BAB 12.1 : SKORSING
Tanjung Paser, 06.00 WITA
Ignas baru saja memulai aktivitas rutinnya tiap pagi, berlari menyusuri jalanan yang mengelilingi blok asrama, sekolahnya, serta rumah sakit dan markas Unit V. Jarak yang biasa ia tempuh adalah lima kali putaran, yang artinya total Ignas biasa berlari sekitar 7-8 kilometer per hari. Latihan fisik yang disarankan oleh pelatih ekstrakurikuler tinju yang ia ikuti sejak masuk kemari guna melatih stamina agar mampu bertarung lebih lama di atas ring.
Ketika Ignas hampir menyelesaikan putaran ketiganya, ia mendengar suara seorang terjatuh di sebuah ruang terbuka hijau tak jauh dari turunan yang baru saja akan ia lalui. Ignas langsung menghentikan langkahnya, menengok sejenak ke arah sumber suara itu dan ia mendapati ada seorang anak SMP tengah dikeroyok oleh sekumpulan anak SMA yang gaya berpakaiannya 'semau gue' seperti baju yang dibiarkan keluar dan tidak dimasukkan ke balik celana putih abu-abu serta beberapa anak yang menindik telinganya meski mereka laki-laki.
"Mana uang yang kamu janjiin kemarin goblok?! Kalau cuma 100 ribu mana cukup buat kita berenam! Dasar tolol! Idiot! Anak lonte!" hardik seorang anak lelaki yang tampaknya adalah pemimpin dari anak-anak SMA itu.
"Ampun! Ampun Bang!" anak SMP tampak tengah dirisak oleh sekelompok anak SMA itu tampak terisak, menahan tangis.
"Mana duitnya?!!" kembali seorang dari para perisak itu menghardik si anak SMP sambil menodongkan sebilah pisau lipat, "Kalau masih bilang Mama Lontemu itu lagi nggak punya duit ... kusunat saja burungmu untuk kedua kalinya!"
"Wao! Wao! Wao! Kakak-kakak yang baik, jangan pasang muka seram begitu kenapa? Itu Adik jadi takut!" tiba-tiba tanpa diundang Ignas ikut menimpali pembicaraan antara gerombolan perisak dengan korbannya itu.
"Woi! Siapa kamu?!" seorang dari gerombolan anak SMA itu mengacungkan pemukul kasti kepada Ignas dengan tatapan mengancam.
"Anak dari Kumala Santika tampaknya," ujar seorang temannya yang lain.
"Wah, anak kaya nih Bos! Mau peras dia juga gak?" celetuk yang lainnya lagi.
"Kamu ga usah ikut campur, Kecoak!" celetuk si bos geng yang mengenakan topi merah dipasang terbalik itu, "Bocah ini sudah janji mau bayar setoran ke kita hari ini tapi dia malah nggak bayar, jadi ... kalau kamu ga mau pulang tinggal nama, sebaiknya kamu nggak usah ikut campur!"
"Waw?! Memangnya Kakak itu siapanya dia? Pengawal kah? Petugas keamanan kah? Petugas pajak berlisensi resmi kah? Atau jangan-jangan cuma pecundang nggak tahu malu yang bisanya malak anak kecil doang?"
Wajah gerombolan perisak itu memerah, terutama wajah si bos geng yang benar-benar merasa terhina dengan ucapan Ignas barusan. Jari tengah tangan kirinya langsung ia acungkan kepada Ignas sembari berteriak, "KUBUURRR!!!"
Sontak gerombolan itu menyerang Ignas, anggota yang membawa pisau dengan cepat membuat gerakan menghujamkan pisau pada Ignas tapi yang mereka tidak perhitungkan sebelumnya adalah Ignas itu ahli tinju dan sudah sering bertengkar dengan banyak orang sebelum ini, sehingga dengan mudah Ignas menghindari tusukan itu lalu melancarkan bogem mentah ke arah rahang penusuk itu hingga penusuk itu akhirnya jatuh ke tanah sambil meraung-raung.
Temannya, si pemegang tongkat kasti, gantian menyerang Ignas dan bersamaan dengan itu, dua temannya yang lain juga mengeluarkan pisau lalu berusaha menusuk Ignas. Kaki Ignas langsung bergerak lincah menghindari semua serangan dan sekali lagi satu orang penyerang mendapat hadiah bogem mentah sampai beberapa giginya lepas. Si pemukul kasti mencoba menghantamkan tongkatnya kepada Ignas namun sekali lagi dia kalah cepat, malah dianya yang mendapat bogem mentah sekeras aspal di dadanya sampai ia jatuh terbatuk-batuk karena tak bisa bernafas.
Tinggal tiga lagi berandalan yang harus Ignas urus, termasuk si bos preman. Ignas sudah bersiap untuk menghajar mereka sebelum si bos preman tiba-tiba menarik anak SMP yang tadi ia risak mendekatinya lalu mengarahkan pisau lipatnya ke leher si anak.
"Kamu ... jangan coba-coba! Kalau kamu maju lebih jauh lagi, aku bunuh anak ini!"
Ignas bergeming, tapi ia kemudian mengambil sebongkah batu, kemudian ia lemparkan batu itu ke atas kepalanya sambil berbisik pelan, "Kómòcánòk!"
Batu segitiga yang dikenakan Ignas sebagai mata kalung berpendar kebiruan, seberkas sinar biru langsung melesat keluar dari mata kalung itu kemudian merasuki batu yang melayang di atas kepala Ignas.
"Kati andu, ara dapa amber tiga [Aku minta panduan (Kómòcánòk) untuk mengenai kepala tiga orang 'luar' ini ]!" ucap Ignas lagi.
Batu itu langsung melesat melawan hukum gravitasi ke arah para pemalak itu, mula-mula ia mengenai telak dahi seorang anggota geng yang memakai buff hitam, kemudian batu itu mengenai anggota geng yang lain tepat di pipinya dan terakhir ia mengenai telak dahi si ketua geng sampai kepalanya bocor dan mengucurkan darah.
Bersamaan dengan itu, si anak SMP malang itupun terbebas dari ancaman bilah pisau di lehernya dan langsung berlari mendekat ke Ignas.
"Makasih, Kakak!" ucap anak itu.
"Adik, kalau nanti dipalak lagi sama orang-orang ini jangan ragu untuk bilang sama orangtua atau guru adik ya?"
"Ta-tapi nanti aku mau dibunuh kalau misalnya ngadu!" jawab anak itu ketakutan.
Ignas menghela nafas, lalu berkata, "Tapi kalau Adik nurut saja beri uang lalu uang Adik habis, Adik mau ambil uang dari mana? Dari dompet ayah-ibu? Mencuri begitu kah?"
Anak itu terdiam dan Ignas melanjutkan lagi, "Mencuri itu tidak baik Adik, apapun alasannya. Begitu kan?"
Si anak mengangguk.
"Oke jadi sekarang Adik pergilah ke sekolah, biar Kakak yang atur ini orang!"
"Makasih Kakak," anak itu langsung berlari pergi namun kemudian menoleh kembali ke arah Ignas dan berteriak, "Maaf nama Kakak siapa dan Kakak sekolah di mana?"
"Ignas dari Kumala Santika!"
Anak itu kemudian berlari kembali setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ignas kemudian berbalik guna memeriksa apakah anak-anak yang barusan dia 'hajar' itu kondisinya baik-baik saja. Namun ketika ia tengah memeriksa seorang anak yang masih tampak pingsan, tiba-tiba lehernya dijerat oleh rantai sepeda motor oleh ketua geng yang dahinya sudah ia lukai itu.
"Kamu ngapain sok-sokan jadi pahlawan ha? Kimaknya!" suara si ketua geng terdengar penuh kegeraman ketika berusaha membuat Ignas kehabisan nafas.
====
Kimaknya = terkutuklah vagina Ibumu yang telah memberi jalan lahir bagimu (umpatan Samarinda, level kasar sekali!)
====
Ignas berusaha melepaskan diri dari jeratan rantai itu sebelum dirinya kehabisan nafas, tapi karena baru saja menggunakan kekuatan Kómòcánòk, sikutan Ignas ke perut si ketua geng yang sebenarnya hanya dimaksudkan untuk membuat jeratan rantainya melonggar malah akhirnya menjadi sebuah ledakan energi yang membuat si ketua geng terpental sejauh beberapa meter dan punggungnya membentur pagar pembatas sebuah area taman.
Ignas terkejut ketika ia menyadari bahwa lawannya baru saja tidak sengaja ia pentalkan dengan kekuatan di luar nalar. Langsung saja ia berlari menghampiri si ketua geng dan ketika ia mendapati anak itu, ia melihat si ketua geng tampak kesulitan bernafas dan beberapa kali muntah-muntah sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Ignas beberapa kali mengguncang-guncang tubuh ketua geng itu sambil memeriksa denyut nadinya yang terasa makin lemah dari menit ke menit. Bingung harus berbuat apa, apalagi Ignas sama sekali tidak membawa ponsel melainkan hanya arloji komunikasi yang menghubungkan dirinya dengan Oka dan personel Unit Lima lainnya, Ignas pun akhirnya memutuskan menghubungi Oka.
"Oka! Tolong sa dong! Ini sa barusan hampir bunuh orang! Minta ambulans kemari!"
"APA? DI MANA?" dari seberang sana nada suara Oka meninggi, mungkin kaget karena ada kata 'bunuh orang' dalam kalimat Ignas barusan.
"Di jalan menurun ke arah pantai sebelah utara kompleks sekolah!"
"Aku kontak ambulans sekarang. Berapa orang yang kau hajar?"
"Enam korban! Lima sa beri jotos, yang satu tak sengaja sa kenai tawat Kómòcánòk "
=====
Tawat = kekuatan jiwa
=====
Oka menepuk jidatnya ketika mendengar kómòcánòk dipakai Ignas dalam perselisihan nggak penting macam begini, "Pergi dari sana dan jangan ngaku dulu kalau kamu yang buat mereka babak-belur!"
"Memangnya kenapa? Ini orang enam mau palak anak kecil! Sa bukan salah kan kalau pukul mereka?"
"Ignas, kamu di akademi ini kalau sampai bertengkar kamu diskors, kalau sampai ada yang mati kamu dikeluarkan dari akademi, kalau kamu dikeluarkan kamu juga dipecat dari jajaran Lokapala, kalau kamu nggak jadi Lokapala lagi itu berabe! Jadi jangan ngaku dulu! Paham?"
"Aaaa, ya ya, sa rasa sa paham!"
"Dan juga tolong segera pergi dari situ!"
Asrama Akademi Kumala Santika, 06.05 WITA
Sementara itu, Oka yang pagi-pagi sudah dibuat kaget dengan aksi hampir 'bunuh orang' Ignas langsung menyambar ransel dan perlengkapan sekolahnya lalu langsung menuju lift dan turun menuju basement. Di sana ia langsung buru-buru mengaktifkan panggilan saluran aman di komputer pemantau operasi lapangan.
"Psst, halo? Doktor Samad?" panggil Oka setengah berbisik di mikrofon.
"Hmmm ...kenapa Oka? Ngapain kamu nelpon saya pagi-pagi? Saya kan baru masuk kantor jam sembilan?" dari seberang sana suara Doktor Samad yang masih belum sepenuhnya terjaga terdengar lirih.
"Saya butuh bantuan Doktor. Main politik!"
"Oka, politik apaan sih pagi-pagi? Revolusi dan rencana mengkudeta presiden pun harus berhenti di saat jam tidur, tahu nggak?"
"Ignas baru saja 'bunuh orang' Dok. B-U-N-U-H O-R-A-NG!"
"APA?!" mau tak mau Doktor Samad akhirnya sadar 100% begitu mendengar ejaan 'mengerikan' barusan, "Serius?!"
"Sebenarnya belum mati sih Dok, saya sudah kontak sejumlah ambulans untuk datang ke sana. Tapi bagaimanapun juga Ignas sudah pukul warga sipil yang tak terlibat dengan Kroda ... dengan kekuatan yang ... yah ... Doktor tahu sendiri lah. Bukan kekuatan manusia."
"Siapa yang habis Ignas ajak bertengkar?"
"Dari penuturannya sih Dok, Ignas habis nolong anak kecil yang dipalak enam preman. Nah enam preman ini yang kena hajar Ignas. Yang lima sih cuma cedera biasa. Tapi yang satu kena hantam kekuatan Kómòcánòk."
"Ini gawat, gawat, gawat! Oka! Kamu tutup mulut rapat-rapat ya? Saya akan hubungi dokter-dokter Unit Lima yang saya kenal, saya coba menutupi penyebab cedera anak-anak itu sebelum polisi ikut campur!"
"Siap Dok!"
******
Oka benar-benar tutup mulut soal insiden tadi pagi. Ia bahkan tidak memberitahu siapapun termasuk juga pada Nara, Regina, bahkan Panji dan Sitanggang. Tapi ketika jam istrirahat pertama, ia mendapat kejutan kala sejumlah anggota polisi memasuki ruang kelas Mapel Kewarganegaraan dan berbicara sejenak dengan guru kelas. Beberapa saat kemudian sang guru kelas berdiri tegang mengumumkan sesuatu, "Saudara Ignasius Salabai mohon segera menghadap ke ruang kepala sekolah!"
Jantung Oka dan juga Ignas langsung terasa mencelos mendengar panggilan itu. Ignas bahkan sempat menatap Oka dengan tatapan penuh tanya seolah mengatakan, "Oka kamu bocorin rahasiaku ya?"
Oka refleks menggeleng, menyatakan ketidaktahuannya akan masalah ini. Tapi apa lacur, kepala sekolah tampaknya sudah tahu soal ini. Tampaknya 'ketrampilan politik' Doktor Samad kurang bisa diandalkan untuk menutup-nutupi masalah ini. Oka sendiri hanya bisa berharap masalah ini tidak meluber lebih jauh sampai ke ranah hukum, sebab jika iya maka Ignas bukan tidak mungkin akan diberhentikan sebagai Lokapala.
Alasannya? Murni permainan politik! Sebagaimana dijelaskan Doktor Samad ketika Oka pertama kali ditugaskan menjadi 'pengawas' bagi para Lokapala.
"Orang-orang di Jakarta sebenarnya tidak suka rencana Lokapala ala Denny. Sebagian berargumen bahwa Denny mengambil paksa anak-anak ini dari kehidupan mereka yang normal secara tidak etis, sebagian lagi berargumen bahwa mencampurkan unsur 'klenik' dengan teknologi modern itu beresiko dan belum teruji kehandalannya. Karena itu mereka menerapkan sejumlah syarat bagi para calon kandidat Lokapala, salah satunya adalah tercatat berperilaku baik dan tidak pernah membuat masalah. Jadi Oka, tolong kamu awasi baik-baik teman-temanmu yang ini, jangan sampai mereka terjebak ke situasi yang mengesankan mereka punya perilaku 'tidak terpuji'. Sebab jika itu terjadi, orang-orang Jakarta itu akan punya alasan kuat untuk membubarkan Lokapala dan memulangkan anak-anak ini ke keluarganya."
"Bukannya itu bagus? Dengan begitu tidak akan ada lagi anak-anak yang direnggut dari kehidupan normalnya?" ujar Oka saat itu.
"Masalahnya mereka semua ini bergabung tidak berdasar kerelaan semata. Mereka bergabung karena Denny menjanjikan sesuatu pada mereka. Ada yang dijanjikan biaya pendidikan menuju perguruan tinggi tertentu, ada yang dijanjikan dana bantuan untuk keluarganya yang sakit, pokoknya semuanya dijanjikan suatu penghargaan materiil. Jika dalam penugasan ini mereka dipulangkan paksa, maka penghargaan ini tidak akan mereka peroleh!"
"Bergabung karena penghargaan? Apa-apaan itu? Tidak patriotis sama sekali!"
"Oka, begini ya! Saya tahu bahwa selama di pendidikan Dwarapala kamu dididik untuk berlaku layaknya seorang patriot sejati : yang menjunjung prinsip NKRI harga mati, berjuang itu harus tanpa pamrih, bahwa jiwa dan raga kalian harus siap kalian korbankan untuk tanah air dan sebagainya. Tapi kamu juga harus ingat bahwa makan, minum, tempat tinggal, pendidikan dan banyak kebutuhan kalian sudah dipenuhi oleh negara. Di luar sana, Oka, banyak anak yang untuk makan saja masih harus berpikir apa yang harus mereka kerjakan untuk dapat uang atau barang apa yang harus mereka curi hari ini supaya dapat uang? Tak ada yang mengarahkan ke mana mereka harus pergi lalu di akhir tugas mendapat makanan dan pakaian seperti kalian. Sekarang saya tanya, jika kamu masih dalam asuhan paman kamu yang ringan tangan itu, apakah kamu akan berpikir jiwa dan ragamu layak dikorbankan untuk jadi sasaran kekerasan oleh orang itu?"
"A ... ti... dak."
"Tapi kenapa di Dwarapala kamu mau-mau saja bertempur tiap malam menghadapi makhluk dari seberang?"
"Karena ... karena ... saya tahu apa yang saya lakukan memberi manfaat bagi orang lain. Saya mungkin mati tapi orang lain hidup."
"Jadi intinya kamu sama saja dengan mereka Oka. Kamu berjuang karena merasa perjuanganmu bermanfaat, mereka pun demikian. Bedanya manfaat yang kamu rasakan adalah rasa puas karena sudah berguna bagi orang lain atau mungkin bagi bangsa dan negara. Kalau mereka? Manfaat bagi mereka adalah penghargaan materiil yang mungkin akan mereka gunakan untuk kemaslahatan orang-orang yang mereka sayangi."
******
Para polisi itu mengawal Ignas sampai ke depan kantor kepala sekolah, yakni sebuah ruangan berpintu mahoni dengan plitur coklat dan dihiasi ukiran sulur khas Kalimantan. Seorang guru yang tampaknya adalah guru bimbingan menyambut Ignas dan dua polisi itu lalu pintu itu diketuk oleh sang guru sebelum akhirnya Sang Kepala Sekolah membukakan pintu itu dan mempersilakan semua yang antri di hadapan ruangannya untuk masuk ke dalam.
Ignas langsung duduk dengan perasaan tidak nyaman karena Sang Kepala Sekolah yang puncak kepalanya sudah mengkilap akibat digerus usia itu terus saja menatapnya dengan tatapan campuran antara perasaan takut, tidak suka, menyalahkan, dan segala macam emosi negatif lainnya.
"Jadi begini Saudara Ignas. Apakah Saudara kenal anak-anak ini?" seorang petugas polisi menyodorkan map berisi foto dan biodata sejumlah anak.
Ignas tidak kenal, tapi jelas dia ketemu anak-anak itu tadi pagi. Hanya saja sekarang dia bingung harus bilang apa? Mengaku? Oka sudah mewanti-wantinya agar tidak mengaku dulu. Berbohong? Ignas bukan tipe anak yang pintar berbohong. Walhasil Ignas hanya diam saja.
"Ignas, tolong dijawab pertanyaan Pak Polisi tadi. Apa kamu kenal mereka?"
Pada akhirnya kebiasaan bawah sadar Ignas untuk bicara sejujur-jujurnya muncul, sehingga hal yang ditakutkan Oka akhirnya terjadi juga, "Saya tidak kenal mereka Pak, tapi saya pernah bertemu mereka."
"Kapan?" tanya seorang polisi yang lain.
"Tadi pagi."
"Untuk urusan apa?"
"Mereka palak anak kecil!"
"Lalu?"
"Saya minta mereka pergi, tapi tidak digubris, lalu mereka serang saya. Saya bela diri, saya selamat, adik yang mereka palak selamat, mereka terkapar!"
Sementara itu di kamar mandi, Oka yang diam-diam memantau pembicaraan Ignas via layar holografik di arlojinya tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak berteriak, "ANJRIIITTT!!!!!! Goblok banget sih ini anak!!!!"
"Kalau begitu, kami minta Saudara Ignas ke kantor polisi untuk kami mintai keterangan lebih jauh!"
"Kenapa? Bukankah sudah jelas, mereka yang salah, saya hanya bela diri?"
"Tapi anak-anak ini mengalami cedera berat, bahkan satu di antaranya dalam kondisi kritis. Kami rasa masih ada yang janggal dari keterangan Saudara!"
"Tidak ada yang janggal!" tiba-tiba seorang wanita paruh baya memasuki ruang kepala sekolah.
Semua mata langsung memandang ke arah wanita paruh baya berbaju merah tersebut, "Saya tak bisa membiarkan Ignas dibawa untuk ditanyai dan kemudian 'dipaksa' bekerjasama dengan Kepolisian. Duduk perkaranya jelas, Ignas menolong seorang anak korban perisakan dan pemerasan, jadi secara logis dia tidak salah!"
"Maaf Ibu, Anda siapa ya? Mohon jangan menghalangi penyelidikan kami. Bahwa Saudara Ignas mungkin bermaksud baik, itu bisa jadi benar. Tapi tindakan Saudara Ignas yang melakukan kekerasan fisik yang berakibat melukai orang lain tetap tidak bisa dibenarkan. Ini negara hukum dan semua warga sama di mata hukum, Bu!"
Wanita paruh baya itu melipat tangannya di depan dada lalu tersenyum sinis, "Sama di mata hukum kata Bapak? Jangan buat saya ketawa. Saya tahu polisi macam apa Bapak ini. Bapak dan rekan Bapak akan membawa anak ini ke tempat sepi lalu memukulinya dahulu sampai dia mau melakukan apapun yang Bapak mau seperti menandatangani surat pengakuan bersalah. Nanti di kantor polisi Bapak akan mencetak surat pengakuan yang skenarionya kira-kira begini : enam anak yang Ignas pukuli tidak bersalah, Ignasnya sendiri yang terlalu impulsif dan emosional sehingga ia memutuskan menghajar mereka guna meredakan kemarahannya. Begitu kan?"
"Ibu sungguh sudah berprasangka buruk terhadap petugas penegak hukum! Saya harap Ibu tahu apa konsekuensinya!"
"Saya tidak berprasangka buruk, Bapak. Sebagai mantan Direktur Utama PT. Sastrika yang membuat perlengkapan penerbuan Brimob dan Densus 88 serta pistol seri S5 yang Bapak kantongi itu, saya sudah paham modus operandi semacam ini. Lagipula jangan pikir saya tidak tahu bahwa salah satu anak yang Ignas hajar itu adalah keponakan dari Wakapolres Tanjung Paser. Orangtuanya kemudian menghubungi Wakapolres dan beliau kemudian memerintahkan penyelidikan semi 'tidak resmi' ke akademi kami. Bukan begitu?"
Wajah dua polisi itu tampak pucat, sementara Sang Kepala Sekolah tampak menunduk takut, tidak berani menatap wajah wanita paruh baya itu.
"Oh dan ngomong-ngomong berapa uang saku dari Pak Wakapolres untuk kalian berdua? Satu juta? Dua juta? Kalau kalian mau saya bisa kasih 10 juta dengan syarat kalian pergi dari sini secepatnya? Itu kan yang kalian mau? Duit! Kalau nggak ada duit, slogan polisi melayani dan mengayomi masyarakat nggak akan kalian lakukan kan?"
"Ah, tidak usah Bu. Kami permisi!" dua polisi itu lekas-lekas keluar dari ruangan dengan wajah tertunduk sementara Kepala Sekolah tampak membuang muka dari hadapan wanita paruh baya itu.
"Pak Mus!" ujar wanita paruh baya itu.
"Y-ya Bu Kepala Yayasan!" jawab Kepala Sekolah terbata-bata.
"Bukankah sudah saya bilang jika ada anak-anak kita yang melakukan kasus kriminal atau dimintai keterangan polisi Bapak harus menghubungi saya terlebih dahulu? Kenapa tiba-tiba saja ada polisi masuk kemari? Apa Bapak ditelepon Pak Wakapolres juga? Hm?"
Kepala Sekolah hanya terdiam.
"Jawab Pak!" Sang Kepala Yayasan kembali bertanya.
"I-iya Bu! Saya memang ditelepon Pak Wakapolres!"
"Siapa yang menggaji Bapak selama ini? Yayasan atau Pak Wakapolres?"
"Y-yayasan Bu!"
"Terus kenapa Bapak lebih patuh sama permintaan Pak Wakapolres ketimbang aturan yayasan? Kita sepakat akan memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak didik kita, senakal apapun mereka! Tapi ini? Tiba-tiba dua polisi korup masuk ke sekolah kita dan nyaris menghajar anak didik kita! Apa Anda tidak malu Pak?"
"Ma-maaf Bu. Saya khilaf!"
Kepala Yayasan menggeleng, "Ini bukan khilaf Pak! Khilaf itu ketika Anda melakukan sesuatu dengan tujuan yang benar tapi ternyata berakhir salah dikarenakan berbagai faktor maka itu namanya khilaf. Tapi saya rasa Bapak dengan kesadaran penuh memang hendak menyingkirkan Ignas dari sini. Ada apa sebenarnya ini Bapak? Ada anak orang kaya yang tidak diterima di Kumala Santika lalu mereka menyuap Bapak supaya anak mereka bisa masuk Kumala Santika? Atau Bapak punya masalah pribadi dengan Ignas?"
Sang Kepala Sekolah hanya diam.
"Bu Narti, tolong umumkan pada para pengurus yayasan, Jumat nanti kita akan merapatkan soal seleksi kepala sekolah baru!"
"A-apa Bu? Maaf Bu! Jangan copot jabatan saya Bu! Saya sungguh khilaf Bu! Maaf Bu! Ampun!" Ignas nyaris tidak percaya Sang Kepala Sekolah yang terkenal galak itu berlutut di hadapan Ibu Kepala Yayasan seperti anak kecil yang kedapatan mencuri dari dompet ibunya saja.
"Bapak tidak akan diturunkan, tapi akan saya rekomendasikan untuk dipensiunkan dini. Jika Bapak bisa membuat alasan bagus di depan kami – para pengurus yayasan – besok Jumat, mungkin Bapak bisa tetap mengajar di sini sebagai staf pengajar, tapi jika tidak silakan siapkan diri saja!"
"Dan kamu Ignas!" telunjuk Ibu Kepala Yayasan mengarah ke Ignas.
"Ya Ibu?"
"Kamu diskorsing, tidak boleh ikut pelajaran selama dua minggu dan selama dua minggu itu pula saya minta kamu hadir di ruangan saya untuk program pembinaan. Paham kamu?"
"Ya Bu! Sa eh saya paham!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top