BAB 13.3 : TABU DI ANTARA TABU


Markas Unit Lima, 13.00 WITA

"Juragan bumbu?" begitu komentar Sitanggang ketika Nara mempresentasikan temuan Tanghi dan dirinya di pemakaman tadi pagi.

"Bumburaya, Nggang," Nara mencoba membetulkan istilah salah kaprah temannya itu, namun Panji tampaknya juga menyukai julukan itu.

"Jadi bagaimana kita menangani Juragan Bumbu ini?" ujar Panji yang malah ikut-ikutan Sitanggang.

Nara menepuk jidatnya, menyesali kenapa teman-temannya ini begitu entengnya menganggap makhluk ini gemar bercanda dan bakal suka dijuluki dengan nama 'Juragan Bumbu', tapi Nara yang sudah capek dengan semua ini akhirnya mendiamkannya saja.

"Tapi saya punya satu pertanyaaan," Profesor Denny yang turut hadir di sana akhirnya berkomentar, "Bumburaya, hantu pemakan mayat ini, ada hubungannya dengan anda bukan, Apai Tanghi?"

Tanghi mengangguk mengiyakan dan Denny kembali menatap Tanghi dengan tatapan penuh selidik, "Kauw niya ngaran Balian Mambur [Anda yang bernama Balian Mambur kan]?" Denny bertanya kepada Tanghi dengan bahasa Dayak Bukit.

Tanghi diam sebentar sebelum menjawab, "Bujur Tonaas [Benar Tonaas]!"

=====

Tonaas = julukan khusus yang disebutkan beberapa 'Usana liar' kepada Denny yang tidak dimengerti artinya oleh seorang pun.

=====

"Balian Mambur yang legendaris rupanya ada di sini," ujar Denny sembari tersenyum penuh arti, "Itu artinya Balian bersedia membantu kami mengusir Bumburaya bukan?"

"Tunggu! Kenapa mengusir? Kenapa tidak memusnahkannya saja?" tanya Oka.

"Bumburaya nyaris tidak bisa mati," kata Denny, "Kecuali ... Balian Mambur mau memberitahu bagaimana cara membunuhnya?"

"Kalian harus membuat Bumburaya kelaparan selama berhari-hari. Setidaknya 7 malam. Dalam setiap kesempatan itu kalian harus menggiringnya kembali ke balik kabut darah. Setelah malam ketujuh, kalian akan dapat melukai dan membunuh Bumburaya. Tapi semakin Bumburaya lapar, semakin ganas dan buas dia itu. Apa kalian siap jika satu atau dua dari kalian ampih bahinak?"

=====

Ampih bahinak = berhenti bernafas / mati (bahasa Dayak Bukit / Banjar Meratus)

=====

Semua yang ada dalam ruangan itu saling pandang. Bumburaya sudah membuktikan ketangguhannya dengan melontarkan Sitanggang dan Nara di Pantai Timur kemarin tanpa usaha keras sama sekali. Kalau para Lokapala diminta mempertahankan Tanjung Paser dari makhluk seperti itu selama tujuh malam maka bukan mustahil akan ada yang tidak hidup nantinya.

"Kita perlu memanggil bala bantuan," kata Samad, "Dan kita juga perlu persenjataan berdaya gempur tinggi untuk menghalau Si Bumburaya. Kita juga perlu berkoordinasi dengan seluruh rumah sakit dan rumah duka untuk tidak menguburkan jenazahnya dalam waktu tujuh hari ini."

"Siapa yang bisa kita panggil?" tanya Profesor Denny.

"Kita bisa memanggil Dwarapala Tim D dari Bogor dan Dwarapala Tim A dari Medan untuk membantu kita. Untuk dukungan alat tempur, kita mungkin perlu diam-diam menghubungi Pangkalan Angkatan Udara Balikpapan, minta dukungan pesawat tempur," ujar Kapten Pusaka.

"Hubungi juga Pangkalan TNI AU Kubu Raya, Kep! Kita akan butuh semua bantuan yang bisa kita dapatkan untuk bertahan selama seminggu! Dan untuk kalian Lokapala juga Oka, kalian libur sekolah selama seminggu. Jangan khawatir soal PR dan tugas sekolah, kami yang akan bicara dengan Ibu Ketua Yayasan. Fokuskan diri untuk berlatih dan bersiaga!"

"Semoga Tuhan bersama kita," kata Pusaka yang langsung dibalas dengan tatapan tidak suka dari anak angkatnya, Oka.

******

Pertemuan antara orang-orang penting di Unit Lima itu dibubarkan dengan satu agenda prioritas, semua personel lapangan Unit Lima akan diperintahkan bergerak malam ini untuk melakukan patroli besar-besaran serta menjaga segala macam fasilitas publik seperti rumah sakit dan pemakaman, guna mencegah Bumburaya memakan jenazah-jenazah yang ada di sana.

Tapi di saat seperti ini, ponsel Nara malah berbunyi nyaring dan di layar ponselnya terpampang nama Ayi Huan, "Halo Nara? Bagaimana? Sudah ada perkembangan prospek calon nasabah potensial?"

"Belum Ayi, maaf aku masih sibuk."

"Oh begitu, tapi kalau bisa dalam seminggu ini kamu sudah mulai prospek calon nasabah dong! Soalnya bulan depan jika kita berhasil kumpulkan 3 nasabah saja kita dapat hadiah jalan-jalan ke Bali. Kamu belum pernah ke Bali kan, Nar?"

"Belum Ayi."

"Ya sudah, untuk permulaan mungkin kamu bisa prospek temanmu yang jemput kamu tadi? Siapa tahu dia butuh? Oh ya, kalau nanti malam kamu sudah tidak sibuk, ayo ketemu lagi, Ayi mau tunjukin kamu cara prospek yang baik dan benar supaya kamu nanti lebih lancar saat prospek! Ya?"

"Aku usahakan Ayi."

"Oke! Sampai ketemu lagi!"

Nara mengakhiri panggilan telepon itu sambil menghela nafas panjang. Di otaknya dua pikiran berkecamuk : antara mengambil kesempatan belajar lebih jauh soal memprospek nasabah bersama Ayi Huan guna memperoleh uang lebih bagi keluarganya atau tetap tinggal di sini sembari menunggu perintah. Namun jika ia menurut perintah dan entah bagaimana bisa selamat hidup-hidup dari misi ini, masalah ekonomi yang mendera keluarganya akan tetap ada. Dengan kondisi ekonomi keluarganya saat ini, bukan hal mustahil jika Surya, adiknya, yang saat ini sendirian di rumah bisa saja didatangi penagih hutang yang bisa saja secara paksa menyegel rumahnya atau memaksa adiknya angkat kaki dari rumah. Jika dia mati dalam misi kali ini, maka keluarganya akan mendapat santunan total 400 juta rupiah dan bisa dipakai untuk melunasi hutang, tapi tentu saja Nara juga tak mau mati konyol begitu saja.

"Aaah," Nara memukul-mukul tembok dengan perasaan frustasi, "Sejak kapan opsi tetap hidup jadi begitu mengerikan?"

Lalu mata Nara melihat Oka yang berjalan masuk ke ruang monitor markas Lokapala.

"Hai? Sendirian saja, Nar?" tanya Oka berbasa-basi.

"Oka, aku boleh izin keluar sebentar nggak nanti malam?"

"Untuk urusan apa?"

"Bisnis."

Mata Oka mendelik, "Seriuskah kamu Nara?! Ada makhluk berbahaya berkeliaran di Tanjung Paser dan kamu mau minta izin sebentar untuk ... berbisnis?"

"Aku terpaksa. Bisnis ini harus kulakukan untuk menuntaskan masalah pribadiku."

"Apa-apaan itu? Berani-beraninya kamu menempatkan prioritas masalah pribadimu di atas masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak!" nada suara Oka meninggi, kesal karena menganggap Nara sungguh begitu egois.

"Kalau kita berhasil bertahan hidup dari semua ini dan kembali ke kehidupan nyata, pada akhirnya masalah pribadi kita akan menjadi masalah pribadi kita! Takkan ada yang membantu kita, bahkan teman-teman yang katanya dekat sekalipun. Aku melakukan ini untuk menjamin diriku tidak mengalami itu, Ka!"

"Masalah berat macam apa yang akan merundung dirimu? Kamu punya keluarga lengkap, ayah-ibu masih ada, saudara punya, rumah ada, bisnis ayahmu masih berdiri, memangnya apa sih yang kamu khawatirkan? Atau kamu sudah turun derajat jadi cewek matre?"

"Waow!" Nara berkacak pinggang, "Aku kagum pada kamu Oka! Luar biasa! Sangkamu karena aku kebetulan punya mata sipit maka aku takkan punya masalah? Apa kamu juga termasuk orang yang kena stigma kuno bahwa orang Tionghoa pasti kaya-raya sampai tujuh turunan? Jadi mustahil ada orang Tionghoa miskin? Sangkamu cuma kamu yang bernasib malang di dunia ini? Sangkamu punya ayah-ibu lengkap bakal menjamin kebahagiaan keluargamu?"

"Demi Tuhan! Omonglah yang jelas Nara! Apa masalahmu?"

Nara yang selama ini hanya menceritakan masalahnya kepada Profesor Denny dan psikolog dari Unit Lima akhirnya menyemburkan fakta keluarganya dengan nada marah, "Ibuku kena tumor otak ganas, kondisinya terus menurun, BPJS menangani ibuku selambat siput balapan marathon 1 kilometer dan RS baru akan melakukan tindakan lanjutan jika kami mengambil fasilitas di luar BPJS seperti obat, terapi, dan sebagainya yang ada di luar skema BPJS. Ayahku punya hutang 400 juta rupiah, apakah Kapten Pusaka punya hutang segitu? Tidak pastinya! Ayahku sering tidak bekerja karena harus jaga ibuku di RS, apakah gaji Kapten Pusaka pernah tidak dibayar? Selalu lancar pastinya! Apakah kamu punya adik yang berkali-kali menerima surat teguran karena belum bayar SPP? Tidak, kamu anak tunggal, segala kasih sayang dari entah orangtuamu yang asli atau dari Kapten Pusaka semuanya kamu nikmati sendiri! Jadi kamu jangan seenak hati menghakimi aku matre dan tidak bertanggungjawab Oka!"

"Ada apa kok ribut-ribut?" tanya Regina yang baru saja turun ke bawah.

"Bukan apa-apa," jawab Oka menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya.

"Oka menuduh Nara cewek matre dan tidak bertanggungjawab karena Nara mau pamit sebentar untuk 'berbisnis'," tiba-tiba saja Ina Saar menimpali tanpa diminta.

Mata Regina mendelik, tidak percaya pada keributan yang terjadi barusan ini.

"Dan Nara mengira hidup Oka baik-baik dan senang-senang saja karena Oka nyaris tidak pernah merasakan kesulitan ekonomi, mengabaikan episode-episode tidak menyenangkan dari hidup Oka," Ina Saar menambahkan lagi.

"Mau dengar saran kami untuk kalian berdua? Nara, jelaskan bisnismu pada kami berdua, Oka, diamlah sejenak dan dengarkan Nara," ujar Regina.

******

Begitu mendengar pemaparan Nara soal bisnis asuransi yang dia tawarkan, otak Regina langsung tanggap mencurigai skema yang ditawarkan Nara ini.

"Nara, kamu masih ingat Marlina*)? Dia orang ikutan bisnis tak jelas lalu rugi besar dan sekarang sedang dihukum ayahnya tidak dikasih uang jajan selama tiga bulan!"

*) Lihat Chapter 7 : Mamon

"Tapi Ayi Huan ini orang baik, dia bisa dipercaya, keluarga kami sudah kenal baik sejak lama," sanggah Nara.

"Oka, kamu punya akses ke semua kamera pengawas di sepenjuru kota kan?" tanya Regina.

"Humm, iya."

"Tolong kamu putar rekaman saat kamu ketemu Nara kemarin," pinta Regina lagi.

Oka memutar kursinya lalu mengetik sejumlah perintah di papan ketik komputer utama markas sebelum layar besar di hadapan mereka bertiga menampilkan situasi saat Nara bertemu Ayi Huan beberapa waktu yang lalu.

"Percepat, sampai kenalan Nara keluar dari kafe," pinta Regina lagi.

Oka meraih tetikus dan menekan slider pemutar video hingga mencapai titik yang dimaksud Regina namun sesaat sebelum mencapai titik yang dimaksud, Regina berujar, "Stop!"

Oka menghentikan aksinya, dan layar menampilkan Huan menyerahkan sebuah amplop kepada pria bernama Bambang itu. Regina langsung mencatat kejadian itu di ponselnya lalu meminta Oka memindai wajah Bambang dan mencocokkannya dengan database penduduk kota sementara rekaman kamera pengintai tetap berfokus pada Huan.

"Kalian ini apaan sih?" Nara mulai tidak suka dengan gelagat dua rekannya ini.

"Hanya memeriksa saja," kata Regina.

"Itu sudah termasuk pelanggaran privasi. Siapa tahu kan Ayi Huan punya bisnis lain dengan Bambang?"

"Stop Oka!" ujar Regina, tak mengindahkan protes Nara, "Nomor polisinya KT 765 TYI, bisa dicek ke database kepolisian kan?"

"Yap," Oka langsung saja membuka jendela program database kepolisian dan mengetikkan plat nomor itu. Sejenak kemudian sudah muncul detail mengenai kendaraan tersebut termasuk atas nama siapa kendaraan itu.

"Kendaraannya atas nama Te Tjia Fai," ujar Oka, "Yang notabene ibu dari Te Tjia Huan. Yang bersangkutan juga punya 11 unit mobil lainnya. Transaksi pembayaran semuanya dilakukan dengan kartu debet dan kartu kredit atas nama Te Tjia Fai."

Regina langsung melirik ke arah Nara, "Yakin kamu Ayi Huan bayar mobilnya pakai duit hasil usaha asuransinya?"

"Dia bilang begitu," kata Nara ragu.

"Yakin dia jujur, Nara?" Regina berjalan mendekat ke arah Regina, memaksa gadis berpotongan rambut seperti anak lelaki itu menatap matanya, tapi Nara selalu berusaha mengalihkan pandangannya.

"Apa-apaan ini coba?!" Oka memekik ketika hasil pencarian kamera pengawas di sepenjuru kota dan database kependudukan kota menemukan siapa sebenarnya Bambang.

"Kenapa Oka?"

"Bambang yang katanya berhasil mengumrohkan orangtuanya itu ... ."

"Ya?"

"Dia anak yatim-piatu yang baru saja 'lepas' dari panti asuhan dan sehari-hari bekerja di Tempat Cuci Mobil 'Meratus'. Punya cicilan motor 24 bulan, sudah nunggak 3 bulan. Ini bisnis beneran kah?"

Nara tak bisa tidak menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia merasakan betapa tatapan Regina dan Oka kini seolah menghujam dan menghakiminya.

"Nara!" tiba-tiba ada orang lain memasuki ruangan markas mereka, orang itu tak lain adalah Ignas, "Ada Bapa Pandita cari ko di ruang latihan. Oh ya, Panji kata, kita orang harus kumpul dalam 20 menit di markas pusat Unit Lima punya."

******

Nara menaiki motornya melintasi lorong bawah tanah yang menghubungkan markas Lokapala di bawah asrama akademi dengan markas Unit Lima yang letaknya sekitar beberapa blok dari akademi. Setibanya di sana ia melihat Pandita Mukayat dari Vihara Maha Vihara Maha Awalokiteswara sedang berdiri di sebuah arena berbentuk heksagonal yang biasa digunakan para prajurit zeni Unit Lima untuk adu tanding kemampuan beladiri.

"Romo!" Nara mengatupkan kedua tangannya menundukkan kepala, memberi hormat pada sosok Romo Pandita itu.

"Hari ini Nara, saya datang bukan sebagai Romo Pandita. Saya datang sebagai agen Dakara. Panggil Sarita, gunakan kemampuan Balianmu, lawan saya!" ujar Mukayat sembari melepas dua kancing atas baju kemeja putih bergaris-garisnya.

"Tapi Romo?!"

"Sekarang!" suara Mukayat tegas menggelegar.

"Sarita!" Nara memanggil Usana partnernya dan sosok Sarita segera merasuk ke raga Nara. Nara merasakan seperti punggungnya memanggul karung beras 50 kilogram.

"Mulai!" Pandita Mukayat membentuk gestur aneh dengan jari-jari tangannya, kedua ibu jarinya bertemu dengan kedua jari tengahnya kemudian punggung kedua tangannya dipertemukan.

Sekilas gerakan itu tampak tak berefek apa-apa namun Nara merasakan dorongan gelombang kejut yang keluar dari punggung telapak Sang Pandita. Gelombang kejut itu tidak sedahsyat gelombang kejut milik Bumburaya namun Nara yang kurang persiapan harus bertahan mati-matian untuk tetap tegak berdiri.

"Lambat!" Mukayat menghentakkan kaki kirinya lalu melesat ke arah Nara dan melayangkan tendangan sapuan kaki kanan yang telah menghantam rusuk kanan Nara.

Nara terhempas ke lantai, nafasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran, tak seperti biasanya keberadaan Sarita di tubuhnya kini terasa berat bagaikan beban padahal biasanya Sarita dan dirinya bersinkronisasi dalam harmoni serta memberikan efek kekuatan di luar manusia kebanyakan seperti kemampuan memanjat pohon dan dinding atau kemampuan menghindari serangan peluru.

Tapi sekarang Sarita seolah meremukkan tubuhnya, tak ada lagi sinkronisasi, tak ada lagi kemampuan super di luar manusia kebanyakan.

"Ayo bangun!" ujar Sang Pandita sembari mengulurkan tangannya.

Nara menggapai tangan Sang Pandita namun ia tetap saja kepayahan untuk bangun. Sarita pun keluar dari raga Nara dan Nara pun merasa lebih bebas bergerak sekarang.

"Kamu kalah dari saya kurang dari lima menit. Bagaimana kamu mau hadapi Bumburaya dalam kondisi seperti itu?"

"Saya akan berusaha lebih lagi!"

"Usaha saja tidak cukup, kami tidak ingin kamu mati konyol di medan tempur apalagi jika kamu sengaja lakukan ini hanya demi keluargamu dapat santunan 400 juta, lebih baik kamu jangan turun dulu ke lapangan."

"Apa salah saya? Memangnya salah kalau saya punya pikiran seperti itu?"

"Nara, kamu tahu tidak, kamu baru saja melanggar tabu di antara tabu bagi orang-orang seperti kita?"

"Apa itu, Romo?"

"Bisnismu dengan orang yang kau panggil Ayi Huan itu, bau-baunya multi-level-marketing! Bagi paranormal manapun, terlalu bernafsu mencari uang akan melemahkan daya kekuatan mereka, tapi jika otak mereka dipenuhi pola pikir MLM, yang selalu berburu 'downline' dan dikejar target-target kelas tinggi, maka inilah yang akan terjadi: kamu akan kehilangan kekuatanmu, tidak permanen, tapi sekejap dan kadang pemulihannya lama. Jika ini medan tempur betulan dan kamu mengalami hilang kekuatan, sudah pasti kamu terbunuh!"

"Lagipula," tiba-tiba terdengar suara Profesor Denny yang memasuki areal latihan itu, "Kalau kamu meninggal, Nara, santunan untuk keluargamu hanya 250 juta. Tidak cukup untuk menebus hutang keluargamu kan? Paling-paling hanya cukup untuk menebus sertifikat rumahmu yang dijaminkan ke koperasi kan?"

"Tunggu! Saya baca di peraturan pemberian bantuan kepada keluarga prajurit yang ditinggalkan karena melawan musuh negara sampai 400 juta kan?"

"Itu kan kalau prajurit, statusmu di sini apa? Warga sipil yang membantu TNI mempertahankan negara kan?"

"Tapi bukankah saya punya pangkat militer di sini? Kopral Dua?"

"Yang merupakan pangkat tituler," ujar Denny, "Biasa diberikan pada warga sipil yang dilibatkan dalam operasi TNI atau memiliki jasa besar bagi negara. Tapi meskipun punya pangkat, kamu bukan prajurit TNI betulan jadi peraturan tunjangan itu tidak berlaku bagi kamu."

Nara menggigit bibir bawahnya, ia mulai menyesali segala keputusannya yang melibatkan diri dengan semua ini. Harusnya ia tetap di Singkawang saja dulu, tidak usah ikut-ikutan ke sini.

"Tapi saya tahu sesuatu yang mungkin bisa bantu kamu, selagi kita menunggu kedatangan bala bantuan, ayo kita bicara empat mata di kantor saya, Nara!"

******

Tanjung Paser, esok harinya, 04.00 WITA

Bumburaya tidak muncul semalam, tapi justru itu membuat seluruh personel Unit Lima tidak bisa tidur. Pagi-pagi buta mereka pun masih terjaga setelah semalam begadang. Sesaat kemudian ada sejumlah pesawat angkut TNI-AD mendekat ke arah Tanjung Paser, memohon izin mendarat di bandara.

"Tim A dan Tim D sudah datang," ujar Denny kepada Nara yang sejak semalam berada di kantor pribadinya sebagai Direktur Unit Lima.

"Saya akan bersiap-siap, terima kasih untuk pencerahannya Profesor," ujar Nara yang bangkit berdiri dari kursinya.

"Sama-sama," ujar Denny.

Ketika gadis itu telah benar-benar pergi dari ruangan Denny, Denny langsung menekan panel interaktif di meja kerjanya dan panel itupun mengaktifkan kunci di semua pintu dan jendela ruang kerja Denny.

"Bagaimana menurutmu Manguni? Apa kita bisa memenangkan pertempuran lawan Bumburaya ini?" tanya Denny kepada seekor Usana burung hantu yang mewujudkan diri dua puluh langkah dari tempat Denny berdiri.

"Bumburaya bukanlah masalah yang terlalu besar, tapi jelas jika ini sudah usai, kita harus kembali ke titik di mana kita menemukan jawaban atas semua ini. Kita harus mencari tahu ke mana benang takdir mengarahkan kita."

"Aku mengkhawatirkan keselamatan para Lokapala dan Dwarapala ini. Apa perlu kita ikut campur sekarang?"

"Kita ikut campur di malam keenam saja ketika keganasan Bumburaya sudah mencapai puncaknya, jika kamu muncul terlalu cepat semua skenario yang harusnya terjadi akan berantakan."

******

Dari badan masing-masing pesawat angkut, muncul sekumpulan prajurit berzirah motif loreng hijau, hitam, kuning tanah yang masing-masing membawa senapan laras panjang standar militer, beberapa bahkan membawa senapan berpelontar granat atau pelontar roket sebagai persenjataannya.

Dari badan pesawat angkut yang berasal dari Medan, seorang prajurit yang visor helmnya memiliki kode A-01 melapor kepada Kapten Pusaka, "Letnan Dua Sihar Siregar dari tim A Dwarapala, melaporkan kedatangan 10 personel tim A!"

Sementara dari pesawat lain yang terbang dari Jakarta, prajurit lainnya yang memiliki nomor sandi D-08 melaporkan kedatangan tim lainnya, "Sersan Mayor Irfan Sasono dari tim D melaporkan kedatangan 20 personel tim D ditambah bantuan 15 kadet tingkat akhir Dwarapala!"

"Selamat datang di Tanjung Paser, Prajurit!" ujar Kapten Pusaka menyambut mereka, "Istirahat di tempat, grak!"

Semua prajurit Dwarapala meletakkan senapan mereka ke kompartemen magnetik mereka yang terletak di punggung sehingga senapan-senapan mereka menggantung sempurna dan mereka dapat melakukan gerakan istirahat di tempat dengan tangan di belakang dan kaki direnggangkan.

"Sekali lagi selamat datang di Tanjung Paser. Seperti kalian ketahui, kota ini adalah kota paling berbahaya bagi siapapun yang ditugaskan di tempat ini, entah itu prajurit biasa, zeni Unit Lima, Dwarapala, atau bahkan Lokapala sekalipun. Kali ini ancaman yang kami hadapi di kota ini jauh melampaui kemampuan kami sendiri untuk melawannya. Karena itu kami berterima kasih kepada Tim A dan Tim D yang sudah bersedia mengirimkan sebagian personelnya kepada kami hari ini untuk melindungi Tanjung Paser."

"Untuk penjelasan mengenai ancaman yang harus kita tangani bersama-sama, saya persilakan Kopral Putu Oka untuk memberi penjelasannya," ujar Pusaka sembari mundur dari panggung dan mempersilakan Oka yang sudah mengenakan zirah Dwarapalanya untuk menjelaskan kondisinya.

"Kroda yang kita lawan kali ini, namanya Bumburaya, dan untuk alasan tertentu, kami sepakatnya menyebutnya 'Juragan Bumbu'."

Semua Dwarapala yang hadir di sana tertawa, tapi segera saja mereka kembali serius menyimak penjelasan Oka.

"Bumburaya sangat sulit terlihat oleh mata dan sensor, bahkan dengan filter visor kita yang biasanya mampu mendeteksi kabut darah. Satu-satunya pilihan kita untuk saat ini adalah mengandalkan sinar infra merah yang kebanyakan kita pasang di rumah sakit dan areal pemakaman. Juragan Bumbu kita ini suka makan mayat by the way, jadi itu alasannya kenapa kita akan banyak berjaga di sana. Jika ada sebentuk massa tak tampak mengusik berkas sinar infra merah, mohon Saudara-Saudari segera menghajarnya dengan segala apa yang kita punya. Juragan Bumbu ini susah dikalahkan, kita harus membuatnya kelaparan selama tujuh hari tujuh malam barulah di malam ketujuh kita bisa membantainya. Tapi mohon berhati-hati, semakin ia lapar, Juragan Bumbu ini akan jadi semakin ganas. Strategi terbaik bagi Dwarapala adalah menghajarnya dengan tetap menjaga jarak. Penggunaan senapan runduk, pelontar granat, dan pelontar roket sangat disarankan. Gunakan senapan serbu biasa untuk keperluan mengalihkan perhatian semata, karena Kroda semakin kebal terhadap peluru-peluru senapan tipe itu."

"Itu artinya kita tidak masalah jika harus merusak fasilitas umum?" tanya seorang Dwarapala wanita dari Tim D.

"Untuk kali ini selagi alasannya masih diterima yakni untuk mengusir Bumburaya, maka kami mengizinkan semua personel Unit Lima melakukan segala tindakan yang dianggap perlu termasuk menghancurkan fasilitas umum," ujar Oka, "Benar begitu bukan Kapten Pusaka?"

Yang ditunjuk untuk mengkonfirmasi perintah itu mengangguk mengiyakan.

"Ada saran lain, Kopral Oka? Kroda yang kami lawan di tempat asal kami tentu beda jauh dengan Kroda di tempat ini. Selain urusan jaga jarak dan hantam dengan senjata terkuat, apa kau ada saran lain?" tanya Sihar, komandan Tim A.

"Semoga Tuhan tidak bersama kita! Sebab jika Tuhan bersama kita, Dia akan jemput satu-dua-atau mungkin semua dari kita! Biarlah Dia ada jauh-jauh di atas sana dan masalah di sini kita percayakan pada diri kita sendiri!"

Sebagian yang hadir di sana langsung mendelik tidak percaya pada Oka, termasuk beberapa prajurit TNI yang turut menghadiri sesi penyambutan itu. Tapi suasana tegang itu langsung dicairkan oleh perkataan Sihar yang maju ke depan dan berujar kepada seluruh Dwarapala yang lain, "Ya, kalian dengar kata veteran pelindung kota ini? Jangan keburu ingin ketemu Tuhan kalau tidak ingin mati konyol di tempat ini! Ingat! Kalau kita mati di sini, siapa yang akan melindungi wilayah kita? Kalau kita mati di sini maka akan ada suami, istri, anak kecil, dan warga tak bersalah yang akan jadi korban serangan Kroda! Tetap waspada, jangan gegabah dalam melangkah, kendalikan rasa takut kalian, pastikan kita semua pulang hidup-hidup!"

Usai aksi spontan Sihar, Pusaka dengan enggan membubarkan barisan dan mempersilakan para Dwarapala itu untuk beristirahat di barak penampungan sementara. Setelah itu ia menghampiri Oka dan mencengkeram bahu remaja itu erat-erat, "Kamu jangan bicara seperti itu lagi di muka umum. Orang-orang akan salah mengartikan ucapanmu itu sebagai ucapan seorang ateis, dan kalau kamu dituduh ateis maka kamu akan dikonotasikan sebagai komunis, begitu kamu dicap komunis maka kamu akan direnggut dari kehidupan kami! Tulung Ajik dan Biang ini, Ning! Meski saya paham apa maksudmu, banyak perwira-perwira atas yang tidak mau mengerti soal ini. Ya? Paham?"

"Ya Ajik," Oka menjawabnya sambil lalu sebelum panggilan darurat masuk ke visornya

"Lapor! Kompi 1 Zeni sudah mulai bentrok dengan makhluk yang diduga Bumburaya di areal pemakaman Taman Padma! Mohon bantuan segera!" terdengar suara seorang prajurit dari seberang sana.

"Berangkatkan Lokapala ke tempat kejadian dan para Dwarapala ke titik-titik vital sekarang juga!" seru Pusaka via komunikatornya kepada para personel Unit Lima.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top