BAB 12.2 : ARENA SABUNG
Gereja Santo Tarsisius, Tanjung Paser, 05.30 WITA
Thobias, ayah Ignas, dulu pernah cerita ke Ignas bahwa di luar Agats, pastor asli bisa pimpin misa tiap hari, bukan ibadah seminggu sekali seperti yang Thobias pimpin.
"Jadi ko tahu? Di luar sana, Ignas, Pace lihat misa tiap hari. Kala Senin sampai Jumat misanya pagi benar, jam 6 pagi, kalau Sabtu ada misa jam 5 sore dan kalau Minggu jika memungkinkan misa bisa tiga kali jam 6 pagi, jam 8 pagi, dan jam 6 sore. Di Kalimantan sana, kalau ko sempat dan malam sebelumnya tidak sedang tahan mata cobalah datang misa pagi-pagi!"
Ignas pikir saran itu tidak jelek, apalagi di saat-saat seperti ini, di kala pikiran Ignas masih sedikit tidak terima akibat dipersalahkan atas perbuatan yang dia anggap benar. Jadilah Ignas keluar asrama pukul lima pagi dalam kondisi sudah mandi dan berpakaian bagus lalu berjalan ke gereja Katolik terdekat dan menunggu misa dimulai.
Kala menunggu jarum jam menunjukkan pukul enam tepat, mata Ignas menatap sosok yang tampak mencolok di antara jemaat Gereja lainnya. Sosok itu berkulit hitam arang seperti dirinya, seorang lelaki asal Papua dan wajahnya juga tidak asing bagi Ignas. Maka Ignas pun beranjak bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke arah tempat duduk pemuda itu.
Pemuda itu tampak berlutut berdoa sejenak sebelum mengakhiri doanya. Ketika pemuda itu sudah duduk kembali, Ignas langsung menepuk bahunya, "Aaa Kaka Amos apa kabar?"
Yang disapa terkejut, "Ignas? Sejak bilamana kamu di sini? Kam pu pace de di (Ayahmu ada di mana)?"
"Sa sendirian di mari! Sa ambil sekolah di sini. Kaka juga kah?"
"Aa iya, iya. Kaka ambil sekola di sini."
"Wah hebat Kaka. Ambil apa? Jika tak salah Pace bilang Kaka dulu pergi ke Makassar dulu ambil Bahasa Inggris? Jadi sekarang ambil gelar master?"
"Aaa tidak, di Makassar dulu Kaka cuma ambil diploma. Tapi di sini Kaka ambil S-1. Ko pu sekola mana?"
"Kumala Santika, ah, nanti saja kita lanjutin bicara ini. Pastor sudah masuk!"
Pastor memasuki gereja, umat berdiri, koor mulai menyanyikan lagu rohani berirama Latin-Roma. Misa dimulai.
******
Amos tampak khidmat mengikuti misa itu, saking khidmatnya Ignas sampai heran. Sebab setahunya sepupunya itu bukan tipe orang yang suka duduk diam, apalagi diam sambil berdoa khidmat.
Seusai misa, Ignas sempat ingin mengajak Amos untuk sarapan sejenak, tapi Amos langsung menolak.
"Aduh Ade,sa benarnya mau makang bunuh sama Ade, tapi ini kaka harus mancari. Nanti kalo kaka telat, kaka pu bos mangamuk sudah (Aduh Adik, saya sebenarnya mau saja makan banyak sama Adik, tapi saya harus pergi kerja, kalau telat bisa-bisa saya diamuk bos)!"
"Kalo begitu, sa minta saja kaka pu nomor hp!"
"Ah ya, sa pu nomor XXXXXXXXXXXX!"
"Nanti sa telepon!" ujar Ignas.
"Jangan telepon sudah. Ade kirim pesan saja eee! Sa di mancari maniso benar (Saya di tempat kerja sibuk benar)!"
"Memang Kaka mancari di mana pula?"
"Kapan waktu saja Kaka cerita. Selamat jumpa lagi ya, ni Kaka su lat (Maaf ya, ini kakak sudah terlambat)!" ujar Amos yang kemudian berlari ke seberang jalan sambil melambaikan tangannya.
Dan Ignas yang ditinggal sendirian di depan gereja tiba-tiba sadar bahwa ini sudah jam 7 pagi. Sudah waktunya dia kembali ke asrama. Bukan! Bukan karena dia harus berangkat ke sekolah tapi ... karena kantin asrama menutup sesi sarapan pukul 7.30 pagi yang artinya Ignas harus cepat-cepat kembali ke asrama jika tidak mau ketinggalan jam sarapan!
******
Ignas sampai di ruang makan tepat jam 7.25. Langsung saja ia minta dibungkuskan nasi untuk ia makan nanti. Si ibu penjaga kantin hari ini kebetulan adalah orang yang biasa anak-anak panggil Mama Monika, orang Manokwari, satu pulau dengan Ignas, sehingga kembalilah terjadi dialog Melayu Papua di kota berjarak 1500 kilometer dari ujung Pulau Papua itu.
"Kam makan bunuh ato kacupling Ignas (Kamu mau makan banyak atau sedikit, Ignas)?"
"Bunuh Mama (Banyak Bu)!"
"Sa dengar kam dapat skorsing Ignas. Kenapa?"
"Sa arahkan palungku pada dorang salah (Saya arahkan tinju pada orang yang bersalah). Tapi di mari pukul dorang meski salah rupanya tidak boleh!"
"Di mari beda dengan Tanah Papua, Ignas. Di Papua, kitorang pertama ikut apa kitorang punya Paitua-Maitua (para tetua) bicara soal adat, kalau adat tidak omong kitorang ikut apa kata Injil, jadi apa yang Amber (pegawai berseragam/PNS/pejabat) bilang punya hukum tak perlu kitorang baca. Di mari kam baiklah baca-baca sedikit hukum apalagi yang Amber itu sebut hukum pidana-perdata."
"Nanti sa baca ... kalau sempat!" jawab Ignas sembari menerima dua bungkus besar nasi berisi lauknya.
"Salamat makan bunuh (Selamat makan besar)!"
"Terima kasih, Mama!"
******
Sementara itu Amos sehabis dari gereja, langsung berlari menuju ke sebuah stasiun KRL dan bertemu dengan seorang pria kekar berjaket kulit yang tengah bersandar di sebuah tiang sambil menyesap kopi panas, "Tyo, aku titip ponselku selama seminggu di kamu. Tolong aku dipinjami salah satu ponselmu itu ya?"
"Kenapa? Kamu dikejar polisi?" pria bernama Tyo itu tampak waspada.
"Tidak, tapi ternyata sepupuku ada di kota ini, sekolah di sini. Aku bilang ke dia kalau aku sekolah di sini, tapi itu anak akan cukup pintar dan cukup cepat menyadari jika aku di sini bukan untuk kuliah. Aku harus mengumpulkan duit lebih cepat lagi. Aku akan lawan Nuri malam ini!"
"Nuri? Hei, hei Bung! Aku tahu kalau kamu itu juara favorit di arena, tapi tolong pertimbangkan lagi. Melawan Nuri sangat beresiko. Sudah berapa banyak jawara yang dia kalahkan di arena? Lebih baik bertarung lawan jawara-jawara kecil banyak kali dan duit 100 juta pun kau dapat!"
"Berapa kali itu? Sepuluh-lima belas kali lagi kan? Tidak Tyo! Aku tidak mau Ignas memergokiku lagi di Tanjung Paser. Nanti dia akan terus kejar aku untuk mengatakan aku kerja di mana, nanti dia mampir ke rumahku, nanti dia cecar dan paksa aku berkata jujur soal kondisiku. Begitu dia tahu, dia akan kabarkan kepada seluruh keluarga Salabai bahwa Amos Kobak kuliahnya hangus! Tujuh tahun merantau di Makassar hanya menghasilkan setumpuk nilai E tanpa ijazah sama sekali! Begitu saya punya Mace dengar bisa mati dia nanti! Tahu Tyo? Aku tidak mau itu terjadi! Jadi bilang ke Pak Bos bahwa aku akan menantang Nuri malam ini!"
"Bro ... kalau kamu mati ... aku tidak akan tanggung jawab!" Tyo mendesah sambil mengirimkan sebuah pesan singkat melalui suatu aplikasi ke sebuah nomor.
Ponsel Tyo berbunyi dan sebuah pesan masuk untuk membalas pesan Tyo barusan. Bunyi pesan itu :
LUARRR BIASAAA!!! SAYA SETUJU!!! BILANG PADA "KASUARI" UNTUK SIAP-SIAP MALAM INI!
=BOS=
"Matilah kau Bung! Pak Bos semangat sekali melihat kamu mati! Sudah selesai sucikan diri di gereja?"
"Sudah!"
"Sekarang pulang, tidur, lalu bangun sore hari dan temui aku di arena! Paham?"
******
Hotel Bumi Senyiur, Samarinda, 09.00 WITA
Kapten Pusaka baru saja keluar dari RS sekitar seminggu yang lalu, tapi karena bebal dan keras kepala tidak mau istirahat, maka Denny dengan sengaja mengirimkan Si Kapten beserta istrinya ke Samarinda dengan penugasan yang tidak jelas. Perintah yang dia terima hanya : menunggu kabar dari agensi dalam negeri yang bekerjasama dengan Unit Lima kemudian membicarakan rencana kerjasama dalam beberapa tahun ke depan.
Sudah! Begitu saja! Tidak ada dokumen proposal kerjasama yang tebalnya ratusan halaman, tidak ada email penugasan lanjutan, tidak ada pula dokumen histori kerjasama antara badan tersebut dengan Unit Lima. Nama badannya sendiri juga tidak jelas, membuat Kapten Pusaka menduga bahwa Denny sengaja mengerjainya dan menyuruhnya untuk istirahat seminggu lagi.
Laksmi mungkin senang-senang saja bisa liburan berdua dengan suaminya, tapi Pusaka yang tidak pernah terbiasa dengan liburan di hotel mewah dengan dibiayai uang negara merasa tidak nyaman dengan segala fasilitas yang dia terima. Apalagi ketika tahu bahwa harga sewa kamar yang ia tempati ini 1 juta rupiah per malam.
Lalu di hari ketiga datanglah 'penghiburan' bagi Pusaka. Secara kebetulan Dakara tiba-tiba menghubungi Denny, mengajak perwakilan Dakara dan Unit Lima bertemu di Samarinda. Pas sekali!
Dan Pusaka lebih terkejut lagi ketika ia tahu siapa perwakilan Dakara yang ia temui saat ia menemuinya di lobby hotel.
"Warok," ia mengucapkan gelar lawan bicaranya dengan suara pelan, "Mardi!" dan Pusaka menyebut nama kenalan lamanya itu dengan lantang.
"Ya Kapten! Tampak sehat saya rasa meskipun katanya Anda baru saja keluar dari RS ya?"
"Kecelakaan kecil di Selat Makassar!"
"Kecelakaan dari Hong Kong kah? Tujuh puluh lima jahitan di perut, tiga puluh jahitan di lengan kiri, enam jahitan di dahi, ditambah penjahitan usus. Kecelakaan kecil yang luar biasa Kapten!"
Pusaka tertawa lalu mengikuti Mardi yang mengajaknya naik kendaraan dinasnya.
"Bagaimana kabar Warok Mardi sekarang?" tanya Pusaka ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
"Tetap di Dakara. Euh ... kami sedang diminta Menteri Pertahanan untuk ... uh ... menyelidiki lebih intensif tentang makhluk dari seberang."
"Unit Lima sedang melakukan itu."
"Dari sisi sains iya! Apakah Profesor Denny dan timnya juga mempertimbangkan sisi supranaturalnya?"
"Kami punya lima paranormal."
"Ya, lima paranormal remaja dengan roh pendamping mereka yang penuh rahasia-rahasiaan kan?"
"Oke, jadi apa yang Dakara pelajari sejauh ini?"
"Kami mencoba memikirkan kemungkinan bahwa selain makhluk yang kalian sebut Kroda, ada intervensi lain yang dilakukan makhluk-makhluk dunia seberang dengan dunia kita."
"Misalnya?"
"Pembajakan tubuh, atau orang biasa sebut kesurupan mungkin?"
"Oke ... kesurupan," Pusaka ingin tertawa tapi takut dosa.
"Tapi ada kasus lain selain kesurupan, salah satunya menimpa tersangka narkoba kesayangan Unit Lima."
Tersangka narkoba dan punya sejarah dengan Unit Lima! Pikiran Pusaka langsung tertuju pada Leon Herucakra [lebih jelasnya lihat Bab 6 : Mahapati].
"Kita mau mewawancarai Leon Herucakra?"
Warok Mardi mengangguk.
******
Arena "Sabung", Tanjung Paser, 23.00 WITA
Jika seorang memiliki terlalu banyak uang, apa yang akan ia beli? Mobil mewah? Tas mahal? Rumah mewah? Liburan ke luar negeri? Mungkin untuk sementara waktu mereka akan menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang demikian. Tapi bagi beberapa orang kaya, setelah memiliki itu semua, menikmati itu semua, semua kenikmatan itu menjadi terasa hampa. Untuk mengisi kekosongan itu sebagian orang kaya mulai mencari-cari sesuatu yang menantang dirinya untuk menjadi 'lebih'.
Beberapa orang kaya tersebut kemudian akan memilih menyumbangkan uangnya untuk kegiatan-kegiatan sosial, beberapa memilih untuk bermain-main api dengan biduk rumah tangganya dengan 'menyantuni' daun-daun yang lebih muda, tapi ada juga yang memilih jalan lebih ekstrem lagi : mempertaruhkan kehidupan manusia!
Keberadaan arena pertaruhan nyawa manusia ini lazim disebut arena pertarungan bawah tanah atau underground fight club. Secara resmi arena semacam ini sering disangkal, hanya dianggap sebagai khayalan fiksi, tapi pada kenyataannya ada beberapa arena pertarungan ilegal macam ini di dunia mulai dari New York – Amerika Serikat, Hong Kong – RRT, Khon Isan – Thailand, dan di Indonesia ada satu di Tanjung Paser. Khusus untuk Tanjung Paser, arena pertarungan bawah tanah ini benar-benar menyabung nyawa para petarungnya secara harafiah.
Nama Arena ini adalah "Sabung", dipimpin dan dikelola oleh seorang mantan taipan properti di wilayah Indonesia Timur yang kemudian merambah bisnis-bisnis haram tapi legal seperti mega kasino di Batam. Sattar Muis namanya, tapi orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Bos. Banyak petarung tangguh mempertaruhkan dirinya di arena Sabung milik Pak Bos, sebagian kecil bertarung untuk kesenangan, dan sebagian besar bertarung untuk uang. Bagi mereka yang bertarung untuk uang, Pak Bos menjanjikan hadiah utama sebesar 200 juta rupiah jika mereka bisa mengalahkan jagoan peliharaan Pak Bos bernama sandi 'Nuri'.
Tidak banyak yang berani melawan 'Nuri', meskipun penampilan sang juara bertahan itu tidak segagah binaragawan, tapi semua petarung pro yang sayang nyawa tahu bahwa lebih baik mundur daripada harus lawan 'Nuri'. Jika hanya disuruh bertarung untuk kesenangan atau uji kemampuan, 'Nuri' akan layaknya petarung MMA (Mixed Martial Arts – Bela Diri Campuran) lainnya. Tapi jika Pak Bos menyuruh 'Nuri' untuk bertarung demi uang maka 'Nuri' takkan segan mematahkan tangan atau kaki lawannya bahkan pernah dua kali 'Nuri' akhirnya menewaskan lawan tandingnya dengan memelintir lalu mematahkan tulang leher lawannya.
Tapi akhir-akhir ini di arena orang-orang mulai membicarakan kandidat juara baru yang mungkin bisa menyaingi 'Nuri', nama sandinya 'Kasuari' dan kini di atas arena yang dikelilingi jeruji besi mirip kerangkeng, sang penantang tengah melakukan pemanasan sebelum bertarung.
"Hadirin sekalian! Ladies and gentlemen! Hari ini kita akan menyaksikan pertarungan hebat antara dua petarung terbaik di arena kita! Sambutlah! Aruy "Nuri" La-Pago melawan Amos "Kasuari" Kobaak!"
Dan dentang bel berbunyi. Ronde dimulai dan aturan di ring ini sederhana saja. Ronde ini berlangsung dua jam tapi bisa berakhir lebih cepat jika salah satu petarung tumbang atau mati. Pemenang mendapatkan hadiah uang tunai, pecundang alias yang kalah dipersilakan memanggil teman atau siapapun yang cukup peduli untuk membawanya berobat ke RS karena Arena "Sabung" tidak akan peduli apakah dia mati di sana atau di RS.
Hari ini Amos Kobak mengambil resiko itu untuk sejumlah uang yang ia butuhkan. Ia tantang Nuri, ia menang, ia bawa uang hadiah, dan ia akan kembali ke Makassar untuk memperbaiki segalanya. Spekulasi sebenarnya, tapi Amos terlalu percaya diri dan keras kepala untuk memikirkan resiko terburuk, dan ia akan segera menanggung akibatnya.
Sepuluh menit pertama, 'Nuri' hanya menghindar atau menangkis tendangan atau pukulan Amos. Gaya bertarung Amos agresif sesuai dengan reputasi julukannya yakni 'Kasuari'. Semakin sering Nuri menangkis dan tidak menghindar, semakin agresif Amos melayangkan pukulan atau tendangan ke arah Nuri. Para penonton semakin seru bersorak, sebagian mendukung 'Nuri', sebagian lagi mendukung Amos.
Tapi Amos sama sekali tidak sadar bahwa sedari tadi 'Nuri' mempermainkannya. Ketika pertandingan sudah berlangsung selama 30 menit, terlihat gerakan kaki Amos mulai melambat, tubuhnya banjir peluh mengkilat di bawah sorotan lampu, dan nafasnya mulai dipaksa teratur. Saat itulah 'Nuri' melihat kesempatan untuk melakukan serangan balasan. 'Nuri' menangkap tangan kanan Amos yang tadinya hendak Amos gunakan untuk menembus pertahanan a lot 'Nuri'. Ia lalu membanting Amos ke lantai arena dengan teknik mirip judo kemudian melakukan tendangan yang mengarah ke wajah Amos. Amos berhasil menangkis tendangan yang nyaris mengenai mukanya itu lalu berputar dan bangkit kembali. Tapi belum juga posisinya stabil, 'Nuri' sudah menubruk Amos lalu membenturkan kepala Amos berkali-kali ke jeruji kerangkeng besi.
Amos mencoba melepaskan diri dengan memukul-mukul perut 'Nuri' tapi sial sesama pria Indonesia Timur yang jadi lawannya itu otot perutnya sekeras aspal dan sama sekali tak terpengaruh pukulan Amos. Malah yang membuat Amos tidak siap adalah 'Nuri' tiba-tiba memberondongkan pukulan jab, cross, dan hook ke arah wajah Amos. Amos mencoba menangkis tapi sedetik kemudian 'Nuri' memberondongkan pukulan dan tendangan ke arah dada Amos sehingga Amos terhuyung. Konsentrasinya terpecah.
Beberapa detik berikutnya Amos pun roboh tapi ternyata Pak Bos dan penonton belum puas dengan kemenangan 'Nuri' yang begitu saja.
"Nuri!" pria berkemeja hitam garis-garis yang dipadukan dengan jas pink norak itu berseru memanggil jawara terbaiknya.
"Ya Pak Bos?"
"Selesaikan!"
'Nuri' tak membantah perintah Pak Bos. Dengan kedua tangannya, dicengkeramnya kepala Amos yang sudah tanpa daya itu lalu terdengar suara 'buk' banyak kali selama beberapa menit sampai kepala Amos yang bonyok jatuh lunglai ke lantai arena. Lemas, babak-belur, nyaris tanpa nyawa, tapi mengejutkannya banyak penonton bersorak atas tontonan kejam itu, hanya beberapa saja yang menggerutu sebal hanya karena mereka kalah taruhan akibat tadinya menjagokan Amos menang.
"Yaaa!!! Sekali lagi sambutlah juara bertahan kita : Aruy 'Nuri' La-Pago!" seru Pak Bos lantang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top