BAB 13.1 : DARI MANA?

Akademi Kumala Santika, 23.00 WITA

Sesosok bayangan tampak berjalan mengendap-endap menuju sebuah bangunan putih berlantai 10. Langkahnya terlihat amat hati-hati dan penuh perhitungan. Begitu ia sampai di pintu depan, tubuhnya ia bungkukkan sedemikian rupa sehingga penjaga keamanan yang berjaga di depan gedung itu tidak melihat dia datang.

Sosok itu kemudian menempelkan sebuah kartu ke kunci berpemindai yang tertempel di depan pintu lalu perlahan-lahan menutup pintunya dan kembali berjalan berjingkat-jingkat di dalam ruangan yang gelap lalu berusaha mencapai lift secepat dan sesenyap mungkin. Sosok itu menekan tombol lift, dan ketika lift terbuka ia segera masuk ke dalamnya sembari menekan tombol lantai 4.

Kemudian pintu lift tertutup dan mulai berjalan, namun alangkah kagetnya sosok itu ketika mendapati lift itu bukannya naik ke atas melainkan turun ke bawah menuju lantai yang seharusnya tak terdapat di tombol-tombol lift namun ada dan keberadaannya dirahasiakan. Lift itu tengah menuju basement, lima tingkat di bawah area parkir kendaraan milik akademi.

Ketika sampai di basement rahasia tersebut, sosok itu dengan gugup dan terpaksa melangkah keluar dari lift dan menyadari ada sekelompok orang yang tampak sudah menunggu kedatangannya sejak lama.

"Kamu dari mana saja, Nara?" tanya Panji yang saat itu mengenakan zirah Lokapalanya dan ditemani Oka yang baru saja melepas zirah Dwarapalanya.

"Ada satu gerombolan itu orang punya nama Layon keluar dari Pantai Timur dua jam yang lalu! Giliran ko dan Panji yang piket hari ini kan? Tapi Oka dan Panji panggil-panggil ko tak ko jawab! Akhirnya Oka dan Panji yang terjun dan basmi mereka! Ke mana saja ko?" Ignas tampak duduk di kursi yang biasa diduduki Oka saat menjadi observer, nadanya terdengar kesal dan meninggi, berbanding terbalik dengan pembawaannya yang biasanya supel dan ramah.

"Maaf sekali teman-teman, hari ini aku ada urusan. Tapi aku janji ke depannya peristiwa ini takkan terjadi lagi!" Nara menundukkan kepalanya dalam-dalam, berharap teman-temannya ini tidak memperpanjang pembicaraan ini lebih jauh lagi.

"Kamu gantikan saya piket besok, Nara! Dengan zirah Ignas yang masih direparasi karena adu jotos dengan Aytek kemarin, kita harus tetap waspada dengan segala kemungkinan serangan dadakan!" ujar Panji yang sudah usai melepaskan semua zirahnya.

"Siap komandan!" jawab Nara yang kemudian menyaksikan Panji dan Ignas tanpa banyak cakap lagi langsung menuju lift dan naik ke kamar mereka di asrama cowok.

Sementara itu Oka tampak tidak langsung menuju ke atas. Ia malah kembali ke kursi observernya dan Nara sudah sangat gugup kalau-kalau Oka menanyainya lebih jauh soal keberadaannya dari 4 jam yang lalu.

"Nara, buat apa kamu transfer uang 2 juta rupiah dari rekeningmu ke rekening orang lain jam 2 tadi siang?" tanya Oka penuh selidik.

Nara terhenyak, tadinya ia pikir Oka akan menanyainya tentang keberadaannya selama ini, tapi siapa sangka Oka malah mengorek masalahnya lebih dalam lagi.

"Itu untuk keperluan bujang aku," jawab Nara.

=======

Bujang = anak atau adik laki-laki (bahasa Dayak Iban)

=======

Oka mengernyit, tidak paham apa maksud kata 'bujang' itu sehingga Nara lekas-lekas menimpali, "Adik lelakiku di Singkawang. Dia butuh uang tambahan. Tapi dari mana kamu tahu aku transfer uang, Oka?"

"Bagian keuangan Unit Lima terus memantau kondisi rekening kalian berlima. Guna berjaga-jaga jangan sampai kalian melakukan transaksi ilegal. Tapi jujur baru kali ini bagian keuangan melihat transfer uang dalam jumlah sebesar ini, makanya aku diminta untuk menanyakannya."

"Oh jangan khawatir, aku nggak pakai uangku untuk macam-macam kok?"

"Juga nggak pakai uangmu untuk jajan di Colombo Resto and Dining Hall?"

DEG!

"Celaka!" batin Nara ketika menyadari Oka sampai tahu dia sempat ke sana.

"Itu ... juga diberitahu bagian keuangan?"

"Nggak! Tapi masuk ke laporan di komputer observer. Tagihannya kok besar? Kamu pesan apaan?"

Gadis berkemeja flanel merah itu langsung mendekat ke Oka lalu menatap Oka lekat-lekat dengan tatapan campuran antara memohon dan mengancam, "Oka, aku ada urusan keuangan yang harus aku selesaikan. Untuk kali ini aku bisa nggak percaya bahwa kamu nggak akan melaporkan macam-macam ke Unit Lima?"

"Yah, aku nggak tahu kamu habis beli atau bayar apa, tapi saya nggak bakal laporkan ini ke Unit Lima sih. Toh cuma sekali saja kan? Sitanggang juga sempat begini, waktu dia beli voucher Steam sampai 1,5 juta. Yang penting bukan dipakai untuk tindakan kriminal."

"Tidak kok, Oka. Percaya deh!"

******

Nara naik kembali ke lantai atas menggunakan lift yang sama dengan yang ia pakai turun tadi. Ia merasa lelah dan pusing karena segala hal yang ia alami hari ini. Setibanya di kamar ia dapati teman sekamarnya, Regina, sudah tidur pulas di ranjangnya. Nara pun langsung melepas celana panjang dan kemeja flanelnya lalu naik ke ranjang hanya mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan. Meski begitu ia tak bisa segera tidur. Benaknya terus menerus memikirkan kejadian tadi siang.

Siang tadi, saat istirahat, Nara mendapati di ponselnya tertera banyak nomor yang berkali-kali melakukan panggilan ke ponselnya. Nomor itu tidak ada dalam daftar kontak Nara dan dari kode areanya (0562), jelas sekali jika nomor itu berasal dari kota asalnya. Sejenak kemudian nomor itu kembali menelepon ponsel Nara dan Nara pun langsung menerima panggilan tersebut.

"Halo?"

"Hao Mang Nara! Ni Jang Surya! [Halo Kak Nara! Ini adik Surya!]" terdengar suara seorang remaja laki-laki dari seberang sana.

=====

Hao = Halo (bahasa Iban)

Mang = kependekan dari Umang (kakak perempuan dalam bahasa Iban)

Jang = kependekan dari Bujang (adik lelaki dalam bahasa Iban)

=====

"Ah Jang! Udah pulai sekolah de?"

"Udah Mang!"

"Udah makai de Jang? [Sudah makan kamu, Dik?]"

"Belum Mang!"

"Lo kenapa?"

"Apai tadi pagi pulai, ambil uang, buat biaya tambahan Indai katanya. Aku ditanyai apa tabungan aku masih ada, aku ga tega jawab sudah habis, alhasil semua uang dibawa Apai ke Pontianak. Aku boleh minta tolong Mang Nara nggak? Transfer ke rekening Asuk Tedi biar aku bisa hutang bahan makanan di tokonya lagi? Aku nggak enak soalnya anaknya Asuk Tedi habis kecelakaan motor dan Asuk tadi lagi sumpek sampai sempat bilang 'Papa kamu itu kalau mau hutang bayar sedikit dulu saja napa sih?' "

=====

Apai = Bapak (bahasa Iban)

Indai = Ibu (bahasa Iban)

Pulai = pulang

Asuk = sapaan bagi lelaki yang lebih tua daripada orangtua kita (dialek Hakka)

=====

Nara hampir saja tak bisa bernafas ketika mendengar kabar itu. Kabar soal ini sebenarnya klasik di telinga Nara, tapi tetap saja membuat hatinya terasa teriris-iris dan dadanya sesak. Sudah lima tahun ini Indainya sakit, dan penyakit Indainya membuat Apai harus menjual seluruh aset usahanya kemudian bolak-balik berhutang ke kerabat, tetangga, saudara, bahkan koperasi dan lembaga keuangan non-bank lainnya. Apai tak pernah mengeluh kepada siapapun juga, tapi Nara yang sering ikut bertugas di meja kasir di toko daging milik Apai bukan satu-dua kali saja didatangi orang-orang yang mengaku ditugaskan koperasi atau lembaga keuangan untuk menagih cicilan bulanan dari ayahnya. Di atas kertas saja pemasukan dan pengeluaran Apai selalu lebih besar pasak daripada tiang. Jadi merupakan sebuah keajaiban jika ia dan adiknya masih bisa hidup sampai sekarang.

"Umang nanti transfer ke rekening Bujang saja!"

"Nah itu masalahnya, Umang. Rekening Bujang punya sudah mati!"

Rasanya Nara ingin menyumpahi segala jenis bank yang ada di Indonesia ini. Di waktu sekolah dasar ia diajari mengenai hitung-menghitung matematika dengan asumsi bunga bank 12-18% per tahun. Kenyataannya? Kalau saldo kita di bawah 1 juta tidak akan ada bunga, jika di atas satu juta bunganya 2-4% per tahun. Tapi biaya administrasinya? Aduh Biyung! Enam sampai lima belas ribu rupiah per bulan! Dari mana tabungan bisa berkembang coba? Alih-alih berbunga tabungan malah tergerus tuh! Belum lagi selalu ada saldo tertahan yang tak bisa ditarik sama sekali! Padahal bagi Nara dan orang-orang seperti Nara, jumlah uang 50 ribu itu sangat berarti!

"Aku minta nomor rekening Asuk Tedi sama berapa jumlah utang Apai pada Asuk?"

"Utang Apai 1 juta, nomor rekening Asuk Bank BRI No. Rek XXXXXXXXXXXXXX," jawab Surya dari seberang sana.

"Umang transfer dua juta, bilang sama Asuk kau minta ditarikkan yang satu juta juga. Pakai baik-baik Jang!"

"Terima kasih laban nulong aku, Mang! [Terima kasih sudah bantu aku, Kak!]"

"Nadai ngawa! [Tidak masalah!]"

Sambungan terputus, tapi Nara merasakan nyeri di pusat dadanya, hasil campur aduk perasaan khawatir, sedih, marah, kesal, dan kecewa yang tak bisa dilampiaskan begitu saja.

Begitu sekolah usai, Nara langsung berganti pakaian dengan kemeja flanel dan celana panjang jenas lalu pergi tanpa memberitahu siapapun, termasuk juga Regina, teman sekamarnya. Ia pergi menaiki kereta menuju pusat kota Tanjung Paser dengan niat menghabiskan sore itu di pusat kota guna menenangkan pikirannya.

Siapa nyana di alun-alun Putri Petong, tempatnya duduk dan menghabiskan waktu sore, ia malah bertemu dengan seseorang yang pernah dia kenal di Singkawang dulu.

"Nara? Kamu Nara kan?" begitu wanita muda itu menyapanya.

"Eh Ayi Huan," Nara kaget juga jika kenalan lama keluarganya itu ternyata ada di Tanjung Paser.

====

Ayi = panggilan untuk wanita yang lebih tua (dialek Mandarin / Hakka)

====

"Wah sudah lama nggak ketemu ya? Kamu ngapain di sini?"

"Sekolah Ayi," jawab Nara.

"Wah? Sekolah di mana?"

"Kumala Santika."

"Waow! Beasiswa ya?"

Nara mengangguk malas, memang benar dia dapat semacam 'beasiswa' tapi tetap saja dia butuh duit yang lebih banyak daripada jumlah yang dapat ia terima dari 'beasiswa' itu.

"Kamu kenapa kok murung? Ada masalah? Bagaimana kabar Indai kamu?"

"Semakin buruk," Nara menyeruput coklat panasnya dengan malas, "Apai banyak hutang di sana-sini."

"Restoran keluargamu masih buka?"

Nara menggeleng. Ayi Huan memang terakhir kali bertemu Nara sekitar enam tahun yang lalu sebelum keluarganya pindah ke kota lain. Saat itu, ayah Nara masih memiliki sebuah restoran dengan beberapa karyawan. Tapi itu dulu! Sekarang? Jangankan restoran, toko daging saja sekarang sifatnyaa mengontrak dan nasibnya juga tidak jelas dengan semakin seringnya ayahnya menemani ibunya di Pontianak sana.

"Kamu butuh uang ya?"

Nara mengangguk, "Tapi anak SMA seperti aku bisa kerja apa?"

"Mau ikut Ayi?"

"Ikut apaan?"

"Ayi punya bisnis! Bagus! Imbal baliknya besar! Lihat tuh Ayi punya mobil juga karena bisnis ini!"

"Memang bisnisnya apa?"

Lalu wanita muda berblazer merah itu segera membuka sabak elektroniknya dan menjelaskan pada Nara tentang skema bisnis yang ia jalankan.

******

Jam baru menunjukkan pukul 3 pagi ketika Nara mendengar suara orang bermain sampek, alat musik mirip gitar namun hanya berdawai tiga, khas Suku Dayak. Nada iramanya berganti-ganti dari terdengar 'ceria', khidmat dan mistis, sampai 'seram' dan membuat bulu kuduk merinding. Nara langsung bangun dari ranjangnya, menyambar celana jeans dan sebuah jaket putih-hitam lalu naik ke atap asrama.

Benar saja! Dugaan Nara tidak meleset! Di atas atap memang ada sosok yang memainkan sampek dengan irama berganti-ganti seperti tadi. Sosok itu tak lain dan bukan adalah Sarita.

"Hao! Baka ni Sarita? [Halo! Ada apa ini Sarita?]"

"Aku lagi cari seseorang," jawab Sarita singkat, "Tapi kamu urus urusanmu saja dulu, Nara. Berurusan dengan orang ini tidak bikin kamu kaya."

Nada suara Sarita getir dan menusuk, Sarita juga seolah mempersalahkan Nara karena tidak memenuhi panggilan tugasnya tadi sore.

"Oke! Aku salah Sarita! Aku minta maaf!"

"Tidurlah lagi," jawab Sarita singkat sembari terus memetik dawai-dawai sampeknya.

Tapi Nara hanya berdiri terpaku di sana, tidak kembali ke kamarnya, sebagaimana yang diminta oleh Sarita barusan.

"Kalau kamu sakit, kamu juga yang susah, tidurlah lagi," ujar Sarita kembali.

Kali ini Nara menurut dan membalikkan badan lalu kembali turun ke kamarnya sementara Sarita masih saja memainkan dawai-dawai sampek itu bahkan sekarang cenderung lebih cepat daripada biasanya.

Sementara itu Nara mencoba kembali tidur di kamarnya meski hatinya terasa sakit karena semua orang rasanya mempersalahkan dirinya hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top