BAB 2.3 : BATU RANTAI
Mata Oka masih saja berkaca-kaca pasca keluar dari bilik terminal publik. Namun arlojinya kini bergetar keras dan simbol dua gada Dwarapala muncul di sana. Oka menyentuh layar arlojinya dan mendapati wajah Doktor Samad di sana.
"Oka, janjimu?" tagih Doktor Samad.
Demi para Batara penghuni kahyangan! Oka sama sama sekali lupa dengan hukumannya yang harus membersihkan kantor Doktor Samad tiap maghrib.
"Aduh maaf, Dok! Saya lupa. Saya akan segera meluncur ke sana sekarang."
"Tidak usah, ayo kita buat perjanjian saja, yang bakal menguntungkan kita berdua," ujar Doktor Samad.
"Maksud Doktor?"
"Kau saat ini benar-benar kecapekan, tubuhmu belum pulih benar dari cedera, dan Pusaka saat itu terlalu emosi sampai-sampai menamparmu dan tidak mengindahkan kondisimu. Sudahlah, aku butuh bahan-bahan tertentu yang tidak bisa aku cari sendiri karena kesibukanku ... membuat penemuan yang punya hak paten," sekarang Samad mulai berbisik, "Aku bisa program satu android bunglon untuk gantikan tugasmu tapi kamu kemarilah dua hari dari sekarang setelah temui orang ini," Samad mengirimkan biodata seseorang ke arloji Oka.
Oka mengamati biodata orang tersebut. Orang tersebut adalah seorang pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Penajam[1].
"Aku sudah buatkan kamu janji bertemu dengannya besok pukul lima sore. Cari tahu sebanyak mungkin soal hal-hal yang kukirim padamu tapi jangan sampai Kapten Pusaka atau dua Lokapala itu tahu."
"Dok?" dahi Oka mengernyit, "Kok kita sekarang main rahasia-rahasiaan?" setahunya selama ini Doktor Samad tidak pernah main rahasia dengan dirinya maupun Kapten Pusaka.
"Karena situasinya rumit, Oka. Ini saatnya kamu belajar hal baru sebagai seorang prajurit : belajar main politik!"
******
Secara etik, Oka mungkin lebih suka menjalani hukuman sebagai petugas cleaning service selama seminggu. Tapi secara logis, ia juga tahu bahwa kondisi tubuhnya tidak memungkinkan. Dada dan perutnya sakit, jari-jemarinya mulai kram dan ia baru sadar kepalanya pusing karena sedari siang belum makan.
Tapi sebelum ia makan ke kantin ia memutuskan untuk naik sebentar, menemui Panji dan Sitanggang. "Hei! Ayo turun dan makan yuk?" ajak Oka ketika masuk kamar.
"Sebentar!" kata Panji yang tampak mengemasi sarung serta sajadah di lantai. Tampaknya ia dan Sitanggang baru saja sholat.
Oka menunggu mereka berdua selesai mengemasi barang-barang mereka dan ketika keduanya sudah selesai, Oka memandu mereka ke arah kantin.
Penjaga kantin malam ini adalah seorang wanita muda dengan rambut panjang digerai sampai batas tengah punggung. Wajahnya lebih ramah daripada mbak-mbak yang cemberut kala Oka dan Haryo makan nasi padang di kantin ini.
"Met malam Mbak," sapa Oka.
"Wah selamat malam juga Dik Oka, ini ... teman-teman baru ya?"
"Iya. Mereka siswa baru. Mulai masuk besok. Apa menu jatah hari ini, Mbak?"
"Pecel lele atau pecel ayam. Untuk lauk tambahan bisa pesan nasi goreng atau ambil bebek, patin, dan ikan gabus."
"Kalian mau ambil menurut jatah atau mau tambah?" tanya Oka pada dua teman barunya itu.
"Menurut jatah saja," kata Panji.
"Aku juga. Rekening aku masih kosong nih," kata Sitanggang.
Jadilah ketiga remaja itu sepakat makan sesuai jatah yang disediakan kantin. Oka dan Panji memilih pecel lele sementara Sitanggang memilih pecel ayam. Saat makan Oka akhirnya bertanya pelan pada Sitanggang, "Nggang? Dari mana kau tahu soal Haryo?"
Panji mendahului Sitanggang menjawab pertanyaan Oka, "Usana yang mengikat kontrak dengan Sitanggang memberinya kemampuan psikometri."
"Psiko ... apa?"
"Psikometri," kata Sitanggang, "Kalau sebuah benda meninggalkan emosi kuat dari orang yang memakainya aku akan dapat gambaran tentang masa lalu orang tersebut. Biasanya psikometriku bisa kukontrol tapi untuk kasus tadi tiba-tiba saja gambaran soal teman sekamarmu itu masuk ke benak aku."
"Hei Ka," kata Panji lagi, "kami turut berduka atas apa yang terjadi pada Haryo dan teman-teman lamamu."
"Kalian tahu ya?" Oka menyeringai getir.
"Kami dikirim kemari cuma dengan pemberitahuan bahwa Dwarapala kota ini dibubarkan, kami tidak tahu sebab kalian dibubarkan tapi setelah Sitanggang melihat gambaran masa lalu Haryo, kami sadar bahwa kami dikirim karena sebagian besar dari kalian tewas."
"Nyaris semuanya malah," Oka menggigit bibir, "Cuma aku yang tersisa."
"Kami turut prihatin," kata Sitanggang.
"Terima kasih untuk perhatian kalian, tapi bagi saya lebih penting bagi kalian untuk bekerja lebih baik daripada kami berenam. Makhluk dari seberang itu bisa saja muncul pagi, siang, atau malam hari. Mungkin kadang kita harus bolos pelajaran, mungkin kita kadang harus memulai pagi dengan terkantuk-kantuk atau malah kita harus bolos seharian untuk mengurusi makhluk itu."
"Kalau tiga yang lain sudah tiba, kami bisa berjaga bergantian, seperti yang kalian lakukan dulu," kata Sitanggang sembari memasukkan nasi berbalut sambal ke mulutnya.
*****
Tanjung Pasir, Kaltim, 05.00 WITA
Sebetulnya hari ini Oka merasa malas masuk sekolah, tapi jika dia terus bolos pasti Kapten Pusaka akan lebih marah lagi pada dirinya. Oka tidak mau dihukum lagi oleh 'ayah angkatnya' itu.
Sekolah terasa lama sekali bagi Oka hari ini dan karena ia sudah lama absen maka guru-gurunya memberi tugas pengganti ujian dan presentasi yang ia lewatkan selama sebulan untuk dikerjakan selama seminggu. Untunglah hari ini hari Jumat dan besok Sabtu sekolah libur. Yah, tidak libur sih sebenarnya, Sabtu adalah hari khusus kegiatan ekstrakurikuler dan dia sama sekali belum bisa memutuskan akan ikut ekstrakurikuler apa.
Lalu tanpa dinyana dan disangka, Panji menyodorkan selembar brosur klub sepakbola, "Oka! Ayo ikutan ini yok!"
Oka hanya menyeringai melihat brosur klub itu. Terlalu mencolok. Batinnya, lagipula ia tidak terlalu suka sepakbola.
Di sisi lain Sitanggang tampak pula mendekatinya, "Hei Lae! Ayo ikut saya gabung klub ini yok!"
Klub yang ditawarkan Sitanggang adalah klub game. Di sana anggotanya akan berlatih untuk kompetisi e-sport atau perancangan game-game sederhana berupa visual novel atau game berbasis web. Oka tidak terlalu tertarik dan menolak tawaran Sitanggang dengan halus.
Saat pelajaran berakhir, yang ada di pikiran Oka hanyalah segera keluar dari area sekolah dan menaiki monorail untuk menuju pusat kota Tanjung Pasir, di mana ada seorang ahli budaya yang hendak ia temui di sana.
Tapi di tengah perjalanannya keluar sekolah, matanya menatap sebuah ruang klub di mana hanya terdapat satu anak lelaki berkacamata tebal yang ada di sana. Klub itu sendiri bernama 'Klub Sastra'. Oka heran karena klub itu tampaknya tidak terlalu aktif berpartisipasi dengan dalam acara-acara promosi klub namun Oka tiba-tiba melihat klub itu sebagai sebuah kesempatan bagi dirinya dari kewajiban memilih klub.
Ia segera beranjak mendekat ke klub tersebut dan mengetuk pintunya. Pemuda berkacamata yang ada di dalam klub itu menoleh ke arah Oka dan menatap heran ke arah Oka.
"Apa klub ini masih menerima pendaftaran anggota baru?" tanya Oka.
"Hmm masih sih? Kamu mau gabung?" tanya pemuda berkacamata itu.
"Iya," kata Oka, "Apa saja syaratnya?"
"Cuma dua kok, suka baca dan mau buat review dari buku-buku sastra Indonesia sejak zaman awal kemerdekaan sampai saat ini. Minimal dalam setahun kamu harus baca 30 buku lalu buat review dan presentasi buku itu untuk dimuat di media promosi perpustakaan sekolah."
"Boleh ambil spesialisasi pada masa tertentu nggak, Kak?"
"Masa apa?"
"Angkatan 1960 atau 2000 begitu?"
"Boleh saja, tapi tetap saya sarankan kamu baca semua buku dari tiap masa lah. Ngomong-ngomong isi dulu datamu di sini," pemuda itu mengaktifkan layar holografik di meja sekretariat klub. Oka segera mengisi data dirinya dan setelah ia selesai melakukannya remaja itu menatap Oka dengan tatapan penuh arti.
"Orang Bali ya?"
"Iya, tapi tinggal di sini sejak setahun yang lalu," kata Oka.
"Sama dong. Kenalkan, saya Made Sudarta, dari kelas X-1."
"I Gde Putu Oka, kelas X-2."
"Aku kok nggak pernah lihat kamu ya? Padahal kita sama-sama sekolah di sini dan nama kita kan spesifik. Hehehehe."
"Saya jarang ke pura," kata Oka, di area sekolah ini memang ada sebuah pura kecil yang diperuntukkan bagi siswa-siswi yang beragama Hindu, tapi jujur saja Oka bukan anak yang terlalu taat beribadah.
"Oh gitu," Sudarta manggut-manggut, "Ya sudah Oka. Sampai ketemu minggu depan. Minggu depan kita ada pembahasan soal puisi-puisinya W.S. Rendra. Datamu mungkin bakal divalidasi oleh ketua kami besok sore."
"Oke, makasih Bli[2]."
"Ah jangan panggil tiang[3] dengan kata bli ah! Tiang juga masih kelas X sama seperti cai[4]," Sudarta tertawa.
*****
Stasiun monorail terdekat dari akademi letaknya sekitar 1 kilometer ke arah barat. Oka memilih menempuh satu kilometer itu dengan berjalan kaki meski beberapa angkutan umum sudah berseliweran di sekitarnya.
Saat tiba di stasiun, ia kembali memindai arlojinya di sebuah pemindai penjualan tiket. Menekan tombol stasiun tujuan dan sebuah tiket tanda bukti pembayaran segera masuk ke dalam arlojinya. Monorail yang hendak ia tumpangi sendiri belum tiba namun ia sabar saja menunggu, karena orang yang hendak ia temui pun sudah mengkonfirmasi bahwa ia akan tetap menunggu Oka meski Oka tiba lewat maghrib.
Kereta monorail tiba sekitar tiga menit setelah Oka menunggu. Oka langsung masuk ke dalam kereta bersama puluhan penumpang yang rata-rata adalah karyawan yang pulang dari kantor mereka.
Tiga menit kereta itu berhenti sebelum akhirnya kembali bergerak menuju stasiun-stasiun berikutnya. Oka merogoh saku tasnya dan mengaktifkan GPS pada sabak elektroniknya. Ia harus melewati 3 stasiun lagi sebelum tiba di tempat tujuannya.
Setelah lewat tiga stasiun, layar petunjuk stasiun yang terletak di pintu masuk gerbong menunjukkan tulisan 'Stasiun Universitas Penajam' disertai dengan suara AI yang mengatakan bahwa mereka telah tiba di area Universitas Penajam. Oka langsung turun dari gerbong dan berjalan turun menuruni tangga stasiun menuju sebuah kompleks bangunan yang terdiri atas bangunan-bangunan berbentuk seperti sekumpulan bambu runcing dari kaca. Kompleks Universitas Negeri Penajam, universitas negeri pertama yang didirikan di Tanjung Pasir.
Ada sebuah pod transportasi – sebuah moda transportasi jarak pendek berbentuk seperti mobil kecil dengan kapasitas maksimal dua penumpang – yang menganggur di halaman universitas, namun pod itu ternyata hanya diperuntukkan untuk mahasiswa, dosen, dan staff kampus, sehingga Oka batal menaikinya.
Oka melewati kompleks Fakultas MIPA dan Fakultas Teknologi Perikanan sebelum tiba di Fakultas Ilmu Budaya yang bangunan utamanya dibentuk mirip rumah panggung masyarakat Dayak Tidung. Oka harus menaiki sejumlah anak tangga untuk mencapai lobi utama fakultas tersebut.
Di lobi ada sebuah meja resepsionis yang tampak kosong. Namun ketika Oka mendekat ada sebuah AI virtual yang dibentuk menyerupai wanita sekretaris muncul di sana.
"Saya ada janji dengan Bapak Abas Khalid," kata Oka.
"Janji? Atas nama siapa?"
"I Gde Putu Oka."
"Oh Saudara Putu Oka sudah ditunggu Bapak Khalid di ruangan beliau di lantai dua. Silakan menggunakan elevator di sebelah kanan saya," kata AI resepsionis itu sebelum menghilang.
Karena sudah capek jalan seharian, Oka akhirnya memutuskan memakai lift untuk naik ke lantai dua. Di sana Oka langsung menuju ruang kerja dosen berpapan nama :
Abas Khalid, S.S, S.Hum, M.Hum
Bidang Peminatan : Epigrafi Dan Antropologi
Ada bel sekaligus interkom di luar ruangan itu. Oka memencet benda itu dan segera saja interkom itu mengeluarkan sinyal lampu hijau dari yang semula merah, tanda ia diperbolehkan masuk.
Oka membuka pintu dan mengucapkan salam, "Selamat sore Bapak, saya Oka yang diminta Doktor Samad kemari."
Abas sendiri adalah seorang pria berusia 30 tahunan. Ia berkumis tebal dan berkulit sawo matang namun tak berkacamata seperti kebanyakan akademisi universitas. Selera pria itu sendiri menurut Oka agak norak karena kemejanya berwarna pink sementara celananya sendiri berwarna biru dongker. Kombinasi warna kontras dan menyakitkan mata.
"Silakan duduk," sapa Abas sembari mempersilakan Oka duduk di sofa panjang ruangannya. Meskipun sofa itu panjang namun tumpukan peti-peti kayu memakan porsi ¾ tempat duduk untuk manusia itu sehingga Oka harus puas duduk di sisi sofa yang paling jauh dari kursi sofa yang diduduki Abas.
"Saya tahu kamu kemari karena apa. Doktor Samad sudah kirim pertanyaannya ke saya beberapa hari yang lalu dan saya sempat bingung kenapa Doktor Samad menolak jawabannya saya kirim ke surel beliau, ternyata sekarang Prof. Denny di Unit Lima toh?" Abas tampak geleng-geleng kepala selagi menyeduh satu teko teh dan menuangkan isinya ke sebuah cangkir lalu menyodorkannya ke Oka.
"Terima kasih Pak, kalau boleh tahu barang apa yang harus saya bawa kepada Doktor Samad?"
Abas mengeluarkan sebuah buku cetak tebal berjudul 'Kumpulan Cerita Rakyat Dari Pulau Sumatera dan Sekitarnya' lalu meletakkannya di hadapan Oka.
SERIUS?! Oka pikir ia akan ditugasi membawa dokumen cetak rahasia atau semacamnya. Tapi yang ia bawa ternyata sebuah buku dongeng untuk anak-anak. Ia merasa Doktor Samad tengah mengerjainya. Oh ya ampun! Aku datang ke universitas ternama di kota ini hanya untuk membawa pulang sebuah buku dongeng?
"Bawa ini kembali ke Doktor Samad. Juga tolong sampaikan pada Doktor Samad bahwa untuk kasus kedua saya masih butuh waktu untuk mendapatkan salinan bukunya. Kembalilah dua–tujuh hari lagi untuk mengambil pesanan kedua Doktor Samad. Ada lagi yang anda perlukan?"
"Tidak, apa hanya ini yang hendak Bapak sampaikan pada Doktor Samad?"
"Ya. Itu saja."
"Kalau begitu saya mohon diri," Oka lalu cepat-cepat meminum habis tehnya dan mohon diri pada ahli epigrafi berpenampilan norak itu.
"Hati-hati di jalan, Nak Oka. Makhluk dari seberang yang satu ini mungkin saja bisa melangkah lebih jauh dari batas Pantai Timur."
Oka menangkap nada kekhawtiran dan keseriusan dalam logat bicara Abas, namun ketika melihat buku dongeng di tangannya, ia tiba-tiba kembali merasa Samad dan Abas tengah mengerjainya dengan lelucon tidak lucu. Ah! Orang ini pasti disuruh Doktor Samad berakting serius supaya aku termakan jebakan mereka! Gerutu Oka dalam hati.
*****
Universitas Tanjung Pasir, Tanjung Pasir, Kaltim, 19.00 WITA
Hati Oka masih dongkol saat berjalan keluar menuju gerbang kampus, ketika sebuah mobil berkecepatan tinggi tiba-tiba menginjak rem mendadak dan berhenti di dekat Oka.
"HEI!" Oka yang suasana hatinya sedang buruk menghampiri mobil itu namun ketika pengemudi mobil itu keluar, Oka terpaksa menahan amarahnya.
"Sudah ketemu Abas?" tanya Samad, yang ternyata mengemudikan mobil itu.
"Sudah Dok," kata Oka, "Beliau memberi saya ini."
"Naik ke mobil!" kata Samad memberi perintah, ekspresinya tampak serius dan tidak main-main.
Oka patuh saja. Ia membuka pintu penumpang di bagian depan mobil lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi penumpang. Samad sendiri kemudian mengaktifkan mode kemudi otomatis dan memberi perintah pada AI kendaraannya, "Putar-putar Tanjung Pasir selama dua jam. Akhiri dengan masuk garasi Instalasi Lab Unit Lima."
"Perintah diterima!" jawab AI kendaraan tersebut dan mobil itupun melaju keluar dari universitas dengan kecepatan sedang.
"Mana bukunya?" tanya Samad.
Oka menyodorkan buku itu dan Samad segera menyalakan lampu baca di bagian atas kursi kemudi. Sebuah halaman tampak ditandai dengan pembatas buku dan halaman itu tampak dipenuhi catatan-catatan tulisan tangan dari peneliti bernama Abas tadi.
"Ahah! Jadi ini rupanya!" kata Samad dengan nada bicara yang serius.
"Apa yang anda cari di buku dongeng itu Dok?"
"Kamu masih ingat perkataan anak misterius yang muncul di pantai itu kan Oka?" Samad balik bertanya.
"Samar-samar," jawab Oka.
"Temasik dilanggar todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang"
Samad mengulangi kata-kata si bocah misterius di pantai itu.
"Temasik adalah sebutan lama untuk negara pulau yang sekarang kita kenal sebagai Singapura. Todak atau ikan marlin, sebenarnya aneh ditemukan di perairan Singapura tapi akan lain ceritanya kalau yang dimaksud di situ adalah makhluk dari seberang," kata Samad lagi.
"Lalu apa hubungannya dengan buku dongeng itu, Dok?"
"Kau bacalah!" Samad menyodorkan halaman yang ia buka sedari tadi kepada Oka dan di sana terpampang sebuah cerita rakyat tentang Temasik.
Tersebutlah dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal berperangai buruk. Raja ini sungguhlah kejam, sewenang-wenang, sangat tamak dan mudah iri hati. Pada satu ketika ia membunuh seorang ulama dari Pasai hanya karena sang ulama tak sengaja bertatap pandang dengan permaisurinya. Sebuah tusukan keris pada dada mengakhiri nyawa sang ulama Pasai itu.
Dan beberapa waktu setelah peristiwa itu, muncullah bencana menimpa negeri Temasik. Secara tak terduga, ratusan ribu ikan todak datang menyerang warga. Todak tak hanya menyerang mereka yang tinggal di pantai saja, tapi juga yang tinggal di daerah pedalaman. Serangan ikan berparuh panjang yang runcing lagi tajam itu telah memakan banyak korban.
Dan apakah yang dilakukan Sang Paduka Seri Maharaja menghadapi ancaman itu? Sang Paduka Seri Maharaja lantas memerintahkan agar rakyat berpagar betis untuk menghadapi serangan ikan todak. Namun, usaha itu pun tidak membuahkan hasil. Ikan-ikan todak terus mengamuk dan meningkatkan serangan hingga kian banyak rakyat yang menjadi korban. Tiap siang dan malam Sang Raja bisa mendengar rintihan dan erangan kesakitan dari para penduduk yang terluka akibat serangan todak.
Dalam keadaan bingung dan resah, Sang Raja diam-diam berencana melarikan diri. Namun ternyata todak-todak itupun juga mengincarnya. Dalam perjalanannya itu seorang ikan todak mengejar dan menyerangnya. Sang Raja menghindar namun bajunya koyak oleh serangan todak. Ia berteriak minta tolong namun tak seorang pun datang padanya. Sampai akhirnya seorang anak lelaki kecil yang pincang datang menghadap Paduka Seri Maharaja, menolong Sang Raja dan lalu dengan lantang berujar, "Percuma saja Temasik dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk Temasik ini, serangan ikan Todak tidak dapat dikalahkan."
Paduka Seri Maharaja amat murka mendengar ucapan si anak lelaki. "Engkau pikir siapa engkau ini, hei budak, hingga berani-beraninya engkau memberikan nasihat kepadaku?"
"Nama hamba Kabil, Baginda Raja. Hamba berasal dari Bintan Penaungan. Hamba sangat mengenal perilaku ikan todak itu. Serangan ikan todak tidak akan dapat dihentikan dengan betis manusia. Hanya dengan batang-batang pisang saja ikan-ikan todak itu dapat dilumpuhkan."
Paduka Seri Maharaja pada akhirnya menuruti saran Kabil itu. Ia perintahkan para panglima, prajurit, dan rakyatnya memotong batang-batang pisang dan memagari Temasik dengan batang-batang pisang.
Segenap rakyat bersatu padu menebang pohon-pohon pisang dan menjajarkannya hingga menyerupai pagar. Rakyat bekerja keras serasa tidak membiarkan waktu berlalu selain membentengi daerah mereka dengan batang-batang pisang. Negeri Tumasik kemudian laksana berubah menjadi negeri berpagar batang pisang.
Benarlah saran Kabil. Dengan pagar batang pisang yang rapat, serangan ikan-ikan todak itu berhasil ditanggulangi. Amat banyak ikan todak yang tersangkut pada batang pisang. Paruh mereka yang runcing lagi tajam menghujam ke batang-batang pisang. Mereka menjadi tak berdaya. Rakyat lantas menangkap dan memotong ikan-ikan todak. Ketika mereka mengetahui daging ikan todak ternyata lezat rasanya, rakyat pun berebut menangkap ikan-ikan todak dan memasaknya.
Rakyat bersuka cita setelah berhasil menanggulangi serangan ikan-ikan todak. Bahkan, mereka bersyukur pula pada akhirnya karena tidak perlu bersusah payah mencari lauk untuk makan karena serasa tinggal mengambil ikan-ikan todak yang tersangkut di batang-batang pisang. Dalam kesukacitaan itu sebuah pantun ikan Todak tercipta :
Temasik dilanggar todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Jika rakyat merasa suka cita dan berbahagia, tidaklah demikian dengan para pejabat dan pembesar istana Kerajaan Tumasik. Mereka sangat khawatir jika rakyat akhirnya mendukung Kabil dan mendepak Paduka Seri Maharaja dari takhta. Jika itu yang terjadi, kedudukan mereka selaku pejabat dan pembesar istana Kerajaan Tumasik pun menjadi terancam. Mereka lantas menghadap Paduka Seri Maharaja dan mengungkapkan kekhawatiran itu.
"Kekhawatiran kalian seperti itu terbersit pula di hatiku. Kita memang seharusnya menyingkirkan Kabil dari Tumasik agar pengaruhnya tidak meluas!" ujar Paduka Seri Maharaja. "Namun, kita perlu berhati-hati melaksanakannya. Kabil itu anak yang cerdas. Jika kita mengusirnya, niscaya ia akan kembali. Bisa jadi ia kemudian akan menggalang kekuatan untuk meruntuhkan kekuasaanku."
"Ampun Baginda Raja, lantas tindakan apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya salah seorang pembesar istana Kerajaan Tumasik.
Paduka Seri Maharaja sejenak merenung sebelum akhirnya memberikan perintah kejamnya, "Tangkap Kabil. Lilitkan rantai besi pada seluruh tubuhnya dan kemudian masukkan ia ke dalam kurungan baja. Tenggelamkan ia dalam laut. Dengan cara itu, maka Kabil akan menemui kematiannya dan kekhawatiran kita tidak menjadi kenyataan:"
Perintah kejam Paduka Seri Maharaja pun dilaksanakan. Para prajurit Kerajaan Tumasik menangkap Kabil. Tubuh Kabil diikat dengan rantai besi dan kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang terbuat dari baja. Kurungan itu lantas dibawa menuju perairan Pulau Segantang Lada untuk ditenggelamkan.
Sebelum ditenggelamkan, Kabil masih sempat berujar kepada Paduka Seri Maharaja, "Beginikah cara Baginda Raja membalas saran kebaikan yang hamba berikan? Bukankah serangan ganas ikan-ikan todak itu bisa ditanggulangi karena Baginda Raja menuruti saran hamba? Bukankah rakyat Tumasik terbebas dari bencana mengerikan yang diakibatkan ikan-ikan todak itu? Lantas, mengapa hamba diperlakukan begitu buruk seperti ini? Apa kesalahan hamba? Sungguh, hamba belum merasa rela hati mati muda dengan cara seperti ini!"
Paduka Seri Maharaja tidak mempedulikan ucapan Kabil. Ia tetap memerintahkan agar kurungan baja tempat mengurung Kabil itu ditenggelamkan ke dalam laut.
Kurungan baja itu tenggelam di karang Kepala Sambu. Kabil pun menemui kematiannya secara mengenaskan. Sarannya yang menghindarkan beribu-ribu rakyat Tumasik dari kematian akibat ganasnya serangan ikan-ikan todak tidak dihargai.
Bukan penghargaan atau ucapan terima kasih yang diterima anak lelaki cerdas itu, melainkan kematian!
Setelah kurungan baja berisi tubuh Kabil itu ditenggelamkan, air di sekitar tempat itu mendadak berpusar-pusar dengan keras laksana tengah meronta-ronta. Begitu kerasnya pusaran air laut itu hingga para nakhoda senantiasa menghindari kapal yang mereka nakhodai itu melintas di sekitar perairan kepulauan Sambu itu. Penduduk pun menamakan tempat ditenggelamkannya Kabil itu dengan nama Batu Rantai.[5]
"Mirip!" Oka dibuat terpana dengan kemiripan sosok Kabil dalam cerita itu dengan sosok anak misterius di pantai.
"Anak yang pakaiannya basah kuyup oleh air laut, kerangkeng, todak. Aku rasa semuanya bukan kebetulan, Oka."
"Anda harus beritahu Prof. Denny!"
"Denny tidak mau dengar karena ia tidak mengerti apa hubungan kemiripan cerita rakyat ini dengan ancaman makhluk dari seberang kali ini."
"Apa yang Doktor pikirkan?"
"Kabil dulunya manusia, tapi dibunuh oleh seorang raja kejam. Entah bagaimana caranya ia akhirnya berubah menjadi Kroda, istilah Denny untuk makhluk dari seberang, dan Todak-Todak yang kita hadapi menurutku berada dalam kendalinya."
"Jadi menurut Doktor, selama kita tidak memusnahkan Kabil maka Todak-Todak itu akan terus berdatangan?"
"PERSIS SEPERTI ITU!"
[1]Tanjung Pasir, meskipun kota fiksi, secara riil terletak di wilayah dua kabupaten yakni kabupaten Penajam Paser Utara dan kabupaten Paser di sebelah selatan kota Balikpapan.
[2]Kakak lelaki
[3]Saya
[4]Kamu
[5]Diceritakan ulang dari Legenda Batu Rantai dari 2 sumber yakni : http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1336/legenda-batu-rantai-temasik-dilanda-todak dan http://dongengceritarakyat.com/cerita-dongeng-nusantara-legenda-batu-rantai/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top