BAB 2.2 : JANJI
Tanjung Pasir, Kaltim, 17.00 WITA
Ketiga remaja itu akhirnya tiba di basement B3, fasilitas rahasia Unit Lima di bawah Akademi Kumala Santika. Oka melirik tabung penyimpanan zirah yang semula dipakai menyimpan zirah Dwarapala kini sudah digantikan dengan lima tabung baru yang masing-masing berwarna hitam, merah, kuning, putih, dan biru. Ada satu tabung penyimpanan zirah yang masih kosong di sudut ruangan dan itu adalah tabung miliknya. Tampaknya pihak Unit Lima masih berbaik hati menyediakan tempat penyimpanan zirahnya.
Oka turun dari motornya dan mulai melepas satu demi satu bagian zirahnya, tapi kedua teman barunya itu ternyata punya cara lebih ringkas dalam melepas zirah mereka. Mereka cukup menekan tombol tertentu pada zirah mereka dan segera zirah mereka terurai menjadi jutaan serpihan logam yang bergerak menuju tempat penyimpanan mereka masing-masing dan kembali mewujud sebagai zirah dalam tabung tersebut.
"Wow! Itu keren! Ringkas dan praktis!" komentar Oka.
"Haha, iya sih," jawab Panji yang masih menyaksikan Oka melepas zirahnya secara manual dan meletakkannya dalam tabung penyimpanan secara manual juga.
"Oke! Tunggu sebentar ya?" setelah lima menit melepaskan zirahnya, Oka akhirnya menampakkan bahwa di balik zirahnya ia masih mengenakan pakaian pasien rumah sakit.
"Eh Lae! Kenapa kau pakai pakaian rumah sakit begitu?" tanya Sitanggang.
"Saya tadi pagi kabur dari RS!" jawab Oka sambil menanggalkan kemejanya dan mengambil sebuah kaus abu-abu polos dari sebuah lemari pakaian yang letaknya tak jauh dari tabung penyimpanan zirahnya.
"Pasti karena kita telat datangnya ya?" tanya Panji dengan nada menyesal.
"Hei! Pesawat kita dihadang topan badai, jadi wajarlah kalau kita telat," tukas Sitanggang.
"Ah sudah, lupakan saja soal itu," kata Oka sembari masuk ke sebuah bilik ganti.
Di bilik ganti itu, Oka menurunkan celananya lalu memakai celana kain ¾ warna hitam yang juga ia ambil dari lemari pakaian tersebut, "Bagaimana rasanya aksi penerjunan pertama kalian?" tanya Oka dari balik bilik itu.
"Menyenangkan!" jawab Sitanggang.
"Mengerikan!" jawaban Panji berkebalikan dari jawaban Sitanggang, "Pilot pesawatku mungkin sedikit miring otaknya. Awan badai diterjang begitu saja! Pesawatnya ada kerusakan dan kesulitan untuk terbang rendah. Aku disuruh terjun dari ketinggian 20.000 kaki! Pakai didorong jatuh lagi!"
"Mengerikan?! Itu keren Ji!" ujar Sitanggang.
"Ente yah!" Panji tampak mulai sebal dengan kata 'keren' dari Sitanggang, "Hobi ente main game itu bikin ente nggak bisa bedakan mana aksi keren dan aksi mengancam nyawa!"
"Tapi sumpah Ji! Itu tadi keren!"
"Terjun dari ketinggian 20.000 kaki?" Oka yang sudah selesai berganti pakaian akhirnya keluar dari bilik ganti, "Itu keren! Kami saja nggak ada yang berani terjun dari ketinggian segitu! Kami cuma pernah lompat dari ketinggian 15.000 kaki!"
"Ah sudahlah! Tolong jangan dibicarakan lagi," kata Panji, "Jadi elevator ini akan bawa kita ke asrama?"
"Bukan langsung ke asrama sih," kata Oka, "Kita akan naik ke lantai dasar sekolah lalu dari situ kita baru jalan kaki ke asrama."
*****
Lift yang mereka naiki membawa tiga remaja itu ke lantai dasar akademi. Sekolah telah bubar dan lapangan sekolah sudah tampak sepi. Oka menunjuk dua bangunan bertingkat enam dengan dinding yang tersusun dominan atas kaca-kaca dan menjulang di sisi barat sekolah.
"Gedung kembar itu asrama. Yang sebelah selatan itu asrama putra, yang sebelah utara asrama putri. Kelas X tinggal di blok lantai satu dan dua, kelas XI di blok lantai tiga dan empat, dan kelas XII tinggal di lantai lima dan enam," kata Oka, "Walau pada prakteknya siswa-siswi kelas XII ada juga yang tinggal di blok lantai satu."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Panji.
"Mereka biasanya lebih suka tinggal di lantai satu karena berbagai alasan seperti jaraknya lebih dekat dengan kantin atau perpustakaan, tidak perlu naik lift, phobia ketinggian."
"Phobia ketinggian?! Yak! Kalau gitu sudah jelas, Panji akan mendaftar sebagai penghuni permanen lantai satu!" ujar Sitanggang.
"Kenapa kok situ bisa bilang begitu?" tanya Oka.
Sitanggang tersenyum nakal dan menunjukkan pesan yang ia terima di sabak elektroniknya. Isi pesannya adalah evaluasi hasil operasi mereka hari ini oleh Prof. Denny. Di dalamnya tercantum kolom masalah yang salah satu isinya : Lokapala Nomor Satu, Panji Setiawan, memiliki gejala phobia ketinggian.
"Tapi itu kan soal lain!" ujar Panji, "Itu tadi kan lompatan dari ketinggian 20.000 kaki! 20.000 kaki!"
"Aku akan lapor pada ketua asrama bahwa kamu mungkin ingin booking kamar permanen di lantai satu," kata Oka.
"Errr ... nggak usah. Nggak usah!" kata Panji, "Aku nggak takut ketinggian kok. Suwer! Itu tadi cuma shock sesaat."
*****
Saat Oka masuk ke asrama akademi, ia dapati di lantai bawah sudah berkumpul sejumlah anak lelaki yang tengah menonton televisi. Mereka tampak asyik menonton acara pertandingan bulutangkis ganda campuran antara kontingen Indonesia melawan kontingen Thailand sehingga tidak menyadari kedatangan Oka
"Halo semua, siapa yang menang?" sapa Oka.
Anak-anak remaja itu menoleh ke arah Oka dan semuanya melempar senyum. "Eh Oka! Sudah keluar dari RS ya?" tanya seorang dari mereka.
"Iya nih," kata Oka.
"Siapa mereka Ka?" tanya seorang yang lain lagi.
"Oh ini anak-anak baru. Panji dan Sitanggang. Mereka akan mulai masuk kelas besok. Untuk sementara mereka satu kamar dengan saya ya, Pak Ketua Blok?" ujar Oka pada seorang anak lelaki berambut plontos yang sama sekali tidak memalingkan muka dari jalannya pertandingan.
"Beres!" ujar si remaja rambut plontos sambil mengacungkan jempol kanannya.
Sitanggang dan Panji sendiri bersalaman serta berkenalan dengan beberapa anak remaja tersebut sebelum ikut Oka naik ke lantai dua dengan menaiki anak-anak tangga.
"Barang-barang kalian sudah dikirim ke kamar," kata Oka sembari melihat pesan di arlojinya.
"Sip!" ujar Sitanggang sembari menengok kanan-kiri, mengagumi dekorasi interior lorong asramanya yang simpel tapi elegan. Beberapa pot tanaman dari bahan keramik dipajang di sepanjang lorong. Pencahayaannya remang namun tetap memberikan kesan nyaman. Lantainya sendiri dilapisi karpet halus bermotifkan sulur yang digambar dalam garis tanpa putus.
"Motif dari mana?" tanya Sitanggang.
"Apanya?" tanya Oka.
"Karpetnya," Sitanggang menunjuk ke arah karpet.
"Oh, itu motif suku Dayak Tidung. Masyarakat pribumi Kalimantan Timur. Pola sulur yang ditarik tanpa garis putus adalah ciri khas mereka."
"Dan inilah kamar kalian," Oka membuka sebuah pintu kamar di mana dipan satu tingkat yang tadinya menjadi tempat tidurnya dan Haryo kini telah diganti dengan dipan bertingkat dua.
"Wah! Ranjang tingkat ya?" komentar Sitanggang.
"Tadinya sih ruangan ini cuma diisi dua ranjang biasa tapi berhubung ada kalian sebagai murid baru maka ranjang kamar ini ditambah. Meski begitu kita harus berbagi meja belajar dan lemari pakain nih. Soalnya meja dan lemarinya cuma dua."
"Nggak masalah! Aku bisa belajar pakai sabak elektronik dan pakai kasur untuk kerjain PR!" kata Sitanggang sembari menghambur ke arah ranjang di sebelah kanannya.
Namun saat tangannya menyentuh dipan itu, tiba-tiba sejumlah bayangan menyeruak ke dalam benaknya. Bayangan itu tampaknya adalah ingatan seseorang, penghuni kamar ini sebelum dirinya. Orang itu tampak menyimpan sebuah kotak di laci meja belajarnya kemudian menuliskan pesan pada sabak elektroniknya. Isi pesan itu salah satunya : Kepada sahabat baikku, Putu Oka, jika aku tak selamat dari misiku, aku titipkan isi kotak ini padamu!
Setelah itu bayangan itu menghilang.
"Sitanggang? Kamu kenapa?" tanya Panji yang heran ketika melihat Sitanggang bengong.
Sitanggang tidak menjawab, ia berjalan ke arah sebuah meja belajar dan menarik lacinya. Laci itu sendiri berisi sejumlah barang pribadi seperti pembaca buku virtual, sabak elektronik, dan akhirnya sebuah kotak berdimensi 10 x 20 x 7 cm yang terbuat dari kayu.
Oka tertegun melihat kotak itu namun belum sempat ia mengatasi ketertegunannya, Sitanggang langsung menyodorkan kotak itu kepada Oka, "Penghuni kamar ini sebelumnya, sepertinya punya urusan dengan isi kotak ini."
Sekarang Oka teringat pada permintaan terakhir Haryo. "Kalau aku nanti tidak selamat, tolong tabunganku kau kirimkan ke Panti Asuhan NF."
Oka membuka kotak itu dan di sana ia dapati sebuah buku tabungan dengan saldo 20 juta rupiah serta sejumlah kertas berisi pesan-pesan dari Haryo kepada seorang wanita bernama Ibu Assyifa, sang pengelola panti.
"Aku pergi sebentar ya, ada urusan sedikit," kata Oka sembari meninggalkan Sitanggang dan Panji tanpa berkata apa-apa lagi.
"Itu tadi apa, Nggang?" tanya Panji.
"Benda yang jadi syarat pemenuhan permintaan terakhir, dari teman dekat Oka," kata Sitanggang sendu.
"Jadi?"
"Kita dikirim kemari karena Dwarapala pelindung kota ini dibubarkan, tapi aku merasa mereka bukan dibubarkan karena tidak kompeten, Ji. Mereka dibubarkan karena anggota-anggotanya tewas."
"Dan Oka ... ," Panji lalu terdiam.
"Oka adalah satu-satunya yang tersisa dari para Dwarapala itu."
*****
Oka turun ke lantai dasar dan masuk ke sebuah ruangan terminal publik, yakni sebuah komputer publik yang dapat digunakan siapapun untuk keperluan apapun mulai dari mengirim pesan, melakukan panggilan video, ataupun melakukan transaksi perbankan. Oka membuka kotak kayu di tangannya dan menghubungi nomor panti yang tertera di sebuah brosur panti yang tergeletak di dasar kotak.
Sebuah layar panggilan muncul dan wajah seorang wanita berjilbab biru muncul di layar. Oka langsung mengucapkan salam, "Assalamualaikum Ibu. Mohon maaf, apa benar saya berbicara dengan Ibu Assyifa?"
"Benar Mas. Maaf, Mas siapa ya?"
"Saya teman dari Haryo Bu."
"Oh, temannya Nak Haryo. Ada apa Mas?"
Oka merasa berat untuk mengatakannya tapi setelah menghirup dan menghembuskan nafas panjang akhirnya Oka berani untuk mengatakan kepentingannya, "Saya hendak mengirimkan hadiah dari Haryo untuk Ibu dan segenap penghuni panti," kata Oka sembari mendekatkan buku tabungan Haryo ke sebuah pemindai transaksi perbankan dan memasukkan nominal Rp. 19.995.000,- ke dalam form isian transfer. Lima ribunya, seperti biasa, adalah bea administrasi antar bank.
Wanita di layar tampak tertegun sebelum akhirnya menunduk penuh penyesalan, "Inna illahi wa inna illahi roji'un."
"Saya turut berduka Ibu. Tapi saya sebagai penyampai wasiat terakhir dari Haryo hanya hendak menyampaikan satu pesan lagi," Oka membuka selembar kertas surat yang Haryo simpan di kotaknya dan mulai membacakan isinya.
Untuk Ibu Assyifa, yang sejak lama dan selalu saya anggap sebagai ibu kandung saya.
Pilihan saya untuk menempuh jalan ini mungkin telah membuat Ibu kecewa, membuat Ibu sedih, dan membuat Ibu terus menerus khawatir soal saya. Saya masih ingat betapa gigihnya Ibu menghalangi saya pergi saat para anggota TNI itu mendatangi panti untuk menjemput saya. Saya masih ingat betapa Ibu melarang saya pergi di hari-hari terakhir saya tinggal karena Ibu sayang pada saya dan Ibu ingin melihat saya tumbuh dewasa, hidup normal, lalu membangun keluarga yang utuh, yang sakinah, mawaddah, dan warahmah – yang selama ini tak pernah saya miliki.
Tapi saya tahu bahwa kondisi panti tengah sulit. Anak-anak tak berayah dan beribu kian hari makin banyak berdatangan ke panti. Donatur semakin sedikit, keuangan panti kian kritis, Ibu bekerja siang dan malam mencoba mencari donatur baru untuk panti sampai Ibu kurang tidur dan sempat pingsan di suatu pagi. Kondisi Ibu itulah yang membuat saya menganggap bahwa tawaran bapak-bapak TNI itu tidak terlalu buruk. Mereka berjanji akan mencarikan donatur permanen untuk panti asalkan saya mau ikut mereka.
Ibu Assyifa, saya tahu bahwa saya telah mengecewakan hati Ibu. Tapi saya pribadi merasa jalan yang saya ambil tidaklah salah. Sebab dengan mengorbankan kehidupan normal saya, adik-adik saya di panti bisa tetap makan, bisa tetap bersekolah, dan kelak akan memiliki kesempatan membangun keluarga utuh seperti yang Ibu dambakan. Saya tidak menyesal menempuh jalan ini, sebab saya meyakini kata-kata Sang Nabi bahwa sebaik-baiknya seorang manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain.
Meski begitu Ibu, saya menyadari bahwa dengan menempuh jalan ini, kesempatan saya melaksanakan nazar saya pada diri sendiri terancam gagal. Dahulu saya telah bernazar bahwa jika kelak saya telah bekerja dan berpendapatan penuh maka akan selalu saya sisihkan penghasilan saya untuk membantu panti. Namun dengan makin intensnya kedatangan musuh dan semakin beresikonya misi yang saya jalani, membuat saya sadar bahwa saya mungkin tidak akan punya kesempatan untuk bertemu lagi dengan Ibu.
Maka dari itulah saya menitipkan pesan dan wasiat ini pada teman saya, Putu Oka. Seandainya sesuatu yang buruk menimpa diri saya, sejumlah tabungan yang telah saya kumpulkan dari uang saku selama pelatihan akan saya sumbangkan seluruhnya ke rekening panti. Semoga uang ini bisa bermanfaat untuk Ibu dan anak-anak panti yang lain.
Salam hormat dari anakmu yang selalu menyayangimu,
Haryo Kumoro Jati.
Wanita di layar itu tampak meneteskan air mata. Beliau menundukkan kepala selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap Oka dengan tatapan sendu. Oka sendiri tidak tahu harus berkata apa. Ia sendiri juga tengah berusaha keras agar matanya yang sudah berkaca-kaca tidak meneteskan air mata.
"Mas Oka," kata Assyifa lagi.
"Ya Bu?"
"Terima kasih telah menyampaikan pesan dan wasiat terakhir dari Haryo. Uang ini akan Ibu manfaatkan sebaik-baiknya. Ibu juga akan mengajak seluruh anak panti untuk mendoakan arwah Haryo supaya ia bisa diterima di sisi Yang Mahakuasa."
"Amin, Bu. Terima kasih."
"Saya yang harus berterima kasih pada Mas Oka. Tanpa Mas Oka, mungkin saya tidak akan pernah tahu pesan-pesan terakhir dari Haryo ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top