BAB 13.5 : HARI TERAKHIR

Di sisi lain kota, Denny yang berdiri di puncak sebuah menara pemancar bersama Mukayat, Sang Romo Pandita merangkap agen Dakara itu, melihat bahwa Tanghi sukses memancing Bumburaya menjauh dari Lokapala dan Dwarapala yang sudah tak mampu memberikan perlawanan.

"Sekarang bagaimana Prof?" Tanya Mukayat yang sibuk membuat gerakan-gerakan tangan aneh di hadapan kertas-kertas merah berajah aksara kuno Pallawa.

"Kalau Romo sudah selesai dengan kertas-kertas rajah kutukan itu, saya yang akan urus Bumburaya. Sekarang hampir jam 2 pagi, kalau saya bisa taklukkan Bumburaya tepat jam 3 pagi, secara aturan supranatural saya mengalahkan Bumburaya di hari terakhir bukan?"

"Ya, lalu untuk apa saya harus membuat rerajahan kutukan semacam ini?" tanya Mukayat yang masih belum paham apa maksud Denny.

"Untuk meminimalisir kerusakan, kita harus mengurangi kekuatan Bumburaya sampai sekecil mungkin. Butuh berapa lama lagi Romo?"

"Lima belas menit!" ujar Mukayat yang mulai memerciki kertas rajah itu dengan darah hewan yang berwarna merah pekat nyaris hitam.

"Siddha ... titam hamba nwari i awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai, ya mulam yam manuruh marjjahati!" Mukayat mulai merapalkan mantra kutuk kuno yang pernah dipakai di era Sriwijaya dahulu.

Sementara itu Denny melihat meskipun Tanghi mampu bergerak lincah menghindari serangan-serangan Bumburaya, jika dibiarkan saja Bumburaya akan menghancurkan satu kota sebelum jam 3 pagi.

"Tonaas!" Manguni muncul tepat di samping Denny, "Waktunya bertindak!"

"Manguni!" Denny memasukkan sebuah alat serupa balok logam ke dalam benda serupa sarung tangan berbahan campuran kain sintesis kelabu dan balok logam itu perlahan hancur menjadi serpihan kecil yang mulai menyelimuti tubuh Denny dari pergelangan tangan kanan kemudian kepala, tangan kiri, dan pada akhirnya pinggang sampai kaki Denny seluruhnya tertutup material baju zirah yang serupa dengan Lokapala hanya saja motif kepalanya mirip burung hantu.

Manguni, Usana yang selama ini sering Denny temui, muncul di layar visor Denny, bertindak sebagai pemandu layaknya Usana di zirah Lokapala yang lain. Denny berlari lalu melompat dari atas puncak menara, terjun bebas ke bawah lalu membentangkan kedua tangannya dan sebentuk sayap logam terbentuk di antara zirah pelindung lengan dan zirah pelindung batang tubuhnya. Denny terbang melayang, mengejar Sang Bumburaya kemudian ketika jaraknya sudah ia rasa sesuai, ia menjatuhkan diri dan dengan kedua kakinya menghajar Bumburaya sampai makhluk itu jatuh berdebam di sebuah bangunan kosong. Denny pun mendarat di sana kemudian ia mengambil sesuatu dari kedua kompartemen senjata di betis kanan dan kirinya kemudian menggabungkan kedua bagian senjata itu menjadi sebuah senapan patah (shotgun) dan menembakkan dua berkas sinar plasma ke hadapan Bumburaya.

Bumburaya mundur sejenak namun segera bereaksi dengan melesat marah ke arah Denny. Denny berkelit, mengaktifkan senjata utama berupa cakar di seluruh bagian pelindung jari kaki dan tangannya lalu mulai terbang dan mencengkeram Bumburaya dengan seluruh cakarnya kemudian mengerahkan seluruh tenaga zirahnya untuk melempar Bumburaya ke luar bangunan.

Bumburaya terpelanting tepat ketika Denny melepaskan seluruh cengkramannya di kulit Bumburaya. Tubuh Kroda itu terpelanting ke tanah dan dari angkasa, Denny melihat sejumlah berkas sinar merah melesat dan mendekat ke arahnya dan ia langsung mengulurkan tangannya untuk menerima apa yang berlindung di balik sinar merah itu.

Lima lembar kertas berajah dan memancarkan energi panas mendarat lembut di tangan Denny. Kertas rajah yang tadi dimantrai Mukayat rupanya sudah selesai dan Denny langsung melesat ke angkasa, kemudian menukik kea rah Bumburaya, menempelkan setiap kertas rajah di tangannya di kulit Bumburaya dan melihat betapa kertas rajah itu seperti meresap ke dalam kulit Bumburaya.

Bumburaya meraung, menggeram, seolah kesakitan. Melihat itu sebagai sebuah kesempatan, Denny melesatkan diri dan kembali mencengkeram Bumburaya, kali ini ia membawanya ke arah Pantai Timur dan selagi di sana, ia mendapati bahwa segerombolan Layon dan Orang Bati serta beberapa Todak sudah siap menyambutnya.

Denny melemparkan Bumburaya ke arah gerombolan Layon kemudian menarik kembali senapan patahnya dan menembakkan beberapa kali tembakan ke arah gerombolan itu sebelum melesat naik ke angkasa.

"Prof! Prof! Anda di mana?" terdengar suara panggilan masuk dari operator Unit Lima.

"Saya di lapangan bersama Romo Mukayat, kami sedang menyusun strategi baru!"

"Sebaiknya Profesor segera kembali ke dalam markas! Kami mendapat laporan bahwa segerombolan besar Layon dan kroda umum lainnya muncul dan menuju ke arah kota!"

"Minta dukungan pesawat tempur untuk bombardier pantai! Kebetulan Bumburaya juga ada di sini!"

"Dari mana Anda tahu Prof?"

"Saya terbangkan drone pribadi ke pantai!"

"Balikpapan merespon, perkiraan kedatangan 10 menit. Semua personel Lokapala, Dwarapala, Divisi Infanteri, dan Divisi Zeni akan dikerahkan ke seputaran Pantai Timur untuk berjaga!"

"Bagus sekali! Baik! Saya akan kembali dalam waktu setengah jam!"

******

Sepuluh menit kemudian wilayah sekitar pantai sudah dikepung sejumlah personel bersenjata yang sibuk menembaki kroda-kroda yang terlanjur keluar dari batas pantai. Tetapi Bumburaya tampak hanya menggeram dan tampaknya tak mampu bergerak. Tembakan rudal dari dua pesawat tempur asal Balikpapan akhirnya berhasil memporak-porandakan tubuh kroda itu menjadi serpihan.

Bersamaan dengan itu terjadilah gempa dan kabut darah yang tadi menggelayuti pantai kini sirna tanpa bekas.

"Apa ini sudah berakhir?" tanya seorang anggota Tim-A.

"Semoga demikian!" jawab Panji yang nafasnya memburu karena tegang dan kelelahan.

"Masih ada pertarungan esok hari kan?" Sihar memperingatkan.

"Tidak, tidak, sama sekali tidak," tiba-tiba Tanghi sudah muncul di antara mereka, "Kalian mengalahkan Bumburaya di atas pukul 3 pagi, itu artinya kalian sudah mengalahkan dia di hari ketujuh. Keberadaannya sudah sirna. Kita tak usah takut lagi!"

"Alhamdulillah!" Sitanggang langsung terduduk lemas, "Aku nggak mau urusan lagi ah sama Juragan Bumbu yang satu itu!"

Beberapa orang tertawa kecil mendengar reaksi Sitanggang, tapi segera saja Oka menyambung kalimat Sitanggang, "Waktunya kita mengobati yang cedera dan memakamkan yang gugur!"

*****

Markas Unit Lima, 07.00 WITA, esok harinya

Nara tengah berkaca untuk terakhir kalinya di depan kaca toilet, memantaskan diri dengan seragam hijau polos khas TNI yang setahunya baru pernah dia pakai sekali yakni saat ia diinisiasi telah lulus pelatihan. Sesuai permintaannya, ia ogah memakai rok, jadi ia diberi celana panjang sebagai pakaian bawahannya layaknya prajurit lelaki. Alasan ia harus memakai seragam seperti ini hari ini adalah akan ada upacara pemakaman bagi 10 Dwarapala yang gugur dan 14 personel TNI yang tewas dalam serangan Bumburaya kemarin.

Begitu keluar dari toilet, ia mendapati Tanghi tampak bersandar di tembok, "Hao Nara! Aku lama nunggu Nuan!"

"Nama berita Balian Mambur?"

"Ikam lelang ka Pontianak! Ikam akan ubati Indai nuan! [Aku akan pergi ke Pontianak! Di sana aku akan obati ibu kamu!]"

"Sampai tahaga Balian Mambur! Terima kasih laban nulong aku! [Selamat jumpa lagi Balian Mambur! Terima kasih sudah membantu saya!]"

"Tapi aku keran mere nuan ini agai Nuan [Tapi aku mau berikan ini kepada kamu dulu]!"

"Apa ini?" Nara tampak bingung ketika Balian Mambur menyerahkan pada Nara sebuah salipang yang relatif masih baru dengan tiga buah botol berisi cairan coklat kehitaman di dalamnya.

"Manah ubat to! [Ini obat manjur!]" kata Balian Mambur, "Sige, sige aja agai sige urang! [Satu, satu saja untuk setiap orang!]"

"Lapa tulit?[Kenapa tiga?]" Tanya Nara.

"Sige dituju Indai nuan, sige dituju diimpun, sige ... [Satu untuk Ibu kamu, satu untuk disimpan, satu lagi ....]," kata-kata Balian Mambur terhenti.

"Lapa Balian [Kenapa Balian]?"

"Sige dituju nuan pengrindu hati [Satu untuk pacarmu nanti]!" ekspresi muka Balian Mambur serius, tapi Nara merasa Usana ini coba mempermainkannya.

"Nda! Nda aku! Bisi pengrindu hati sigatmai. Nda, nda, nda aku! [Bukan! Bukan aku kok! Pacarmu nanti lebih ganteng (daripada aku)!]"

"Lapa Balian mere aku ini [Kenapa Balian beri aku ini] ?"

"Indai nuan, sakitnya berat. Tak bisa sekali berubat. Tenaga aku habis karena menolong banyak orang sekarat kemarin. Aku bisa sembuhkan sedikit sakit Indai nuan tapi tidak seutuhnya. Nanti jika sudah waktunya, berikan ini ubat kepada Indai nuan!"

"Kapan itu?"

"Enam purnama dari sekarang. Nah! Sekarang! Selamat tahaga!" dan Balian Mambur pun lenyap dari hadapan Nara.

******

Pontianak, 07.15 WITA

Seorang pria peranakan berusia empat puluhan tampak tertidur di sebuah kursi, sementara di sisi lain di kamar itu terdapat 3 pasien. Satu pasien yang tertidur di pojok selatan ruangan dihampiri oleh Tanghi dan kemudian disentuh ubun-ubunnya di mana sedikit rambut masih tersisa di antara kepalanya yang sudah botak.

Sang Balian kemudian mengeluarkan ukiran kayu yang dibentuk serupa manusia dan ia letakkan di tangan si sakit kemudian ia melakukan gerakan melompat setengah menari sambil berujar :

Ngangau Bujang berani

Remba se remba

Ndae nda nyinonya meda tuboh besae penerebae.

Uji gak kita menyade nege sekekiah engae baek aku makae dedingae ngejaga beram bisa sebedau tuboh imun aku ngeleka ngigak baka kenak nyimpan tubuh leka

Kita bujang berani, aku nesau aku ngangau aku tabe datai ba bukit semilu kinabalu bujang senang

Aku akak nebah ke kita sangga lidah bunyi sambung nyawa ante nyema iya nyelae anag menyae lempang leme semadi meh tua besae aku nunang singae

Laban tua mekang sengenang ukae pureh semembang

Uji ketua akak kenesa utae kelama sepa jaga dini ndak tusah ati ruri keling berani aku deka puale kenegeri ae rupa ndak lepag beperang

Anag sekale takut nyelam lubuk kemenyan tali tembaga ya ke lelisa ngentak kemata kenak reraya dinga kekita bujang berani ke nankin takin duko ilang dua gembar mere pambar batang lupar munuh saka ualar nyengkar ba batu ampar.

Ante nylam alam ae ngalah kerene raja baya tama alam tanah

Ante nike pucuk kayo ndae beguyu nadae beranyang pujuk tapang

Ante nesau bunjang pangau kunci ati bini remaung kesal ati nadae pulai laki

Keselalu matak teropong sulah tembaga ari ribut puput

Remba – remba aku ngangau aku nesau datai meh kita bujang berani baka besi tiang langit ke cecegi

Sejenak kemudian muncul sosok-sosok astral yang lain yang turut serta dalam gerakan Balian Mambur. Jumlahnya sembilan, dan masing-masing memakai aksesoris tulang hewan entah sebagai kalung atau cincin hidung. Gerakan tari itu berlangsung beberapa lama sampai patung kayu di tangan si pasien menghitam legam dan kemudian remuk menjadi serpihan.

Di waktu yang bersamaan pasien itu akhirnya mulai membuka mata, kemudian tersenyum kepada Balian Mambur, "Selamat pagi! Aku kemari diminta Umang nuan, Nara!"

"Terima kasih Balian Mambur!"

"Nadai ngawa Manang Murni, nadai ngawa!"

=====

Manang = sebutan lain untuk dukun adat, khususnya di kalangan suku Iban

Manang Murni = dukun yang namanya Murni

======

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top