BAB 12.4 : AYTEK (ROH TANGKAPAN)
Klinik Baiduri, Tanjung Paser, 20.00 WITA
Amos terbangun dengan dunia terasa berputar terus menerus. Mata kirinya sakit dan tertutup sesuatu. Di depan atau kiri atau belakangnya – entahlah karena persepsi Amos sedang kacau – ia melihat Tyo, promotornya di Arena Sabung.
"Hei!" Amos memanggil Tyo dengan suara parau, "Ini di mana?"
"Klinik Baiduri, cuma di sini klinik yang nggak bakal tanya macam-macam soal kenapa kamu luka parah seperti itu. Tapi habis ini Amos, aku nggak mau lagi ikut-ikutan urusanmu. Kita dulu sudah pernah sepakat, tanding kecil-kecil tapi menang terus, lalu uang kita bagi. Sekarang makasih Amos, seluruh duit 30 juta hasil bertandingmu melayang begitu saja buat biaya berobatmu di sini! Aku saja belum ambil komisi dari hadiahmu selama ini! Sekarang permisi! Aku mau cari calon juara lain buat makan istri dan anakku!"
"Tyo! Tunggu!" Amos memanggil-manggil Tyo tapi pria itu sudah melenggang pergi.
"Tyo! Tyo!" Amos berusaha bersuara lebih keras dan membanting-banting kakinya untuk membuat keributan namun dengan segera para perawat datang, mengekang kaki dan tangan Amos dengan kasar lalu Amos merasakan suntikan di lehernya yang memaksanya jatuh ke alam mimpi.
******
Amos terbangun beberapa jam kemudian, masih di klinik yang sama namun dengan suasana yang sudah lebih hening. Di kursi penunggu pasien kini ia kembali melihat orang tengah menungguinya.
"Tyo?" panggil Amos, tapi orang itu bergeming diam.
"Tyo? Itu kamu?" lagi-lagi hanya keheningan yang menyapanya.
"[Kamu butuh uang]?" pria itu bersuara dengan bahasa yang belum pernah Amos kenali namun entah kenapa Amos paham apa maksud perkataan pria itu.
"Butuh Bapa, sangat butuh!"
"[Untuk apa]?"
"Beli ijazah Bapa! Saya sudah kuliah payah 7 tahun tapi gagal lulus terus! Tapi Bapa yang punya universitas tempat saya belajar bilang saya bisa dapat ijazah kalau bayar 70 juta!"
"[Bagaimana caramu dapat uang]?"
"Adu tarung Bapa!"
"[Tapi kamu kalah]!"
"Itulah Bapa! Sungguh bodoh saya tidak dengar apa kata Tyo tadi!"
"[Kamu mau bertarung lagi]?"
"Mau Bapa!"
"[Apa kamu mau bayar berapapun harganya]?"
"Bapa minta 50% dari uang hadiahku pun akan saya beri!"
"[Aku cuma minta satu darimu, Lancing. Pengabdian!]"
=====
Lancing = sapaan kepada pria dari kalangan orang biasa (baik tua maupun muda), dipakai di era kerajaan Blambangan, Banyuwangi
=====
"Bapa ingin saya jadi pengawal Bapa?"
"[Lebih tepatnya tukang pukul. Siapapun yang aku minta pukul kau pukul, tak usah banyak tanya! Paham?]"
"Paham Bapa!"
"[Sekarang aku akan pergi, dan begitu aku keluar dari sini, kau akan bangun dan kembali ke arena. Rebut kemenanganmu lalu aku akan memberimu perintah lanjutan]."
Pria itu bangkit dan beranjak keluar namun Amos tiba-tiba tersadar ia sama sekali tidak mengetahui dengan siapa ia bicara, "Tunggu dulu, Bapa ini siapa?"
"[Panggil aku ... Dyah Haladyudha]."
Pria itu lenyap bersamaan dengan pulihnya tenaga Amos. Badannya terasa segar, pandangannya tak lagi berputar-putar, dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk segera kembali ke arena untuk membalas kekalahannya. Ia pun segera bangun, mencabut selang infus dari tangannya yang segera saja mengucurkan sedikit darah namun anehnya langsung mengering beberapa detik kemudian.
Seorang perawat lelaki yang mengetahui Amos hendak keluar tanpa izin dokter berusaha mencegahnya, sayang seribu sayang Amos seperti dirasuki kekuatan dari dunia lain sehingga dengan satu dorongan saja perawat itu terhempas ke sudut ruangan, menghancurkan sebuah meja kayu yang di atasnya terbabar sejumlah barang elektronik serta gelas air minum.
*****
3 jam kemudian
Pusaka tadi baru saja menelepon petugas-petugas Unit Lima mengenai rencana kunjungan ke klub arena bawah tanah "Arena Sabung" milik Pak Bos. Pihak Unit Lima pun segera mengirim sejumlah pengintai untuk menyisir area sekitar sambil berkoordinasi dengan pihak intel kepolisian mengenai cara memasuki Arena Sabung tanpa menimbulkan kecurigaan. Tapi belum juga satu jam semenjak petugas pengintai menyisir area sekitar Area Sabung, sekitar 30 panggilan darurat terpantau masuk ke nomor 110 (kepolisian) dan 118 (ambulans gawat darurat) terlacak dari dalam Arena Sabung, namun tak ada suara yang jelas. Tanpa banyak ba-bi-bu, segenap anggota kepolisian dan Unit Lima yang ada di lapangan langsung mendobrak masuk Arena Sabung hanya untuk mendapati pemandangan paling menyeramkan yang mereka lihat.
Mereka melihat sejumlah anggota tubuh tercerai-berai di dalam Arena yang baru beberapa menit yang lalu terdengar ramai. Ada kaki dan tubuh yang terserak terpisah sejauh beberapa meter, ada pula jasad-jasad yang sebagian anggota tubuhnya hilang ada yang hilang kepalanya, kaki, tangan, bahkan ada yang kepalanya utuh, tangannya utuh, tapi tubuh dan kakinya remuk tercabik. Di panggung atas, para petugas polisi menemukan jasad orang yang disebut Pak Bos dalam kondisi tanpa tangan. Dari pengamatan seorang polisi, tangan Pak Bos seperti dicabut paksa oleh sesuatu yang kuat sekali.
"Bapak-bapak," para polisi yang memantau kondisi di sana akhirnya menjadi jeri sendiri, "apakah Unit Lima bisa mengurus masalah ini untuk selanjutnya?"
"Ya, silakan kalian pergi, tutup mulut seperti biasa," kata seorang petugas Unit Lima berpakaian sipil yang langsung melakukan panggilan ke markas, "Terjunkan Lokapala ke sisi timur laut kota! Kami butuh pengawalan saat memeriksa lebih jauh!"
"Menerjunkan Datu Merah dan Kasuari ke lokasi, perkiraan tiba 25 menit!" jawab operator di seberang sana.
******
Arena "Sabung", 20 menit kemudian.
Ignas dan Sitanggang tiba di lokasi kejadiaan dan langsung turun dari kendaraan lapis baja yang mengangkut mereka. Masing-masing segera mengeluarkan pistol dari kompartemen senjata mereka segera sesudah memasuki arena pertarungan ilegal yang penuh darah itu. Seorang petugas Unit Lima melambai ke arah mereka, tanda petugas itu minta dikawal oleh salah satu dari Lokapala itu. Ignas memisahkan diri dari Sitanggang, memutuskan untuk mengawal si petugas sementara Sitanggang merekam kondisi sekitarnya untuk sebagai rekaman pertanggungjawaban operasi.
Ignas mengikuti sang petugas Unit Lima menuju ruang rekaman CCTV di mana di sana juga teronggok satu lagi jenazah dengan posisi kepala ditancapkan ke tembok. Ignas pun sampai jeri melihat ada banyak mayat di satu tempat seperti ini.
"Ignas, coba kemari!" kata petugas tersebut.
Ignas pun mendekat ke panel monitor dan melihat rekaman kejadian yang lalu. Di sana ia melihat seorang yang perawakannya tak asing lagi baginya berusaha masuk ke dalam Arena, namun dicegah oleh sejumlah penjaga. Mungkin karena kesal atau marah, pria itu kemudian meninju para penjaga itu sehingga terjadilah perkelahian. Namun yang menjadi masalah, perkelahian kemudian bertambah parah ketika satu penjaga dipukul sampai terhempas ke tengah ruangan. Para petarung yang sedang bertarung di gelanggang pun akhirnya turun ring untuk ikut menghajar tamu tak diundang itu. Pemandangan yang Ignas saksikan terlalu sadis untuk dijabarkan. Pada intinya tamu itu mengamuk, mematahkan tangan, kaki, leher, atau menghancurkan kepala semua yang ada di sana tanpa pandang bulu. Orang-orang yang masih hidup berusaha lari tapi entah kenapa mereka tak sanggup bergerak karena kaki-kaki mereka ditahan oleh sesuatu sehingga mereka turut menjadi korban.
"Sa tak dapat percaya! Bagaimana bisa? Kenapa de orang jadi demikian?"
=====
De = dia
=====
"Kamu tahu dia, Ignas?"
"Sa tahu. Itu kaka namanya Amos Kobak. De punya Mace, ade sa punya Pace (Ibunya Amos, adalah adik bapak saya)!"
"Bagaimana ini Ignas?" tanya Sitanggang via visor Lokapala, "Kita kejar atau kita berkumpul dulu sama yang lain baru kejar?"
"Baik benar jika kita orang kumpul dulu sudah," Komot kali ini turut menanggapi, "Masalah ini adalah masalah melawan waruk (pemburu berkemampuan gaib) yang lain. Kamong berdua saja sama saja cari mampos(mati)!"
******
Markas Unit Lima, 30 menit kemudian
Rapat koordinasi sebelum operasi lapangan memang selalu menegangkan bagi setiap personel Unit Lima, tapi kasus ini jauh lebih menegangkan lagi sebab urusannya sudah melebar ke arah pembantaian. Profesor Denny, selaku pemimpin rapat, juga tak bisa menyembunyikan ketegangannya. Dirinya benar-benar was-was jika masalah ini meluber ke mana-mana lalu dipakai para politisi yang tidak suka dengan keberadaan Unit Lima untuk mensabotase atau membubarkan sekalian Unit Lokapala.
"Kita harus bisa menemukan Amos Kobak paling lambat 2x24 jam dari sekarang," kata Denny, "Di luar batas itu, polisi pun terpaksa bergerak dan jika polisi bergerak, pers akan turut meliputnya lalu akan terjadi kehebohan besar!"
Sementara itu, meski di tengah pertemuan, Ignas masih tak hentinya berusaha menghubungi nomor Amos meski jawaban yang ia terima selalu sama : "Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan!"
"Ignas!" Denny memanggil Ignas yang tampaknya tidak terlalu memperhatikan isi pertemuan, "IGNAS!" kali ini Denny meninggikan suaranya dan barulah perhatian Ignas kembali terarah penuh pada Denny.
"Kamu tahu bagaimana cara hentikan Amos? Atau mungkin Komot mau menambahkan?"
Komot yang merasa dipanggil pun keluar dari zirah Ignas kemudian berjalan mengitari meja tempat pertemuan, "Sosoknya kati (manusia), de punya bakat jadi waruk macam Ignas tapi tidak punya kómòcánòk, sampai kelemarin (kemarin) tampak biasa-biasa saja seperti kati normal tapi hari ini de orang mengamuk macam Kroda. Bapa Denny, de orang macam Aytek!"
"Aytek? Apa itu?" Panji yang sudah mati-matian mencoba memahami perkataan Komot yang bercampur dengan kosakata Melayu Papua dan bahasa Muyu kini menjadi semakin bingung.
"Aytek itu ko punya roh ditangkap orang lalu dikurung di satu barang. Kalo ko orang sudah mati ko jadi budak suruhan, kalau ko masih hidup ko jadi orang kuat macam Amos tapi ko wajib tunduk sama orang yang ko jiwa punya!"
"Semacam horcrux-nya Lord Voldemort dalam film Harry Pottter? Jiwanya dititipkan ke benda-benda tertentu sehingga dirinya lumayan 'kebal' dan sulit mati?" timpal Nara.
"Sa kurang paham apa ko maksud dengan horcrux, tapi mungkin kira-kira demikian!" sahut Kasuari.
"Bagaimana cara mengalahkannya?" tanya Oka.
"Ada dua, Ignas hancurkan tubuh Amos tanpa sisa atau ada yang temukan benda pengurung Amos punya jiwa lalu hancurkan pengurungnya!"
"Lebih mudah bunuh Amos," kata Denny.
Ignas terperanjat dengan betapa dinginnya nada bicara Sang Profesor, "Maaf Bapa Denny tapi sa tak mau bunuh sa punya kaka sepupu segampang ini!"
"Lalu bagaimana kamu mau temukan jiwa si Amos ini? Kamu tahu di mana harus carinya?"
"Maaf Prof, ada teknik serupa digunakan pula di masyarakat Dayak masa lampau. Jika jiwanya dikurung di suatu tempat, maka pastilah digantung di tempat tinggi dan punya sejarah. Jika kita periksa fakta dari laporan Kapten Pusaka bahwa di Bukit Tiga Orang Tuha pernah ada anak kecil dibantai di suatu tempat untuk sebuah ritual yang akhirnya mendatangkan kroda-kroda ini, saya yakin kita bisa menemukan benda pengurung jiwanya di sana."
"Berarti kita harus pecah tim jadi dua?" Denny menghela nafas, "Kamu yakin bisa sendirian Nara?"
"Biar aku ikut Nara," ujar Sitanggang, "Datu Merah pasti juga tahu masalah seperti ini!"
"Ignas, Regina, dan saya akan menyisir kota!" sambung Panji.
Lalu pembicaraan mereka disela oleh laporan seorang teknisi wanita, "Maaf mengganggu Prof, tapi ada kamera CCTV di dekat Pantai Timur yang menangkap wajah Amos tengah berbelanja di sebuah minimarket.
"Jangan buang waktu! Tangkap dia hidup atau mati! Jika Nara gagal maka aku minta Panji, Ignas dan Regina siap-siap bunuh ini orang!"
"Bapa saya ...!" Ignas hendak mengungkapkan kembali ketidaksetujuannya tapi Denny langsung menghardiknya keras.
"KAMU MAU TRAGEDI KUMALA DAN SANTIKA TERULANG LAGI HANYA GARA-GARA KAMU INGIN TOLONG SATU ORANG?!!!" Denny mengatakannya dengan penuh emosi sambil memukul meja.
Semuanya langsung terdiam karena meja yang barusan dipukul oleh Denny retak, menandakan Sang Profesor dalam mode tidak bisa diajak berargumentasi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top