BAB 12.3 : KUMALA DAN SANTIKA

Akademi Kumala Santika, Tanjung Paser, 13.00 WITA

Meskipun Ibu Kepala Yayasan berkata pada Ignas bahwa ia harus mengikuti pembinaan khusus bersama Ibu Kepala Yayasan selama masa skorsing, pada kenyataannya sampai jam 11 siang yang Ignas lakukan hanya bengong di kantor kosong karena Ibu Kepala Yayasan sedang ada urusan lain. Baru pukul 11 siang, akhirnya Ibu Kepala Yayasan memasuki kantornya kemudian bertanya pada Ignas, "Kamu punya baju lain selain baju seragam?"

"Aa, ada baju untuk saya latihan tinju Ibu."

"Pakaian resmi? Kemeja yang dipakai di luar latihan atau sekolah mungkin?"

"Ada Ibu, tapi hanya satu stel, itupun baru biasa saya pakai ke gereja."

Ibu Ketua Yayasan langsung beranjak ke sebuah lemari pakaian di ruang kerjanya lalu mengeluarkan dua stel pakaian resmi lengan panjang, yang satu berwarna merah padam dan yang satu biru tua. Ia juga menyodorkan sebuah celana panjang kain hitam kepada Ignas.

"Pilih satu dari dua ini Ignas, lalu temani saya."

Ignas tak membantah, ia memilih hem yang berwarna merah lalu minta izin pada Ibu Ketua Yayasan untuk memakai kamar mandi beliau dan mengganti seragam sekolahnya dengan hem merah dan celana kain pinjaman itu.

"Sudah siap?" tanya Ibu Ketua Yayasan ketika Ignas usai berganti pakaian.

"Sudah Ibu!"

"Ayo pergi!"

******

Bukit Tiga Orang Tuha, Tanjung Paser, 14.00 WITA

Ibu Kepala Yayasan membawa Ignas naik mobil sedan hitamnya kemudian menyuruh sang sopir membawa mereka berdua ke Bukit Tiga Orang Tuha atau lazim juga disebut Bukit Barat karena letaknya ada di sebelah barat kota Tanjung Paser.

Dalam perjalanan Ibu Kepala Yayasan lebih banyak diam sampai akhirnya mereka tiba di sebuah taman bunga pribadi yang di depannya dijaga beberapa petugas keamanan dan diberi tulisan : PROPERTI MILIK PRIBADI! DILARANG MASUK!

Seorang petugas keamanan membukakan pintu bagi Ibu Kepala Yayasan sambil menunduk hormat, "Selamat siang Bu Palupi!"

"Selamat siang Pak. Bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulilah baik, Bu! Ibu mau masuk ke dalam?" tangan petugas keamanan itu sambil menunjuk sebuah bangunan mirip rumah berdinding marmer.

"Ya Pak. Tolong dibukakan ya?"

Ignas yang turun agak kebingungan apakah harus mengikuti Ibu Kepala Yayasan atau menunggu di sini saja, tapi kemudian Palupi memberi isyarat pada Ignas untuk mengikutinya masuk ke dalam.

Ignas menurut lalu masuk ke dalam mengikuti Palupi. Ignas terkejut ketika menemukan bahwa bangunan mirip rumah itu ternyata adalah tak ada isinya sama sekali kecuali dua buah ruangan yang diberi jeruji dan dua pasang batu nisan dari batu onyx kuning berurat abu-abu yang tertanam di tengah ruangan.

"Kenapa Ibu bawa saya kemari?" tanya Ignas kepada Palupi, "Makam siapa ini Ibu?"

"Ini adalah makam Kumala dan Santika," kata Palupi lirih.

Ignas terkesiap, hendak menanggapi namun suaranya tercekat karena ia tak pernah menyangka bahwa nama Kumala-Santika yang siswa-siswi akademi sandang ternyata adalah nama dari dua anak perempuan yang sudah mangkat sepuluh tahun yang lalu. Tanggal kematian dan tanggal lahir di batu nisan yang tadi tak sempat Ignas perhatikan menunjukkan mereka adalah anak kembar dan sama-sama meninggal kala usia mereka 10 tahun.

"Mereka ... anak-anak Ibu?"

Palupi terisak dan mengangguk lemah, tapi Ignas tidak dapat menahan diri untuk bertanya lebih jauh lagi, "Maaf Ibu, mereka meninggal ... kenapa?"

"Karena makhluk dari seberang, Ignas. Makhluk yang sama dengan yang kalian lawan selama ini, Lokapala Biru, atau kamu lebih suka dipanggil 'Kasuari'?"

Ignas kembali terkaget-kaget ketika mengetahui bahwa Palupi tahu soal Lokapala.

"Jangan terkejut begitu Ignas, saya sudah diberitahu soal para Dwarapala sejak lama, saat Unit Lima masih dipimpin Doktor Samad."

Ignas bingung harus berkata apa, meski dia ingin bertanya sejauh mana 'pembinaan', urusan Lokapala, dan kunjungan ke tempat ini berhubungan.

"Dulu kami berempat, saya, suami, Kumala serta Santika berpiknik di sini. Ini adalah taman pribadi kami. Diwariskan ayah saya, CEO Kapila sebelum ini kepada saya untuk dikelola bersama suami saya. Piknik kali itu adalah untuk memperbaiki hubungan saya dan suami yang sudah tidak harmonis sekaligus menenangkan Kumala dan Santika yang terus-menerus khawatir orangtuanya akan bercerai."

"Tapi siapa nyana hari itu akan menjadi hari naas. Kala kami membuka bekal dan Kumala tengah mengejar-ngejar kucing peliharaan kami yang kabur, tiba-tiba muncul keberadaan 'makhluk dari seberang', segerombolan Layon – makhluk mirip mayat hidup itu – lebih tepatnya. Makhluk itu langsung mencengkeram Kumala, membawanya terbang lalu mencabiknya menjadi dua. Setelah itu ia menyerang suami saya dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya lalu ... Santika saat itu hanya tercabik, luka dalam, para pengawal saya cepat-cepat mengamankan saya dan membawa Santika bersama saya ke rumah sakit. Tapi ... pendarahan Santika terlalu banyak sehingga ia meninggal tepat lima menit setelah masuk IGD."

Ignas tak tahu lagi harus bicara apa, tapi Palupi sepertinya belum selesai bicara, "Suami saya mewariskan Sastrika, perusahaan persenjataan infantri mekanis untuk militer dan kepolisian pada saya. Dan setelah itu, pemerintah mencanangkan program pasukan khusus Dwarapala, mereka menghubungi saya dan meminta saya menyediakan tempat bagi mereka untuk belajar dan bergaul sebagaimana anak-anak normal lain. Oleh karena itu saya membangun akademi setingkat SMA untuk menampung mereka. Kamu paham arti semua ini Ignas?"

"Maaf Ibu, saya masih kurang paham."

"Jangan bertengkar atau membuat masalah yang bisa menyulitkan dirimu. Misalnya anak yang kamu hajar tadi pagi, meskipun mungkin anak brengsek, tapi dia saudaranya pejabat. Di sini Ignas, pejabat saling berperang pengaruh. Bisa saja mereka memutuskan untuk memberhentikanmu sebagai Lokapala karena dianggap 'tidak berperilaku baik'. Kalau kamu berhenti maka Nara, Regina, Panji, dan Sitanggang harus berjuang tanpa kamu! Padahal tim kalian kecil, tim asli dari generasi Oka saja pernah mencapai 12 dan pada akhirnya hanya tersisa Oka saja. Jika Dwarapala maupun Lokapala tidak ada lagi, bagaimana perasaan ibu-ibu lain seperti saya yang mungkin harus kehilangan anaknya karena serangan makhluk dari seberang?"

"Jadi Ibu minta saya diam saja melihat ketidakadilan?"

"Tidak juga, tapi jika bertindak, lakukanlah secara tidak langsung, jangan tunjukkan muka, jangan pula sampai aksimu terekam kamera pengawas. Teruslah melindungi kota ini selama mungkin! Saya dan banyak orang mengandalkan kalian! Sebab Lokapala adalah jawaban dari ancaman yang mengintai kami selama ini!"

Lapas Narkotika Teluk Bayur, Samarinda, 14.00 WITA

Mobil yang ditumpangi Mardi dan Pusaka berhenti di sebuah lapas narkotika yang digadang-gadang paling ketat dan modern di Kalimantan. Lapas Teluk Bayur namanya. Tahanan di sini rata-rata adalah pengedar, namun kebanyakan hanya pengedar kelas teri atau menengah. Hanya satu pengedar kelas kakap yang ada di sini, namanya Leon Herucakra, itupun dia dimasukkan kemari karena kondisi yang tidak biasa. Dia menyerahkan diri dengan syarat tidak pernah dibawa kembali ke Tanjung Paser dan ia meminta diizinkan menemui sejumlah paranormal untuk meminta jimat pelindung.

Sangat aneh? Kalau belum cukup aneh, sipir penjara mengeluhkan kebiasaan Leon yang selalu berteriak-teriak dan menghajar rekan-rekan satu selnya dengan tenaga yang di luar nalar manusia tiap tengah malam, sehingga mau tidak mau Leon harus dipisahkan dari tahanan lain.

Ketika Mardi dan Pusaka datang, mereka mendapati tahanan bertubuh subur itu kantung matanya menghitam kemerahan, tampaknya ia mengalami kombinasi sakaw narkotika sekaligus kurang tidur.

"Selamat siang, saya Mardi, warok dan paranormal!" Mardi tanpa ragu menyebutkan profesinya sebagai paranormal kepada Leon.

Yang disapa hanya menjabat lemah sebelum menatap Mardi serta Pusaka dengan tatapan penuh selidik.

"Tentara yang paranormal?" tanya Leon.

"Bisa dibilang begitu."

"Bisa buat saya tidur nyenyak?"

"Masih sakaw?"

"Saya tidak bisa tidur bukan karena sakaw. Sakaw saya masih bisa tahan, tapi yang ini lain."

"Apa yang Anda alami?" tanya Pusaka.

"Mimpi buruk, berganti-ganti, kali ini soal arena bawah tanahnya Pak Bos!"

"Pak Bos alias Sattar Muis?" alis Pusaka mulai naik sebelah.

"Ya! Saya bermimpi ada salah satu jawara yang sempat kalah datang untuk membalas dendam lalu setelah itu jadilah banjir darah di sana!"

"Apa yang membunuh mereka?" tanya Mardi.

"Tak jelas, tapi saya alami mimpi ini berulang kali."

"Sebelum ini mimpi apa?"

"Saya mimpi lihat sekumpulan anak remaja membawa senapan masuk ke sebuah museum di kota tua Jakarta. Pemimpin mereka kemudian disergap orang asing lalu dibawa ke suatu tempat yang gelap, setelah itu saya hanya dengar erangan dan rintihan, dan ... dan ... wajah seram mengancam akan mendatangi saya untuk menagih janji!"

"Ah ya, soal janji itu. Bisa diceritakan?" tanya Mardi lagi.

"Off the record?" mata Leon nyalang.

Mardi mengangguk, "Tak akan kami rekam, dan takkan muncul di persidangan!"

"Dulu saya dan teman-teman sempat melakukan sebuah ritual pencarian kekayaan. Kami lakukan ini di Bukit Tiga Orang Tuha. Kami culik seorang anak kecil lalu berdasarkan panduan dari seorang teman kami yang kebetulan tahu soal begituan, kami membunuh dan menumpahkan darah anak itu di bukit tersebut."

"Dengan cara apa kalian membunuh anak itu?"

Leon terdiam lama sebelum menjawab, "Dibelah perutnya hidup-hidup lalu ususnya digunting lima senti per lima senti."

Pusaka harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan diri agar tidak menonjok gembong narkoba yang ternyata juga pembunuh berdarah dingin ini. Mardi juga mengisyaratkan Pusaka untuk sabar dengan menepuk-nepuk bahu kanan Pusaka.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Saya dipercaya bos saya untuk mengelola bisnis narkotika di Indonesia Timur. Rejeki saya makin lancar, teman yang lain pun dapat proyek-proyek besar di bidang usaha masing-masing sampai kemudian kami diteror mimpi buruk untuk kembali menyerahkan tumbal."

"Di Bukit Tiga Orang Tuha lagi?"

"Bukan, kali ini di tengah laut, 5 kilometer dari pesisir Tanjung Paser. Suara itu meminta kami mengorbankan sepuluh anak lagi. Maka kami lakukan itu."

"Lalu?"

"Tumbal yang terakhir itu sungguh memuakkan bagi kami. Apalagi satu dari 10 tumbal itu adalah anak teman kami sendiri! Kami pun bersumpah takkan menuruti lagi kemauan makhluk itu. Namun sebulan setelah itu saya mendapati teman-teman saya mulai menghilang satu demi satu. Dengan segala pengaruh saya di dunia bawah tanah maupun teman-teman di kepolisian sampai agensi detektif swasta, saya mencoba menemukan mereka tapi mereka semua raib bak ditelan bumi. Beberapa waktu kemudian suara itu muncul di mimpi saya lagi, mengancam akan menjemput saya karena sudah berani memutus perjanjian secara sepihak. Saya panik, dan bertandang ke banyak paranormal dan orang pintar. Anehnya semua paranormal dan orang pintar itu tiba-tiba banyak yang meninggal mendadak tak lama setelah saya berkunjung."

"Dan puncaknya saat Anda mengadakan pesta lalu diserang itu ya?" tanya Mardi lagi.

"Ya," Leon mengangguk, "Suara itu sempat berkata bahwa kelak saya akan 'dijemput' seorang yang sangat ingin garis keturunan saya musnah. Dan malam itu seorang yang menyebut dirinya 'Rake Tuhan Mapatih Halayudha' tiba-tiba menyerbu pesta saya."

"Tapi sekarang ... apakah Anda aman di sini?"

"Saya harap begitu, suara itu tak pernah datang lagi, meski mimpi buruk terus menghantui."

Mardi kemudian menyodorkan sebuah tabung berisi penuh pil, "Minum ini tiga kali sehari sesudah makan, ini akan merilekskan diri Anda dan mengurangi frekuensi mimpi buruk Anda. Tenanglah, mimpi buruk Anda takkan membahayakan diri Anda. Tapi untuk berjaga-jaga kami akan mampir untuk memperingatkan Pak Bos."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top