BAB 2 : RATU ADIL
"Pasekan minta kita melakukan operasi penyergapan besok lusa? Secepat ini?" atasan Pusaka keheranan ketika mendengar Pusaka langsung melaporkan permintaan Dakara sekembalinya dari Pemuteran.
"Ya Mayor! Tadi beliau berkata demikian. Ada sesuatu yang perlu kita tangani secepat mungkin."
Kalau memang Dakara memang membutuhkan demikian, besok lusa siapkan pasukanmu Pusaka. Kalian wajib liburan akhir pekan di tempat Pasekan!"
******
Akhir pekan akhirnya tiba. Pusaka dan para anak buahnya akhirnya benar-benar datang ke penginapan milik Pasekan. Rencana awal mereka adalah menghabiskan malam itu dengan pura-pura menonton penampilan para anggota banjar seeka. Segalanya tampak lancar dan baik-baik saja, apalagi mereka sudah sempat tidur siang dan malamnya mereka habiskan sambil minum beberapa cangkir kopi.
Namun menjelang tengah malam, rasa kantuk hebat mulai menyerang Pusaka dan rekan-rekannya. Mulanya hanya seorang yang menguap, namun kemudian yang terjadi berikutnya adalah satu per satu anggotanya rubuh tertidur. Pusaka langsung menuang kopi dari teko ke dalam gelas besar lalu minum banyak-banyak guna melawan rasa kantuk yang semakin tak tertahankan itu. Bahunya kemudian ditepuk oleh Pasekan yang memberinya sebuah gelang berwarna coklat yang dibuat dari rangkaian biji genitri coklat yang langsung Pusaka pakai.
Pasekan juga memberikan gelang serupa kepada beberapa anggota Pusaka yang masih terjaga dan perlahan rasa kantuk yang menyiksa itu pun lenyap. Pusaka dan para anggota yang lain langsung mengambil sikap awas terhadap lingkungan sekitarnya.
"Tarik senjata kalian, Gus, dan kalau ada monyet atau binatang apapun yang menyerbu masuk sini, tembak saja!" ujar Pasekan.
Pusaka dan anak buahnya yang masih sadar lantas menarik pistol mereka yang sedari tadi telah ditempelkan Pasekan di bawah meja makan. Tak berapa lama kemudian tampak segerombolan monyet hitam besar seukuran orang utan datang menyerbu penginapan itu. Sejenak kemudian para anggota banjar seeka Pasekan turut berubah rupa menjadi binatang buas macam harimau dan burung elang. Dengan diiringi letusan-letusan senjata, gerombolan monyet lawan gerombolan hewan buas jelmaan anak buah Pasekan itu pun saling gigit, cakar, dorong, hantam, dan cekik. Beberapa monyet yang terkena peluru langsung rubuh dan mengerang-ngerang sebelum akhirnya berhenti bernafas.
Di tengah segala kekacauan itu, Pasekan tampak berdiri seolah tak terganggu dengan segala keriuhan itu. Ia hanya berdiri tegak sambil sesekali mencengkeram dan melempar monyet-monyet aneh itu ke berbagai arah apabila monyet-monyet itu berada dalam jangkauan tangannya.
Ketika jumlah monyet yang menyerbu sudah agak berkurang, Pasekan memposisikan kedua tangannya dalam posisi yang tak lazim, jari telunjuk kanan ia pertemukan dengan ibu jari kanan dan diposisikan di depan dada.
"Matur Suksma Majeng Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Ida Bhatara Siwa, Ida Bhatari Durga, Bhatara Leluhur ...," hanya itu kalimat yang bisa Pusaka dengar dari mulut Pasekan sesaat sebelum wujudnya berubah menjadi sosok yang dia kira hanya legenda.
Banaspati Raja, atau yang Pusaka kenali sebagai orang luar Bali dengan nama Barong Ket. Pasekan merubah dirinya menjadi sosok yang sama sekali lain daripada anak-anak buahnya. Dengan satu liukan dari Banaspati Raja itu, sebuah gelombang kejut keluar dari tubuhnya dan menimbulkan angin kencang yang menghempaskan pasukan monyet tersebut. Sejenak kemudian keluarlah sesosok garuda emas seukuran sapi dewasa dari arah datangnya pasukan monyet tersebut dan langsung saja garuda emas itu menyerang Banaspati Raja jelmaan Pasekan. Dua makhluk itupun bertabrakan dan kemudian yang terjadi adalah suatu letusan cahaya.
Banaspati Raja jelmaan Pasekan turun ke bumi dan kembali menjadi sosok Pasekan, dengan kemeja putihnya yang sudah robek dan sedikit ternoda darah sementara si garuda emas jatuh berdebum di bumi dan berubah wujud menjadi sesosok pria empat puluh tahunan yang tampaknya sudah sekarat.
Pasekan menghampiri sosok jelmaan garuda emas itu dan pria yang telah menderita luka koyak di dada dan perutnya itupun berkata dengan terbata-bata, "Kalau ... Ratu Adil datang ... kalian habis!"
Lalu sinar kehidupan sirna dari mata pria itu dan Pasekan langsung berinisiatif menutup mata lawan tandingnya barusan, "Dumogi Amor Ring Acintya – Semoga jiwanya bersatu dengan Keberadaan Yang Maha Tinggi."
Adapun sosok-sosok monyet yang tersisa akhirnya berhasil dibekuk oleh perangkap jaring yang tadi tidak sempat diaktifkan Pusaka karena perhatian mereka teralihkan oleh rasa kantuk dan keterkejutan akibat serbuan monyet berjumlah besar itu.
Monyet-monyet yang berhasil dibunuh oleh tim Pusaka dan Pasekan bergelimpangan di pelataran penginapan. Sosok bangkai-bangkai itu perlahan berubah menjadi mayat-mayat manusia dari ragam usia. Pusaka dan regu zeni yang bertugas terhenyak menyaksikan pemandangan ganjil tersebut meskipun Pasekan dan anak buahnya tampaknya sudah biasa menghadapi hal demikian.
"Ada yang bersedia menjelaskan kita barusan diserang apaan?" celetuk seorang prajurit bawahan Pusaka.
******
Esok lusa setelah peristiwa penyerangan itu, kepala Pusaka masih pening ketika memasuki kantor. Di lapangan upacara, ketika ia bertemu dengan para bawahannya yang juga turut ikut serta dalam peristiwa dua hari yang lalu, Pusaka mendapati mereka juga tampak masih sulit berkonsentrasi, barangkali karena yang mereka lihat hari itu sama sekali di luar nalar mereka.
Selepas upacara rutin, Pusaka langsung dihampiri oleh atasannya yang memintanya untuk segera mendampinginya ke Denpasar. Selaku prajurit yang baik, Pusaka pun langsung menyatakan kesiapan dan turut naik ke mobil dinas sang mayor menuju Denpasar.
Melintasi Jalan Raya Bedugul – Singaraja selama 2 setengah jam, akhirnya Pusaka dan atasannya tiba juga di Markas Besar Kodam IX – Udayana, markas distrik militer TNI-AD yang membawahi wilayah Bali dan seluruh Nusa Tenggara. Mayor atasan Pusaka langsung memasuki kantor pusat Panglima Kodam, yang mana Sang Mayor memang tampaknya sudah ditunggu, sementara Pusaka mengikutinya dari belakang.
Ketika mereka berdua akhirnya memasuki kantor Panglima berpangkat Mayor Jenderal itu, sontak Sang Panglima Kodam berwajah flamboyan itu langsung berdiri menyambut mereka.
"Ah Mayor Mansur dan Lettu Pusaka! Senang sekali akhirnya saya bisa bertemu lagi dengan perwira-perwira berbakat seperti kalian! Saya sudah dengar hasil operasi kalian tempo hari di Pemuteran! Sungguh luar biasa! Tidak saja kalian berhasil memusnahkan sebagian besar anggota kelompok gerakan separatis, kalian juga berhasil menewaskan pemimpin mereka! Ini merupakan sebuah prestasi besar!"
Sang Mayor hanya menjawab dengan membungkuk hormat kemudian berkata, "Adalah Lettu Pusaka yang memimpin penyerangan saat itu, saya sama sekali tidak berperan kala itu."
"Tapi adalah kamu Mayor, yang mengambil inisiatif untuk membantu Dakara! Itu adalah sebuah gagasan yang amat cerdas. Musuh ini terlalu kuat untuk Dakara atau TNI lawan sendiri tapi berkat Mayor Mansur yang mengajukan kerjasama antara komandan Dakara dengan batalyon di bawah pimpinan Mayor, keberhasilan ini dapat terwujud. Tentu saja saya takkan melupakan betapa besar jasa anda Lettu Pusaka! Mabes TNI juga melihat ini sebuah prestasi gemilang yang tidak layak dilewatkan begitu saja. Kalian berdua ...," Sang Panglima menunjuk kedua perwira di hadapannya, "saya rekomendasikan berhak mendapat kenaikan pangkat! Surat keputusannya akan tiba di markas kalian paling lama minggu depan. Mayor Mansur, Anda akan dipindahtugaskan menjadi wakil komandan Zeni Tempur 18, langsung di bawah saya! Sementara itu Lettu Pusaka akan naik pangkat menjadi kapten!"
"Terima kasih banyak atas kepercayaan Anda, Mayjen Iskandar!" ujar Sang Mayor sambil kembali membungkuk.
"Sekarang kalau Mayor Mansur tidak keberatan, Komandan Zeni Tempur 18 katanya ingin bertemu Mayor di ruangannya. Kapten Pusaka boleh tetap di sini menemani saya kan?"
"Baik Mayjen Iskandar, saya mohon diri dahulu," Sang Mayor pun keluar ruangan sembari menepuk ringan bahu Pusaka sebagai tanda salam 'semoga berhasil'.
Sang Mayjen pun kemudian duduk di kursi penjalin, dan turut mempersilakan Pusaka duduk di salah satu kursi yang kosong.
===
Kursi penjalin = kursi rotan
===
"Bagaimana Dik Pusaka? Sudah bisa menyesuaikan diri di tempat baru?" tanya Sang Mayjen ramah.
"Alhamdulillah sudah, Pak. Meski penugasan pertama terlalu mengejutkan juga bagi saya."
Mayjen Iskandar terkekeh, "Ya begitulah. Sama sekali nggak nyangka ya kalau penugasan pertama Dik Pusaka ternyata berhubungan sama perang antar leyak?"
"Saya beruntung waktu itu bekerjasama dengan Bli Pasekan. Kalau tidak, wah saya tidak tahu harus saya serahkan ke siapa istri saya nanti."
"Istri Adik cantik kok, pasti banyak yang mau ambil dia jadi istri kalau Adik meninggal," kembali Iskandar terkekeh dan kali ini Pusaka juga membalasnya dengan tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong ya Dik, saya punya permintaan nih!"
"Permintaan apa ya Pak?"
"Jadi anak saya baru lulus akademi. Masih baru gitu lah! Kebetulan bidang keahliannya sama dengan Adik, yakni Zeni. Saya sudah atur dia akan jadi bawahan adik. Saya bisa titip anak saya ya?"
"Oh tentu! Tentu Pak! Saya akan menjaga dan membina anak Bapak sebaik mungkin."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top