang lalu dan sekarang dibiarkan teronggok kosong. Mirah Rayek memasuki bangunan itu dan selang beberapa saat seorang nenek peminta-minta yang membawa buntalan kain hijau kumal muncul dari dalam bangunan itu.

Si nenek peminta-minta itu kembali menyusuri jalanan Tanjung Paser dengan langkah pelan dan tertatih. Langkah kakinya akhirnya membawanya semakin ke timur, ke tempat Akademi Kumala Santika berada.

Hari sudah sore dan akademi tampak sudah sepi. Hanya ada beberapa anak dari klub sepakbola yang tampak berlatih di lapangan depan. Panji adalah satu di antaranya. Remaja itu tampak sedang menggiring bola melalui kerucut halang rintang yang dipasang oleh pelatihnya. Si Nenek Peminta-minta tampak memandangi Panji secara intens, terus-menerus, hingga tak terasa sudah dua puluh menit berlalu.

Panji yang sedari tadi dipandangi akhirnya merasa juga jika dirinya diperhatikan sedari tadi. Remaja itu menoleh ke arah si nenek peminta-minta. Rasa iba menggelitik hatinya dan tanpa pikir panjang ia memberi selembar uang lima ribuan pada si nenek peminta-minta.

"Terima kasih ya, Nak. Semoga kamu jadi orang sukses, lancar rejekinya, lancar sekolahnya," kalimat standar para peminta-minta yang baru saja diberi uang langsung meluncur deras dari mulut Si Nenek.

Panji hanya menjawab, "Amin!" atas doa-doa Si Nenek sebelum akhirnya kembali ke tengah lapangan untuk mendengar pengarahan pelatih.

Nenek Peminta-minta itu sendiri kemudian berjalan tertatih ke bawah sebuah jalan fly over. Di sana ia menurunkan buntalannya dan membuka isi buntalan tersebut. Di sana tampaklah sebuah arloji berlogo dua gada, sejumlah uang tunai dan sejumlah kartu kredit serta kartu atm. Ia mengulurkan tangannya ke arah arloji berlogo dua gada tersebut. Dipandanginya benda itu selama beberapa saat sebelum ia masukkan benda itu ke sakunya dan membungkus kembali benda-benda yang lain dengan kain kumalnya kemudian beranjak pergi.

******

Tanjung Paser, 19.00 WITA

Regina baru saja turun dari kamarnya untuk menemui teman-temannya di asrama cowok ketika ia mendapati hanya ada Ignas saja di sana.

"Mana yang lain? Kenapa ale sendiri saja?" tanya Regina. (ale = kamu < dialek Ambon>)

"Arloji Panji hilang. Dorang tiga sibuk cari arloji itu sedari sore. Ngomong-ngomong kapan 'dia' datang?" (dorang = mereka <dialek Papua>)

"Beta tak tahu. Mungkin lusa."

"Ko sudah dengar perintah terbaru dari Kapten kah?"

"Apa?"

"Kitorang diminta cek sungai. Ada Todak katanya di sungai," ujar Ignas sambil menunjukkan pesan di arlojinya.

"Sekarang?"

"Ya. Kitorang dua saja."

Kedua remaja Indonesia Timur itu beranjak bangkit dari meja kantin dan berjalan menuju lift. Di sana mereka memindai arloji mereka dan turun ke basement di mana zirah mereka tersimpan. Ada Oka di ruang basement.

"Yo, mau pergi cek sungai?" tanya Oka.

"Ya. Di mana Todak tadi terakhir dilihat?" tanya Regina.

"Arloji Panji punya sudah ketemu?" tanya Ignas.

"Belum," Oka menggeleng, "Nanti akan kusuruh Sitanggang menyusul kalau perlu. Kalian pergi duluan saja."

******

Di waktu yang sama Mirah Rayek tengah memandangi arloji yang ia dapatkan dari aksi meminta-mintanya tadi. Disentuhnya setiap sisi benda itu sambil memejamkan mata. Dicobanya merasakan dari mana benda ini berasal dan apakah benda ini adalah benda yang akan menuntunnya ke arah misinya. Namun belum sempat hal itu sukses dilakukannya sebuah gangguan ia rasakan.

"Mirah Rayek," kembali Sang Purusa muncul di hadapannya, "Jauhkan mereka dari para Todak!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top