BAB 2.7 : AUTISME
Panji sudah membawa jip itu berkeliling tujuh blok bangunan di sektor ini namun tanda-tanda Kabil belum nampak. "Bangunan mana lagi yang 'cukup megah'?" tanya Panji yang masih menoleh kanan-kiri mencari bangunan yang kira-kira sesuai dengan deskripsi istana di mata Kabil.
"Apa bangunan itu masuk kriteria megah, Nji?" Regina menunjuk ke arah barat, ke sebuah hotel bertingkat 45 yang dibentuk menyerupai istana raja-raja Eropa dengan bentuk bangunan simetris dan dua menara di sisi kanan dan kirinya. Sebuah jam dinding raksasa terpampang di tengah bangunan hotel itu."
"Banget!" tukas Sitanggang.
"Kitorang harus ke sana!" ujar Ignas.
"Pegangan!" Panji memindah persneling ke gigi 4 dan mulai ngebut ke arah hotel tersebut.
"Hei!" Sitanggang terkejut saat melihat seorang tengah dijerat sesosok monster, "Itu kan Oka!"
"Siapa?" tanya Regina.
"Teman!" jawab Panji singkat sembari memacu jip mereka makin kencang dan menabrakkannya pada sosok Kabil yang sudah berubah menjadi makhluk ganjil itu.
Tubuh Kabil terlempar, Oka juga. Tapi setidaknya belitan rantai di tubuh Oka akhirnya lepas dan remaja itu sukses terguling-guling di lapangan rumput dan baru berhenti setelah membentur sebatang pohon cemara.
Para Lokapala sendiri turund dari jip mereka. Bemper depan jip itu itu tampak ringsek dan penyok akibat benturan tadi meski bemper jip itu sudah diperkuat dengan bahan khusus.
"Sitanggang! Tolong Oka! Regina dan Ignas, ikut saya serang Kroda itu!" Panji memberi perintah.
"Siap!" Sitanggang langsung berlari memisahkan diri dari yang lain dan berlari mendapati Oka.
"Hei! Oka! Kau tak apa-apa kan?"
"Aku nggak apa-apa," kata Oka lirih, "Kamu bantu saja yang lain," katanya sambil menunjuk ke arah Kabil.
"Yakin?" Sitanggang masih merasa khawatir melihat Oka tak kunjung berubah dari posisi tengkurapnya itu.
"Sudahlah ... serang saja Kroda itu."
Sementara itu Panji dan yang lain sudah tampak menghadang Kabil. Ignas mengambil posisi menghadang dari depan sementara Panji dan Regina dari belakang. Regina, si pengguna zirah putih, tampak mengeluarkan sebuah lempeng logam sepanjang 10 cm yang ia masukkan ke dalam sebuah slot di pergelangan tangan kirinya. Sebuah tameng kayu berbentuk kurva yang mengecil di bagian tengahnya terbentuk di tangan kiri Lokapala putih. Di bagian belakang tameng itu terdapat sebilah parang dengan gagang melengkung yang melekat pada tameng.
Regina menarik parang itu sambil berkata lirih, "Sawaluku!" dan langsung maju menyerang ke arah Kabil. Dari punggung Kabil kini keluar sulur-sulur liat berdaging tebal yang menyerang ke arah Regina. Regina langsung memposisikan tamengnya di depan tubuhnya dan tameng tersebut mengeluarkan medan energi sehingga sulur-sulur itu terpental saat mereka mencapai jarak sekitar tiga langkah dari Regina. Parang di tangan gadis itu berayun menyerang sejumlah sulur yang melintas di samping kanannya. Satu sulur berhasil ia potong sementara sulur lainnya hanya berhasil ia tebas cukup dalam.
Panji menyusul menyerang. Pedang kembar di tangannya ia lemparkan ke arah sulur-sulur tersebut. Pedangnya sukses memotong dua sulur dan membuat mulut bergigi Kabil mengeluarkan suara melengking.
Rantai-rantai kini ganti keluar dari punggungnya. Namun belum sempat rantai-rantai itu menyerang dua Lokapala yang ada di hadapannya, Lokapala biru langsung mencengkeram rantai-rantai Kabil dan menariknya kuat-kuat. Tubuh Kabil langsung tertarik mundur oleh kekuatan Lokapala biru yang di luar batas kewajaran. Lengkingan kembali keluar dari mulutnya dan bersamaan dengan berakhirnya lengkingannya, sejumlah makhluk Todak muncul dari ketiadaan lalu mulai menyerang Panji dan Regina serta berusaha menghantam Ignas.
Namun Todak yang hendak menghantam Ignas langsung dihalangi oleh tembakan laser dari pistol Sitanggang. Todak malang itu langsung jatuh tak bernyawa dengan kepala berlubang.
"Teruskan! Tolong!" kata Ignas sembari terus berusaha menarik rantai itu semakin kuat lagi. Kabil kembali melengking dan sejumlah sulur keluar lalu membelit lengan Lokapala biru.
"Ko ini monster merepotkan!" komentar Ignas ketika menyadari bahwa sulur-sulur itu tengah berusaha meremukkan zirahnya. Pegangannya pada rantai-rantai itu terlepas namun ia berhasil menyentakkan satu rantai dan menarik rantai itu keluar dari punggung Kabil. Rantai itu sukses tercabut bersama secacah daging merah dari punggung Kabil.
Kabil kembali melengking. Ia balikkan tubuhnya ke arah Ignas dan Sitanggang. Tapi kali ini lengkingannya langsung berhenti akibat tembakan sinar merah dari tongkat Tunggal Panaluan Sitanggang. Kepala monster itu tersentak ke belakang. Tubuhnya oleng dan saat tubuhnya belum sempat tegak kembali, Panji sudah menusukkan dua pedang kembarnya ke punggung Kabil dan mencabik-cabik punggungnya dengan buas. Melihat kesempatan terbuka, Ignas segera maju. Kepalan tinjunya memancarkan sinar biru redup dan sang Lokapala biru itu berkali-kali melancarkan pukulan ke dada Kabil sampai tubuh berdaging merah itu tercabik di sana-sini serta mengucurkan darah merah.
"Potong kepalanya!" tiba-tiba Oka berteriak sambil memegangi dadanya yang sakit.
Panji dan Regina yang punya senjata berbilah langsung maju menerjang. Perlawanan terakhir Kabil adalah memanggil tiga Todak yang langsung menghantam dada Panji dan membuat Lokapala hitam itu terpaksa mundur beberapa langkah. Regina sendiri sukses menangkis serangan seekor Todak dan hantaman sejumlah rantai dengan perisainya lalu mengayunkan parang Sawalukunya ke leher Kabil.
Tebasan Regina sukses membuat luka menganga di leher Kabil namun belum dapat menumbangkan Kroda itu. Sebaliknya, Kroda Kabil kini makin beringas. Ia kembali mengeluarkan suara jeritan yang mirip jeritan anak lelaki remaja dan sejumlah kurungan besi segera muncul dari riak-riak udara yang timbul di sekitar mereka.
Kurungan-kurungan besi berbentuk sangkar burung sebesar manusia itu melayang ke arah para Lokapala dengan posisi pintu kurungan terbuka. Sitanggang menghantam kurungan itu dengan tongkatnya sampai kurungan itu terjatuh dan hancur. Ignas sempat terjepit tangan kanannya karena pintu sangkar itu menutup dan menjepit tangannya saat pukulannya meleset, namun satu hantaman dari tangan kirinya berhasil menghancurkan pintu kurungan tersebut dan membuat kurungan itu penyok.
Panji melemparkan Sika Waraknya sambil berlindung di balik Regina yang sudah menyiagakan perisainya di hadapan Panji. Sika Warak kali ini sukses menghantam dan memperdalam luka tebasan yang sudah dibuat Regina tadi. Kabil mulai lunglai akibat serangan barusan. Langkahnya mulai terhuyung dan perlahan sosok ganjilnya kembali berubah menjadi sosok bocah laki-laki yang seolah polos itu. Pakaiannya kini bersimbah darah, wajahnya pucat, matanya menatap sayu pada para Lokapala sehingga Panji dan Sitanggang pun sesaat jatuh iba. Setelah itu tubuhnya rubuh ke tanah dan langsung terurai menjadi partikel-partikel berwarna kemerahan yang melayang-layang di udara.
Para Lokapala terdiam. Tatapan sayu dari Kabil barusan seolah hendak menanyakan, "Kenapa kalian tega melakukan ini padaku?"
Sitanggang yang paling syok. Ialah yang melihat masa lalu Kabil melalui seruling peninggalan Kabil. Ialah yang melihat bahwa Kabil telah mendapat perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi dari raja yang ia layani dan ia tolong. Kisahnya mengundang simpati, tapi justru ia tak bisa memberikan simpati yang layak pada bocah itu.
"Misi selesai, kerja bagus teman-teman!" terdengar Oka menepukkan telapak tangannya tiga kali untuk memecah keheningan yang terwujud di antara keempat Lokapala itu, "Sebaiknya kita kembali ke markas. Alat komunikasi sudah kembali berfungsi. Adakah yang mau melapor pada Kapten Pusaka?"
Tak ada yang menjawab. Semuanya masih terdiam. Akhirnya Oka mengambil inisiatif sendiri untuk melapor pada Kapten Pusaka melalui komunikator di arlojinya.
*****
Pagi itu, saat jam makan pagi, layar televisi menayangkan berita tentang terbunuhnya seorang sekretaris wanita di area sungai K oleh seorang anak autis yang mengalami tantrum.
"Ada alasan khusus kenapa anak yang menderita autisme tidak boleh diberi gula berlebih, terlebih pada anak-anak autis yang memiliki kecenderungan berperilaku tantrum alias mengamuk. Gula berlebih membuat anak-anak berkebutuhan khusus ini menjadi lebih aktif, tak bisa diam, dan membuat pencernaan mereka terasa tidak nyaman. Dalam kasus anak autis yang terjadi di Sungai K ini, anak ini sendiri dilaporkan mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri juga orang lain," kata seorang pakar psikologi wanita yang tengah diwawancarai di televisi tersebut. Oka mengenalinya sebagai seorang psikolog yang bekerja untuk Unit Lima.
"Tapi apakah perilaku tantrum ini bisa membawa efek separah ini, Bu Okta?" tanya sang presentar acara.
"Bisa saja. Anak-anak ini berperilaku seperti ini karena mereka kecewa dan marah, namun karena anak-anak autis rata-rata mengalami keterbatasan ekspresi terutama ekspresi verbal berupa kata-kata maka mereka 'mengajukan protes' dengan menggunakan ekspresi verbal sederhana seperti berteriak-teriak atau menangis, atau mungkin dengan ekspresi non-verbal yang agresif seperti tantrum ini tadi."
"Baiklah, ini pembahasan yang menarik Ibu, tapi kita harus selingi dulu acara ini dengan sekilas pariwara."
Oka masih menatapi teman-temannya yang tampak murung pagi itu. Ada dua wajah baru yang bergabung dengan mereka di meja ini sebenarnya. Yang satu adalah seorang pemuda Papua yang berkulit sangat gelap dan berambut kriwil dipotong pendek bernama Ignas, dan satu lagi adalah seorang pemudi dari Ambon yang berambut lurus yang diikat ekor kuda bernama Regina.
"Dia sama sekali bukan anak autis," kata Sitanggang.
"Memang bukan, dia monster," ujar Oka.
"Tapi tatapan matanya saat itu ... saat itu ... akh!" Regina menutupi matanya dengan kedua telapak tangannya, seolah hendak menghapus kenangan buruk itu.
"Menghiba memohon belas kasihan kan?" kata Oka, "Oke, saya tidak mau sok tahu pada teman-teman sekalian, tapi saya dan para Dwarapala yang mendahului teman-teman sekalian, takkan segan dan berpikir dua kali untuk menghabisi Kabil meski Kabil dalam wujud anak-anak sekalipun. Dia berbahaya, dia sudah menewaskan setidaknya empat orang dan dia takkan berhenti kalau kalian tidak menghentikannya kemarin."
Para Lokapala itu masih tertunduk lesu. Masing-masing menghela nafas panjang sementara Oka sendiri kembali menoleh ke layar televisi. "Orang-orang tak boleh tahu kebenarannya. Fakta harus disembunyikan. Orang-orang tak boleh tahu bahwa Kabil bukanlah bocah autis melainkan manusia yang entah bagaimana berevolusi menjadi Kroda, sebab jika mereka tahu akan ada kepanikan massal," batin Oka mengulangi perkataan Kapten Pusaka.
*****
Fasilitas Unit Lima, Tanjung Pasir, 10.00 WITA
Samad masih tampak mengamati sejumlah sampel di bawah mikroskop elektron bersama sejumlah bawahannya. Semua peneliti berjas laboratorium warna putih itu tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang tengah meletakkan sampel di mesin sentrifugal, ada yang tengah mencatat dan menyusun sampel ke dalam kaca obyek, ada yang tengah berkutat pada rumus-rumus kimia dan fisika di depan sebuah papan kaca dan sebagainya.
Lalu tiba-tiba masuklah Prof. Denny ke ruangan itu. Semuanya langsung menghentikan aktivitasnya kecuali Samad yang masih mengamati obyek di bawah mikroskop sambil menggoyangkan pena di atas sabak elektroniknya untuk mencatat hal-hal penting.
"Bisa biarkan saya dan Doktor Samad bicara empat mata?" tanya Denny kepada para ilmuwan yang lain.
Ilmuwan yang lain segera menghentikan pekerjaan mereka dan meninggalkan ruangan tersebut. Samad sendiri tahu bahwa Denny ada di sana, tapi ia sengaja mengabaikan mantan muridnya itu.
"Ada apa Prof? Ada sesuatu yang Anda perlukan? Penelitian kemasan pembungkus matos saya masih belum mencapai deadline-nya kan?" akhirnya Samad buka suara.
"Doktor, saya ingin Doktor bergabung kembali di tim pertama. Kalau Doktor mau, Doktor boleh menjadi wakil saya di tim pertama."
"Apa itu kamu lakukan karena kamu mengakui reputasi saya atau hanya sekedar ungkapan 'terima kasih'?"
"Apa Doktor bersedia?" Denny tak langsung menanggapi pertanyaan Samad.
"Tidak," kata Samad.
"Kenapa?"
"Kalau Anda mengangkat saya menjadi wakil Anda karena saya telah menyelamatkan nyawa Anda, itu berarti Anda melakukan yang namanya nepotisme. Tidak, saya tidak mau yang seperti itu. Anda menggantikan saya sebagai kepala tim peneliti tim pertama karena Anda dianggap para petinggi lebih layak daripada saya. Dan saya akui itu," Samad menuding ke arah Denny, "Lokapala memang luar biasa. Empat dari mereka saja bisa menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dibereskan oleh satu kompi tentara dan dua peleton Dwarapala."
"Jadi Anda menolak Dok?"
"Anggaplah saat ini kita layaknya Leonardo Da Vinci – Michaelangelo Bounaroutti[1]. Dua seniman era Rennaissance yang saling benci tapi saling mengagumi satu sama lain."
"Saya berharap kita dapat menjalin relasi seperti Edison dan Ford[2] atau James Watt dan Matheus Boulton[3]."
"Mungkin lain waktu. Anda masih beruntung Prof, karena relasi kita belum jadi separah relasi Robert Hooke dan Isaac Newton[4]."
==END OF CHAPTER 2==
[1]Da Vinci dibayar 10.000 Ducats oleh pemerintah Florence untuk melukis fresko di dinding suatu bangunan sementara untuk pekerjaan yang sama di sisi lain bangunan, Michaelangelo cuma dibayar 3.000 ducats. Selain itu Da Vinci pernah menyarankan supaya 'Patung Daud' karya Michaelangelo ditempatkan dalam ruangan alih-alih lapangan meski akhirnya Michaelangelo berhasil memaksa dewan kota untuk menempatkan patung itu di alun-alun kota. Da Vinci mengagumi 'Patung Daud' karya Michaelangelo tapi ia sempat meledek Michaelanglo bahwa pekerjaan pemahat batu adalah pekerjaan rendahan, lebih rendah dari pelukis. Michaelangelo sendiri mengagumi karya-karya Da Vinci tapi selalu menolak memuji rivalnya itu di muka umum.
[2]Thomas Alva Edison, pemegang hak paten atas penemuan bohlam lampu dan Henry Ford, pendiri Ford Motor Company adalah 'teman dekat'. Ford pernah bekerja sebagai teknisi di perusahaan Edison sebelum akhirnya bereksperimen dengan mesin berbahan bakar bensin yang kelak akan menjadi model dasar bagi mobil produksi Ford Company. Edison menyemangati Ford untuk terus mengembangkan mesinnya serta meneliti penyempurnaan aki mobil yang bisa dipakai di mobil-mobil produksi Ford sementara Ford sendiri membuatkan Edison sebuah laboratorium baru yang mirip dengan Menlo Park, laboratorium Edison yang pernah terbakar habis.
[3]Matheus Boulton adalah pemodal dan rekan bisnis James Watt. Ialah yang nekat melobi parlemen Inggris supaya hak paten Watt atas mesin uap ciptaannya tidak hangus setelah masa berlakunya habis. Ia juga yang memasarkan mesin uap pengering air pada lubang tambang rancangan James Watt kepada para pengusaha tambang di seluruh England terutama Cornwall.
[4]Robert Hooke, ketua Royal Society (kelompok ilmuwan Inggris Raya) sebelum Isaac Newton. Penemu keberadaan sel sebagai unit hidup terkecil dalam makhluk hidup namun ia dan Newton selalu bertengkar karena Hooke menanganggap semua eksperimen Newton soal cahaya (pembiasan, perbesaran, lensa, dll) mencontek konsepnya. Saat Hooke meninggal dan Newton menjadi ketua Royal Society, Newton 'balas dendam' dengan mendepak semua ilmuwan yang dekat dengan Hooke dari Royal Society.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top