BAB 11.4 : DE DRAGOONS

Markas Unit Lima, Tanjung Paser, 18.00 WITA

Denny baru saja selesai membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuk ketika ia mendapat panggilan telekonferensi di layar ruangannya.

"Terima atau tolak, Prof?" sistem AI yang berfungsi sebagai asisten virtualnya menanyakan apakah Denny hendak menjawab panggilan tersebut.

"Terima," jawab Denny dan segera saja wajah Komandan Pangkalan AL Tarakan yang ekspresi mukanya kecut di layar.

"Selamat sore Kolonel," sapa Denny.

"Selamat sore Prof," jawab si Komandan Pangkalan Tarakan.

"Kelihatannya ada kabar kurang baik nih?"

"Banyak kabar kurang baik Prof. Sistem persenjataan kami tidak berdaya di hadapan si kapal setan, kami kehilangan 31 prajurit, 17 prajurit kami luka-luka, dan Lokapala kiriman Anda sepertinya juga kurang efektif melawan kapal setan itu."

"Bisa diperjelas lagi, apa masalah yang Lokapala saya hadapi?" tanya Denny dengan mimik lebih serius daripada sebelumnya.

"Mereka tidak terbiasa menembak di atas kapal. Yah, seperti Profesor tahu, cara membidik di atas kapal dengan di darat itu beda. Bidikan mereka banyak melesetnya, bahkan Lokapala warna biru itu salah perhitungan dalam membidik sasaran sampai-sampai salah satu kapal kami jadi korbannya."

"Oke, lalu mengenai kapal-kapal Anda?"

"Sistem rudal, meriam gatling otomatis dan roket tak berfungsi. Sistem navigasi mati, sistem komunikasi terganggu, sinyalnya tidak jelas. Kami sama sekali awam jika lawan kami semacam ini Prof. Kami butuh dukungan teknis Unit Lima untuk kapal-kapal kami!"

"Mengenai dukungan teknis, kami akan segera kirimkan dukungan teknis yang Kolonel perlukan. Selain itu Pangkalan Pusat Komando Armada Timur juga sudah setuju untuk memberi bantuan kepada Pangkalan Tarakan."

"Saya juga butuh bantuan Batalyon Zeni milik Unit Lima!" ujar Sang Kolonel.

"Baik, kami akan kirimkan pula mereka!" Denny mengangguk, menyanggupi, kemudian panggilan pun diakhiri dengan saling memberi hormat militer.

******

"Oka!" Kapten Pusaka secara kebetulan datang mengenakan pakaian sipil baru saja datang dari rumahnya, mengagetkan Oka yang sedang mengerjakan PR Bahasa Inggris di basement Asrama.

"Ya Kep! Siap Kep!" Oka yang terkejut dengan kehadiran atasan sekaligus walinya itu langsung berdiri sigap dan tanpa sadar memberi hormat.

"Ngapain kamu kasih hormat ke saya? Saya kemari bukan sebagai komandan kamu sekarang." tanya Kapten Pusaka.

"Ah, karena Kapten atasan saya?"

"Kamu itu ...," Pusaka memijit-mijit dahinya, "Sampai kapan menganggap saya dan istri saya ini orang lain?"

"Kapten dan Bu Pusaka bukan orang lain bagi saya," jawab Oka.

"Lalu? Kenapa kamu masih panggil saya Kapten? Kenapa sebegitu formalnya? Kenapa tidak panggil saya Pak Pusaka? Ajik Pusaka? Minimal Oom Pusaka seperti yang pernah kamu lakukan dulu waktu kita pertama kali ketemu."

======

Ajik = Bapak/Ayah (bahasa Bali)

======

"Ya karena ... ."

"Karena apa?"

"Rasanya aneh saja, selama 4 tahun penuh saya memanggil Kapten Pusaka dengan pangkat, tiba-tiba selama setahun Kapten menjadi wali saya, saya canggung menyebut kapten sebagai Bapak atau Ajik."

"Saya ... minta maaf," ujar Pusaka kemudian.

"Untuk ... apa Kep?"

"Soal orangtuamu. Harusnya kami pulang bertiga ya? Jadinya malah cuma saya yang pulang waktu itu."

"Itu bukan salah Kapten."

"Mungkin, tapi membiarkan kamu sendirian selama 2 tahun berikutnya itu adalah kesalahan terbesar saya."

Oka diam, Pusaka pun diam. Lalu layar markas mengeluarkan segitiga bertanda seru merah, tanda bahaya. Oka segera merespon panggilan tersebut dengan menampilkan layar holografik di mana Profesor Denny tampak memberi instruksi.

"Kapten Pusaka, gerakkan semua batalyon zeni di bawah komando Anda. Oka! Kamu juga ikut! Kami butuh penembak jitu!"

******

Pangkalan AL Tarakan, 20.00 WITA

Regina dan teman-temannya tengah berkumpul di suatu kamar dengan tiga dipan bertingkat. Kolonel Kiki Syanakari barusan memerintahkan mereka istirahat dahulu sementara mereka menyusun strategi khusus bersama Profesor Denny. Kelima remaja itu saling pandang dalam diam, mencoba memikirkan strategi ala mereka sendiri dalam menghadapi Kroda yang memimpin kapal hantu itu.

"Jika Pamodilan aku saja tak sanggup hancurkan dia, apa kita harus pakai lagi Panca Mukhi Usana?" Sitanggang memberikan usul.

"Rasanya agak sulit. Pertama-tama kita harus singkirkan dulu prajurit tengkoraknya, baru kita bisa pakai Panca Mukhi," sergah Nara.

"Tapi sa takut nanti dia pentalkan juga Panca Mukhi macam anak panah punya sa tadi! Aduh sa takut sekali andai KRI Gorys Keraf tadi tenggelam!" sambung Ignas.

"Berarti kita harus punya dua rencana. Rencana A dan rencana B. A : kita pakai Panca Mukhi, B : ada usulan?" tanya Panji.

Semua terdiam, sebelum Regina mengusulkan sesuatu, "Beta punya cara, tapi mungkin kalian tak suka."

"Coba jabarkan, Gin!" ujar Panji.

"Beta akan tenggelamkan itu Kroda di dalam laut. Tapi beta harus pastikan dia itu terpisah jauh dari kapalnya. Selagi kalian urus prajuritnya, beta akan bunuh dia di dalam laut!"

"Zirah kita terlalu berat untuk pertarungan dalam laut lo!" sanggah Nara.

"Tapi beta punya barang tidak kalian punya! Beta bisa tahan nafas, berenang, dan main parang dalam air!"

"Itu rencana nggak bagus-bagus amat, tapi kalau terpaksa, kita harus ambil," ujar Panji.

"Nara!" ujar Sitanggang, "Kamu masih bisa korbanin ayam seperti saat kita lawan Ronin Takeda nggak?"

Ignas, Regina, dan Panji mendelik ke arah Sitanggang, tapi remaja paling pendek di antara kelima remaja itu kembali berargumen, "Kayaknya kita nggak bisa kalahin mereka tanpa Mangkok Merahnya Nara. Kita sudah coba, tapi jujur saja bertarung di laut lebih berat daripada di darat. Ya nggak? Kapalnya goyang, jadi kita harus bagi tenaga antara kuda-kuda dan serang musuh."

"Aku bisa saja lakukan itu, tapi Regina setuju nggak?"

"Kok beta yang ditanya?" sahut Regina.

"Lah! Kan yang protes paling keras soal ayam yang disembelih waktu itu kan kamu?" jawab Nara.

*****

Perairan Kalimantan Timur, 20.00 WITA

Sementara itu dari arah Surabaya, telah tiba sebuah kapal perang perusak sepanjang 120 meter, kategori kelas Ahmad Yani. Kapal bernomor lambung 366 dengan nama KRI Mohammad Hatta itu bergerak menuju suatu koordinat di mana sebuah kapal hantu diberitakan muncul. Mengetahui bahwa sistem kelistrikan tidak bekerja apabila kapal perang berada terlalu dekat dengan kapal hantu itu, komandan KRI Mohammad Hatta memerintahkan agar mereka menjaga jarak setidaknya 20 kilometer dari kapal hantu itu dan hanya menggunakan rudal jarak jauh untuk menyerang.

Maka itulah yang mereka lakukan, begitu kapal hantu itu terlihat di kejauhan, KRI Mohammad Hatta langsung menembakkan peluru meriam dan dua roket jarak jauh ke arah si kapal hantu. Segala macam senjata itu mengenai kapal hantu itu dengan telak dan dari dalam ruang kemudi, nakhoda KRI Mohammad Hatta melihat kapal hantu itu pecah menjadi dua dan tenggelam. Dengan girang hati ia melaporkan bahwa kapal hantu itu telah ia tenggelamkan, Unit Lima sudah tak diperlukan lagi.

Denny yang mendengar klaim sepihak dari komandan salah satu kapal perang terbesar milik Indonesia itu langsung berkomentar, "Cobalah Letkol tunggu barang 12 jam dari sekarang. Kalau sampai dalam rentang waktu itu, kapal hantu itu benar-benar tidak muncul, maka bantuan kami tak diperlukan. Namun bila dalam rentang itu kapal hantu itu muncul kembali, maka kami akan kembali terjun ke lapangan."

"Logika macam apa itu, kapal yang tenggelam bisa muncul lagi?" sanggah komandan KRI Mohammad Hatta.

"Logika dunia di seberang kabut darah, Letkol! Takkan ada jaminan kapal itu telah benar-benar tenggelam jika dia dalam beberapa jam ke depan masih muncul!"

******

Pangkalan AL Tarakan, 00.00 WITA

Denny dan pasukan penyokong serta teknisi dari Unit Lima tiba di Pangkalan AL Tarakan tepat tengah malam. Helikopter-helikopter menurunkan sejumlah peti kemas berisi peralatan yang dibutuhkan para teknisi untuk melakukan modifikasi yang diminta Kolonel Kiki Syahnakari terhadap kapal-kapal di pangkalannya.

Sang Kolonel sendiri masih terjaga di tengah malam itu, menunggu kedatangan profesor muda yang sering disanjung-sanjung namanya oleh orang-orang Kementrian Pertahanan. Ketika ia melihat Denny turun dari helikopter bersama sejumlah prajurit zeni yang tergabung sebagai personel militer Unit Lima serta anggota terakhir Dwarapala Tim C, Kolonel itu langsung tahu jika Denny memang bukan orang sembarangan. Raut wajahnya serius, penuh kharisma, dan di satu sisi entah mengapa ... menakutkan – bahkan bagi seorang perwira militer seperti dirinya.

"Jika Anda benar Profesor Denny," Kolonel Kiki membuka percakapan, "Dan kapal hantu itu muncul kembali di perairan yang jadi tanggung jawab kami, bagaimana kita bisa menghancurkannya?"

"Kami telah membuat beberapa rencana untuk menghancurkannya, tapi kami jelas membutuhkan bantuan Anda, Kolonel."

"Katakan saja apa yang bisa kami bantu, maka kami akan sediakan."

"Pertama-tama teknisi kami akan melapisi komponen listrik navigasi dan persenjataan KRI Des Alwi dan KRI Gorys Keraf dengan lapisan keramik serta isolator nano. Setelah itu kita akan menghantam kembali kapal itu dengan gabungan antara batalyon zeni Unit Lima serta Lokapala dan," Denny melirik pada Oka, "... penembak jitu kami!"

******

Belum juga lima jam sejak Denny dan para anggota Unit Lima tiba di Tarakan, apa yang diramalkan Denny akhirnya terjadi juga. Pihak KRI Mohammad Hatta melaporkan adanya kemunculan kapal yang mirip sekali dengan kapal hantu yang mereka tenggelamkan tadi.

Segera saja seluruh petinggi Pangkalan AL Tarakan dan Unit V berkumpul di ruang pertemuan pangkalan. Profesor Denny, Kapten Pusaka, para komandan KRI, dan komandan pangkalan semuanya memasang mimik muka serius. Lima Lokapala yang bertugas menyusul beberapa saat kemudian yang mana lagi-lagi hadirin dibuat kembali terheran-heran dengan adanya ayam jantan berbulu hitam yang masih berkotek di tangan salah satu dari Lokapala itu.

"Itu ayam mau dibuat apa?" tanya Kolonel Kiki.

Tanpa penjelasan lebih jauh, Nara langsung mematahkan leher si ayam lalu dengan jarinya, mengoyak leher si ayam guna mengeluarkan darahnya, sampai para komandan KRI yang ada di sana jeri melihatnya. Darah dari ayam itu ditampung di sebuah mangkuk yang digenggam Sitanggang lalu dinyanyikan kidung-kidung yang asing di telinga para hadirin oleh Nara sebelum setiap orang dari para Lokapala itu mengoleskan darah si ayam di bagian helm, dan zirah mereka di bagian betis serta telapak tangan.

******

Regina kembali merasakan jantungnya seperti dikelilingi pisau-pisau yang tak terlihat. Setiap kali jantungnya berdegup lebih kencang, pisau-pisau tak terlihat itu makin mengiris-iris jantungnya. Namun setiap kali pisau itu sukses menorehkan bilah tajamnya di jantungnya, semakin bersemangat pula Regina untuk segera mengayunkan senjatanya, mencari lawan, dan mencabut nyawa mereka. Teman-temannya yang lain tampak juga merasakan hal serupa, terbukti dari desah nafas mereka yang semakin tak teratur akibat degup jantung yang makin cepat tiap menitnya.

"Kalau kalian mau bertarung dengan cara "Mangkok Merah" macam begitu di tengah laut, saya sarankan matikan dulu AI di helm kalian."

Para Lokapala tidak menjawab, namun mereka semua menuruti saran Denny dengan mematikan system AI pembantu pergerakan maneuver mereka.

"Regina," Denny menoleh ke arah gadis berzirah putih itu, "Kamu melaporkan jika ada penduduk sipil yang terjebak di dalam kapal itu kan?"

"Benar Prof! Dari penampilan mereka, mereka tampaknya nelayan."

"Kali ini saya minta kalian berlima langsung turun ke dek bawah. Bebaskan sebanyak mungkin sandera lalu bawa ke dek atas. Bapak-bapak Angkatan Laut dan batalyon zeni akan mengevakuasi mereka ke KRI Des Alwi dan Gorys Keraf."

"Jika kita ketemu kroda misterius itu?"

"Ah! Soal Kroda itu? Pak Abbas Khalid, sudah menganalisa sedikit mengenai makhluk ini," Denny mengaktifkan selayar slide holografik yang kemudian terbagi menjadi 10 layar dengan tampilan sama.

Salah satu layar menyorot kepada papan nama yang terpampang di bagian kabin kapten, di mana sebuah tulisan di atas papan kayu kusam yang nyaris tak terbaca tampak dipertajam dan diperjelas sehinggga menampilkan tulisan : 'de Dragoons'.

"Nama kapal ini adalah de Dragoons. Nama aslinya HMS Dragon, kapal Inggris, tapi kemudian direbut Belanda dan dijadikan armada utama Belanda untuk merebut Kepulauan Banda. Kapal de Dragoons sendiri memang punya fasilitas palka untuk tawanan atau budak. Daya angkut palkanya mencapai 800 tawanan."

"Dan Kroda yang membuat Lokapala Anda kewalahan itu siapa? Nakhkodanya?" tanya Kolonel Kiki penasaran.

Denny mengangguk, "Kebanyakan Kroda yang berhubungan dengan obyek sejarah semacam ini sejatinya adalah tokoh masa lalu. Tapi sejauh ini kami belum tahu siapa sebenarnya si nakhoda."

"Ya, kita tidak perlu tahu juga siapa dia kan?" ujar Kapten Pusaka, yang sudah memasang helm zirah Kemlandingan miliknya, "Lagipula," katanya lagi sembari menunjuk ke meja berlayar datar di tengah ruangan itu, "Tampaknya KRI Mohammad Hatta sudah mulai kesulitan menangani kapal ini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top