BAB 11.5 : JAN PIETERSZOON COEN

Perairan Kalimantan Timur (Selat Makassar), 05.00 WITA

Seluruh unit militer Unit V, Kompi Zeni dan Lokapala langsung menaiki KRI Des Alwi dan Gorys Keraf sebelum akhirnya berlayar menuju titik temu yang disepakati dengan KRI Mohammad Hatta. Hanya butuh waktu 20 menit mereka sudah bertemu dengan sosok kapal hantu itu.

"Tembak tiang layarnya, jangan biarkan mereka bergerak!" perintah Profesor Denny yang tinggal di pangkalan via sambungan komunikator kepada para komandan kapal KRI.

Perintah Denny segera dituruti dan KRI Des Alwi serta Gorys Keraf segera saja menembakkan peluru ke arah tiang layar de Dragoons. Tiang itupun rubuh ke geladak kapal dan benar saja pergerakan kapal itu perlahan terhenti.

"Lokapala urus Krodanya! Batalyon Zeni selamatkan tawanan di bawah! Oka kamu naik ke anjungan dan dirikan menara pengawasnya! Tembak semua yang menghalangi jalan kita!"

"Satuan Marinir bantu Kompi Zeni Unit V!" tambah Kolonel Kiki melalui panggilan radio.

"Maju!" seru Kapten Pusaka dan masing-masing prajurit itu bergerak ke posisi masing-masing.

Oka naik ke atap anjungan dan memasang alat seperti sebuah tegel lantai lebar yang begitu ia injak, tumbuh makin tinggi hingga memberinya posisi cukup strategis untuk menembak siapa saja yang ada di bawahnya.

Regina dan Lokapala serta Kompi Zeni Unit V dan beberapa prajurit marinir langsung melempar kait dan naik ke atas geladak kapal hantu di mana sosok Kroda Nakhoda itu telah berdiri di atas geladak, memegang sebilah pedang di tangan kanan dan sepucuk pistol di tangan kiri.

"Attack troepen!" seru Sang Nakhoda sambil mengacungkan pedangnya ke arah lawan-lawannya.

"Serbu!" Pusaka dan pasukannya segera mulai menekan picu senapan dan memberondong gerombolan mayat hidup itu dengan terjangan peluru. Segera setelah magasin mereka kosong, giliran Lokapala yang menumpas sisa-sisa Kroda itu dengan pendekatan yang 'lebih tradisional'.

"Ke dek bawah! Cepat! Cepat!" seru Pusaka, sementara Lokapala menghancurkan satu-demi-satu prajurit mayat hidup itu.

"Hou up - Stop, Kapitan!" tiba-tiba Sang Nakhoda sudah menghadang para prajurit yang hendak menuju dek bawah.

Pusaka tak tinggal diam, ia mengangkat tangan kirinya dan mengacungkan satu jari telunjuk – tanda bagi Oka di KRI Des Alwi – untuk menumpas penghalang ini. Oka melihat isyarat itu, dan tanpa ragu ia membidik kepala Si Nakhoda. Peluru dari senapan runduk Oka mengenai kepala Si Nakhoda telak sekali, tapi tidak mampu menghancurkan kepala makhluk itu, hanya membuat benda semacam topeng logam yang menutupi wajahnya. Para prajurit bergegas berlari melewati Sang Nakhoda menuju dek bawah, namun sayang selagi Lokapala masih sibuk dengan Kroda yang lain, Nakhoda itu pulih dari efek kejut peluru senapan Oka dan mulai bertindak agresif.

Ia menembak satu prajurit kompi zeni yang bergerak di sebelah kirinya tepat di tenggorokan sehingga prajurit itu roboh tanpa nyawa dengan kepala nyaris putus. Detik berikutnya ia menyerang satu-satunya prajurit yang tersisa di hadapannya yang tak lain adalah Kapten Pusaka dengan pedangnya. Kapten Pusaka menangkis serangannya sebaik yang ia bisa dengan popor senapannya, namun pedang itu tajam sangat sehingga senapan Pusaka terbelah dua. Melompat mundur beberapa langkah, Pusaka mengeluarkan pisaunya dan bersiap menerima serangan dari Si Kroda. Tapi lagi-lagi sebaik apapun Pusaka bersiap, yang ia hadapi ini jelas di luar kemampuannya. Tentara reguler bahkan Kopassus pun tidak dilatih untuk menghadapi monster, terlebih ketika Sang Nakhoda bergerak secepat angin dan tahu-tahu saja pedang si Kroda sudah menembus zirah Pusaka tepat di perut.

Si Kroda ini jelas berusaha menarik pedangnya dengan posisi melintang, untuk mengoyak perut Pusaka dan memburaikan ususnya lalu membuat Pusaka mati kehabisan darah dan syok. Tapi Pusaka tak membiarkannya membunuh dirinya begitu saja, ia segera menggenggam pedang Si Nakhoda erat-erat dan Oka yang menyadari bahwa Kapten Pusaka baru saja dilukai Si Nakhoda langsung saja menembak kepala Kroda Nakhoda itu lagi.

"Panji, Regina, Sitanggang, Ignas, siapa saja! Tolong jauhkan Kroda itu dari Kapten Pusaka!" Oka berseru panik di komunikatornya.

Regina yang baru saja menumbangkan musuh terakhirnya, langsung terkejut ketika menyadari Si Kapten telah jatuh terduduk dengan senjata tajam menancap di perutnya.

"Ignas!" Regina memanggil Ignas, "Bantu beta! Jatuhkan tu Kroda masuk laut!"

Ignas tak menjawab tapi langsung saja berlari dan melayangkan bogem mentahnya kepada Si Nakhoda.

Sang Nakhoda itu terhuyung dan Ignas kembali melayangkan tinjunya ke wajahnya.

"Ambil pistol kalian, tembakkan senjata kita bersamaan!" seru Panji.

Lokapala yang lain menurut, dari kompartemen senjata di bagian paha kanan masing-masing, mereka mengeluarkan pistol dan sel amunisinya kemudian menembakkan berkas sinar laser ke arah Si Nakhoda. Tapi segera saja kapal itu oleng oleh cuaca badai yang tiba-tiba datang. Para Lokapala kehilangan keseimbangannya dan Si Nakhoda yang tampaknya lebih terbiasa dengan pertarungan di atas kapal oleng langsung kembali menggunakan kemampuannya : berlari secepat angin dan memukul atau menendang setiap anggota Lokapala yang mencoba memusnahkannya sehingga mereka terhempas ke berbagai arah. Regina merasakan perutnya terasa diaduk-aduk akibat tendangan Si Nakhoda. Tapi sejurus kemudian dia melihat kesempatan bagus. Si Nakhoda tengah berdiri sangat dekat dengan pinggir kapal. Tanpa pikir panjang ia memungut parangnya yang tadi terlepas lalu dengan penuh kenekatan berlari dan menubrukkan dirinya ke tubuh Si Nakhoda sehingga keduanya terjebur ke laut.

"Wat heb je inlander teef gedaan? – Apa yang kamu perbuat, pelacur inlander?"

"Dia memaki ose, jawab saja pakai bahasa yang ose tahu. Dia orang paham pasti!" ujar Ina Saar.

Regina tak paham bahasa yang dipakai Si Nakhoda sebenarnya tapi Ina Saar tampaknya paham dan karena dalam zirah ini, keduanya berbagai pikiran dan kekuatan Regina agak sedikit paham apa maksud Si Nakhoda itu.

Maka ia menjawab, "Membuangmu ke dasar laut, Tuan! Supaya kita orang bisa saling bunuh di dalam sana!"

"Cakalele alsof je me wilt vermoorden– Cakalele sepertimu hendak membunuhku? Haha! Hahahaha! Haha!! Mari silakan!"secara mengejutkan Si Orang Belanda ini ternyata bisa mengucapkan bahasa Melayu.

Nakhoda itu menarik keluar sebilah pedang lain yang ia sembunyikan di balik bajunya. Panjang bilahnya tidak seberapa panjang, hanya sekitar 40cm. Tapi ternyata dia di dalam air cukup lincah. Mengandalkan gaya tarung menusuk lawan layaknya pemain anggar, Regina cukup kesulitan menghindar dari serangan-serangan lawannya. Bahkan beberapa kali zirahnya tergores oleh serangan Si Kroda.

Tapi Regina juga sukses menyarangkan beberapa serangan kepada Si Kroda. Setidaknya ia telah sukses menggores leher, bahu, dan dada Si Nakhoda, meski tampaknya itu belum cukup untuk menumbangkan Si Nakhoda.

Dan satu lagi yang Regina baru saja sadari, persediaan oksigennya hanya cukup untuk 3 menit lagi sementara Si Nakhoda – dasar dia sebenarnya sudah mati! – tampaknya tenang-tenang saja meladeni Regina bertarung di dalam air karena dia jelas tak perlu bernafas.

Pedang Si Nakhoda dan parang Regina kembali beradu, beradu, dan beradu. Hingga pada satu kesempatan, Regina membiarkan saja pedang lawannya mengenai lengan kirinya selagi dia parangnya ia hujamkan ke dahi Sang Kroda.

Topeng Sang Kroda pecah berkeping-keping dan wajah di balik topeng itu membuat Regina kaget bukan kepalang! Wajah itu adalah wajah yang sering tampil di buku-buku sejarah yang ia pelajari sejak SD hingga SMP. Wajah seorang gubernur jendral VOC bernama Jan Pieterzoon Coen!

"Selamat Zus (Non)! Terima kasih! Sekarang ik (saya) dan de Dragoons bisa bebas!"

"OSE! OSE dulu yang bantai Orang Lontor sampai habis nyaris musnah! Ose dulu yang sembelih para Orang Kaya Lontor! Ose dulu yang bawa 800 wanita dan anak-anak Lontor ke Batavia lalu separuhnya mati dan Ose buang semua ke laut lepas!" nada bicara Regina meninggi meskipun kini sensasi seperti pisau mengiris-iris jantung tak lagi ia rasakan.

"Ik tak akan membantah semua itu, Zus! Tapi itu semua masa lalu! Sekarang jij (kamu) sudah balaskan dendam semua orang Lontor. Apa itu tak cukup buat jij?

"Kenapa ose kembali? Kenapa tidak tidur saja selamanya di alam entah apa itu?! Kenapa kembali dan menculik orang-orang tak bersalah!"

Ekspresi muka Coen mengeras, "De duivel van zee houdt mijn ziel vast, Zus! En hij zal mijn ziel niet terugzetten in de eeuwige slaap, tenzij ik zijn vijanden reinig. – Setan Laut tengah menggenggam jiwaku, Zus! Dan dia tak mengizinkanku beristirahat dalam damai sampai aku menumpas semua musuhnya!"

"En hoe zit het met de onschuldigen op je schip? Wat wilde Devil hen willen? – Dan apa yang terjadi dengan orang-orang yang kamu tawan di kapalmu? Setan mau apa dengan mereka?" kali ini entah Ina Saar memiliki kemampuan bahasa Belanda atau otak Regina berhasil menyesuaikan diri dengan ingatan Coen ia mengucapkan semua pertanyaannya dalam Bahasa Belanda.

"De duivel eet al hun zielen – Setan telah memakan jiwa mereka!"

Regina sebenarnya ingin bertanya lebih jauh lagi namun segera saja tubuh Coen meledak menjadi serpihan-serpihan kecil. Regina terlontar cukup jauh dan merasa tak punya tenaga untuk sekedar berenang ke atas.

"Bangun! Bangun Regina!" ia mendengar suara Ina Saar memperingatkannya untuk tetap sadar tapi efek ledakan tadi membuat seluruh tubuhnya tak bertenaga dan tahu-tahu saja semuanya gelap.

******

Sementara di atas permukaan laut, pertempuran telah usai, para prajurit dan korban penculikan yang ditawan di dek bawah de Dragoons telah dibawa ke KRI Gorys Keraf sementara prajurit-prajurit yang terluka tak terkecuali Kapten Pusaka dibawa ke KRI Des Alwi. Semuanya telah lengkap kecuali Regina yang sampai saat ini belum muncul juga setelah nekat menceburkan diri ke dalam laut bersama Si Nakhoda.

Panji dan lainnya sudah amat khawatir akan keselamatan Regina, maka Panji selaku kapten tim segera menyuruh Ignas untuk pergi menyelam ke dalam laut bersamanya. Ignas langsung setuju dan beberapa anggota TNI AL pun secara sukarela menawarkan diri untuk turut mencari keberadaan Regina.

Tak berapa lama kemudian, dengan zirah dikaitkan menggunakan tali ke geladak kapal Des Alwi, Panji dan Ignas disertai sejumlah prajurit TNI AL mulai menyelam ke dalam laut. Sensor di visor Panji dan Ignas masing-masing mencari-cari keberadaan kawannya itu. Hingga setelah mereka mencapai kedalaman 20 meter mereka menyaksikan pemandangan ganjil. Mereka melihat sekawanan hiu paus tengah bergerak dengan formasi rapat layaknya permadani. Hal yang aneh mengingat hiu paus biasanya hidup menyendiri.

Ketika gerombolan itu makin mendekat, mereka mendapati di atas kawanan hiu itu, mereka membopong sosok berzirah putih yang tak lain adalah Regina. Panji dan Ignas segera menggapi tubuh Regina dan gerombolan hiu paus itu kini berputar mengelilingi Panji dan yang lainnya membentuk semacam gugusan tembok hidup. Mereka tetap berperilaku demikian sampai akhirnya tubuh Regina berhasil dievakuasi ke KRI Des Alwi barulah hiu-hiu paus itu membubarkan diri.

*****

Asrama Akademi Kumala Santika, 2 hari kemudian

Regina tampak kebingungan ketika ia membuka mata dan mendapati dirinya kini sudah berada di asrama putri Akademi Kumala Santika alih-alih di dasar laut atau setidak-tidaknya di kabin kapal.

"Hei! Sudah bangun?" sapa Nara yang tampaknya baru saja membawa masuk sekotak kue.

"Ungg!" Regina memijit-mijit kepalanya yang pening sebelum akhirnya bertanya, "Beta tidur berapa lama?"

"Dua hari!" kata Nara, "Tapi Ina Saar bilang kamu pasti bangun hari ini, jadi tadi teman-teman patungan belikan kamu kue," Nara meletakkan kotak kue itu di meja kecil lalu menyeretnya ke dekat tempat tidur Regina, "Dimakan ya?"

"Kamu mau ke mana?" tanya Regina ketika melihat Nara bergegas hendak keluar kamar lagi.

"Aku mau ke basement. Gantikan Oka monitor kota. Oka cuti sampai Kapten Pusaka pulih."

Tiba-tiba Regina baru ingat soal Kapten Pusaka.

"Gimana kondisi Kapten Pusaka?"

"Dioperasi 8 jam, tapi kira-kira bisa bertugas lagi 2 minggu lagi."

"Ose jaga sampai jam berapa?"

"Jam 5! Kamu mau jaga? Jangan dulu lah! Pulihkan diri dulu saja! Dadah!" Nara pun menutup pintu dan meninggalkan Regina sendirian menatapi langit sore yang kemerah-merahan.

Satu pikiran menyangkut di benaknya. Terutama soal Setan Laut yang diucapkan Coen. Setan Laut yang menggengam jiwa Coen dan membuat arwahnya penasaran sampai semua musuh Setan Laut musnah. Siapa sebenarnya Setan Laut ini? Regina baru saja memikirkan untuk turun ke basement dan menemui Ina Saar tapi perutnya keroncongan, badannya pegal dan matanya terasa berat. Maka dari itu ia mengambil dua potong kek pisang itu, memakannya cepat-cepat lalu langsung kembali berbaring dan memejamkan mata. Tak sampai dua detik, Regina sudah tertidur pulas karena kelelahan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top