BAB 11.3 : CAKALELE

Akademi Kumala Santika, 13.00 WITA

Jam pelajaran masih tersisa satu jam lagi, tapi Regina mendapati arlojinya sudah berkedip-kedip memunculkan logo Lokapala, yakni logo berupa delapan benda tajam yang mengarah ke delapan sudut mata angin. Ia melirik ke arah Panji dan Nara yang mengangguk setuju dengan apa yang hendak ia sampaikan yakni bolos jam berikutnya dan segera pergi ke basement bawah asrama.

Sesampainya di basement rupanya Oka dan Sitanggang sudah tiba duluan di sana. Tinggal menunggu Ignas yang harus minta izin pada pelatihnya soal jadwal latihan tinjunya nanti sore, itupun tak makan waktu lama, 5 menit kemudian remaja asal Agast, Papua, itupun sudah tiba di basement.

"Kita perlu pakai zirah, Kopral?" tanya Regina pada Oka.

"Sepertinya ya, ada situasi darurat di Tarakan. Katanya ada kapal hantu," jawab Oka.

"Kapal hantu ... macam apa?" tanya Sitanggang.

"Macam The Flying Dutchman," jawab Oka.

"Kamu bercanda kan?" dahi Regina mengkerut, "Kalaupun kapal hantu itu ada, dia kan berlayar di seputaran Tanjung Harapan?"

"Entahlah, tapi laporan resminya bilang begitu. Katanya ada satu KRI yang dikejar-kejar kapal yang deskripsinya mirip De Vliegende Hollander alias The Flying Dutchman."

*****

Kala kelima Lokapala itu menghadap Kapten Pusaka, mereka mendapati bahwa kata-kata Oka memang bukan candaan. Rekaman kamera yang dipasang di ruang kemudi KRI Des Alwi yang dikirimkan ke Unit V oleh Pangkalan AL di Tarakan memang jelas-jelas menunjukkan kapal itu memang mirip dengan deskripsi kapal hantu yang konon dikutuk untuk berlayar selamanya di seputaran Eropa, Pantai Barat Afrika, dan kadang-kadang muncul di Asia.

"Barangkali ... ini tidak ada hubungannya, tapi bisa jadi ada" Profesor Denny menarik nafas panjang, "Subuh tadi, Dwarapala Tim D juga menemui fenomena kabut darah di Kota Tua, Jakarta. Satu prajurit Tim D hilang dalam tugas dan Tim D memberikan kita rekaman tentang kemunculan Si Mahapati dengan sesosok entah Tuan Tanah entah Nakhoda Belanda. Yang jelas dengan adanya kemungkinan ancaman Kroda Orang Belanda itu muncul di Tanjung Paser, maka untuk tugas ini, saya minta Oka dan Kapten Pusaka berjaga di Tanjung Paser sementara kalian berlima ke Tarakan.

"A, lalu bagaimana dengan sekolah kitorang punya?" tanya Ignas.

"Kita yang urus. Ngana tenang saja!" jawab Denny.

====

Kita = saya

Ngana = kamu

====

*****

Helikopter militer segera mengangkut kelima Lokapala itu menuju ke Tarakan. Angin di seputaran Tanjung Paser mulai berhembus keras, tanda badai akan segera mencapai wilayah Tanjung Paser. Pilot dari helikopter itu pun segera menambah kecepatan terbangnya supaya segera sampai di Tarakan secepat mungkin.

Perjalanan itu sendiri kira-kira berlangsung selama dua jam karena dihalangi cuaca buruk dengan angin kencang yang terus menerus bertiup. Di dalam helikopter, wajah Panji tampak tegang dan tampak tak henti-hentinya ia meremas-remas jarinya.

"Ose kenapa?" tanya Regina.

"Aku nggak suka kondisi kayak gini. Jadi teringat terus soal penerbangan perdanaku ke Tanjung Paser. Waktu itu badai dan aku dijatuhkan dari ketinggian 20.000 kaki di atas permukaan laut!"

"Tenang, tenang!" ujar si pilot helikopter, "Kita nggak akan terjunkan kalian dari ketinggian segitu lagi kok. Kita juga nggak akan mau dapat kesan buruk dari Angkatan Laut soal Lokapala, kalau sampai mereka tahu satu saja anggota Lokapala phobia ketinggian alamat Unit V bakal jadi ledekan seumur hidup."

"Nji! Jangan gitu lah! Kamu kan kapten timnya, masa takut?" sambung si kopilot helikopter.

"Saya nggak pernah mau jadi kapten tim. Ini semua kan gara-gara Regina dulu ogah ditunjuk jadi kapten tim!"

Ingatan Regina soal kejadian itu pun muncul kembali. Saat itu, segera setelah ia dikenalkan pada sistem zirah Lokapala di markas Unit V Ambon yang menumpang di sebuah fasilitas galangan kapal Angkatan Laut Armada Timur, ia dipertemukan pada teman-temannya yang lain secara holografik. Jadi mereka semua berada di tempat lain, semisal Panji di Madiun, Nara di Pontianak, Sitanggang di Palembang, sementara Ignas di Manokwari. Tak berapa lama sesudah itu, para staf Unit V mulai meminta Regina dan yang lain menjalankan simulasi virtual yang saling terkoneksi. Dalam simulasi virtual tersebut, secara bergantian mereka berlima menjadi kapten tim dan berusaha bertahan selama mungkin melawan simulasi Kroda. Dalam simulasi yang dipimpin Ignas, mereka cuma bisa hidup selama 1 jam, di bawah komando Nara 2 jam, di bawah komando Sitanggang 30 menit, di bawah Panji 3 jam sementara di bawah dirinya, Regina mampu membawa timnya bertahan hidup selama 3,5 jam.

Karena hal itulah, sejatinya ia yang tadinya dicalonkan menjadi kapten tim. Pangkatnya pun mentereng : Sersan Mayor – cuma satu tingkat di bawah Letnan, tunjangan bulanannya lebih besar, hak istimewanya lebih banyak, tapi jelas tanggung jawabnya berat. Regina tidak terlalu suka dengan jabatan itu, karena ia mendapati Akademi Kumala Santika adalah akademi yang pendidikannya ketat karena itu ia memilih menjadi wakil saja sementara pangkat Sersan Mayor biarlah jadi milik Panji. Akhir-akhir ini Panji memohon supaya Regina mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi miliknya itu, meski Regina selalu menolak. Lagian andaikan dapat duit lebih banyak bagi Regina itu nggak terlalu penting, toh orangtuanya dokter dan bidan, soal keuangan sejatinya Regina tidak terlalu punya masalah seperti yang lain.

Lain halnya dengan Panji. Anak itu sudah tak punya ayah, ia punya tiga adik, dan ibunya hanya guru SD. Regina berpikir kalau ia mengambil alih kembali jabatan sebagai kapten tim, Panji bakal lebih kesulitan memenuhi nazarnya menabung demi sekolah adik-adiknya.

Kembali ke helikopter, Regina hanya menjawab seperti ini, "Yang dulu bilang alhamdulillah, bisa menabung buat memenuhi nazar waktu dilantik jadi Sersan Mayor itu siapa yah?"

Panji terhenyak, malu sendiri ia diperingatkan oleh Regina, dan akhirnya ia hanya menunduk malu.

Setelah melewati 10 menit terombang-ambing dalam badai, akhirnya landasan Pangkalan Angkatan Laut Armada Timur Cabang Tarakan terlihat.

"Bersiap!" ujar sang pilot, "Kita turun!"

"Pasang helm!" perintah Panji yang segera memasang helmnya dan diikuti seluruh anggota Lokapala lainnya.

Helikopter itu pun mendarat dan segenap jajaran prajurit AL di pangkalan itu menyambut kelima Lokapala dalam balutan jas hujan motif loreng.

"Kami sudah menunggu!" ujar seorang prajurit TNI yang tampak paling berumur dan memiliki tahi lalat besar di bibir bagian kanan atas, "Saya Kolonel Kiki Syahnakari, Komandan Pangkalan!" ucapnya seraya memberi hormat.

"Sersan Mayor Panji Setiawan, komandan unit Lokapala!" ucap Panji memperkenalkan diri sambil memberi hormat balasan, diikuti keempat rekannya yang lain, "Bagaimana situasinya Kolonel?"

"Kami mendapati KRI Des Alwi rusak parah diserang semacam kapal hantu beberapa jam yang lalu dan baru saja kami mendengar KRI Hasan Basry dan KRI Ikan Cucut melakukan kontak dengan kapal itu. Peralatan elektronik mati saat mendekati kapal setan itu sehingga meriam ototmatis dan pelontar roket jadi tidak bekerja! Kami menginstruksikan Hasan Basry dan Ikan Cucut kembali kemari tapi tampaknya mereka kesulitan dan mohon bantuan karena mereka terus menerus ditembaki.

"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Panji lagi kepada sang komandan pangkalan.

"Kalian naiklah ke KRI Gorys Keraf, dan nanti nakhoda kapal kami akan mengantarkan kalian ke koordinat kemunculan kapal hantu itu. Cobalah menyelidiki apa sebenarnya yang ada di kapal hantu itu!"

"Siap Dan! Kami usahakan yang terbaik! Semua! Naik ke KRI Gorys Keraf!" Panji memberi perintah sementara visor masing-masing Lokapala secara otomatis langsung memberi petunjuk di mana KRI yang dimaksud berlabuh.

Tak berapa lama setelah para Lokapala menaiki KRI yang dimaksud, KRI tersebut buang sauh dan segera berlayar ke koordinat yang dimaksud.

******

Mendekati koordinat tujuan, di anjungan kapal, Panji dan Regina bisa melihat bahwa para TNI AL ini memang tidak main-main soal mereka diserang kapal hantu. Dari jarak seperti ini saja, mereka bisa melihat bahwa kapal kuno bertipe man-o-war itu tengah 'asyik' menembaki KRI Hasan Basry dan Ikan Cucut. Di anjungan itu pula, para awak anjungan KRI Gorys Keraf mendapati sinyal distress kedua kapal makin intens.

"Tembakkan peluru kendali!" perintah si komandan kapal dan di haluan, sebuah palka terbuka, menunjukkan dua peluru kendali bercat putih yang segera saja meluncur ke arah si kapal hantu.

Peluru kendali itu meledak dan membuat lubang menganga di kapal tersebut. Kembali komandan KRI Gorys Keraf memerintahkan tembakan ke arah kapal hantu kali ini dengan menggunakan senapan mesin otomatis. Dua prajurit AL bertindak sebagai operator dan mulai menembakkan peluru-peluru ke arah kapal hantu tersebut. Namun segera setelah jarak mereka lebih dekat lagi, kembali masalah yang melanda KRI Des Alwi, KRI Hasan Basry, dan KRI Ikan Cucut menimpa KRI Gorys Keraf. Sistem kelistrikan yang memicu sistem persenjataan mereka tiba-tiba mati.

"Kenapa ini?" Sang komandan kapal tampak frustasi.

"Wilayah kabut darah, Mayor," ujar Regina, "Di wilayah ini, sebagian besar peralatan listrik akan terganggun kerjanya."

"Saya pikir itu cuma bohongan! Saya pikir itu karena KRI-KRI yang sebelumnya kurang canggih!"

"Teknologi secanggih apapun, Mayor," sahut Regina lagi, "kadang tidak berarti apa-apa di hadapan Kroda macam kapal hantu itu."

"Sebaiknya Mayor tempatkan penembak dengan senapan laras panjang konvensional di 10 posisi," Panji memberi saran, "keadaan bakal riuh setelah ini."

"Satu dari kita orang harus tinggal di atas kapal ini," kata Regina, "Siapa yang ose pilih?"

"Sitanggang, tolong berjaga di KRI Gorys Keraf, selagi kami naik ke atas The Flying Dutchman!" ujar Panji pada Sitanggang melalui visornya.

"Siap Bos!" jawab Sitanggang yang berdiri di haluan kapal sambil mengacungkan jempolnya.

Setidak-tidaknya, tembakan peluru kendali tadi sedikit menghambat laju si kapal hantu dan juga membuat sistem meriam di kapal itu sedikit rusak. KRI Gorys Keraf mendekat ke arah kapal hantu itu dan Panji, Regina, Nara dan Ignas bersiap untuk naik ke atas kapal hantu itu. Tali sling berkait dilemparkan para awak Gorys Keraf ke arah geladak kapal hantu. Setelah itu barulah keempat Lokapala meniti tali sling itu menuju geladak kapal hantu.

Benar-benar kapal hantu! Baru saja mereka mendarat, dari dalam ruang kapten dan ruang palka kapal langsung saja bermunculan tengkorak-tengkorak hidup dengan pakaian biru compang-camping bawa-bawa senjata berbahaya.

"Wah! Kalau Joko Anwar dibawa kemari, dia bisa dapat inspirasi film horor judulnya Kapal Hantu nih!" celetuk Nara.

Tiga temannya yang lain hanya melirik dengan tatapan tidak percaya dari balik helm mereka. Bisa-bisanya gadis itu mikir soal plot film di saat-saat seperti ini. Tapi Nara sepertinya tak ambil pusing lebih jauh karena seperti biasa, dia sudah maju duluan dan mulai membabat musuh.

Satu prajurit tengkorak hendak menyerang Ignas, tapi belum sempat pedang berkaratnya menyentuh Ignas, kepalanya sudah keburu dihancurkan kepalan tinju Ignas. Di sisi lain, Regina merasa ada sesuatu yang harus ia periksa di bawah palka sana. Maka dengan segera ia minta izin Panji untuk bergerak sendiri. Panji langsung saja mengiyakan dan mulai membukakan jalan bagi Regina, dengan memotongi gerombolan prajurit tengkorak sementara Regina mengikuti dari belakang sambil menebas prajurit tengkorak yang belum sempat ditebas Panji.

Sesampainya di pintu palka, Regina segera memukul pintu kayu itu hingga hancur lalu masuk ke dalamnya. Regina sendiri tidak tahu pasti apa yang ia cari, tapi ia merasa bahwa Ina Saar merasakan sesuatu sebab dari tadi Usana rekannya itu hanya diam saja. Mereka menuruni tangga kayu licin yang ditutupi banyak karang dan sampai di bagian bawah dek yang gelap dan tampak dipenuhi benda seperti kerangkeng. Regina mendekati salah satu kurungan besi berkarat itu dan terkejut ketika mendapati ada orang di sana. Orang itu tampaknya adalah nelayan jika dilihat dari pakaiannya. Orang itu terbaring tak sadarkan diri di sebuah kurungan sempit dan visor Regina menangkap adanya kehadiran sosok lain yang memancarkan panas tubuh serupa di palka ini, dan juga di tingkat di bawah palka ini.

"Panji! Di kapal ini ada penduduk sipil yang ditawan! Sepertinya nelayan!" lapor Regina pada Panji.

"Apa?" Panji terhenyak, "Kalau begitu aku akan panggil Sitanggang kemari dan minta dia bantu kamu bebaskan mereka! Nanti kami juga akan turun setelah selesai dengan *ungh* prajurit tengkorak ini!"

Regina baru saja hendak menghancurkan grendel sebuah kerangkeng ketika sebuah peluru menghantam zirahnya di bagian lengan. Regina menoleh dan melihat siapa yang baru saja menembaknya dan mendapati ada sosok lain di dalam palka ini. Bukan sesosok prajurit tengkorak, melainkan sosok yang mengenakan mantel biru dengan muka tertutup semacam topeng yang mulutnya menyeringai. Pria itu baru saja menarik picu pistolnya dan kali ini ia menarik picu pistolnya lagi. Regina langsung memasang salawaku miliknya untuk menangkis peluru tadi. Hantaman peluru pertama tadi memang tidak sampai melukainya tapi membuat sistem pertolongan pertama bagi korban kecelakaan atau bencana yang terpasang di zirahnya menjadi terganggu dan tak dapat dipakai.

Dari penampilannya, jelas pria misterius ini adalah bos dari semua prajurit tengkorak tadi. Kemampuan ofensifnya lebih besar dan persenjataannya lebih bagus. Pedang yang ia tarik dari sarungnya itu buktinya, masih berwarna hitam mengkilat, belum berkarat.

"Cakalele?" ujar pria itu "Hier nog steeds Cakalele – Masih ada Cakalele di masa ini?"

Regina tidak terlalu paham dengan perkataan Kroda ini, tapi dari nada suaranya, jelas ia mengejek dan merendahkan. Regina memutuskan mengambil inisiatif menyerang lebih dulu. Ia ayunkan parangnya ke arah kepala musuh, namun sabetannya berhasil ditangkis hanya dengan tangan kiri oleh Si Kroda.

Regina terhenyak, berusaha bereaksi dengan melancarkan tendangan setengah lingkaran ke arah Si Kroda, namun Si Kroda keburu meninju perut Regina kuat sekali sehingga Lokapala berseragam putih itu terhempas ke dinding palka.

"Kroda ini kuat!" gumam Regina yang mulai merasa takut nyawanya bakal selesai di sini. Ia mencoba mengirimkan sinyal darurat kepada Panji dan lainnya karena dia tahu diri, dirinya takkan sanggup mengalahkan makhluk ini sendirian.

Tapi Panji dan yang lain tak segera menjawab, barangkali di atas sana, pertempuran juga sedang berlangsung seru-serunya. Regina merasa, setidaknya ia harus membuka jalan keluar lebih dahulu, ia harus mencapai dek atas supaya mendapat kesempatan lebih baik untuk melawan Si Kroda. Maka Regina mengeluarkan pistol lasernya dari kompartemen senjata di bagian paha kanan zirahnya. Ia bidikkan senjatanya kepada Si Kroda yang hanya diam saja, seolah menantang Regina untuk menarik picunya di tengah suasana kapal yang oleng ke kiri dan kanan karena ombak..

Regina akhirnya berhasil menarik picu, tapi kapal dengan mudah Si Kroda menghindar. Regina mencoba sekali lagi menembakkan berkas laser perusak ke arah Si Kroda namun sekali lagi dengan mudah Si Kroda menghindar.

"Orang tak biasa naik kapal laut! Tak bisa tembak bedil di laut!" kata Si Kroda yang langsung memberondong Regina dengan dua tembakan yang kena zirah Regina dengan telak. Satu peluru dari Si Kroda nyaris menembus zirah pelindungnya di bagian ulu hati sementara satu peluru lagi merusakkan kaca visornya, nyaris saja melukai matanya.

"Dwaas – Dungu!" ujar Si Kroda itu lagi sambil menarik keluar pedangnya dan mulai mengayunkan senjata itu ke arah Regina.

Regina bertahan, mengaktifkan selubung pelindung Salawakunya karena sulit menghindar di tempat sempit dengan suasana oleng seperti ini. Regina memperkirakan selubung itu akan bertahan cukup lama, namun ia salah. Selubung itu hancur seketika, saat Si Kroda menarik sesuatu seperti mekanisme pistol dari pedangnya.

"Gun Sword?" Regina membeliak mengetahui Si Kroda itu bersenjatakan senjata abad klasik yang berfungsi ganda baik sebagai pedang maupun sebagai senjata api.

Begitu pertahanannya runtuh, Regina mencoba bertahan dengan menangkis serangan Si Kroda sebisanya. Sayangnya Si Kroda ini lebih lihai dan lebih cepat daripada Regina sehingga tak sampai 5 menit, meski sudah dibantu oleh keahlian main parang Ina Saar, Regina mendapati parangnya terlepas setelah gagal menangkis satu sabetan kuat dari pedang Si Kroda.

"Regina!" sosok Ina Saar muncul di layar visornya, "Keluar, jebol tembok kapal! Terjun ke laut!"

Regina pun menurut dengan berguling ke samping, menghindari bacokan Si Kroda lalu berlari dengan memusatkan seluruh tenaganya untuk berlari ke sisi lain kapal di mana terdapat sebuah jendela kapal yang tampak kusam dan sedikit retak. Regina berhasil mendobrak jendela itu sehingga tubuhnya jatuh ke laut lepas yang masih saja gera oleh ombak besar.

Zirah Lokapala ini cukup berat, tidak efektif dipakai berenang, apalagi di laut. Terlebih dengan kondisi zirahnya yang mengalami kerusakan 40% setelah bentrok dengan Kroda tadi, Regina mendapati dirinya tenggelam semakin dalam ke dasar laut. Tapi meski begitu Regina tak berkecil hati karena ia punya sesuatu yang tidak dimiliki Lokapala lain, partner yang mampu berenang di laut.

Ina Saar keluar dari dalam zirah Regina, lalu mengambil wujud sebagai seekor hiu paus raksasa yang dengan segera membawa tubuh Regina ke permukaan, mendekati KRI Gorys Keraf yang tampak masih buang jangkar di dekat kapal hantu itu. Regina memanjat kapal itu menggunakan tali yang dilemparkan seorang awak kapal dengan susah payah lalu memberi tahu awak kapal itu untuk meminta komandan kapal segera mundur dari sana.

"Ada makhluk berbahaya berdiam di bawah kapal! Kalau dia muncul ke geladak, kita semua bisa mati!"

Sang awak kapal tidak buang waktu, ia segera berlari ke ruang kemudi, berbicara sebentar dengan komandan kapal,dan segera saja komandan kapal membunyikan sirene tanda evakuasi.

"Mundur! Mundur!" seru para prajurit AL di haluan kepada para Lokapala yang tersisa di atas kapal hantu itu.

Mendengar sirene evakuasi dibunyikan dan seruan para awak kapal KRI Gorys Keraf, Panji dan kawan-kawannya yang masih bertarung dengan prajurit tengkorak yang seolah tak ada habisnya di atas dek kapal itupun mulai mengambil langkah mundur.

"Sitanggang! Lindungi kami!" seru Panji yang mulai mengambil jarak dengan para prajurit tengkorak dan mulai mencabut pistolnya untuk menembaki mereka.

Nara dan Ignas pun turut mencabut pistol mereka dan menembaki para prajurit tengkorak tersebut selagi Sitanggang merapalkan tabas hadatuon Pamodilan miliknya. Meski begitu menembaki target dengan kondisi kapal bergoyang ternyata lebih susah daripada bayangan Panji, Nara, dan Ignas. Berkali-kali tembakan mereka meleset dari target semestinya, seperti mereka menarget satu prajurit tengkorak yang jaraknya paling dekat dengan mereka, tapi tembakan mereka malah meleset menghantam tiang atau prajurit di belakang mereka.

Sementara itu, perlahan tongkat di tangan Sitanggang mulai menyala merah dari dasar tongkatnya hingga akhirnya seluruh wajah di tongkatnya memancarkan nyala merah.

Ue Si Tau Manggule (Hai Si Tau Manggule Si Pohon Gaib)

Ue Si Aji Donda Hatautan, (Hai, Si Aji Donda Hatautan si kakak lelaki)

Ue Siboru Tapi Nauasan, (Hai Siboru Tapi Nauasan, si adik perempuan)

Ue Datu Pulu Panjang Na Uli, (Hai Datu Pulu Panjang Na Uli)

Ue Si Parjambulan Namelbuselbus, (Hai Datu Si Parjambulan Namelbuselbus)

Ue Guru Mangantar Porang, (Hai Si Guru Mangantar Porang)

Ue Si Sanggar Meoleol, (Hai Datu Si Sanggar Meoleol)

Ue Si Upar Manggalele (Hai Datu Si Upar Manggalele)

Ue Barita Songkar Pangururan. (Hai Datu Barita Songkar Pangururan)

Ue Si Tungkat Tunggal Panaluan! (Hai Si Tongkat Tunggal Panaluan)

Tau tungkot di dalan nalandit, (Yang layak jadi tongkat di jalan yang licin)

Sulu-sulu di ari nagolap, ( Suluh di hari yang gelap)

Bohal tuhuta sada, (Bekal di negeri lain)

Tano bata nahopal, (Tembok benteng yang tebal)

Natao Panorgangan, (Yang layak menjadi penentangan)

Pamodilan! (Tembak!)

Berkas sinar merah padat langsung saja merontokkan nyaris semua prajurit tengkorak di hadapan mereka. Kecuali satu!

"Kawan-kawan! Lari! Jangan lawan Kroda itu!" seru Regina dari haluan Gorys Keraf.

"Regina? Kok ko sudah ada di sana?" Ignas menyatakan keheranannya, mewakili tiga Lokapala yang lain.

"Nanti saja! Ke sini cepat! Jangan lawan dia! Dia kuat!"

"Kuat macam apa?" Ignas mematerialisasi busur panahnya dan mulai menarik anak panah cahaya ke arah Kroda itu. Anak panah itu segera terlepas dan mengarah kepada Si Kroda yang secara mengejutkan menahan anak panah Ignas dengan pedangnya lalu mengembalikan anak panah itu kepada Ignas. Ignas menunduk, berhasil menghindar tapi anak panah berkekuatan ledak miliknya itu membentur lambung kapal KRI Gorys Keraf dan meninggalkan kerusakan berupa lubang menganga di lambung kapal itu.

"Oke! Sa percaya sekarang!" Ignas langsung ambil langkah seribu, berbalik melompat ke arah KRI Gorys Keraf yang mencoba merapat sedekat mungkin dengan kapal hantu itu. Keputusannya segera diikuti oleh teman-temannya yang lain.

Segera sesudah semua Lokapala sudah berada di atas dek kapal, Komandan KRI Gorys Keraf segera menyalakan mesin kapal dan memacu kapalnya secepat mungkin kembali ke Tarakan. Kelima Lokapala dan para awak kapal KRI Gorys Keraf sendiri kemudian menyaksikan sesuatu yang ganjil. Kapal itu perlahan menenggelamkan diri ke dasar laut, selayaknya orang terjun ke kolam renang lalu menghilang di balik ombak ganas lautan.

"Sebetulnya kita tadi melawan apa?" ujar Panji yang melepaskan helmnya lalu mengusap-usap matanya untuk meyakinkan dirinya benar-benar tidak salah lihat ketika menyaksikan ada kapal menenggelamkan diri ke laut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top